Pluralitas: Aku dan Sang Lain, Susunan Diskursif ataukah Bukan? (3)41 min read

Pluralitas merupakan proses pembentukan retakan dalam kontinuitas yang melibatkan diskursus. Jika Anda tidak ingin menempatkan diskursus dalam tema-tema pluralitas dengan taraf apa dan siapa yang telah mengatakan, dimana diskursus kami memasuki wilayah permainan? Kami telah mengusahakan terbentuknya perbedaan-perbedaan melalui diskursus menjadi taraf tertentu, yang membuka jalan bagi obyek pengetahuan hingga bukan lagi sekedar pernyataan sekedarnya. Siapa yang memasukkan tema-tema pluralitas sebagai celoteh, yang membuat kami pun tidak bercuap-cuap tentang relasi apa yang ingin Anda arahkan pada diskursus-diskursus, yang selama ini tidak jelas juntrungnya, padahal masih jelas akan berlanjut pada taraf diskursus lainnya.

Permasalahan pertama kali atas penggunaan pluralitas sebelum yang lainnya muncul sebagai perbincangan adalah perbedaan-perbedaan dan sekelompok tanda-tanda yang dibentangkan oleh diskursus. Pluralitas, diskursus ataukah bukan?

Suatu pertanyaan yang membuat kami tidak tergesa-gesa untuk mengatakan setelah sebagian mereka menaruh curiga tentangnya. Sebaliknya, bagi mereka yang masih menyenangi diskursus-diskursus, kami tidak ingin mengumbar-umbar diskursus yang menopang tema-tema pluralitas. Paling penting, sejauh mana Anda amati langsung atas individu yang tidak memiliki alasan untuk berbicara sebuah konsep perbedaan? Bagaimana Anda investigasi terhadap bentuk penampakan pluralitas terjadi melalui peristiwa diskursif atau masa tertentu?

Kami menghaturkan suka cita, jika pluralitas bukanlah diskursus, yang tanpanya menyentuh perbedaan konsep yang berhadapan dengan pluralisme1. Kami juga tidak memungkiri kenyataan, bahwa diskursus begitu rawan memperbincangkan sesuatu yang belum dikatakan mengalir dalam ruang pengetahuan. Sejauh peristiwa telah diperbincangkan secara gamblang, diskursus mencoba untuk membuka wilayah yang luar biasa luasnya terhadap perbedaan-perbedaan antara berbagai konsep pluralitas dan pluralisme2 itu sendiri, yang keduanya mengarah pada rangkaian-rangkaian penyampaian, kelompok pernyataan3, susunan, dan pembentukan obyek, yang mungkin diterima ketidakhadirannya pada diskursus lainnya.

Karena itu, penemuan pluralitas obyek tidak memiliki kemiripan dengan yang lainnya, yang menghadirkan pada kita hanya perbedaan yang dimilikinya adalah perbedaan obyek, yang dirinya tidak teridentisifikasi dirinya secara berulang. Serangkaian penyampaian, kelompok pernyataan dan pembentukan obyek memungkinkan menuju wilayah diskursus, yang statusnya tidak diperlukan lagi menjadi pengetahuan melalui diskursus lainnya secara partikuler. Meskipun nampak semakin menjaga jarak jauh dengan kelompok dan obyek pernyataan yang menentangnya terkubur dalam pluralitas dan pluralisme.

Perbedaan-perbedaan tidak lebih sebagai ‘pengulangan diskursus’ dengan celah dan retakannya menjadi sesuatu yang plural. Keduanya bukan kontradiksi dan negasi, melainkan pembentukan ulang diskursus, yang menentukan pengulangan ucapan dan perbedaan-perbedaan. Diskursus boleh jadi memunculkan kembali kemungkinan retakan-retakan bangunan pengetahuan, sekalipun pluralitas obyek4 pada akhirnya menjadi diskursus. Kelompok pernyataan yang berbeda dibentuk dan ditentukan bukan hanya diarahkan untuk mengatasi relasi-relasi yang berfungsi sebagai perbedaan antara ilusi dan pengetahuan, yang saling melibatkan dan menyisihkan penyampaian.

Bentuk-bentuk pernyataan muncul di depan mata sesuai kelompok obyek diskursus yang berbeda dan menemukan kembali bentuk-bentuk penampakan pluralitas mereka sesudahnya. Analisis atas pernyataan yang berbeda terbentuk tanpa merujuk pada obyek diskursus dan memungkinkan benda-benda mendahuluinya, yang mendeskripsikan pembentukan obyek-obyek dari sebuah diskursus. Diskursus bukan hanya menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai obyek, tetapi juga penentuan titik tolak pembentukan cahaya yang menyinari perbedaan obyek yang berwarna-warni sebagai sosok-sosok pluralitas di depan kedipan mata kamera sebuah fotografi untuk melampaui mekanisme permainan tanda atau permainan kata.

Diskursus lainnya memungkinkan juga untuk menentukan kemunculan obyek yang terpencar-pencar menjadi pernyataan, yang pembentukannya berada di luar wilayah bahasa keseharian. Kami tidak sepenuhnya mengerti bagaimana melacak jejak-jejak yang ditinggalkan oleh seseorang, dari semenjak kecil hingga mencapai usia dewasa, yang setiap kata, huruf dan tanda ditorehkan di atas kertas, bergerak keluar dari dinding-dinding yang kuat atau tembok tebal yang menjemukan hadir sepanjang ingatan manusia diantara permasalahan pluralitas.

Bagaimana tidak betahnya orang-orang, berpikir dan bermainpun terputus dari pencetus kata dan tanda yang dibentuk diskursus. Apa yang terjadi jika seluruh rangkaian pernyataan menjadi obyek diskursus ternyata tidak hadir di depan mata. Jika aturan-aturan telah merenggut khayalan mereka dengan kenyataan bahwa diskursus sebagai ruang mereka untuk mengeluarkan pernyataan, yang diam-diam bukanlah pluralitas dilontarkan saling bertolak belakang dengan gambaran kehidupan yang sesungguhnya penuh kedamaian dan kenikmatan atau kegairahan tersendiri.

Fenomea pluralitas bukanlah kilatan cahaya mengatasi bayangan orang-orang berdiri setelah diambil foto bersamanya dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tetapi, seandainya pluralitas dianggap sebagai bagian dari peristiwa diskursif, lalu mengajukan berbagai pertanyaan. Apakah perbedaan itu harus ditunjukkan sesuatu yang berbeda pula? Bagaimana cara menentukan dan memilah perbedaan terhadap perbedaan lainnya? Pluralitas5 semacam apa yang bisa ditunjukkan sebagai obyek dirinya sendiri berhadapan dengan identitas, yang wilayah kemunculannya berada dalam perbedaan? Peristiwa-peritiwa khas apa yang bisa dihadirkan dalam wilayah diskursus? Aturan-aturan dan rangkaian pernyataan bagaimana menjadi penampakan kelompok obyek?

Obyek dari berbagai identitas bukan hanya berdasarkan sudut pandang yang harus menjadi dirinya sendiri, tetapi juga obyek yang dilihat secara berlapis-lapis dalam perbedaan, yang tidak serta merta teridentifikasikan. Sama halnya jika kita mengaitkan penampakan obyek-obyek yang lebih luas menjabarkan kemunculan dirinya pada lapisan obyek yang kecil, lapisan obyek yang kecil bisa dilihat sebagai obyek yang lebih kecil.

Orang tentu bisa saja mengenal berbagai obyek yang berbeda-beda dalam wilayah kemunculannya di depan mata. Tatkala rentang waktu tertentu hadir rangkaian pernyataan tentang kegilaan atas pluralitas memasuki ambang batas kemunculan obyek diskursus, tiba-tiba berlawanan arah dengan mereka yang mempertajam dan memperkeruh  perbedaan secara ekstrim dari kelompok pernyataan lainnya.

Diskursus bukanlah dibentuk oleh kespontanan kata-kata sebagai pusat pembicaraan menarik. Sebaliknya, kita tertuju pada bentuk-bentuk penyimpangan pluralitas dengan tidak menerima perbedaan-perbedaannya bisa dianalisis, dideskripsikan dan dinilai. Ia bukanlah sejenis sakit jiwa, yang dikaitkan dengan obyek diskursus psikiatri, melainkan bisa jadi mereka telah memasuki obyek-obyek diskursus kesejahteraan atau diskursus ekonomi. Rangkaian tanda-tanda pluralitas6 yang dilihat sebelah mata memungkinkan berada dalam kelompok relasi yang begitu kompleks antara kata-kata nampak samar-samar dan benda-benda yang kelabu akan melampaui diskursus demi mendapatkan kembali bentuk-bentuk yang muncul secara tidak terduga.

Kata-kata yang samar lebih dekat kemiripan obyek-obyek pra-diskursus. Benda-benda yang kelabu dalam dirinya menjadi ‘proses penampakan obyek-obyek’, yang mengarah pada syarat pembentukan relasi-relasi, yang memungkinkan munculnya obyek-obyek diskursus. Tetapi, kita mesti mengenal perbedaan kecil dan besar, yang terbentuk dalam diskursus. Misalnya, apa yang dikatakan psikiater tentang kegilaan pada kebenaran atau terhadap tanda pluralitas belum mencapai sebuah kesimpulan dari hasil diagnosisnya, tetapi menghasilkan berbagai perbedaan konsep, analisis dan penilaian tentangnya.

Kadangkala obyek yang muncul sebagai korelasi dari kelompok pernyataan non medis pada periode tertentu tidak identik dengan obyek-obyek kegilaan atas kebenaran tunggal, yang kemunculannya ditemukan dalam wilayah doktrinal7 pada periode sesudahnya. Sekarang, setelah kita tidak tertarik untuk membahas orang gila, kita menyebutkan kegilaan dalam pengertian baru, yang penanganannya juga berbeda-beda, dimungkinkan mencoraki kelompok pernyataan. Kita bisa saja mempertanyakan apa hakikat, apa yang diinginkan, kandungan rahasia yang tersembunyi dari kegilaan atas kebenaran, yang bukan sakit jiwa. Semuanya itu terbuka untuk diarahkan pada obyek diskursus, apalagi dipertajam oleh krisis pluralitas.

Bentuk-bentuk kegilaan atas kebenaran tunggal dalam pengertian baru yang bisa juga dilacak jejak dan tandanya, dideskripsikan, dianalis perkembangannya, dan ditemukan hal-hal yang belum disentuh oleh diskursus teoritis sebelumnya, yang membuat kita lebih memilih pembentukan obyek dan pada kelompok pernyataan berlangsung dalam periode yang sedang kita jalani. Mungkin penjelasan umum tentangnya tidak cukup ruang bagi pengetahuan menyangkut penanganan obyek kegilaan, jika merujuk hanya pada rangkaian-rangkaian pernyataan deskriptif dan memberi ungkapan-ungkapan dengan mengartikulasikan dalam kata-katanya yang diberikan oleh diskursus neurosains, diskursus kuasa, dan diskursus kemiskinan.

Barangkali kita tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk membentuk kelompok-kelompok diskursif dan relasi-relasi yang terdapat dalam pernyataan-pernyataan. Relasi-relasi yang terbentuk mungkin terdapat peristiwa melalui subyek yang berbicara, yang dideskripsikan tanpa mengenyampingkan perbedaan antara percakapan dan teks tertulis mengenai ‘pluralitas obyek’ (sastra, teknik, politik, sosial, ekonomi bersama genre-genre yang memiliki kekhasan, yang mengartikulasikan diskursus seperti filsafat, sejarah, agama, dan ilmu pengetahuan eksak) belum selesai dikerjakan sintesa-sintesanya.

Dari kemunculan tanda-tanda pluralitas tanpa beriak, kita tidak menemukan lagi tema-tema pemikiran yang berkembang, yang melalui pergerakan individu dan kolektif diam-diam dimana mereka dirampungkan. Pengulangan bisa dirahi, pemulihan konflik dan kekerasan mengalihkan perhatian kita pada titik kemiskinan yang ekstrim. Setiap yang kita bicarakan telah membelok melampaui dirinya sendiri, menantikan kelimpahannya, membawa ruang pembicaraan menuju bentuk plural, dan mengingat dirinya lebih daripada pola tunggal yang asing dalam penguraian kekusutan permasalahan umat manusia.

Berkenaan dengan pluralitas, pembentukan obyek diskursus seiring perbedaan dalam dirinya sendiri, yang berlangsung ditengah perbedaan ‘didalam’ dan perbedaan ‘diluar’ individu sebagai obyek yang memiliki relasi timbal-balik dengan subyek. Perbedaan antara kegilaan psikiatris dan kegilaan non-psikiatris atau perbedaan kegilaan dan nalar dalam diskursus filosofis dan diskursus ilmiah. Perbedaan dan penanda kosong ternyata memberi garis pemisah dalam diskursus.

Karena  yang muncul berupa ‘perbedaan yang tersembunyi dalam kemiripan dan pluralitas menyamarkan dirinya dalam keserupaan, akhirnya menghilang dalam keserbaragaman (multiplisitas)’. ‘Bentuk lain dari kegilaan’ itulah ‘melampaui diskursus atau teks filosofis’. Kegilaan atas kebenaran yang plural dihubungkan dengan non-pluralitas memiliki perbedaan antara ‘bentuk lain dari kegilaan’ dan kegilaan dari sakit jiwa.8  Sementara, non-pluralitas bukanlah unitas dan dualitas, melainkan posisi terakhir dari diskursus, ditandai perbedaan alami dirinya sendiri menjadi perbedaan alami, perbedaan eksternal dirinya sendiri menjadi perbedaan eksternal lainnya.

Pilihan kita pada tatanan lebih memberi alasan bagi orang-orang yang tidak ingin berada dalam ruang kosong, satu sama lain berbicara dalam jalinan yang hanya menentukan jalan yang belum mereka hadapi. Pada satu level yang lebih dalam, pertentangan antara satu sama lainnya, yang renggang, tidak solid, membuat fungsi pembentukan relasi-relasi yang serasi dan terpadu tidak bisa dimengerti. Pada level ekstrim yang lebih jauh, terdapat pertentangan (oposisi) antara identitas dan perbedaan: tidak ada lagi struktur yang sama. “Aku adalah ras superior, selalu dan selamanya”.

Kita tidak mengetahui apakah masuk dalam wilayah diskursus psikiatris atau hanya abal-abal. Ibu, Ayah, Anak, saudara, tetangga, dan teman dalam “satu keluarga global”. Kita atau mereka tidak lagi dibangun dalam hubungannya satu sama lain dalam wilayah homogen, tetapi dalam bentuk plural atau heterogen. Perbedaan besar dan kecil telah berkembang-biak muncul ke permukaan. Daripada kita binasa, lebih baik bergabung dan bersatu dalam perbedaan-pluralitas, sebagaimana orang-orang berada dalam bahasa dan pikiran logis sebagai ruang manusia.

Mungkin juga, kita terlalu percaya pada bentuk-bentuk pertentangan muncul ke permukaan, yang diraba-raba akarnya dari identitas dan perbedaan, dibandingkan saya terlebih dahulu lebih memilih tentang cara berpikir kita.  Kemunculan wilayah diskursus yang dibicarakan lebih sengit sejak kurang lebih satu jam yang lalu mengingatkan kita pada titik ekstrimitas pemikiran tentang obyek-obyek yang tidak dipaksa berada di atas permukaan benda-benda yang plural ketika jejak, tanda, dan celah bisa dihubungkan dengan kelahiran kembali teori ilmiah dan interpretasi ulang filosofis. Perbedaan tidak berkembang ketika tujuan untuk membuka jalan sedikit demi sedikit bagi orang-orang berbicara secara terus terang dalam sebuah ruang kosong. Setidak-tidaknya kita mencoba menjelaskan mengapa ada perbedaan sebagai syarat pembentukan sebuah tatanan.

Seseorang mendengarkan sesuatu, yang sangat dikenal dekat apa-apa yang dibicarakannya, padahal dia sendiri yang membicarakan dan menyetujui apa yang dirinya sendiri tidak mengerti, yang baru saja dibicarakan. Dia bukan menjadi orang yang ‘Sama’, karena orang itu sendiri tidak bisa berbicara mengenai orang di luar dirinya sendiri yang pluralis. Hanya orang itu sendiri bisa melakukan, mengatakan dan memikirkannya, bagaimanapun  juga apa yang telah dikatakannya adalah mustahil dan omong kosong. Efek pembentukan diskursif yang berbeda-beda menyentuh ‘penanda kosong’ dibalik kata-kata.

Kelompok pernyataan yang menjadi obyek diskursus tidak terbentuk lantaran penanda kosong merenggut pikiran seseorang tanpa merujuk lagi pada hirarki ujarannya sendiri; ia berubah menjadi ambang batas perbedaan murni. Ketidakhadiran perbedaan murni berubah menjadi perbedaan-perbedaan lainnya, yang pada akhirnya perbedaan-perbedaan alami, esensial, artifisial, absolut, kecil, dan besar saling memposisikan dirinya sendiri dengan apa yang disebut diskursus filosofis. Kelompok pernyataan tidak menjadi tempat terjadinya relasi antara perbedaan dan kemunculan peristiwa-peristiwa diskursif tertentu (politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi) selama tidak membuka jalan seluas-luasnya bagi pluralitas.

Rangkaian perbedaan dan gagasan yang berlawanan antar kelompok kembali dipluralitaskan secara khusus atau ditangani dengan cara tertentu. Seseorang mencoba menemukan apa maksud dan tujuan pernyataan-pernyataan, seperti seakan-akan berbicara dengan kata-kata tanpa berpikir terlebih dahulu hingga menjurus pula pada tindakan yang tidak masuk akal. Sebagian pernyataan tertulis dan pidato-pidato yang mengandung ‘doktrin kebenaran’ tertentu tidak harus membuat orang berpikir logis; atau dianggap memiliki tindakan yang tidak masuk akal datang dari sebuah doktrin yang sama dibentuk dan disebarkan oleh ideologi konservatisme yang anti pluralitas atau pluralisme di sekitar kita.

Wilayah pembentukan pluralitas tidak bisa menghindari ujaran-ujaran yang memasuki arena diskursus, yang menghubungan doktrin, mencakup kata-kata dari si pembicara dengan individu-individu sebagai pendengar. Setiap pengetahuan tentang pluralitas berada dalam garis pemisah konflik sosial yang ditularkan oleh sosok-sosok ideologis ‘tertutup’, yang berseberangan dengan sosok-sosok epistemologis, yang sama-sama memainkan dan meneguhkan diskursus. Sesuatu hal yang menarik. Pertama, permasalahan perbedaan terlibat dalam kemiripan antara doktrin-doktrin dan diskursus ilmiah dan pengendalian diskursif hanya mengarah pada bentuk atau muatan dari keyakinan dan ujaran yang disebarkan keluar.

Bukan dari si penceloteh atau si pembicara. Dari kelompok doktrinal (ideologi: agama-politik dan filsafat) memiliki daya pikat, yang membuat individu dan jamaah berada dalam kepatuhan doktrinal melalui ‘si penulis dan si pembaca’, ‘si produser dan si konsumer’, ‘si pembicara dan si pendengar’ dengan mekanisme tertentu9. Kedua, wilayah doktrinal bersama strategi dan mekanismenya ternyata tidak memerhatikan lagi aspek nilai maupun diskursus filosofis dan diskursus ilmiah. Dalam perkembangan terakhir, terdapat kemiripan ditunjukkan oleh doktrin ideologis dan genre pemikiran filosofis yang mengarah pada subyektifitas, dibandingkan disiplin ilmiah masih bersifat obyektif. Namun demikian, semuanya beriringan memasuki wilayah pembentukan obyek-obyek diskursus, yang setiap saat bersentuhan dengan rangkaian peristiwa penampilan verbal dan penyisihan ritualisasi kata dengan mekanisme kepatuhan dan penolakan diskursus-diskursus tanpa pernah dicoba diperjelas statusnya.  

Tatanan diskursus bersentuhan dengan satu sistem sosial tentu saja berbeda dengan diagnosa penyakit dalam diskursus kedokteran, yang tidak mereduksi patokan-patokan keilmiahan sejalan dengan nalar positivitas yang ditopang oleh metode verifikasi. Mungkin, di tengah ketumpang-tindihan masih terdapat relasi ideologi terhadap ilmu pengetahuan, yang dituntut keterlibatannya dalam krisis demi krisis tanpa perbedaan maupun permasalahan pluralitas yang membayanginya.

Permasalahan pernyataan dan pandangan negatif bisa jadi tidak dipluralitaskan pertentangan, yang membentuk ulang diskursus lain, kecuali ditemukan kembali ucapan-ucapan yang tidak ada titik akhirnya, yang gaungnya didengar dan diterjemahkan oleh orang. Kelompok pernyataan dan pemikiran bersifat inklusif berseberangan dengan kesatuan doktrin ideologis bersifat eksklusif tentang ‘kehidupan tanpa perbedaan’ tidak lebih sebagai paradoks yang dimainkan.

Sayangnya, doktrin kebenaran tidak seiring praktek diskursus, karena kelompok pernyataan dari kesatuan doktrin ideologis juga tidak mudah dimengerti dalam diskursus ilmiah sejauh tema-tema perbedaan dipertajam muatannya dalam pluralitas obyek, yang relasi-relasinya melibatkan diskursus filosofis. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pembentukan diskursif kita akan menemukan konsep tanda, yang setiap aspeknya ditentukan oleh sejauh mana peristiwa terjadi dalam relasi antara diskursus ilmiah dan ideologi.

Penggunaan diskursuslah memberi ruang yang cukup bagi ideologi, yang dideskripsikan melalui diskursus kimia dan ekonomi pasar, sekalipun kata-kata yang diartikulasikan dari produk kemasan tidak ditopengi oleh kebenaran, obyektifitas dan tidak memiliki konflik. Satu pihak, kemunculan wilayah diskursif tidak berkurang dan hilang pada saat pluralitas yang dilihat sebelah mata dan dipertentangkan oleh individu-individu sebagai subyek yang berbicara sesuai doktrin kebenarannya. Pihak lain, kita tidak menangani kontradiksi konsep dan pilihan-pilihan pluralitas.

Ketidakhadiran pluralitas bisa dipermasalahkan oleh ilmu pengetahuan selama masyarakat mendapatkan penjelasan yang berat sebelah tentang kemunculan ujaran-ujaran yang hanya teridentifikasi sebagai sebuah mekanisme penyampaian, susunan dan pembentukan obyek-obyek diskursus yang dinilai artikulasinya berbahaya. Selebihnya, pluralitas diperhadap-hadapkan pada individu-indvidu yang terhimpit ditengah permasalahan kemungkinan atau ketidakmungkinan terjadinya kepatuhan doktrinal, yang muatan-muatan dan eksistensinya dibentuk oleh diskursus bersifat destruktif10 bagi pengetahuan atau pemikiran dan kehidupan.

Pada sudut pandang yang lain, seseorang harus maju ke depan beberapa langkah dan harus berbicara selama huruf, angka, tanda, dan jejak masih ada, hingga mereka itu menghinggapinya. Biarkanlah seseorang berbicara sepatah dua kata atau plural! Mungkin kata-kata yang dibentuk dalam wilayah diskursus telah diucapkannya, yang membuat seseorang berhasrat untuk bangkit dari tidur panjangnya gara-gara hanya pada satu kata, terulang-ulang dan terngiang-ngiang dalam ingatannya. Kata-kata yang dibebaskan dari kebenaran yang Satu menjadi Banyak, plural dalam nama-nama, tempat dimana sifat-sifat yang berbeda dimuatinya dalam kelahiran kembali. Tetapi, semakin menjauh dari ingatan, maka semakin tergerus pula hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Kita tidak perlu berhasrat untuk mempertontonkan semuanya itu melalui satu identitas, bentuk, medium, atau diskursus tunggal belaka.

Dalam kenyataannya, hasrat individual akan kebenaran yang mempososikan dirinya sebagai pencetus tunggal menggebu-gebu merupakan langkah awal tentang pemaksaan kebenaran. Suatu mekanisme pengelompokan diskursus tentang kebenaran perlu ditopang oleh ketersediaan ruang penerapan pengetahuan melalui riset, pengamatan dan analisis terhadap isu-isu yang berkembang hanya dapat dibicarakan secara bebas dan dinamis dalam masyarakat demokratis. Dari sanalah mereka ditawarkan semacam pembicaraan seputar tema-tema pluralitas bersifat inklusif dan cair tanpa menina-bobokkan dirinya dengan permasalahan proposisi-proposisi dalam perbedaan.

Kita percaya atau mungkin kita tidak berpikir tentang bagaimana diskursus menggoyahkan kelompok kata-kata yang dibicarakan dalam lingkaran anti pluralitas, seperti kepicikan pikiran. Kita juga tidak percaya, jika kekuatan yang tertancap pada diskursus bukan membicarakan diri kita sendiri. Kita tidak sedang berpikir tentang cara mengetahui perbedaan dalam diri kita sendiri, karena titik ujaran-ujaran paling banyak kita hadapi dengan alasan logis yang saya kira justeru menjadi tidak penting dan tidak jelas hingga sekarang perbedaan yang dicari tidak pernah gagal menopenginya. Pada suatu saat kebenaran tidak muncul ke depan mata kita, kecuali momentum kebenaran yang sudah sejak lama dimainkan untuk menyinari wilayah abu-abu sebuah obyek diskursus.

Kegilaan berpikir mengenai obyek diskursus yang dibicarakan berulang-ulang dan plural akan menentukan apa muatan atau maksud dari teks yang hilang dan kadangkala ujaran-ujaran muncul menggeser posisinya. Penolakan mentah-mentah terhadap pluralitas dan pluralisme tidak lebih dari sekedar pengulangan ujaran-ujaran kembali yang dibentuk oleh diskursus. Apapun nama dan obyeknya, terlibat atau tidak, ia tetap dicari oleh hasrat untuk mengetahui yang tidak pernah asal berkoar-berkoar begitu saja dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari.

Akhirnya, teks-teks ekonomi yang dibicarakan telah diperhitungkan, ketika manusia muncul sebagai jenis makhluk misterius, yang memiliki kebutuhan dan hasrat, berusaha untuk memenuhi kuasa, cita rasa untuk menentang kebenaran, dan karena itu memiliki kekayaan, kepentingan untuk bebas dari penghancuran kreatif melalui kemiskinan yang tidak dimimpikan. Singkat kata, diskursus yang telah memasuki wilayah pertentangan dengan manusia lain akan tetap diucapkan dan terus menerus dibahas. Hal-hal yang tidak ada habis-habisnya diperbincangkan sebagai titik kritis dari diskursus, yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan resmi atau forum dialog akan hilang seperti asap yang terbang melampaui asal-usulnya.

Dalam cara yang berbeda ketika kata-kata hanya semacam daya tarik, yang tidak disadari oleh orang-orang ternyata membuat mereka telah berada dalam kekosongan praktek diskursif. Demikian pula saat pembentukan teks-teks keagamaan, teks-teks ilmiah dan seperti teks-teks lainnya muncul untuk menengahi igauan dalam mimpi-mimpi individu berupa ketidakpatuhan terhadap manusia plural, yang digantikan dengan kesatuan formal dan eksklusifitas atas kebenaran. Ketika diskursus yang disubyektifikasi dalam ujaran-ujaran si pembicara membuat sosok-sosok pluralitas tidak habis berpikir bagaimana suatu mekanisme doktrinal yang dimainkannya tetap diterima sebagai bagian dari ekspresi perbedaan.

Mereka bukanlah bentuk pemaksaan doktrin kebenaran. Doktrin seperti ujaran-ujaran dari mana saja kemunculannya berubah menjadi tanda, sekalipun dalam situasi konflik atau kontradiksi nampaknya tidak dapat dikurangi. Kaum pluralis menghindari konflik-konflik apalagi kekerasan, mereka tidak melarikan diri dari kenyataan atau menggantikan pengetahuan pada sistem doktrin sebagai kaki tangan politik, yang mencampuri atau mengutak-atik diskursus. Paling tidak dalam skala yang lebih luas dan untuk sementara waktu, kita bisa menyadari celah besar yang terdapat dalam kontradiksi dan menenangkan konflik, dimana setiap individu memiliki akses yang lebih terbuka menerima perbedaan dalam suatu diskursus. Kita percaya, bahwa paling menantang bagi kaum pluralis adalah rangkaian-rangkaian pernyataan, susunan dan kelompok obyek di bawah sebuah doktrin, yang membentuk penyisihan atau penegasian diskursus, selanjutnya membentuk hirarki antara penulisan dan pembicaraan, yang membisikkan pada kita tentang dunia impian.

Suatu realitas yang mereka ingkari ketika dunia impian terdapat ketakutan tersembunyi di balik penampakan wujud ideal. Bentuk pertentangan datang dari efek pengisolasian dirinya yang berubah dari dunia impian menjadi sebuah “tembok raksasa”11. Penampakan mimpi dan fantasi yang dihadapi oleh kaum pluralis dalam peristiwa-peristiwa diskursif. Benda-benda kadangkala telah terucapkan di seantero dunia mimpi, fantasi, dan kata-kata, yang telah membisikkan tanda kebenaran tunggal, satu metode pembacaan dan penafsiran teks-teks.

Mulai dari awal mula pembentukan obyek diskursus ilmiah dalam pemikiran psikologis dan sosiologis, dimana jejak-jejak memberi nama dan bentuk pengingkaran atas realitas yang berusia tidak muda lagi (pluralitas, perbedaan). Kita tidak khawatir apakah tema-tema ilmu pengetahuan dan filosofis tertentu menjadi tidak sesuai dengan aturan main negara bersifat regulatif melalui normalisasi, pembatasan dan penjinakan ujaran kebencian dan tindakan intoleran antar manusia. Tema-tema filosofis juga dianggap tidak cocok, karena pilihan ke arah sana dibalik penampakan obyek, kecuali kekuatan doktrin kebenaran yang menggiringnya pada hanya satu pilihan mereka. Pluralitas dengan menjadikan dirinya lebih plural dan semakin plural dari sisi tawaran, yang dari sisi terluarnya dijajaki kemungkinan ada wilayah diskursif.

Ketika sistem keterbukaan terisolasi,  bentuk-bentuk aturan main tertutup, ketika norma ditempatkan pada pilihan bebas mereka, maka bidang pemikiran menemukan dirinya sendiri dalam pembentukan relasi-relasi, kelompok obyek, dan rangkaian pernyataan. Relasi-relasi antara filsafat tentang asal-usul dan pengalaman terhadap kekerasan, filsafat tentang mikrokosmik: hasrat, ingatan, selera, dan imajinasi maupun teori-teori ilmiah tentang ruang makrokosmik begitu sangat menakjubkan. Tiba-tiba, hal-hal tersebut tidak lagi dibenturkan dengan dikotomi nilainya yang terdahulu. Suatu momentum bagi orang-orang, yang kemungkinan untuk bisa berpikir dan berbicara kembali tentang peristiwa dan konsep yang terkait dengan kesatuan pluralitas sebagai selipan peristiwa diskursif yang belum hidup.   

Kesatuan pluralitas seakan-akan mereduksi dan memanipulasi: (1) Prinsip perbedaan. Dalam prinsip perbedaan, selain memiliki jarak dari kita begitu dekat dan disamping kemunculannya, ekstrimitas bahasa analitis, keilmiahan dan interpretasi filosofis mengelilinginya. Tetapi, mereka juga bukanlah bentuk dan tujuan pertentangan atas konsep pluralisme dan pluralitas, yang suatu saat ia digantikan oleh tanda-tanda dan jejak-jejak yang terpantul dari sebuah ‘cermin perbedaan’ tanpa diberikan kedok demi sebuah tatanan diskursif. (2) Prinsip keterbalikan, ditandai ketika kita mengatakan pada orang, ketika kata-kata dan benda-benda menawarkan pada kita daya pikat lebih dari pada konflik kepentingan bersembunyi dibalik aktifitas di siang hari, karena ditolak dibicarakan dan diinterpretasikan dalam diskursus filosofis dan dianalisis ulang melalui disiplin ilmiah di hari-hari lain.

Saat kita menduga menurut identitas atau tradisi, bahwa kita tidak atau belum mengetahui dimana peristiwa diskursif muncul, prinsip-prinsip yang ada dibalik kelahiran hasrat untuk pengetahuan, maka kita harus menegatifkan kebenaran menuju kebenaran lain yang ditopengkan sebelumnya. Prinsip keterbalikan mengulang kembali bentuk-bentuk pembatasan, pengecualian, dan penyisihan diskursus terhadap tema-tema dan kinerja verbal yang dimilikinya. Para pembicara dan penulis selalu dikaitkan dengan kata-kata bersifat terbuka dan benda-benda plural yang dimuatinya. Mereka terus menerus memperluas identifikasi peristiwa tertentu dengan titik tolak penentuan rangkaian tidak berujung, bentuk-bentuknya yang berbeda kadangkala pergi tidak beriringan, dan tidak saling merujuk pada batas terakhir dan syarat-syarat kemunculannya.

Ucapan-ucapan dan teks-teks membentangkan ambang batas diskursus, lalu pada suatu saat  kekuatan tidak tertancap lagi pada diskursus lain. Diskursus adalah bukan hanya diagnosa, tetapi juga urutan ucapan dan teks tersebut telah ditentukan oleh obyek-obyeknya, yang keluar dari titik kemunculan identitas. ‘Aku’ sedang berbicara tentang bagaimana kita berpindah dari masyarakat yang terisolasi sebelum ‘Aku’ terbebani makna serta pengaruhnya disangkutpautkan dengan teks tertulis yang disusun oleh pengarang. Aku percaya apa yang dikatakan orang dalam menanggapi ucapan dengan kaidah-kaidah untuk mengatur diskursus.

Tetapi, Anda sekarang masih berbicara tentang sikap toleransi sebagai peristiwa diskursif yang dibicarakan dan ditulis oleh pengarang dalam kelahirannya kembali. Anda kemudian tentu akan menata berpikir dan berbicara tentang kerumitan apa yang dimaksud oleh Martin Heidegger setelah kematiannya, yang juga berbicara tentang ciri-ciri yang melekat pada individualisasi sekaligus mengisolasi ‘Aku’ sebelum mencari cara untuk mengakhiri ‘sang Lain’12. Jadi, mau tidak mau kita harus mengatakan benda-benda kosong ternyata paradoks yang tidak bergeser dalam kelompok pernyataan, yaitu apa yang telah dikatakan dan diulang-ulang pada kepentingan hidup bersama diperlukan pluralitas dalam ‘Aku’ yang bersinergi dengan ‘sang Lain’.

Kata-kata tertentu pun tidak pernah berhenti untuk memiliki pertentangan dari apa yang telah dikatakan. Terciptanya riak yang tidak berujung pangkal dari ujaran dipancing oleh doktrin kebenaran berlindung di belakang pengulangan-pengulangan. Dari sebuah masa penantian panjang, tidak ada yang dapat menentukan kapan berakhir pertentangan, selain apa-apa yang telah terdapat titik temu pernyataan-pernyataan secara tulus untuk mengatasi kebenaran yang bertopeng dalam aktivitas sehari-hari. Titik temu yaitu perbedaan-perbedaan ada dalam pengulangan dan keterbalikan berusaha untuk mencegah ujaran-ujaran kemungkinan kata-kata menuju pembentukan diskursus tandingan.

Ujaran-ujaran memberi kita kesempatan untuk berbicara dan menafsirkan apa yang dimaksudkan di luar teks tertulis itu sendiri. Tetapi, terdapat syarat dimana kita mendengarkan berbagai ujaran setelah tertata dalam teks dan dikatakan belum berakhir. Pluralitas yang terbuka atau inklusif terjadi secara tidak alami dipindahkan oleh prinsip perbedaan dan prinsip keterbalikan, dari hal-hal yang pantas dibicarakan ke arah citra artifisial dan jejak-jejak digital. Kata-kata dalam teks tertulis dibantu oleh teks lain sesudahnya. Alur-alur dan bentuk-bentuk penyampaian hal-hal memungkinkan masuk dalam obyek diskursus bukanlah apa-apa yang bisa diucapkan, tetapi terletak dalam relasi-relasi kemunculan perbedaan nampak berulang-ulang.

Kata-katanya yang terserap dalam indentitas tidak masuk hitungan pengulangan yang menyentuh permasalahan-permasalahan yang kita hadapi dalam situasi saat ini nampaknya tidak tertarik lagi dibicarakan oleh kelompok pernyataan ideologis yang ekstrim. Mereka sering berbicara: “Aku tidak masuk dalam tatanan diskursus yang memparadokskan kehidupan tanpa perbedaan”. Tidak ada yang dapat Aku bicarakan dan pikirkan selama pluralisme dan pluralitas melihat relas-relasi antara dominasi dan subordinasi, ketertindasan dan yang menindas manusia secara kasat mata, lebih dari apa yang Aku impikan begitu mendalam dan satu per satu muncul dengan membawa kebenaran. Apa yang kita inginkan hanyalah membiarkan diri kita untuk tetap menolak kelahiran kembali dari perbedaan tanpa tipu muslihat di dalam dan di luar diskursus.    

Dalam titik awal kemunculan komitmen hidup bersama dan dalam sinergisitas, ia berbicara: “Aku manusia”, “Aku biomesin”. Manusia dan biomesin apa? Sang Lain. Perbedaan kecil “Aku makan, Aku berpikir, Aku berimajinasi”. Sang Lain dalam hal perbedaan dirinya sendiri. “Aku” melibatkan “sang Lain” untuk menyatukan dan memisahkan perbedaan. Makan dibutuhkan oleh seseorang mirip kucing, kecuali obyek warna. Berpikir dan berimajinasi meletakkan perbedaan antara manusia, binatang, dan obyek warna. Manusia menjadi “sang Lain-Plural” muncul dibalik “Aku-Plural” dalam relasi bolak-balik, yaitu relasi antara yang ‘Sama’ dalam ‘berbeda dirinya sendiri’, dalam perbedaan yang setara. Dalam relasi bolak-balik, Aku telah berbicara jelas untuk menghargai sang Lain dalam perbedaan sebagai bagian inti dari pengulangan identitas. Individu sebagai “Aku” tidak percaya terhadap sikap intoleran atau ujaran kebencian dalam hirarki ujaran antara satu dengan sang Lain. Anda tidak perlu khawatir dengan perbedaan tersebut, kami hadir bersama Anda dalam kenyataan, bahwa manusia berpikir dan berbicara, yang membuat mereka dapat hidup bersama. Meskipun membosankan dalam kemonotonan, hampir dapat dibicarakan oleh Anda sendiri untuk mematahkan ujaran-ujaran yang memecah-belah dan kita tidak terkejut jika pintu-pintu terbuka untuk kita semua.

Untuk menandai subyek keluar dari hirarki lisan menuju tulisan di sekitar kita, jejak dalam pengulangan bentuk-bentuk pertanyaan. Siapa yang memulai kebencian? Datang dari mana aura kekerasan? Kapan persaudaraan lahir? Siapa subyek dan obyek, Aku ataukah sang Lain? Dimana letak ancamannya di situ? Dari sekian kali, kita masih akan melibatkan pengulangan perbedaan identitas, yang menghilang dalam seluk beluk tanda pluralitas berpindah pada ujaran-ujaran tidak terpisahkan dalam penampakan wujud-wujud ataupun sirna kembali. Terhadap orang-orang yang seringkali heran agar meluncurkan kata-kata yang sama dalam ucapan dan teks.

Efek kata-kata yang sama bisa mempersembahkan rangkaian ketumpangtindihan makna-makna asali dan aktual yang berbeda dari ucapan atau teks. Dari makna-makna yang berbeda tersebut diusung ke orang-orang yang berada di luar ambang batas ucapan dan teks melalui relasi antara Aku dan sang Lain berubah dalam sinergi-kolaborasi yang bersentuhan dengan tanda plural. Keduanya bukan makna yang dibentuk oleh wilayah konflik dan kekerasan lainnya menjadi makna-makna yang berbeda dan berubah perlahan-lahan dari individu. Begitu banyak ucapan dan teks dalam relasi antara penulis dan pembaca diantara perbedaan kecil dan besar dengan makna dan pengaruhnya tidak bisa dilenyapkan, sekalipun peran si pembicara dan si pendengar tidak bisa disalingtukarkan agar wilayah diskursus bisa kelihatan.

Sudah tentu orang akan berbicara bahwa saat ini semua peristiwa belum berakhir atau dalam proses penentuan batas-batas peristiwa semakin dibicarakan atau pengalihan batas-batas terakhir dari penampakan. Kita malah lebih berinteraksi dengan permasalahan-permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang, tatkala Anda mendengar seseorang berbicara tentang toleransi dan meminta pada orang yang sama untuk tetap merawat hidup bersama dalam relasi eksistensi individual dan kolektif. Aku kembali sadar akan hal pilihan perbedaan paling beralasan betapa tanda kedamaian identik dengan kemurahan hati bersama menjadi wilayah diskursus menghadirkan penampakan wujudnya dalam diri individu-individu.

Ketika Aku dalam relasi timbal balik dengan sang Lain berusaha untuk memperluas wilayah penampakan wujud yang plural, dimana bentuk kemurahan hati sesuai dengan ‘alasan untuk hidup bersama dalam perbedaan’, yaitu dimulai dari perbedaan doktrin filsafat, keagamaan, politik, dan keilmiahan. Anda tidaklah lebih banyak menyia-nyiakan waktuku sendiri dalam rangkaian proses pembentukan batas-batas terakhir dari peristiwa, yang tidak bisa kulampaui dengan hasrat untuk berbicara dan berpikir dalam perbedaan. Ucapan dan teks, yang saling menopang dan mengisi dengan toleransi, dimana penampakannya adalah syarat, dan yang telah dipikirkan telah tuntas sebelum mengarungi hidup bersama di tengah gelombang ujian, terjal, penuh lika-liku kehidupan.

Perbedaan bersama toleransi adalah ‘alasan paling kuat’. Aku meninggalkan pertemuan resmi ini yang menyediakan ruang untuk saling berpikir, berbicara dan saling mendengarkan tentang ‘makna yang berbeda-beda’ dalam forum dialog. Kesepakatan umum mengatur kata-kata untuk hidup bersama dengan Anda di rumahku. Jangan lupa bahwa bukan saja di sini adalah rumahku, tetapi paling penting bagaimana bentuk pembicaraan tersebut diwujudkan dalam penampakan betul-betul ada dan solid di luar rumah kita, dalam situasi dan tempat apapun. Karena itu, kita tidak bisa membayangkan bahwa dunia yang kita ucapkan adalah dunia kita sendiri, yang hadir di hadapan kita saat ini terjadi penampakan wujudnya sebagaimana yang kita lihat. Selebihnya, bagaimana mengelolah dunia yang membuat eksistensi eksternal kita bukanlah hidup sebatang kara.

Syarat-syarat perbedaan juga hadir di hadapan kita itulah yang menentukan rangkaian relasi-relasi antara tanda kehidupan yang tidak bisa diselesaikan dengan ujaran-ujaran dan wilayah diskursus yang menentukan batas-batas peristiwa pada saat kita telah berbicara secara terbuka. Dibalik keputusan institusional, ujaran orang, konflik, kekerasan kata, dan tulisan atau penghargaan atas perbedaan, di benak orang tidak terlalu yakin, bagaimanapun juga subyek pembicara meyakini doktrin kebenaran hanya bekerja dalam satu arah saja, yaitu kebenaran dari dan untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, dalam persfektif Derridian, kaum pluralis melihat doktrin dengan makna-makna yang tersedia tidak selalu pasti dan stabil.

Bagaimana kita memperluas wilayah peristiwa-peristiwa dan terus menemukan lapisan-lapisan realitas, jika satu atau lebih banyak makna muncul di depan kita, suatu makna yang kosong dari efek kenampakan. Peristiwa bukan hanya bersifat lahiriah, tetapi juga hal-hal yang tersembunyi, sehingga individu yang berhadapan dengan Aku dan sang Lain merupakan penggalan-penggalan yang tidak mampu kita baca secara keseluruhan. Perbedaan itu perlu ditarik benang merahnya yang bukan untuk mencari persamaan dari sesuatu yang imanen, murni dan kosong, melainkan pembentukan relasi-relasi yang menciptakan garis-garis konsekuensi dan jejaring sirkular mekanis, yang bisa muncul ke permukaan sebuah penghubung antara pengulangan yang terpadu dan pikiran kita.

Dilihat dari kenyataan lain apa yang dipahami tidak dapat diselipkan dalam peristiwa ide-ide yang dituntut kemunculannya secara eksplisit. Di sini kita akan menemukan unsur pluralitas diri yang subyektif diantara unsur heterogen, dari ujaran-ujaran atau pernyataan-pernyataan, yang dia tandai sebagai sesuatu yang melampaui ruang dimana dia berbicara. Heidegger melihat “Aku di sini” dialamatkan secara eksplisit oleh Dasein, mencekoki spasialitas individualnya13 sendiri dari suatu jejaring relasi-relasi bernama basis material dari setiap kali kita berbicara atau menulis. Entah itu kita berbicara di atas mimbar, di belakang meja, di depan khalayak atau teman-teman sendiri.

Begitu pula aktivitas menulis di depan layar baru: virtual-digital atau di atas meja dan sejenisnya. Terdapat kemungkinan akan terjadi proses pembenaran atau penolakan atas ujaran-ujaran, dari bentuk-bentuk dan obyek-obyek diskursus yang dinilai usang oleh si pembaca atau si pendengar dalam ruang lingkup yang lebih luas. Kata-kata yang diartikulasikan oleh seseorang di saat berbicara dan dimaterialisasi dengan cara menulis adalah salah satu kesenangan tersendiri. Akan tetapi, kuasa seseorang melalui pikiran dan hasratnya dalam teks Immanuel Levinas, Time and The Other meletakkan “sang Lain adalah apa yang bukan Aku diriku sendiri”. Lanjutnya, “sang Lain ini adalah bukan sebab dari karakter, atau fisiognomi, atau psikologi sang Lainnya, melainkan perubahan dari sang Lain itu”14.

Di sini terdapat keterserakan teks yang terjadi dalam peristiwa diskursif menandai setiap celah wilayah kemunculan penyampaian, bukan menyangkut pertentangan antara satu sama lain15, tetapi bentuk-bentuk pluralitas di sekitar kita, yang harus berada pada semua jalur. Meskipun individu-individu masih bercokol dalam wilayah ontologi keanekaragaman, tetapi perbedaan sulit menangani ranah eksistensi individualnya sendiri sebagai rangkaian relasi-relasi diskontinu dengan benda-benda plural. Tetapi, semuanya merupakan kata-kata bersifat diskontinu dan penggalan-penggalan yang terputus-putus tidak bisa dikelompokkan dalam tanda sebagai subyek yang dadakan dan berserakan.

Kemunculan peristiwa yang berada di luar diri eksistensi individual membatalkan satuan-satuan terbesar yang dijajaki, diketahui dan ditepis secara referensial pada kata-kata dan subyek yang berbicara dalam ruang kosong sebelum terproses pengisian ulang pikiran, pilihan, dan hasrat untuk pengetahuan. Saat ini dengan segala rupa sebagaimana kita lihat, jangankan lapisan-lapisan baru, wilayah penampakan obyek-obyek (pendidikan yang membebaskan, kesehatan dan ekonomi yang menyejahterahkan atau kebebasan berbicara tanpa saling menghancurkan) sirna ditelan bersama dirinya sendiri ketika kelompok pernyataan lain yang terlebih dahulu memiliki kuasa dan pengetahuan tidak bisa dikontrol oleh diskursus.

Karena rezim diskursus itu juga sistem kuasa dan pengetahuan. Pertemuan-pertemuan resmi akan menghilang dalam diskursus yang telah diucapkan dengan cara yang berbeda saat kemunculannya. Hal ini terdapat kemungkinan terjadi pada bentuk-bentuk diskursus yang masih menyentuh pluralitas obyek yang telah dibentuknya, bukan pluralitas subyek yang berpikir yang bersembunyi di balik ‘jurang perbedaan’ secara leluasa bisa dibicarakan. Misalnya, “sang Lain adalah lemah, miskin, “janda dan yatim piatu”, sedangkan Aku yang kaya atau berkuasa”16.

Aku tergantung pada diriku sendiri, sang Lain juga tergantung pada dirinya sendiri, keduanya terlibat dalam relasi-relasi sebuah ‘sistem kehidupan bersama’ menggantikan ruang intersubyektif. Salah satu dari keduanya bukanlah menifestasi kebencian atau kekerasan antara satu dengan lainnya. Orang tidak lebih khawatir dalam melihat dunia, ketika semuanya terbalik dari kenyataan yang sesungguhnya, ditandai bukan penolakan kebencian atau kekerasan, melainkan kelenyapan relasi timbal balik yang terbentuk sebelumnya.

Setiap pertemuan yang tidak tersyaratkan, individu dibukakan jalan menuju rumahku adalah sang Lain itu sendiri sebagai Aku. Sebaliknya juga demikian. Ketidakhadiran masa depan terjadi saat sang Lain memposisikan diri dan lainnya sebagai sang Lain, subyek yang sama atau Aku sebagai Aku. Satu keputusan yang disepakati merupakan keputusan bersama, bukan keputusan sang Lain atau Aku di tengah pluralitas yang tidak bisa dihilangkan. Pada menit-menit terakhir, Anda yang menolak keputusan dengan cara menarik ‘subyek yang berbicara’ keluar dari ruang pertentangan.

Apapun yang terjadi dari pertemuan-pertemuan tidak luput dari interaksi antara perbedaan makna-makna yang muncul dan ucapan serta teks. Keputusan apapun dari yang lebih tua atau yang muda, lebih berpengetahuan dan yang awam memiliki tanggungjawab di hadapan peristiwa penting dalam hidup mereka. Ketika keinginan kita untuk mengetahui syarat-syarat yang diperlukan menuju jalan hidup bersama, sekalipun dianggap mustahil melalui usaha-usaha pencarian titik celah perbedaan ditolak dalam kehomogenan.

Sementara itu, pembentukan obyek-obyek diskursus sendirilah mengambil arah memutar balik ke titik tolak ‘pembentukan rangkaian perubahan tanda kehidupan’, dari akar tempat dia tumbuh dan berkembang dengan cara berpikir berbeda. Kita juga melihat proses permulaan kembali sebagai pengulangan dalam ketidakhadiran bentuk, dibandingkan rangkaian-rangkaian paradoks hidup tanpa perbedaan, yang ternyata kita sadar belum diucapkan. Hanya jejak-jejak peristiwalah yang bisa dilacak melalui catatan-catatan resmi, arsip-arsip atau dokumen-dokumen, bahwa ternyata sejak dulu terdapat tatanan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari sini, diakui atau tidak, begitulah kenyataannya.

Meskipun bukan satu-satunya cara, rangkaian-rangkaian peristiwa yang tercatat, terbukukan atau terdokumentasikan berfungsi untuk menyegarkan kembali ingatan kolektif. Kita juga sadar, meskipun sesungguhnya yang akan diingat tidak bisa direlevansikan pada situasi saat ini sebagai ruang pembacaan, setidaknya orang-orang akan mengetahui dan mengembangkan beberapa jalan yang akan mereka tempuh. Setelah diingat kembali, peristiwa yang dialami orang akan berusaha mentransformasikan dengan langkah-langkah ke depan melalui rangkaian relasi-relasi. Peristiwa yang dibicarakan bukanlah jejak-jejak yang ditinggalkan manusia lalu ditarik kedalam perbedaan melalui ruang pengulangan yang dibentuk sebelumnya.

Apa yang kita bicarakan sebagai babakan pendahuluan menuju ruang pertemuan bersama tanda-tanda titik terang sebagai bagian dari usaha untuk meredakan konflik antara pembentukan ulang representasi logis’ dan struktur bahasa. Apa yang dimaksud dengan pembentukan ulang representasi logis dan struktur bahasa adalah ruang manusia untuk mempertanyakan seluruh disiplin ilmu yang ditandai oleh rangkaian relasi-relasi metode ilmiah dari pikiran— deduksi dan persepsi inderawi— induksi maupun penafsiran baru atas teks-teks berhadapan dengan kompleksitas permasalahan yang kita hadapi saat ini. Disinilah validitas kebenaran harus diuji.

Dalam rangkaian relasi-relasi dan pembentukan keserbaragaman diskursus melalui ucapan dan teks tidak bisa lari dari kenyataan atas Aku dan sang Lain sebagai pengulangan sintesis a priori17, yang validitas obyektifnya dari representasi yang plural (intelek, persepsi inderawi, hasrat, dan imajinasi). Representasi semakin sering diucapkan, semakin ada kemungkinan terjadi pembentukan rangkaian relasi-relasi yang tidak terputus-putus. Jika terjadi peristiwa bersifat ‘dadakan’, yang diperankan oleh anak gadis, tersenyum di tengah kesedihan yang menimpanya. Anak gadis itu seperti manusia lain hidup dengan latar belakang dan identitas yang berbeda dengan lainnya di muka bumi.

Kini, seekstrim-ekstrimnya pertentangan antara satu dengan lainnya,  perbedaan sebagai kenyataan yang kita hadapi bukanlah penampakan horor atau monster. Bahasa yang digunakan oleh anak gadis bisa diurai, dianalisis, dan dideskrispsikan melalui disiplin ilmu pengetahuan, akhirnya semuanya tertuju pada pembentukan obyek-obyek diskursus. Dari situlah juga terjadi proses pembentukan rangkaian relasi-relasi antara kenyataan yang dihadapinya dan representasi yang tersuguhkan di depan kita. Fakultas hasrat melibatkan psikologi: “Aku damai, Anda bahagia”, “Aku bersalah, Anda memaafkanku”.

Dalam Writing and Difference, Jacques Derrida mencoba mengkorelasikan rangkaian pernyataan-pernyataan afirmatif tentang keserbaragaman diskursus, “bahwa penduduk terdiri dari berbagai macam latar belakang secara epistemologis, ontologis, dan fenomenologis, yang berusaha untuk tidak terjadi kebungkaman di bumi”. Dia percaya pada ruang komunikasi, yang tidak lebih dari partikularitas dari ruang manusia. Derrida menyatakan “wajah“18 sebagai konsep dari Levinas bukanlah sejenis bentuk yang terulang dari dunia ini19. “Aku tidak mungkin berbicara dengan sang Lain, membuat sebuah tema sang Lain, mengucapkan sang Lain sebagai obyek dalam akusatif”20.

Mungkin juga tidaklah berlebihan, jika pluralitas obyek sedang menuju ke obyek a priori, dan obyek a priori menyediakan dirinya sebagai bagian dari obyek diskursus. Obyek pluralitas dan obyek perbedaan bisa jadi merupakan bagian dari obyek a priori, sebagaimana kita tidak perlu khawatir pada keserbaragaman diskursus seiring dengan keserbaragaman inderawi. Seseorang mengajukan satu pertanyaan. Mungkinkah pluralitas obyek sesuai dengan representasi obyek (intelek atau indera)? Orang memiliki hasrat untuk hidup bersama dalam perbedaan juga suatu kekuatan dari sintesis a priori.

Kita masih bisa mengajukan pertanyaan berulang-ulang tentang rangkaian relasi-relasi tertuju pada representasi subyek yang dikaitkan dengan disiplin psikologi dan representasi obyek dengan disiplin ekonomi atau diskursus medis. Akan tetapi, setiap ide tentang pluralitas memiliki bentuk logis tidak bisa disamarkan oleh prinsip pengulangan dan dibingungkan oleh diskursus ilmiah seperti disiplin psikologi, ekonomi, dan lainnya. Kita masih terus maju beberapa langkah dan terus mengontrol cara berpikir dan berbicara tentang perbedaan sebagai anugerah. Terlepas senang atau tidak, kita tidak bisa membiarkan kedok menutupi kenyataan atau noda apapun yang melekat pada wujud kehidupan, yang menjadi bagian dari kita sendiri.

Saudara, teman, dan tetangga, musuh atau mereka bukan musuh. Karena kita semua terdapat proses pembentukan relasi-relasi. Untuk apa kita banyak berbicara, sementara keharmonisan dan kemurahan hati sebagai syarat toleransi dirusak oleh kebencian merajalela antara manusia. Pada orang yang sama berbicara dengan dia dan membebaskan bahasa: “Aku” adalah dia. Aku hidup, dia sendiri adalah sang Lain melalui “Kita Semua”. Kalimat seperti: “Kita telah menunjukkan bawah ‘Satu’ adalah bukanlah sang Lain dan subyek tunggal”, dalam ruang bersama secara sadar atau tidak sadar telah melibatkan pernyataan-pernyataan yang syarat ucapan dan teksnya sangat situasional, jika bukan dikatakan kontekstual yang tidak tersyaratkan.

Dia bertahan pada situasi keindependenan eksistensi yang tidak perlu dimunculkan oleh individu-individu yang sama saat Aku adalah dia, yang berbicara baru saja berlalu dari sini. Syarat-syarat yang diajukan sebagai rangkaian relasi-relasi yang masih dibicarakan tidak sedikit jumlahnya. Apapun alasan yang kita ingin bicarakan dan dimanapun berada, Aku adalah dia dan sang Lain sebagai subyek atau obyek tidak lagi dalam pengulangan yang sama, tetapi dalam yang berbeda. Dalam teks Difference and Repetition, Gilles Deleuze menandainya di ujung kalimat: … “dan dimanapun sang Lain dalam pengulangan yang sama”21.

Aku dapat menerima kenyataan bahwa orang-orang harus tegar dan berlapang dada dengan diskusi tentang pertentangan yang menyita perhatian di mana kita bicara saat ini. Kelihatannya, perbedaan terjadi antara kita terhampar dalam permasalahan, acapkali kita tidak mengetahui dari mana kemunculan inti perdebatannya dan tidak jelas ujung pangkalnya. Seperti Anda mengetahui, jika Aku tidak terlalu tertarik dengan eksklusifitas. Tetapi, akhir-akhir ini, Aku tidak jarang mengajak pada Anda semuanya. Marilah kita menikmati permainan kecil dari perbedaan besar! Anggaplah saja setiap peristiwa yang menegangkan merupakan bagian dari hiburan untuk melepas penat dan beban pikiran kita sendiri yang pernah Anda ucapkan. Deleuze tidak jauh beda dengan Derrida, tanda-tanda kehidupan menyebabkan orang bisa menarik garis perkembangan untuk membicarakan tentang kemungkinan subyektifitas yang terpusat.

Kita bisa berbicara berbagai diskursus yang semula menjauhi dari diri seseorang, setelah itu Anda tidak akan lupa, bahwa eksistensi dirinya sendiri antara struktur perbedaan termasuk sistem Aku-Diri22 dan proses penciptaan penafsiran atas ucapan dan teks yang terjatuh dalam kedalaman hasrat dan kesadaran yang kosong. Bisa jadi penafsiran berubah menjadi hak dan pola tunggal dari individu atau institusi tertentu. Bahasa yang kita gunakan dianggap direduksi sepanjang peristiwa besar terdapat selah dan imbuhan disediakan lidah untuk membaca atau retina mata untuk melihatnya, persis terdapat benda-benda yang tersusun di sekeliling kita.

Anda selanjutnya mencoba sedikit menata apa yang dibicarakan seperti gambar hidup; Anda harus mengimpikan kepaduan antara orang yang berpikir dan berbicara dan apa yang dinampakkan, seperti Anda cita-citakan muncul dari kesadaran subyek. Kita harus mengatakan sekali lagi, kesadaran bukanlah kesadaran naif, suatu kesadaran yang hanya melahirkan kefanatikan buta, yang bersumber dari si pencetus dan si penafsir atas ide, ucapan dan teks, jika tidak terkontrol akan memancing pertentangan baru.

Anda melihat, membaca, dan mendengar sendiri bagaimana masih kuatnya beberapa doktrin kesadaran subyek yang menghubungkan individu-individu melalui ujaran-ujaran, yang secara tradisional menjadi instrumen kepatuhan-kepatuhan, ketaatan pada kelompok atau golongannya, perlawanan dan perjuangan untuk mewujudkan dunia mimpinya. Deleuze melanjutkan, individu-individu dilihat menjadi obyek lain ketika Aku menjadi subyek, dan tidak menjadi subyek tatkala Aku berbalik menjadi obyek. Sementar itu, sang Lain a priori tidak dianggap ada sama sekali, tetapi siapa dirinya untuk lainnya dan lainnya untuk diri, yang darinya berada dalam dua sistem, yang didefinisikan sebagai nilai ekspresi dari sebuah sistem berlaku antara satu dengan lainnya23. Semuanya ada di depan kita begitu menarik karena berada dalam rangkaian relasi-relasi yang kompleks.

Kita bisa mengatakan, dalam suatu permasalahan yang lebih luas dampaknya, seperti doktrin dalam sistem pendidikan atau sistem politik, kita harus lebih jelih melihat adanya celah besar yang terdapat dalam apa yang disebut ‘perang narasi’ terhadap diskursus, yang berdampak pada kehidupan sosial. Pendidikan dan politik saling menopang, sehingga ada istilah pendidikan politik, yang memiliki akses dalam suatu diskursus. Kita belum terlambat untuk mengetahuinya, bahwa pendidikan atau politik merupakan sarana untuk mengelola atau memodifikasi diskursus tertentu, yaitu dengan cara penyebaran kuasa sekaligus pengetahuan yang dirahinya.

Belum lagi ketika Anda bersemangat berbicara dan perlahan-lahan menyebutnya di depan khalayak, yakni bagaimana diskursus tentang fantasi dan tontonan. Diskursus tentu melibatkan rangkaian pernyataan-pernyataan yang didalamnya bersemayam suatu proposisi. Anda sendirilah yang akhirnya mengatakan: “Aku tidak mengetahui”. “Anda dan lainnya tidak mengetahui, tetapi Anda di bawah fantasi yang kuat”. “Anda mengatakan, Aku tidak mengetahui, bahwa tindakan intoleran dan kekerasan membuat tontotan gratis sebagai peristiwa yang menarik”.  Fantasi dan tontonan dalam perhitungan dari kuasa yang efektif. Jika Aku mengatakan “Aku mengetahui”, “Aku yakin dan pasti”, jelas dan terpilah.

Bukan hanya Aku dipengaruhi oleh fantasi tontonan, tetapi juga sungguh-sungguh terdapat sesuatu hal berada di luar diriku. Aku juga sadar bahwa tontonan yang mengundang tanda tanya besar harus segera dipecahkan, bukan menolaknya tetapi menundanya. Aku sebagai sang Lain atau sebaliknya akan berlawanan secara a priori. Hal ini ketika Aku tidak mengatakan: “Aku yakin dan Aku mengetahui” bahwa ada beberapa penonton di sana, sekalipun tanpa mengatakan yang sebaliknya terjadi dan tanpa penonton bersemangat menyaksikan peristiwa. Cobalah kita bandingkan, yang mungkin berbeda persfektifnya. Dalam satu peluang, “Aku ingin membaca”, tetapi persepsi yang berbeda muncul saat Aku mengatakan: “Aku tidak senang membaca buku”. Kita tidak ingin ketinggalan untuk menerima rangkaian-rangkaian diskursus keagamaan ditandai dengan teks-wahyu keagamaan, kata-kata propetik atau esoterik terjadi sekian abad lalu sebelum terbentuk pola pernyataan di tengah perbedaan spasial ke perbedaan temporal.

Dari pembacaan teks Al-Qur’an: “Maka, apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya (dari tanah) dan Aku tiupkan ruh (ciptaan)-Ku kepadanya …”24. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”25. Kita mengetahui bahwa prinsip keterbukaan dalam penafsiran atas pluralitas teks tersebut ditandai dengan makna-makna yang berbeda26 setelah kita terlibat interaksi antara penafsir dan pembaca melalui metode penafsiran disertai pendekatan kontekstual yang dimuatinya. Tetapi, di sini kita tidak ingin larut dalam perdebatan sekitar tema-tema pluralitas. Serangkaian tanda-tanda yang ditentukan oleh obyek diskursus, selanjutnya ia dibicarakan pada rangkaian relasi-relasi ucapan dan teks dengan Aku dan Kami melalui bentuk plural27, tetapi bermuatan konflik dan kekerasan.

Kita sebaiknya segera meninggalkan pembicaraan tersebut dan kita melangkah pada rangkaian pernyataan-pernyataan, yang dibicarakan tentang penghargaan pada perbedaan (wujud toleransi) menampakkan dirinya dalam diskursus keagamaan, mungkin terjadi di sekeliling kita. Misalnya: “Aku berkesan dengan ucapan seorang bapak yang ada di sana, “kalau di sini tidak ada pembeda-bedaan, mana yang Muslim, Katolik, Hindu dan sebagainya. Kami di sini menganggap semuanya sama”. “Tak jarang kita menganggap diri kita berbeda. Memang tak ada yang menyalahkan jika kita menganggap diri kita berbeda”28. Mungkin disebut dalam diskursus filosofis berhubungan dengan diskursus lainnya disebut “yang Sama dalam yang Berbeda”. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Al-Din. “Nabi berkata: Aku hanya manusia. Aku marah saat yang lain marah”29.

“Hal lain untuk yang lain. Aku tidak mendapatkan masa lalu, Aku juga tidak bisa mengharapkannya untuk mendapatkan masa depan. Aku tidak akan pernah mendapat apa yang tidak diperintahkan untukku. Apa yang ditetapkan untukku semestinya mendatangiku. Aku tidak tahu dimana dua hal hidupku ini akan berakhir”30. Untuk mengatasi status subyek berubah menjadi obyek, dari situlah pluralitas makna mengambil arah memutar kembali ke permulaan. Kita bisa mengambil bentuk perbandingan. Misalnya, kata-kata atau kalimat Al-Hallaj: Ana Al-Haq, ”Aku adalah Kebenaran” (I am the Absolute Truth).

Diskursus profetis dan esoteris bukan hanya tidak dicirikan obyek-obyek khusus, tetapi juga oleh cara pembentukan lain dari obyek-obyek yang berbeda setelah merampungkan semua yang bercerai-berai. Pembentukan tersebut dimungkinkan oleh kelompok relasi yang terdapat dalam kemunculan perbedaan dan arah memutar balik ke titik tolak. Orang bisa saja menilai kalimat-kalimat tersebut bukanlah ucapan dan teks menjadi pusat perhatian.

Suatu hal mungkin, kita belum sepenuhnya berpikir, ketika kesadaran subyek dalam sebuah sistem Aku-Kami-sang Lain dinina bobokkan secara gegabah dalam wilayah konstekstual. Orang tanpa berhati-hati akan terperangkap kedua kalinya, yaitu ketidakhadiran rangkaian relasi-relasi antara teks dan konteks, yang dihubungkan dengan pluralitas yang ditafsir dan dibacakan dalam kurun waktu yang telah berubah. Kita mengetahui dan barangkali permasalahan ini telah muncul semenjak umat manusia mulai menggunakan bahasa lisan, bahwa satu nama acapkali diucapkan pada tempat nama lain, satu kata seringkali bisa memiliki dua makna atau lebih dalam waktu yang bersamaan.

Satu makna atau lebih tentang pluralisme dan pluralitas tidak merubah makna lainnya yang telah ‘jelas’ dan ‘tidak sulit’ dipahami oleh orang, yang kemungkinan tersembunyi makna yang bersifat profetik dan esoterik. Mungkin, hanya waktulah bagi kita, saat kita berpikir dan berbicara untuk mengungkap makna lain yang tertanam dan tertuju di luar kata-kata dan benda-benda dalam bentuk plural. Dibalik rangkaian relasi-relasi ucapan dan teks terdapat suatu formulasi yang tampak, ada kemungkinan akan terjadi sesuatu yang mengatur perkembangan dan kemunculan kembali peristiwa. Langkah lain, pemisahan kata demi kata bukanlah permasalahan, melainkan nama-nama atau benda-benda yang telah diberi makna dalam bentuk plural tidak lebih banyak daripada diingat kembali.

Hal yang menarik pada makna adalah bentuk plural dianggap tidak berpengaruh apa-apa melalui doktrin kebenaran secara filosofis dan keilmiahan. Bisa jadi pencarian makna-makna lain hanya berkaitan dengan susunan kata-kata atau kalimat dan wilayah pembentukan relasi-relasi antara keduanya bisa ‘mentransendenkan ucapan dan teks’. Keduanya bukanlah hanya sekedar bagian dari kesadaran subyek dan kerja-kerja individual, tetapi proses ke arah pembentukan obyek-obyek diharapkan rangkaiannya memperlihatkan jejak-jejak yang harus kita lacak kembali. Pernyataan-pernyataan profetik, esoterik, dan paradoksal diucapkan tidak luput dari proses pelibatan makna dalam bentuk plural sekaligus dalam struktur perbedaan yang melekat dalam setiap teks atau susunan diskursif. ‘Perbedaan dalam perbedaan’ bukanlah hasil tampilan-tampilan duplikasi maupun kelompok kata-kata yang bisa disuguhkan dalam wilayah kinerja verbal tanpa penampakan relasi-relasi dengan wilayah obyek-obyek yang tersebar.

Kita perlu belajar tentang sebuah keberlimpahan dan kepenuhan muatan kebenaran yang rancu terjadi bersembunyi antara kemurahan hati dan kekerasan. Contoh lain, saat perbedaan-perbedaan kecil melalui pernyataan dan tindakan individual tidak memiliki kecenderungan untuk menyulut bara pertentangan keras. Disamping itu, perbedaan-perbedaan juga tidaklah terlalu berperan dalam proses pengaburan identitas kelompok pernyataan atau orang-orang yang telah berbicara dengan identitas yang berbeda. Karena perbedaan-perbedaan tersebut telah dilokalisir dan dinetralisir pada wilayah diskursif yang bersifat material dan kepentingan kuasa lainnya. Padahal dari kuasa itulah yang sesungguhnya menjadi permasalahan kita di tengah lingkaran perbedaan-perbedaan.


Catatan-Catatan:

  1. https://pluralism.org/about. Professor Diana L. Eck dalam Pluralism Project memberi definisi pluralisme: “How do we all live together in this society of increasing diversity?” (Bagaimana kita semua hidup bersama dalam masyarakat yang semakin beranekaragam?)
  2. https://islamlib.com/gagasan/pluralisme/pluralisme-dan-pluralitas-dua-sisi-dari-koin-yang-sama/
  3. https://geotimes.id/kolom/agama//benarkah-agama-membenarkan-tindakan-kekerasan-2-habis/
  4. Gilles Deleuze, Difference and Repetition,  Colombia University Press, New York, 1994, p. 13;  Desert Island and Other Texts, Semiotext(e), Los Angeles, 2004, p. 47.Martin Heidegger menyebut konsep a plurality of subjects dalam Being and Time, Harper and Row, Publishers, Inc., New York, 1962,  p. 166.
  5. Sebagaimana telah diketahui, bahwa pluralitas diidentikkan dengan latar belakang identitas yang berbeda-beda menurut suku, bangsa, ras, bahasa, agama, dan antargolongan yang dimanifestasikan dalam wilayah yang lebih luas. Berbeda-beda tetapi satu. Konteks Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.
  6. Michel Foucault, The Order of Things,Routledge, London and New York, 2002, p. 109.
  7. Martin Heidegger, Identity and Difference, Harper and Row, Publishers, Inc., New York-Evanston-London, 1969, p. 54. Gilles Deleuze, Kants Critical Philosophy,The Athlone Press, London, 1983, p. 18, 68.
  8. Jacque Derrida, Writing and Difference,  Routledge, London and New York, 2001, p. 39.
  9. Michel Foucault, Archaeology of Knowledge,Pantheon Books, New York, 1972, p. 226.
  10. Jacques Derrida, Wiriting and Difference, Routledge, London and New York, 2001, p. 355.
  11. https://geotimes.id/kolom/agama//benarkah-agama-membenarkan-tindakan-kekerasan-2-habis/.  Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan (2017) dalam tulisannya Benarkah Agama Membenarkan Tindakan Kekerasan? [2-Habis].  “Eksklusiv adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave”, daerah terlindung, yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami realitas, dan satu cara untuk menafsirkan “teks-teks suci”.
  12. Martin Heidegger, Being and Time. Harper and Row, Publishers, Inc., New York, 1962, p. 154..
  13. ibid, p. 155.
  14. Immanuel Levinas, Time and The Other, Duquesne University Press, Pittsburgh, 1987, p. 83..
  15. ibid
  16. ibid
  17. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason. Cambridge University Press, Cambridge, 2000, p. 665.
  18. Immanuel Levinas, Time and The Other, Duquesne University Press, Pittsburgh, 1987, p.79..
  19. Jacques Derrida, Wiriting and Difference, Routledge, London and New York, 2001, p.128..
  20. ibid
  21. Gilles Deleuze, Difference and Repetition, Colombia University Press, New York, 1994, p. 24.
  22. ibid, p. 260.
  23. ibid
  24. QS. Shad [38] : 72..
  25. QS. Al-Hijr [15] : 9..
  26. Abdolkarim Soroush, The Expansion of Prophetic Experience : Essays on on Historicity, Contingency and Plurality in Religion, Brill, Leiden – Boston 2009, p. 175-178.
  27. https://www.hurriyetdailynews.com/opinion/mustafa-akyol/we-muslims-and-others-38889 memuat artikel, berjudul: ‘We Muslims’ and others.
  28. https://www.qureta,com/next/post/menikmati-pluralitas memuat artikel, berjudul: Menikmati Pluralitas.
  29. Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din (3), Darul-Ishaat, Urdu Bazar, Karachi-Pakistan, 1993, p. 52..
  30. ibid, p. 185.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like