Budaya Politik: Perspektif dan Praktik9 min read

Budaya politik merupakan kumpulan keyakinan, perasaan, dan nilai yang dimiliki bersama oleh suatu populasi mengenai sistem politik negaranya. Konsep ini tidak semata-mata berkutat pada persepsi atau pandangan terhadap individu-individu yang menempati posisi tertentu seperti presiden atau gubernur. Sebaliknya, budaya politik menjangkau pemahaman yang lebih luas dan mendalam—merangkum bagaimana masyarakat secara keseluruhan memandang struktur, prinsip, dan mekanisme sistem politik yang ada, serta keyakinan mereka terhadap keabsahan, kinerja, dan ketahanan sistem tersebut dalam menghadapi berbagai rintangan.

Budaya politik berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, mengingat ia merupakan perekat yang menghubungkan masyarakat dengan struktur pemerintahannya. Melalui budaya politik, warga negara dapat mengekspresikan pendapat, aspirasi, dan kritik mereka terhadap sistem yang berlaku, sekaligus menyerap nilai dan prinsip yang menjadi dasar sistem tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, budaya politik memengaruhi cara masyarakat berinteraksi dengan lembaga-lembaga politik, menentukan tingkat partisipasi dalam proses demokrasi, dan membentuk persepsi terhadap tugas serta tanggung jawab pemerintah.

Pada dasarnya, budaya politik menjadi cermin yang merefleksikan hubungan dinamis antara individu dan sistem pemerintahan, di mana keduanya saling mempengaruhi dan membentuk. Melalui pemahaman ini, kita dapat menggali lebih dalam tentang cara masyarakat memandang hak dan kewajibannya dalam berpartisipasi dalam kehidupan politik, serta ekspektasi mereka terhadap pemerintah dalam mengelola negara. Dengan demikian, budaya politik bukan hanya sekumpulan nilai yang abstrak, melainkan juga praktek dan interaksi nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, menjadikannya sebagai salah satu elemen kunci dalam memahami dinamika politik suatu negara.

Jenis-Jenis Budaya Politik

Pada tahun 1963, dalam sebuah penelitian yang terkenal mengenai lima negara demokratis, yaitu Jerman, Italia, Meksiko, Inggris, dan Amerika Serikat, dua ilmuwan politik, Gabriel Almond dan Sydney Verba, mengungkapkan sebuah konsep yang kini menjadi fondasi dalam memahami dinamika politik global. Mereka mengidentifikasi tiga tipe dasar budaya politik, yang menawarkan wawasan mendalam tentang alasan di balik partisipasi atau ketidakpartisipasian warga dalam proses politik.

Tipe pertama, yang disebut “parokial”, menggambarkan kondisi di mana warga, seperti yang sering terlihat di Meksiko, kurang memiliki informasi dan kesadaran tentang bagaimana pemerintahan mereka beroperasi. Hal ini menciptakan rasa apatis terhadap politik, dengan partisipasi politik yang minim. Sebaliknya, tipe “subyek”, yang lebih umum di negara-negara seperti Jerman dan Italia, mencerminkan masyarakat yang memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang pemerintah dan proses politik, namun partisipasinya masih bersifat pasif dan sporadis. Terakhir, dalam tipe “partisipan”, yang dapat dilihat di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, warga tidak hanya terinformasi dengan baik tentang sistem politik, namun juga sangat termotivasi untuk terlibat aktif di dalamnya.

Di luar tiga tipe ini, ada juga teori lain yang menjelaskan bagaimana budaya politik tertanam dalam sebuah masyarakat dan ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi politik—sebuah proses seumur hidup di mana orang mengembangkan pemahaman tentang identitas politik mereka. Misalnya, teori “peristiwa pembentuk” oleh sosiolog Amerika, Seymour Martin Lipset, menekankan pada dampak jangka panjang dari peristiwa-peristiwa signifikan di masa awal pembentukan suatu negara. Demikian pula, teori “fragmen” oleh Louis Hartz dan teori “pasca-materialisme” oleh Roger Inglehart masing-masing mengeksplorasi bagaimana sejarah kolonialisme dan kondisi ekonomi-sosial di masa kecil mempengaruhi pandangan politik dan nasionalisme seseorang.

Pendekatan yang sangat berbeda diusulkan oleh Daniel Elazar, yang melalui studinya tentang budaya politik di berbagai negara bagian AS, mengembangkan konsep budaya politik “moralistik”. Dalam pandangan ini, pemerintah dilihat sebagai sarana untuk memajukan kebaikan bersama dan memperbaiki masyarakat. Pejabat dalam sistem ini dianggap menjalankan tugas mereka dengan integritas, menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, dan berkomitmen penuh untuk mewujudkan perubahan positif. Dalam lingkungan seperti ini, proses politik dianggap suci dan bebas dari korupsi, dengan ekspektasi tinggi bahwa politisi harus didorong oleh keinginan untuk melayani, bukan untuk keuntungan pribadi.

Elazar juga menggarisbawahi bahwa dalam budaya politik moralistik, kemungkinan besar warga akan lebih aktif dalam memberikan suara dan berpartisipasi dalam kampanye politik, terutama karena undang-undang setempat yang mendukung kemudahan registrasi dan pemungutan suara, serta adanya kompetisi politik yang sehat dan terbuka yang mendorong partisipasi aktif.

Sebaliknya, dalam budaya politik “individualistik”, yang menonjolkan pandangan yang lebih pragmatis dan orientasi pada kepentingan pribadi, pemerintah dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan individu. Dalam konteks seperti ini, kebijakan baru diadopsi bukan untuk kepentingan kolektif, melainkan untuk mendapatkan dukungan politik atau memenuhi permintaan layanan dari individu.

Pada tahun 2013, Ronald F. Inglehart, seorang ilmuwan politik Amerika, mengamati bahwa dari tahun 1973 hingga 1987, masyarakat tertentu secara konsisten menunjukkan tingkat “masyarakat sipil” yang relatif tinggi atau rendah. Ini menandakan bahwa kombinasi dari kepuasan hidup, kepuasan politik, kepercayaan interpersonal, dan dukungan untuk tatanan sosial yang ada dapat berperan besar dalam menentukan stabilitas demokrasi sebuah negara.

Melalui eksplorasi jenis-jenis budaya politik ini dan teori-teori terkait, kita mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kompleksitas interaksi antara individu dan sistem politik mereka, serta faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi partisipasi politik dalam berbagai konteks budaya dan sejarah.

Di berbagai belahan dunia, terdapat negara-negara yang telah mengukir budaya politik nasional mereka dengan begitu kuat, sehingga hal ini turut mempengaruhi dan memperkuat identitas nasional mereka. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, dan India menonjol karena keunikan budaya politik mereka yang tak hanya mempengaruhi tata kelola dan kebijakan dalam negeri, tapi juga mempengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia luar.

Di Amerika Serikat, budaya politiknya sangat terdefinisi oleh nilai-nilai seperti demokrasi, kesetaraan, kapitalisme, dan individualisme. Semangat ini, yang telah terpatri sejak Revolusi Amerika, mengakar dalam setiap aspek kehidupan Amerika, mendorong inovasi dan semangat kewirausahaan. Sejarah Amerika, khususnya peristiwa seperti Revolusi Industri, Perang Dunia I dan II, dan serangan 11 September, semakin memperkuat rasa kebanggaan nasional dan keyakinan dalam nilai-nilai tersebut. Program-program pemerintah seperti New Deal dan Great Society mencerminkan komitmen terhadap kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat, sembari menghormati prinsip individualisme dan kebebasan.

Di Cina, pendekatan yang sangat berbeda terhadap budaya politik dapat diamati. Budaya kolektivis yang ditanamkan oleh Partai Komunis Cina, terutama melalui pendidikan dan sosialisasi politik sejak usia dini, menciptakan rasa kesatuan dan solidaritas nasional yang kuat. Meskipun Revolusi Kebudayaan mencoba untuk mengubah beberapa aspek tradisional budaya Cina, nilai-nilai Konfusianisme seperti harmoni dan respek terhadap hierarki tetap bertahan dan terwujud dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Pendekatan ini mungkin mengurangi konflik terbuka, namun juga menimbulkan tantangan dalam hal transparansi dan partisipasi publik.

India, dengan sejarah kolonisasi yang panjang dan demografi yang sangat beragam, menawarkan contoh unik lainnya tentang bagaimana budaya politik dapat membentuk identitas nasional. Pengenalan ide-ide Barat tentang demokrasi dan sistem parlementer oleh Kekaisaran Inggris berbaur dengan tradisi dan nilai-nilai India yang kaya, menciptakan mosaik politik yang kompleks. Proses demokratisasi telah memungkinkan suara dari berbagai lapisan masyarakat untuk didengar, meruntuhkan batasan sistem kasta yang kaku dan membuka jalan bagi partisipasi politik yang lebih luas, termasuk bagi wanita dan kelompok marjinal.

Budaya politik di Indonesia adalah sebuah tapestri yang kaya, terwarnai oleh sejarah, keragaman, dan dinamika sosial-politik yang berkelanjutan. Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan kelompok etnik, Indonesia memperlihatkan keragaman budaya politik yang mencerminkan tradisi dan adat istiadat lokal yang beragam. Konsep gotong royong menonjol sebagai nilai inti, menekankan pentingnya kerjasama dan kebersamaan dalam mencapai tujuan bersama, yang tercermin dalam aktivitas politik dan sosial. Pancasila, sebagai fondasi ideologi negara, mengajarkan prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi yang berkeadilan, dan keadilan sosial, yang bersama-sama membentuk visi inklusif tentang kebangsaan dan kesetaraan.

Sejak reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan signifikan menuju demokrasi yang lebih terbuka, memperlihatkan peningkatan partisipasi politik dan kebebasan sipil. Desentralisasi memberi daerah lebih banyak otonomi, memungkinkan ekspresi yang lebih luas dari keunikan lokal namun juga menghadirkan tantangan dalam hal ketimpangan pembangunan. Agama juga memainkan peran penting, sering kali mempengaruhi pandangan politik dan kebijakan publik, mencerminkan interaksi kompleks antara nilai-nilai spiritual dan tata kelola negara.

Dinamika sosial ekonomi, seperti ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan serta antara Jawa dan daerah lainnya, turut mempengaruhi lanskap politik Indonesia, dengan isu-isu seperti akses pendidikan dan kesempatan kerja sering menjadi fokus utama dalam diskusi politik. Dalam semua aspek ini, budaya politik Indonesia terus berkembang, menemukan keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan menyesuaikan diri dengan perubahan global, menciptakan sistem politik yang unik dan dinamis yang mencerminkan kompleksitas dan kekayaan bangsa.

Dalam semua contoh ini, terlihat jelas bahwa budaya politik nasional tidak hanya mencerminkan nilai dan tradisi suatu negara, tetapi juga membentuk cara warga negara memahami dan berinteraksi dengan pemerintah mereka, serta menentukan bagaimana negara tersebut memposisikan dirinya di panggung global. Identitas nasional, yang diperkuat oleh budaya politik, menjadi lensa melalui mana warga negara dan dunia melihat suatu negara, mempengaruhi segalanya dari kebijakan dalam negeri hingga diplomasi internasional.

Dari analisis ini, terlihat bahwa budaya politik nasional bukan hanya sekedar rangkaian aturan dan norma, tetapi juga merupakan ekspresi yang lebih dalam dari nilai, sejarah, dan aspirasi suatu bangsa. Sejak Sidney Verba menggarisbawahi pentingnya identitas nasional dalam “The Civic Culture”, banyak peneliti dan ilmuwan politik telah menyelidiki bagaimana lapisan-lapisan budaya politik, dari makro hingga mikro, secara unik membentuk lanskap politik dan sosial suatu negara, mempengaruhi segala hal mulai dari kebijakan publik hingga partisipasi pemilih.

Elemen Budaya Politik

W. Lance Bennett, dalam bukunya yang berjudul “News: The Politics of Illusion”, mengungkapkan gagasan menarik tentang elemen-elemen budaya politik yang sering kali sulit untuk dipahami dan dianalisis. Ia membandingkannya dengan lensa pada sepasang kacamata, yang tidak kita lihat secara langsung, tetapi melalui lensa itulah kita memandang dan memaknai dunia. Analogi ini membuka pandangan kita tentang betapa integralnya budaya politik dalam mempengaruhi persepsi dan interaksi kita dengan dunia politik.

Budaya politik suatu bangsa bisa dianggap sebagai ‘kepribadian politik’ yang unik, yang terdiri dari serangkaian ciri, nilai, dan keyakinan yang mendalam dan mapan di dalam masyarakat tersebut. Ia menguraikan bagaimana masyarakat memandang dan berinteraksi dengan sistem politik mereka, menyangkut segala hal mulai dari ekspektasi terhadap pemerintah hingga cara individu berpartisipasi dalam proses politik. Ini seperti benang merah yang menyatukan individu dalam masyarakat, memberi mereka landasan bersama untuk berkomunikasi dan bekerja sama.

Daniel Elazar, dalam karyanya “The American Mosaic”, menambahkan dimensi lebih lanjut pada konsepsi ini dengan menggarisbawahi pentingnya aturan formal seperti konstitusi dan hukum yang dikodifikasi, serta adat dan tradisi yang dikenal sebagai “kebiasaan hati”, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya, di Amerika Serikat, ada sebuah pengertian tak tertulis namun sangat dihormati tentang menerima hasil pemilu dan transisi kekuasaan yang damai, yang merupakan bagian penting dari budaya politik nasional.

Lebih jauh lagi, budaya politik mempengaruhi dan mencakup berbagai aspek kehidupan publik yang mungkin tidak langsung kita hubungkan dengan politik. Kegiatan seperti berpartisipasi dalam kampanye politik, menyumbang kepada kandidat atau penyebab tertentu, berinteraksi dengan pejabat publik, mengajukan petisi, berpartisipasi dalam demonstrasi, dan bekerja sama dalam isu-isu sosial, semua merupakan manifestasi dari budaya politik yang kaya dan beragam. Kegiatan-kegiatan ini memperkuat komunitas, memfasilitasi komunikasi antar individu, dan membantu membangun jembatan pengertian antara pemerintah dan rakyatnya.

Melalui kacamata budaya politik, kita dapat melihat bagaimana masyarakat tidak hanya pasif menerima aturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tetapi juga aktif membentuk dan meresponsnya, terkadang dengan dukungan dan terkadang dengan tantangan. Ini adalah dialog konstan, di mana nilai-nilai, asumsi, dan harapan berperan dalam membentuk lanskap politik.

Dengan demikian, budaya politik bukanlah sekedar latar belakang yang statis; ia adalah medan dinamis tempat identitas, nilai, dan norma bertemu dan berinteraksi. Dalam pergerakan ini, tercipta sebuah tatanan sosial yang tidak hanya mengatur cara individu berpartisipasi dalam politik, tetapi juga cara mereka memandang diri mereka sendiri dan tempat mereka di dalam masyarakat dan negara. Ini adalah fondasi yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi tantangan, merayakan pencapaian, dan terus beradaptasi dan berkembang sepanjang waktu.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like