Demokrasi di Indonesia adalah suatu konsep yang selalu disebut-sebut ketika berbicara perihal kehidupan politik negara ini. Sebagai sebuah idealisme yang diperjuangkan sejak lama, demokrasi diharapkan mampu memberikan keadilan, kebebasan, dan partisipasi politik yang luas kepada semua warga negara. Hal ini diperkuat pada Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi, “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…” (Penggalan alinea keempat Pembukaan UUD 1945). Dalam alinea ini, terdapat penekanan pada prinsip demokrasi di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini menggarisbawahi bahwa keputusan dan pengelolaan negara didasarkan pada partisipasi aktif warga negara dan prinsip-prinsip demokrasi yang berkeadilan.
Namun, ketika kita melihat keadaan di lapangan, seringkali terdapat kesenjangan antara idealisme tersebut dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah proses pemilihan umum di Indonesia. Sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk memberikan suara mereka dalam pemilihan umum, sebagai bentuk partisipasi politik yang penting. Namun, dalam beberapa pemilihan terakhir, muncul berbagai kasus pelanggaran politik uang, kecurangan dalam penghitungan suara, dan tindakan intimidasi terhadap pemilih. Pada pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat 28 kasus pelanggaran yang telah diputuskan dalam persidangan. Mayoritas kasus adalah terkait politik uang. Praktik lancung ini bahkan berlangsung sampai H-1 Pemilu serentak 2019. Hal ini mencoreng proses demokratis yang seharusnya adil dan transparan. Idealisme demokrasi yang diharapkan, diuji dengan keberadaan praktik-praktik yang merusak integritas pemilihan umum.
Selain itu, juga terdapat permasalahan mengenai kebebasan berpendapat. Demokrasi seharusnya memberikan ruang yang luas bagi setiap individu untuk menyampaikan pikiran dan pendapat mereka tanpa rasa takut akan represi. Namun, dalam beberapa kasus, terjadi penindakan dan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat. Komnas HAM mencatat bahwa sepanjang tahun 2020-2021, terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dari jumlah tersebut, 52% terjadi dalam ruang digital. Bentuk pelanggaran meliputi serangan digital, kriminalisasi, intimidasi, penghapusan, dan pembatasan penyampaian pendapat di muka umum, serta kekerasan. Korban termasuk aktivis, penggiat antikorupsi, jurnalis, mahasiswa, dan individu lainnya. Penggunaan UU ITE sebagai alat untuk membungkam kritik dan oposisi telah membuat banyak pihak meragukan kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi Indonesia. Ketika kebebasan berpendapat sudah tidak lagi menjadi wujud dari demokrasi, maka idealisme semakin jauh dari kenyataan.
Tidak hanya itu, demokrasi di Indonesia juga seringkali dipengaruhi oleh dominasi oligarki politik. Kelompok atau individu tertentu memegang kekuasaan politik yang besar, sehingga sangat sulit bagi pihak lain untuk bersaing dengan mereka. Sistem politik yang dijalankan masih mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu, sementara aspirasi dan kepentingan rakyat seringkali terabaikan. Ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan menghambat idealisme demokrasi yang seharusnya mengutamakan perwakilan dan partisipasi yang merata.
Memanusiakan rakyat adalah salah satu pijakan demokrasi. Namun, ketika kita melihat realita masyarakat yang masih mengalami kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, kita harus bertanya pada diri sendiri sejauh mana demokrasi di Indonesia telah mampu menjalankan misi ini. Idealisme demokrasi yang berfokus pada keadilan sosial tampak semakin terpinggirkan oleh kenyataan lapangan yang penuh dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Menghadapi kenyataan tersebut guna memperkuat demokrasi di Indonesia, diperlukan adanya reformasi sistem politik yang ada. Di antaranya, meningkatkan peran dan kualitas kerja DPR dan DPD dalam mengawasi pemerintah dan merumuskan undang-undang. Mempererat regulasi dan peraturan terkait konflik kepentingan bagi anggota DPR dan DPD, termasuk larangan menerima hadiah atau insentif yang dapat mempengaruhi independensi dan integritas mereka. Selain itu, memastikan independensi KPU dalam mengelola pemilu dan memastikan proses pemilu berjalan adil dan transparan, serta memperkuat peran Bawaslu dalam mengawasi pelaksanaan pemilu dan menindak pelanggaran. Selanjutnya, pemerintah pun harus memastikan hak-hak seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, dan memilih terlindungi. Memastikan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan bagi seluruh warga negara terpenuhi dan menghormati keragaman budaya dan hak-hak masyarakat adat.
Dalam hal ini, generasi muda atau partisipasi politik pemuda sangat penting dalam mewujudkan demokrasi yang ideal. Salah satu peran penting demokrasi muda adalah memberikan suara dan mengamati pemilihan umum. Generasi muda adalah bagian masyarakat yang ingin mendapatkan perwakilan politik yang dapat mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. Selain itu, demokrasi muda berperan dalam memberikan saran dan masukan dalam proses membuat kebijakan publik. Pemuda memiliki perspektif yang unik dan berbeda dalam melihat dan memahami isu-isu sosial, ekonomi, dan politik. Mereka dapat membawa pikiran segar dan inovatif dalam merumuskan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam kesimpulannya, demokrasi di Indonesia masih memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi. Idealisme dan kenyataan masih seringkali bertentangan satu sama lain. Salah satu cara untuk memperbaiki kondisi ini adalah dengan meningkatkan partisipasi politik masyarakat, khususnya kaum muda, dan membangun sistem politik yang lebih adil dan transparan. Hanya dengan melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan politik secara luas, demokrasi di Indonesia dapat menjadi lebih baik dan mendekati idealisme yang diperjuangkan.
Mahasiswa strata satu jurusan ilmu hukum di salah satu kampus swasta di Jakarta yang aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa di dalam/luar kampus. Aktif dalam forum diskusi di kampus dan berhasil mempublish karya tulis pertamanya di Mengeja.id dengan judul “Ketidakadilan dalam Masyarakat: Analisis Filsafat Keadilan”. Penulis berdedikasi dengan fokus utama menulis artikel, opini, dan karya tulis lainnya.
Masya Allah