Politisi sering kali tidak percaya pada ucapan mereka sendiri. Mereka bahkan terkejut ketika rakyat mempercayainya. Sepertinya, Charles de Gaulle tidak berlebihan saat mengucapkan kalimat ini. Rasa-rasanya, apa yang diucapkan oleh para politikus hampir tidak bisa dipegang. Setiap kalimat yang diucapkan seringkali berakhir dengan kebalikannya. Demikian pula, ketika sesuatu yang tidak diucapkan atau tidak diinginkan, itulah yang kemudian dilakukan.
Watak inkonsisten ini persis seperti yang dipamerkan oleh elite-elite politik saat ini. Contohnya adalah penggelontoran bantuan sosial (bansos) yang dilakukan oleh Joko Widodo. Presiden Joko Widodo mengeluarkan program bantuan sosial berupa beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberi nama BLT Mitigasi Risiko Pangan. Bansos ini bahkan banyak diantaranya dikeluarkan menjelang Pemilu 2024 dengan alasan untuk memitigasi kenaikan harga pangan.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan selama 10 tahun kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan anggaran mencapai 4.161,2 triliun rupiah. Dari total anggaran APBN untuk perlindungan sosial tersebut, 469,8 triliun di antaranya dikeluarkan menjelang pemilu tahun ini. Siapa sangka, angka fantastis seperti itu dikeluarkan oleh seorang pemimpin yang sempat menyatakan bahwa bantuan sosial merupakan langkah yang kurang mendidik bagi masyarakat.
Selain menyebut pemberian bantuan sosial sebagai langkah yang kurang tepat, ia bahkan menyebut BLSM dengan nada plesetan “balsem” saat berada di Balai Kota DKI Jakarta, pada Senin, 17 Juni 2013. Ketidakkonsistenan Jokowi berlanjut setelah itu, ketika Gibran Rakabuming Raka telah menjadi Walikota Solo. Jokowi juga menyampaikan bahwa Gibran baru menjabat selama 2 tahun, sehingga tidak logis jika ada pertanyaan yang menyinggung wacana bersatunya Gibran dan Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024.
Semua ucapan itu berubah di luar dugaan ketika panggung politik menampilkan manuver hebat yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Penerobosan itu bahkan dilakukan secara terang-terangan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ketuanya merupakan ipar dari Jokowi sendiri dan paman dari sang Putra Mahkota. Sebelum suara protes yang masif itu sampai ke istana, bansos dan narasi dominan lebih dulu sampai ke masyarakat. Mereka yang tidak setuju menganggap Joko Widodo sebagai sosok serakah yang antagonis, sedangkan mereka yang lain melihatnya sebagai sosok pahlawan yang protagonis.
Dewa Janus adalah salah satu mitologi Romawi Kuno. Janus merupakan seorang Raja dari Latium, yakni salah satu wilayah di Italia tengah. Caillan Davenport (2018) dalam sebuah artikel di The Conversation menjelaskan Janus sebagai sosok dewa berjanggut dengan dua wajah yang saling menghadap pada dua arah yang berbeda. Satu wajahnya untuk melihat masa lalu dan satunya lagi untuk melihat masa depan. Dewa ini juga dipercaya memegang kunci dan tongkat yang digunakan untuk memandu para peziarah dan membuka kunci gerbang.
Dia juga merupakan kebanggaan orang Romawi Kuno. Dewa Janus tidak hanya ditemukan dalam cerita-cerita Romawi Kuno. Saat ini, ia bisa ditemukan dalam wajah elite politik kita. Persis pada kepemimpinan rezim saat ini, kepala yang menghadap ke depan adalah sosok merakyat dengan intonasi nada yang lembut saat berbicara. Sedangkan, kepala yang menghadap ke belakang menyembunyikan ambisi dan keserakahan.
Dua wajah yang saling membelakangi ini membuat publik melihat dari dua sisi yang berbeda pula. Pada perbedaan sudut pandang inilah kepalsuan, inkonsistensi, dan kemunafikan menyatu dalam satu tubuh politik yang sama. Dengan tongkat dan kunci yang mensimbolkan bahwa dialah sang penuntun dan keputusan mutlak hampir tergantung padanya.
David Runciman (2010), dalam bukunya “Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond”, menjelaskan bahwa realitas politik seperti itu merupakan bagian dari fenomena politik berwajah dua. Dan rupanya, seperti itulah yang dimainkan oleh elite-elite politik, termasuk halnya dengan apa yang dilakukan oleh Joko Widodo.
Tidak hanya Presiden Joko Widodo, bersatunya Jokowi dan Prabowo dalam satu poros kekuasaan yang sama juga menampilkan panggung politik yang bergeser menjadi panggung drama. Ini semakin membenarkan bahwa tidak ada komitmen yang sungguh-sungguh dalam politik selama belum digoda oleh kepentingan. Wujud ini ditampilkan oleh beberapa figur politisi yang merapat dalam kekuasaan.
Budiman Sudjatmiko, Grace Natalie, dan Tsamara Amany adalah contoh dari beberapa nama politikus yang menampilkan inkonsistensi politik mereka. Mereka yang dikenal sebagai politikus muda yang penuh idealisme dan dengan keras menolak seorang yang menjadi bagian dari pelaku kejahatan HAM, kini berbelot mendukung bahkan menjadi bagian dari koalisi kekuasaan yang mereka kritisi.
Terbaru adalah penunjukan Agus Harimurti Yudhoyono menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang. Penunjukan ini juga dibanjiri dengan komentar pedas. Demokrat, yang sebelumnya menjadi oposisi Kabinet Indonesia Maju, memilih berlabuh dengan pemerintah. Susilo Bambang Yudhoyono, selaku ayah dari AHY dan mantan ketua umum Partai Demokrat, bahkan tahun lalu baru mengeluarkan buku “Pilpres 2024 & Cawe-cawe Presiden Jokowi, The President Can Do No Wrong”. Ini menunjukkan kegagalan SBY menjaga komitmen pada idealisme partai dan pikirannya sendiri.
John Morley dalam ungkapannya menunjukkan keprihatinannya tentang kemenangan semangat politik, yang ia definisikan sebagai pengabaian prinsip-prinsip dan kesediaan politisi dari semua kalangan untuk menyamar dan berkompromi atas nama partai (Runciman, 2008). Panggung politik itu penuh dengan wajah kemunafikan. Partai politik dan para aktor-aktornya hanya menunggu waktu dengan bersembunyi di balik jargon-jargon adiluhung. Berteriak atas nama moral ketika tidak berada dalam kekuasaan. Begitulah ketika moral politik Machiavelli digunakan, yang tentunya berbeda dengan paham moral deontologis Kantian maupun moral teleologis.
Dalam sejarah demokrasi liberal, suatu yang niscaya ketika ingin memisahkan politik dan kemunafikan. Dhruba Ghosh (2011) menganggap dalam politik demokratis, kemunafikan hampir selalu muncul dari struktur interaksi politik. Filsuf Thomas Hobbes sebagai salah satu penentang kemunafikan politik, bahkan menganggap hal itu tidak bisa dihindari. Topeng kemunafikan yang dimaksudkan untuk menyembunyikan suatu kepentingan selalu mengakar dalam setiap bentangan sejarah perpolitikan.
Ghosh juga dalam tulisannya “Hypocrisy in Democratic Politics. Economic and Political Weekly” menunjukkan upaya Bernard Mandeville yang membedakan dua jenis kemunafikan. Pertama, di mana politisi mengenakan topeng kemunafikan untuk melindungi kepentingan publik, dan kedua, yakni kemunafikan yang dimanfaatkan untuk melayani kepentingan politisi jahat. Seperti yang ingin ditunjukkan oleh Mandeville, perbedaan tersebut sulit dipertahankan dalam situasi politik apa pun.
Apa yang ditampilkan hari ini dalam kontestasi politik di tingkat elite adalah wujud dari ketakterpisahan antara politik dan kemunafikan. Suatu yang membuat publik kebingungan menentukan mana wajah yang orisinal dan mana wajah yang manipulatif. Oleh karena itu, upaya membongkar rezim kepalsuan itulah yang mesti terus digalakkan.
Peneliti, Mahasiswa Pascasarjana Departement Sosiologi UGM