Perjalanan Pemikiran: Dari Modernitas hingga Tantangan Postmodernisme6 min read

Postmodernisme memang menjadi tema diskusi yang menarik dan seringkali membingungkan, terutama karena perkembangannya dari awalnya sebagai gerakan kebudayaan dalam seni rupa, kritik sastra, dan arsitektur hingga menjadi suatu aliran filsafat. Pada dasarnya, posmodernisme bersifat kritis terhadap segala bentuk modernitas.

Pada tahun 1970-an, posmodernisme secara khusus diperkenalkan dalam ranah filsafat oleh Jean-Francois Lyotard melalui bukunya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge” (1979). Lyotard mendefinisikan posmodernisme sebagai ketidakpercayaan terhadap narasi besar dan pemikiran yang mencoba untuk menggambarkan segala sesuatu secara total, seperti hegelianisme dan marxisme. Selain itu, posmodernisme menolak pemikiran yang bersifat totaliter.

Lyotard melihat modernitas sebagai proyek intelektual yang mengarah pada kemajuan, dengan contoh nyata seperti masa pencerahan pada abad ke-18. Immanuel Kant, salah satu tokoh pencerahan, melihat inti dari masa pencerahan adalah manusia yang berani berpikir sendiri, mengungkapkan pemikirannya, dan mempertahankan hak untuk berpikir secara independen.

Posmodernisme, dengan menolak narasi besar dan totalisasi, mencoba untuk menggugah keberagaman, kompleksitas, dan keragaman dalam pandangan dunia. Meskipun kabur dalam definisinya, posmodernisme mendorong kita untuk mempertanyakan ide-ide yang dianggap sebagai “kebenaran” atau “narasi besar,” dan melibatkan diri dalam refleksi kritis terhadap budaya, pengetahuan, dan kekuasaan.

Legitimasi dan Tantangan Postmodernisme

Dalam pandangan Lyotard, modernitas dianggap sebagai proyek intelektual yang bertujuan mencapai kemajuan. Contoh konkret dari proyek ini adalah masa pencerahan pada abad ke-18, di mana Immanuel Kant melihat bahwa inti dari masa pencerahan adalah manusia yang berani berpikir sendiri, mengungkapkan pemikirannya, dan mempertahankan haknya untuk berpikir secara independen.

Proyek modernitas kemudian berkembang pada awal abad ke-20 dalam berbagai bidang, termasuk pengetahuan, politik, ekonomi, dan seni. Kemajuan dalam proyek ini dianggap sebagai upaya emansipasi manusia, yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan.

Salah satu ciri khas modernitas adalah adanya “narasi besar” (grand narratives), yakni kisah-kisah yang memiliki fungsi mengarahkan dan memberi semangat pada masyarakat modern. Narasi besar ini memberikan tujuan, melegitimasi kehidupan masyarakat modern, dan mengevaluasi eksistensi mereka. Dengan kata lain, narasi besar menjadi kerangka pandangan yang memberikan makna dan arah bagi masyarakat modern.

Kita membuat pengamatan yang tepat mengenai narasi besar dalam konteks modernitas. Memang, narasi besar dalam era modern cenderung memiliki kemiripan dengan mitos-mitos primitif klasik, tetapi dengan perbedaan kunci.

Perbedaan utama adalah dalam cara narasi besar memperoleh legitimasi. Mitos-mitos primitif klasik cenderung mendapatkan pengakuan pada awal mula, sering kali melalui kisah penciptaan oleh dewa-dewa atau kejadian-kejadian supranatural lainnya. Sementara itu, narasi besar modernitas memperoleh legitimasinya melalui ide-ide kemajuan dan aspirasi masa depan, seperti keyakinan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) akan membebaskan manusia.

Selain itu, narasi besar modernitas tidak hanya melegitimasi pandangan dunia, tetapi juga praktik-praktik dan institusi-institusi sosial, politik, serta sistem hukum dan moral. Ide-ide ini mendapatkan legitimasi karena dianggap bersifat universal, seperti konsep emansipasi rasio atau emansipasi buruh melalui sosialisme. Dalam bidang filsafat, pemikiran Hegel menjadi puncak proyek modernitas dengan dukungan terhadap narasi besar tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa, sementara narasi besar dapat memberikan arah dan makna bagi masyarakat modern, mereka juga dapat menjadi objek kritis dan kontroversial. Seiring perkembangan zaman, skeptisisme terhadap narasi besar telah muncul, dan munculnya pemikiran postmodernisme menantang klaim universalitas dan keabsolutan dari narasi-narasi besar tersebut.

Tantangan terhadap Narasi Besar Modernitas

Menurut Jean-Francois Lyotard, narasi besar dalam era modernitas telah kehilangan legitimasinya. Narasi besar yang dulu digaung-gaungkan sebagai bagian dari proyek modernitas, terutama narasi yang mengandung ide emansipasi manusia melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan ideologi tertentu, kini dianggap telah kehilangan daya pikatnya dan ditinggalkan oleh banyak orang.

Lyotard menunjukkan bahwa peristiwa seperti Holocaust, khususnya pembantaian kaum Yahudi di Auschwitz oleh rezim Nasional-Sosialis Jerman, menjadi contoh kegagalan proyek modernitas. Hal ini mencerminkan kontradiksi dalam filsafat Hegel, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang real bersifat rasional, dan segala yang rasional bersifat real. Namun, peristiwa seperti Holocaust tidak dapat dipahami secara rasional, karena kejahatan tersebut tidak bersifat rasional.

Pemikiran Hegel yang menyatakan keseluruhan sebagai satu-satunya ideal telah bergeser menjadi pemikiran pluralitas dan keadaan yang terpecah belah. Narasi besar yang dulu dianggap menyeluruh dan universal telah digantikan oleh kisah-kisah kecil yang tidak dapat digabungkan dalam suatu pemikiran yang menyeluruh. Pluralitas narasi menjadi ciri utama dalam era pascamodern, dan pandangan ini menantang ide-ide homogenitas dan kesatuan yang menjadi dasar proyek modernitas.

Ketidakpercayaan terhadap narasi besar, termasuk dalam konteks politik seperti sosialisme, memang dapat memunculkan pemberontakan dan tantangan dari pihak yang seharusnya menjadi pemangku kepentingan utama. Sosialisme, dengan misi utamanya untuk membebaskan kaum buruh, terkadang menghadapi resistensi dan pemberontakan dari kelompok buruh itu sendiri.

Contoh konkret yang Saya sebutkan adalah Pemberontakan 1953 di Berlin, yang merupakan reaksi terhadap penerapan kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan oleh pemerintah Jerman Timur yang dipimpin oleh rezim sosialis. Para pekerja dan warga di Berlin Timur menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, mengakibatkan protes besar-besaran yang diakui sebagai salah satu peristiwa signifikan dalam sejarah Jerman Timur.

Pemberontakan tersebut mencerminkan ketidaksetujuan terhadap implementasi sosialisme yang dianggap tidak sesuai dengan harapan atau kepentingan masyarakat. Ini juga menunjukkan bahwa, meskipun ideologi sosialisme memiliki tujuan emansipasi, kenyataannya implementasinya dapat menghadapi tantangan dan resistensi dari kelompok yang seharusnya diuntungkan. Hal ini mencerminkan dinamika kompleks dalam politik dan kebijakan yang dapat menghasilkan reaksi yang tidak selalu sesuai dengan harapan ideologinya.

Kritik Lyotard terhadap Pengetahuan Modern

Pandangan Jean-Francois Lyotard terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memang menunjukkan sudut pandang yang kritis dan berbeda dari persepsi umum. Lyotard memandang bahwa, meskipun IPTEK berkembang pesat dan dianggap oleh banyak orang sebagai kunci kemajuan dan kemudahan dalam kehidupan, tetapi ia melihat bahwa IPTEK justru memperburuk krisis, bukan menguranginya.

Salah satu kritik utama Lyotard terhadap pengetahuan modern adalah bahwa pengetahuan tidak lagi berorientasi pada kebenaran, melainkan lebih cenderung berpegang pada prinsip performativitas. Dalam konteks ini, pengetahuan dianggap benar jika dapat memberikan kemudahan dan ketepatan. Pengetahuan dan informasi dinilai berdasarkan efisiensi dan efektivitasnya dalam melayani kebutuhan praktis.

Pendekatan ini menyebabkan pengetahuan dan informasi dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan di masyarakat. Hal ini menciptakan dinamika di mana pengetahuan dihasilkan dan direproduksi berdasarkan utilitasnya dalam kehidupan sehari-hari, bukan berdasarkan kebenaran objektifnya. Pandangan ini mencerminkan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat modern yang lebih mengutamakan fungsionalitas dan manfaat praktis daripada pencarian kebenaran atau nilai-nilai intrinsik.

Pandangan tersebut mencerminkan tren yang umum terjadi dalam masyarakat modern. Pengetahuan filosofis atau pengetahuan yang tidak langsung dapat diukur dalam prinsip performativitas seringkali kurang diminati atau bahkan dikesampingkan dalam perbandingan dengan pengetahuan yang lebih langsung berkaitan dengan teknologi atau kebutuhan praktis sehari-hari.

Faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya juga berperan dalam menentukan nilai atau relevansi suatu jenis pengetahuan dalam masyarakat. Pengetahuan tentang teknologi dinilai lebih praktis dan dapat memberikan solusi nyata untuk tantangan kehidupan sehari-hari, seperti peningkatan efisiensi, kemudahan akses informasi, atau peningkatan produktivitas.

Sementara itu, pengetahuan filosofis atau pengetahuan yang terkait dengan diskursus dan pergulatan pemikiran seringkali dianggap kurang langsung bermanfaat dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ini mencerminkan preferensi dan prioritas masyarakat terhadap pengetahuan yang dapat memberikan solusi konkret atau manfaat praktis secara langsung.

Namun, penting untuk diingat bahwa kedua jenis pengetahuan ini memiliki nilai masing-masing dan dapat saling melengkapi. Perkembangan teknologi yang pesat pun tidak terlepas dari landasan konseptual dan filosofis yang mendasarinya.

Seorang pegiat Filsafat dan Sains.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like