Bagai tikus mati di lumbung padi, ironi negeri penghasil beras ini memperlihatkan paradoks yang nyata. Di tengah kelimpahan hasil bumi, rakyatnya masih bergelut dengan harga beras yang meroket. Tak ubahnya tikus yang tak dapat menikmati padi meski berada di tengah-tengahnya, banyak dari kita yang terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidakstabilan harga, meskipun berada di negeri yang subur.
Baru-baru ini, Indonesia dikejutkan dengan terus naiknya harga beras. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negeri lumbung padi di Asia Tenggara dengan lahan pertanian yang luas dan subur serta menjadi salah satu produsen beras terbesar di dunia. Namun, ironisnya, harga beras di Indonesia masih terus menjadi perbincangan hangat dan seringkali membuat konsumen kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Banyak yang menduga faktor yang menyebabkan harga beras tetap tinggi saat ini adalah karena terjadinya ketimpangan antara produksi dan distribusi beras. Meskipun Indonesia mampu memproduksi beras dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun distribusi beras yang tidak merata membuat harga beras di beberapa daerah tetap tinggi. Seperti di Papua per 4 Maret 2024, harga beras medium di Papua mencapai Rp 15.000 per kilogram, dan beras premium mencapai Rp 17.000 per kilogram. Hal ini pun terjadi di Maluku, harga beras medium di Maluku mencapai Rp 13.500 per kilogram, dan beras premium mencapai Rp 15.500 per kilogram. Hal ini disebabkan di antaranya oleh kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendistribusikan beras dari daerah produsen ke daerah konsumen.
Artikel ini berusaha menganalisis penyebab dan dampak dari kenaikan harga beras, serta memberikan rekomendasi solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Kenaikan harga beras di Indonesia merupakan hasil dari berbagai faktor internal dan eksternal yang saling terkait. Faktor-faktor seperti rendahnya produksi padi, tingginya permintaan beras, dominasi pasar oleh konglomerat, kebijakan impor yang tidak tepat, serta fluktuasi harga pasar dunia, semuanya berkontribusi terhadap kelangkaan dan kenaikan harga beras. Dampaknya pun tidak bisa dianggap remeh, terutama bagi masyarakat miskin yang rentan mengalami inflasi, kemiskinan, dan kerawanan pangan.
Faktor internal yang dimaksud, yaitu rendahnya produksi padi akibat faktor alam, Presiden Joko Widodo mengkonfirmasi cuaca ekstrem seperti La Nina dan El Nino, serangan hama dan penyakit tanaman, serta alih fungsi lahan pertanian menjadi faktor utama penurunan produksi padi yang akhirnya berdampak pada ketersediaan beras di pasaran. Sementara itu, konversi lahan pertanian, perubahan pola konsumsi, dan minimnya inovasi teknologi pertanian juga ikut berperan dalam meningkatkan harga beras. Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya upaya terpadu dari pemerintah, petani, dan stakeholder terkait agar produksi beras dapat ditingkatkan dan harga beras dapat stabil demi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Kenaikan harga beras bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal dalam negeri, namun juga faktor eksternal yang turut berperan dalam mengerek harga komoditas pangan tersebut. Tingginya permintaan beras dari dalam maupun luar negeri yang tidak seimbang dengan pasokan menjadi salah satu faktor utama penyebab kenaikan harga beras. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras per kapita di Indonesia pada tahun 2023 adalah 54,3 kg per tahun. Pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata 1,25% per tahun, meningkatkan permintaan beras secara alami. Dari sisi domestik, konsumsi beras per kapita yang terus meningkat karena pertumbuhan penduduk yang stabil, serta perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih memilih beras premium, menjadi faktor yang turut mempengaruhi meningkatnya permintaan beras.
Tak hanya itu, pengaruh harga pasar dunia yang naik juga menjadi faktor eksternal lain yang mempengaruhi harga beras di dalam negeri. Beberapa negara yang menghentikan ekspor berasnya dapat menyebabkan keterbatasan pasokan beras di pasar dunia, sehingga membuat harga beras menjadi lebih tinggi. Hal ini tentu memberikan dampak yang signifikan terhadap kenaikan harga beras di dalam negeri.
Selain faktor internal dan eksternal, kenaikan harga beras juga dipicu oleh faktor-faktor pasar yang dipegang erat oleh sekelompok konglomerat. Para konglomerat ini memiliki kendali penuh terhadap rantai distribusi beras, memberi mereka kekuatan untuk menetapkan harga dengan mempertimbangkan keuntungan pribadi mereka. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait impor dan bantuan sosial (bansos) beras juga menjadi sorotan kritis. Ada dugaan bahwa kebijakan ini tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan kelangkaan dan inflasi beras yang merugikan masyarakat.
Kenaikan harga beras di Indonesia tak hanya sekadar mengubah nominal angka di pasaran, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Para petani, sebagai ujung tombak produksi beras, merasakan penurunan kesejahteraan yang ironis meskipun harga beras naik. Biaya produksi yang terus melonjak, seperti pupuk, pestisida, dan sewa lahan, menyebabkan petani kesulitan meraih keuntungan yang seharusnya seiring dengan kenaikan harga beras.
Bagi konsumen, kenaikan harga beras tidak hanya mengubah keputusan belanja, tetapi juga merombak pola konsumsi masyarakat. Beban pengeluaran konsumen meningkat, terutama bagi keluarga miskin yang harus mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk membeli makanan. Masyarakat pun terpaksa beralih ke bahan makanan pokok lain yang lebih terjangkau, merubah citarasa dan kebiasaan konsumsi yang telah terjaga turun-temurun.
Di tingkat perekonomian nasional, kenaikan harga beras bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan dapat membawa konsekuensi serius. Ketahanan pangan yang sebelumnya kuat dapat terkikis, meninggalkan masyarakat rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan. Angka kemiskinan dan ketimpangan sosial pun meningkat seiring dengan inflasi, menciptakan tantangan serius bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1. Tingkat Inflasi Indonesia dari Tahun 2014 Sampai 2023:
Tahun | Inflasi (%) |
2014 | 8.36 |
2015 | 3.35 |
2016 | 3.02 |
2017 | 3.61 |
2018 | 3.13 |
2019 | 2.72 |
2020 | 1.68 |
2021 | 1.87 |
2022 | 2.63 |
2023 | 5.51 |
Contoh nyata dampak kenaikan harga beras dapat kita temukan pada tahun 2023, di mana inflasi di Indonesia mencapai 5,51%. Salah satu penyebab utama inflasi tersebut adalah kenaikan harga beras yang memberikan tekanan ekstra pada indeks harga konsumen. Tak hanya itu, dampak kenaikan harga beras juga merambah ke sektor kesehatan, dengan stunting dan gizi buruk pada anak-anak, terutama di daerah pedesaan, menjadi masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih lanjut dari pihak berwenang. Dengan menyadari kompleksitas dampak ini, perlu adanya langkah-langkah konkret dan sinergi dari semua pihak untuk mengatasi tantangan kenaikan harga beras dan mewujudkan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat.
Dalam menangani permasalahan ini, solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, di antaranya meningkatkan produksi padi melalui optimalisasi lahan, pengembangan varietas unggul, dan penerapan teknologi pertanian, mengatur kebijakan impor dan bansos beras sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasar, memberantas praktik monopoli dan kartel beras, serta mendorong diversifikasi pangan dan pola konsumsi yang sehat dan beragam.
Pada kesimpulannya, kenaikan harga beras bukanlah suatu hal yang sepele dan melibatkan berbagai faktor internal dan eksternal yang kompleks. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah, petani, dan pemangku kepentingan terkait perlu bekerja sama untuk meningkatkan produksi beras dan mengendalikan harga. Menyadari dampak serius kenaikan harga beras, termasuk permasalahan kesehatan seperti stunting dan gizi buruk, maka perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dan terkoordinasi dalam rangka menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mahasiswa strata satu jurusan ilmu hukum di salah satu kampus swasta di Jakarta yang aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa di dalam/luar kampus. Aktif dalam forum diskusi di kampus dan berhasil mempublish karya tulis pertamanya di Mengeja.id dengan judul “Ketidakadilan dalam Masyarakat: Analisis Filsafat Keadilan”. Penulis berdedikasi dengan fokus utama menulis artikel, opini, dan karya tulis lainnya.