Etika politik dan demokrasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tidak hanya menjadi sebuah tema penting dalam diskursus politik Indonesia, tetapi juga sebuah prasyarat mutlak untuk memastikan integritas dan legitimasi dari proses demokrasi itu sendiri. Di tengah kemelut politik yang seringkali dipenuhi dengan manuver-manuver strategis, pentingnya menjaga etika politik seringkali terlupakan, yang pada akhirnya dapat merusak fondasi demokrasi yang telah susah payah dibangun.
Sikap presiden yang dipandang cenderung memihak kepada salah satu pasangan calon dalam Pemilu 2024 telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik akan potensi kerusakan pada prinsip demokrasi. Dalam konteks ini, pentingnya menjaga etika politik bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, melainkan juga sebuah keharusan institusional yang harus ditegakkan oleh seluruh pejabat negara. Kehadiran pemilihan umum yang adil dan bermartabat menjadi pilar penting dalam mewujudkan aspirasi demokrasi yang sejati.
Menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada awal tahun 2024, terdapat sebuah konsensus di antara publik bahwa sikap presiden seharusnya bersifat netral, tanpa menunjukkan keberpihakan kepada kontestan tertentu dalam pemilu. Hasil survei ini mencerminkan harapan publik akan sebuah pemilu yang dijalankan berdasarkan prinsip fairness, di mana setiap kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing tanpa adanya campur tangan dari pejabat negara yang memiliki pengaruh signifikan.
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa presiden dan menteri diperbolehkan untuk berkampanye asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, memang memiliki pijakan dalam regulasi undang-undang. Namun, hal ini menimbulkan polemik di masyarakat karena bertentangan dengan prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pejabat negara. Khususnya mengingat posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu kontestan dalam pemilu, yang juga merupakan putra dari Presiden Jokowi, menjadikan isu netralitas ini semakin kompleks dan sensitif.
Survei Kompas juga mengungkapkan bahwa publik menganggap etika politik sebagai hal yang sangat erat kaitannya dengan pemilu yang adil. Mayoritas responden percaya bahwa pelanggaran terhadap etika politik akan langsung berdampak pada persepsi keadilan dalam pemilu. Lebih lanjut, lebih dari separuh responden merasa bahwa pemilu berpotensi tidak adil jika presiden terlibat atau mendukung salah satu pasangan calon, menegaskan lagi pentingnya netralitas presiden dalam konteks pemilu.
Netralitas presiden dalam pemilu bukanlah isu baru. Survei Kompas yang dilakukan pada Mei 2023 menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai pentingnya presiden untuk bersikap netral dalam pemilu. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi publik terhadap netralitas presiden telah menjadi sebuah isu yang konsisten dan mendalam, yang mencerminkan kebutuhan akan pemisahan antara kepentingan negara dan kepentingan politik individu atau kelompok.
Peraturan perundang-undangan telah jelas mengatur tentang netralitas pejabat negara dalam pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan larangan bagi pejabat negara untuk melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta pemilu. Namun, pelaksanaan dan penegakan hukum terkait regulasi ini seringkali menemui tantangan, terutama ketika berhadapan dengan figur-figur politik yang memiliki pengaruh besar.
Kewenangan presiden yang luas, baik dalam pemerintahan maupun dalam pengawasan institusi keamanan dan intelijen, menambah kompleksitas isu netralitas. Kekuasaan ini, jika disalahgunakan, bisa mengancam integritas pemilu dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi presiden dan pejabat negara lainnya untuk menunjukkan komitmen terhadap etika politik dan prinsip demokrasi, demi menjaga kepercayaan publik dan integritas proses pemilu.
Komitmen terhadap demokrasi dan etika politik harus menjadi fondasi dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pejabat negara. Ini bukan hanya tentang mematuhi hukum secara teknis, melainkan juga tentang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Sebagai pemimpin dan panutan dalam masyarakat, sikap dan tindakan presiden memiliki dampak yang sangat besar terhadap persepsi publik terhadap sistem demokrasi dan proses pemilu.
Keprihatinan terhadap netralitas dan etika politik dalam pemilu tidak hanya datang dari kalangan akademisi atau pengamat politik, tetapi juga dari masyarakat luas. Gerakan moral yang muncul dari kalangan akademisi dan mahasiswa, serta pernyataan sikap dari berbagai elemen masyarakat, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk menjaga etika politik dan memastikan bahwa pemilu dijalankan dengan adil dan bermartabat.
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak, baik pejabat negara maupun masyarakat, untuk berkomitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan menjaga etika politik. Pemilu bukan hanya tentang kompetisi memperebutkan kekuasaan, melainkan juga tentang memperkuat fondasi demokrasi dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam menentukan arah dan masa depan negara. Oleh karena itu, menjaga etika politik dan demokrasi dalam pemilu 2024 bukan hanya sebuah kewajiban, melainkan juga sebuah kebutuhan untuk memastikan bahwa Indonesia terus berjalan pada jalur demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.