TikTok dan Bayang-Bayangnya Terhadap Demokrasi8 min read

Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2016, TikTok, sebuah aplikasi untuk berbagi video, dengan cepat meraih popularitas dan menjadi salah satu media sosial yang sangat digemari di seluruh dunia. Aplikasi ini, yang berada di bawah naungan ByteDance, sebuah perusahaan teknologi asal Tiongkok, telah berhasil menarik lebih dari satu miliar pengguna aktif dari berbagai belahan dunia pada tahun 2021. Namun, di balik kesenangan yang ditawarkan, TikTok secara diam-diam mengumpulkan berbagai data dari penggunanya, mulai dari apa yang mereka sukai hingga kegiatan yang mereka lakukan secara online.

Meluasnya perusahaan teknologi Tiongkok seperti ByteDance ini telah menimbulkan tantangan baru dalam hal regulasi bagi banyak negara, mulai dari Australia, Jepang, hingga Amerika Serikat. Mereka semua berusaha mengatasi peraturan digital Tiongkok yang kian merambah, yang pada akhirnya membuka jalan bagi Beijing untuk mengumpulkan data secara global. Kondisi ini menjadi semakin rumit ketika data pribadi berpindah lintas negara tanpa persetujuan yang jelas, sehingga mempertaruhkan privasi individu dan bahkan keamanan nasional.

Baru-baru ini, muncul kekhawatiran bahwa perusahaan-perusahaan teknologi Tiongkok ini bisa mengintai lokasi pengguna tertentu dan kurang terbuka tentang siapa saja yang bisa mengakses data tersebut, termasuk kemungkinan lembaga pemerintah Tiongkok. Bahkan, ada kecemasan bahwa pengaruh dari pemerintah asing melalui platform digital seperti TikTok, yang menjadi sumber berita bagi 30% pengguna muda di bawah usia tiga puluh tahun, dapat membentuk opini publik dari isu internasional hingga pemilihan umum lokal.

TikTok sendiri telah membantah klaim-klaim tersebut, namun belum memberikan bukti yang meyakinkan. Sebagai contoh, meskipun TikTok menyatakan bahwa mereka tidak melacak lokasi penggunanya, namun di dalam syarat dan ketentuan penggunaan, pengguna diharuskan untuk menyetujui pemantauan lokasi mereka.

Di era kepemimpinan Xi Jinping, Beijing telah memperluas pengertian keamanan nasional dan mengimplementasikan serangkaian regulasi data yang ketat, sehingga secara hukum memberi Tiongkok kemampuan untuk mengakses data dalam skala besar dari individu di seluruh dunia. Pada tahun 2019, atas inisiatif Beijing, pemerintah Hong Kong mengajukan usul undang-undang yang memudahkan ekstradisi warga Hong Kong ke Tiongkok, yang memicu gelombang protes luas.

Sebagai reaksi, Beijing semakin menegaskan kekuasaannya. Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang diresmikan pada tahun 2020 menjadikan pelanggaran terhadap keamanan nasional, termasuk yang berkaitan dengan data pengguna, sebagai tindakan kriminal dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum, baik pidana maupun sipil, bahkan untuk kasus yang terjadi di luar wilayah Tiongkok.

Kebijakan yang bersifat ekstrateritorial ini memberi Beijing keleluasaan untuk mengakses data dari platform teknologi manapun di dunia. Rezim Komunis Tiongkok (CCP) telah mengatur kerangka kerja regulasi data global tidak hanya dengan menetapkan standar nasional bagi perusahaan-perusahaan Tiongkok yang beroperasi secara internasional tetapi juga melalui pengaruhnya pada organisasi penetapan standar internasional seperti Organisasi Internasional untuk Standardisasi.

Dengan Undang-Undang Keamanan Data Tiongkok yang diberlakukan pada tahun 2021, pemerintah diberikan wewenang untuk melakukan “audit keamanan nasional” terhadap data perusahaan, memungkinkan Beijing mengakses data dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Tiongkok maupun perusahaan Tiongkok yang beroperasi di luar negeri. Aturan yang dibuat oleh Beijing ini memfasilitasi penggunaan berbagai platform teknologi, termasuk media sosial dan e-commerce, untuk mengumpulkan data secara global dalam nama “keamanan nasional” — sebuah istilah yang sengaja dibiarkan ambigu dalam undang-undang perlindungan data oleh pemerintah Tiongkok. Saat ini, di Tiongkok, istilah “keamanan nasional” bisa diartikan sebagai hampir segala sesuatu.

Program Digitalisasi Beijing

Inisiatif Jalan Sutera Digital, yang merupakan bagian teknologi dari Proyek Sabuk dan Jalan Tiongkok, bersama dengan penyebaran global perusahaan-perusahaan teknologi Tiongkok, memberikan kemampuan bagi pemerintah Tiongkok untuk mengakses informasi tentang individu di seluruh dunia. Jalan Sutera Digital ini, bersama dengan usaha lintas negara lainnya, mendorong investasi di bidang teknologi terutama di negara-negara yang infrastruktur teknologinya masih berkembang dan sistem pemerintahannya belum kuat. Seperti dijelaskan oleh Matthew Erie dan Thomas Streinz pada tahun 2021, interaksi antara keinginan Tiongkok untuk memiliki kendali atas data dan kebutuhan negara lain akan investasi dari Tiongkok menciptakan cara bagi Beijing untuk mempengaruhi dan mengendalikan platform digital di luar negeri. Tiongkok berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur digital di negara-negara berkembang dan menyediakan layanan teknologi melalui perusahaannya, sementara itu Tiongkok tetap mengendalikan data pengguna dengan menerapkan regulasi yang berlaku bahkan di luar wilayahnya sendiri.

Seiring dengan upaya Beijing untuk terus memperluas jaringan pengumpulan data pengguna, Tiongkok mendapatkan keuntungan dari aplikasi-aplikasi transnasional seperti TikTok milik ByteDance, WeChat milik Tencent, dan AliPay milik Alibaba. Pemerintah Tiongkok dengan sengaja mendukung perkembangan industri teknologinya melalui berbagai program investasi yang didanai oleh negara. Menjadi independen di sektor teknologi dan memperluas pengaruhnya di panggung internasional merupakan prioritas bagi pemerintah Tiongkok, yang diwujudkan melalui kebijakan seperti konsep “komunitas masa depan bersama” yang digagas oleh Xi Jinping dan “Inisiatif Keamanan Global.” Hal ini menyebabkan metode pengumpulan dan pengawasan data yang dikembangkan oleh Tiongkok menjadi standar yang digunakan secara luas di tingkat internasional.

Di dalam negerinya, pemerintah Tiongkok sangat bergantung pada teknologi digital untuk mengelola pemerintahan, menyediakan layanan kepada masyarakat, dan menjaga keamanan. Peraturan yang diberlakukan oleh Tiongkok ini kemudian menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam pengelolaan data warganya. Salah satu sistem yang sering dibicarakan adalah “sistem kredit sosial”, yang mengintegrasikan berbagai alat keuangan, pengelolaan kota pintar, dan aplikasi untuk memantau aktivitas warga. Salah satu inovasinya adalah penggunaan kode kesehatan, atau jiankangma, yang merupakan kode QR yang terkait dengan data kesehatan warga dan dioperasikan melalui aplikasi WeChat untuk menghadapi pandemi. Kode ini awalnya dirancang untuk melacak kondisi kesehatan dan pergerakan orang-orang untuk mengendalikan penyebaran covid, namun kemudian berkembang menjadi alat untuk pemantauan lebih luas terhadap warga.

Dalam buku yang ditulis oleh Aynne Kokas “Trafficking Data: How China Is Winning the Battle for Digital Sovereignty”, Kokas menggambarkan data yang dikumpulkan melalui inisiatif seperti ini sebagai “kumpulan data nasional” Tiongkok. Kumpulan data ini tidak hanya meningkatkan kemampuan pemerintah dalam melacak pergerakan populasi, tetapi juga membantu dalam pengembangan alat pengelolaan kota yang lebih canggih dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), sekaligus menciptakan sebuah “identitas nasional” yang berbasis data.

Meski kode kesehatan ini awalnya dibuat untuk membatasi penyebaran covid dan memungkinkan kegiatan ekonomi tetap berjalan, kini alat tersebut juga berperan sebagai instrumen kontrol sosial yang bisa ditawarkan Beijing kepada pemerintah lain. Tiongkok juga telah mengekspor teknologi pengawasannya ke berbagai negara di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan wilayah lainnya.

Ketersediaan data lintas negara dalam jumlah besar sangat penting untuk pengembangan platform komersial yang didukung kecerdasan buatan (AI) serta teknologi penting lainnya. Platform digital seperti TikTok dan WeChat memiliki peranan krusial dalam membantu pemerintah Beijing memperkuat pengawasannya terhadap data yang berada di luar Tiongkok. Banyak teknologi komersial yang beragam juga menggunakan metode pemantauan pengguna dan analisis data yang serupa dengan yang digunakan oleh TikTok dan WeChat. Yang membedakan bukanlah bagaimana perusahaan-perusahaan yang berbasis di Tiongkok mendapatkan data tersebut, melainkan apa yang mereka lakukan dengan data tersebut. Perusahaan dengan induk perusahaan yang berada di Tiongkok, atau yang memiliki divisi bisnis besar yang keberlangsungannya bergantung pada operasional di Tiongkok, memiliki kemerdekaan yang lebih terbatas dalam menanggapi permintaan data dan pengawasan dari pemerintah, dan situasi ini diperkirakan akan tetap demikian.

Mengendalikan Teknologi Tiongkok

Informasi yang dikumpulkan melalui platform teknologi yang berbasis di Tiongkok mendukung negara tersebut dalam mengembangkan teknologi masa depan, seperti kendaraan otonom, kedokteran presisi, hingga perangkat militer. Beijing berharap dengan adanya teknologi ini, masyarakat akan semakin maju dan keamanan negara akan lebih terjamin, sekaligus memberi Tiongkok keunggulan di bidang ekonomi, strategi, dan militer di kancah internasional. Perusahaan seperti Tencent, yang merupakan induk dari WeChat dan pemilik perusahaan game besar Riot Games, tidak hanya berfokus pada hiburan. Mereka juga berkontribusi pada upaya militer Tiongkok untuk mengadopsi teknologi canggih dalam persenjataan. Baik platform komunikasi maupun game yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi besar ini berlandaskan pada teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ganda, termasuk peningkatan kemampuan militer.

Lantas, apa dampaknya bagi demokrasi global? Banyak analis menilai bahwa platform teknologi memiliki pengaruh besar dalam demokrasi yang sudah maju, terutama dalam penyebaran informasi palsu yang berkaitan dengan pemilu. Praktik pengelolaan digital Tiongkok mengilustrasikan bagaimana platform komersial populer seperti TikTok dan WeChat dapat menjadi saluran komunikasi penting yang, di bawah pengawasan Beijing, berpotensi membentuk narasi dalam sistem demokrasi. Selain itu, platform-platform ini menyediakan alat untuk menganalisis segala sesuatu mulai dari pergerakan masyarakat hingga data biometrik. Meskipun platform yang berbasis di negara demokrasi memiliki kemampuan yang sama, perbedaan mendasar terletak pada kenyataan bahwa sementara perusahaan seperti Google dan Facebook bisa meninggalkan pasar tertentu kapan saja, Tencent dan ByteDance sangat bergantung pada pemerintah Tiongkok untuk eksistensi mereka dan oleh karena itu harus mematuhi permintaan pemerintah Tiongkok.

Dengan demikian, salah satu cara untuk melindungi demokrasi dari eksploitasi data adalah melalui pengembangan peraturan keamanan data yang kuat di tingkat nasional, yang melindungi data pengguna dan algoritma strategis dari diekspor tanpa pengawasan. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa telah menerapkan perlindungan data untuk warganya. Negara-negara demokrasi lainnya harus mengikuti langkah serupa. Sementara itu, Tiongkok sangat menyadari pentingnya algoritma, termasuk algoritma TikTok, dan telah memastikan bahwa teknologi tersebut termasuk dalam peraturan kontrol ekspor.

Ekspansi digital Tiongkok yang semakin meluas telah menciptakan tantangan signifikan bagi demokrasi di seluruh dunia. Berbagai undang-undang seperti Undang-Undang Keamanan Data, Undang-Undang Keamanan Siber, dan Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong membentuk kerangka hukum yang memungkinkan pemerintah Tiongkok untuk menekan perusahaan dalam dan luar negeri agar berbagi data pengguna, khususnya di negara-negara dengan perlindungan data yang lemah.

Hanya sedikit pemerintah yang memiliki strategi domestik yang jelas dan berkelanjutan untuk mengatur pertukaran data antara pengguna, platform, dan pemerintah, apalagi dalam konteks internasional. Regulasi semacam ini bisa menjadi tidak praktis dan tidak efektif, terutama jika tidak diterapkan secara internasional. Sebagai contoh, TikTok menyimpan data internasionalnya di Amerika Serikat dan Singapura, namun tanpa kerjasama yang jelas antara kedua negara ini, akan sulit untuk mengawasi bagaimana TikTok mengelola data tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah yang memiliki pandangan serupa untuk bekerja sama dan menetapkan kesepakatan dasar tentang transfer data, seperti yang telah dilakukan oleh Jepang dan Uni Eropa. Kesepakatan ini akan menetapkan pedoman tentang cara perusahaan menangani transfer data lintas batas.

Untuk menjaga kedaulatannya, negara-negara demokrasi harus memastikan mereka memiliki regulasi perlindungan data yang kuat. Di beberapa negara, hal ini mungkin berarti harus memprioritaskan keamanan nasional daripada pertumbuhan perusahaan. Dalam mengatur perusahaan teknologi global, risiko finansial mungkin lebih rendah bagi negara-negara importir teknologi seperti Uni Eropa dan Australia dibandingkan dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Akhirnya, negara-negara kaya harus mendukung negara-negara berpenghasilan rendah dalam mengembangkan infrastruktur teknis yang diperlukan untuk pengawasan digital. Tanpa kebijakan seperti ini, demokrasi di seluruh dunia akan membiarkan peluang terbuka bagi Beijing untuk memanfaatkan data mereka.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like