Cerita Dibalik Elektabilitas Survei Politik, Ada Enumerator Yang Siap Menerobos Rintangan Yang Pelik4 min read

Banyak dari kita yang setidaknya memantau berita politik menjelang pesta demokrasi pemilu 2024 mungkin bertanya-tanya tentang elektabilitas yang ditampilkan di media. Ketidaktahuan ini memunculkan stigma bahwa hasil survei yang ditampilkan hanya fiktif dan tidak berdasar. Barangkali, hal ini sering menjadi topik yang “nyaring” diperdebatkan oleh masing-masing pendukung atau pemilih peserta pemilu.

Seperti yang dituturkan oleh Carma Ruhyadi, saat saya temui di kediamannya, di salah satu desa di wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, “Seumur hidup, baru kali ini saya tahu bahwa survei itu benar adanya,” ucap laki-laki berusia 74 tahun tersebut. Carma Ruhyadi adalah salah satu dari banyak responden yang mengatakan hal serupa tentang ketidaktahuannya selama ini mengenai hasil survei elektabilitas politik yang sering dia lihat di televisi. Carma tidak menyangka bahwa selama ini prasangkanya salah, begitu pula dengan saya sebelum berkecimpung di dunia survei sebagai enumerator dalam 2-3 tahun belakangan.

Enumerator, atau dikenal dengan surveyor, adalah orang yang ditugaskan terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data penelitian. Penelitian di sini tidak terbatas pada topik apa pun: sosial, kemasyarakatan, digital, dan lain sebagainya. Tugas pokok seorang surveyor meliputi: mengkomunikasikan penelitian kepada pemerintah wilayah setempat melalui surat legalitas penelitian, surat tugas, dan surat keterangan penelitian dari instansi terkait (untuk survei politik, sosial, dan kemasyarakatan biasanya menggunakan surat keterangan penelitian dari Kesbangpol atau Kemendagri) dan mewawancarai warga berdasarkan pertanyaan yang sudah disiapkan dalam penelitian sesuai metode yang digunakan.

Enumerator diminta mengumpulkan data sesuai kriteria dan tujuan penelitian. Biasanya, sebelum bertugas, enumerator dikumpulkan dalam satu tempat untuk mendapatkan pelatihan (workshop) yang berlangsung selama satu hari penuh. Dalam workshop, enumerator diberi pembekalan materi tentang SOP pelaksanaan penelitian yang dijalankan.

Dalam pengalaman workshop pertama, saya dikumpulkan di salah satu gedung pelatihan ASN di Jawa Barat dan diinstruksikan untuk membawa materai dan fotokopi kartu identitas. Masing-masing enumerator menandatangani surat kesepakatan kerja yang intinya kami dituntut untuk bekerja secara jujur dan cepat di lapangan sesuai batas waktu yang ditentukan. Hal ini hampir merata ditekankan di masing-masing lembaga survei berbeda yang pernah saya ikuti surveinya. Hanya saja, perbedaannya terletak pada kebijakan masing-masing lembaga terhadap perjanjian kerja; sebagian mewajibkan untuk mengumpulkan KITAS, sebagian lagi tidak, serta tempat pelaksanaan workshop yang berbeda-beda; gedung pemerintahan, kafe, atau bahkan hotel.

Menjadi enumerator memang tampak mudah, tidak ada syarat khusus yang diperlukan. Cukup dengan bermodalkan kepercayaan dan komunikasi yang baik, Anda sudah bisa mencoba menjadi surveyor. Kenapa mencoba? Karena belum tentu setiap orang cocok atau bahkan mau bekerja sebagai surveyor. Berbicara mengenai hal tersebut, saya menjadi teringat percakapan saya dengan pegawai desa di Kuningan, Jawa Barat, yang saya sambangi untuk survei elektabilitas masing-masing calon presiden dan calon legislatif daerah pemilihan setempat. “Saya dulu juga pernah survei, tapi menyerah di tengah jalan karena saya tidak kuat,” imbuhnya. “Saya mendapatkan banyak penolakan dari warga setempat, jadi saya menyerah. Makanya, saya kasihan melihat kamu,” tambahnya lagi.

Apa yang disampaikan pegawai tersebut mewakili apa yang dialami rekan-rekan enumerator dan saya selama ini. Berpuluh-puluh penolakan telah menjadi makanan sehari-hari enumerator, mulai dari penolakan dari pihak desa, responden, atau masyarakat setempat. Alasannya pun bervariasi, mulai dari responden yang menganggap dirinya tidak begitu fasih dalam menjawab pertanyaan yang sudah disiapkan, hingga pihak desa atau RT/RW setempat yang tidak mau direpotkan dengan kegaduhan masyarakatnya.

Enumerator dituntut memiliki kesabaran dan keuletan tingkat tinggi di lapangan. Apalagi ketika topik penelitian yang dijalankan menyoal politik dan pemerintahan. Masyarakat rasa-rasanya menjadi lebih sensitif, seperti anak remaja yang sedang mengalami premenstrual syndrome (PMS), ketika diajukan pertanyaan mengenai hal tersebut. Enumerator harus bisa memposisikan diri ketika dihadapkan dengan situasi lapangan yang kisruh akibat dari memanasnya suhu politik. Tidak jarang salah satu dari kami terkadang dihadapkan pada situasi yang di luar dugaan; misalnya saya yang pernah dikerumuni warga karena gagal menyampaikan maksud penelitian kepada responden.

Saat itu suasana begitu memanas, saya dihadapkan dengan 8 sampai 10 orang yang entah kenapa tiba-tiba tidak suka dengan keberadaan saya di rumah responden, setelah sehari sebelumnya saya menyampaikan tujuan dan maksud untuk mewawancarai responden. Setelah mengamati percakapan saya dengan orang-orang tersebut, ternyata responden menceritakan kedatangan saya kepada tetangganya yang notabene adalah petugas partai dan merupakan seorang legislatif. Responden salah mengira saya sebagai pihak dari partai lain yang mencoba menarik dukungan.

Kisah lain juga saya alami, di mana responden menolak begitu keras ketika saya menyambangi rumahnya. Responden menganggap saya sebagai orang suruhan desa yang sedang memata-matai warganya. Penolakan darinya tidak hanya membuat saya tidak percaya diri, namun membuat penelitian terhambat. Pasalnya, beliau menyebarkan rumor yang tidak baik tentang penelitian kepada masyarakat lainnya, sehingga menyebabkan mereka takut untuk saya tanyai pendapatnya. Bagi para enumerator, waktu adalah hal berharga; ketika penelitian terhambat, itu berarti masalah besar bagi kita. Karena dalam kontrak, tertulis dengan jelas aturan untuk menyelesaikan tugas sebelum waktu tenggat, atau kita mendapatkan konsekuensinya. Di saat paling genting, ketika tekanan dari lapangan dan lembaga inilah kemampuan berimprovisasi dan kesabaran seorang enumerator diuji.

Enumerator adalah orang yang siap menembus rintangan pelik di lapangan. Kebanyakan dari enumerator tidak lain adalah manusia bermental baja yang ikut menjadi saksi dinamika politik Indonesia secara langsung, lewat pengamatan lapangan. Selalu ada cerita unik di balik penolakan enumerator di lapangan dan cara mengatasinya, dari disangka seorang sales panci hingga penjual obat jentik nyamuk, bank emok hingga petugas partai.

Bagi para enumerator, pesta demokrasi 2024 adalah berkah. Apalagi bagi saya sebagai orang yang tidak menyangka akan mengandalkan survei sebagai salah satu penghasilan utama dalam beberapa bulan terakhir ini. Agaknya, saya melihat gambaran demokrasi Indonesia dari sudut pandang yang berbeda melalui kacamata enumerator. Tentang kebebasan berpendapat yang masih dijegal dan kebebasan memilih yang harus dibenturkan dengan keadaan.

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia yang masih berusaha menemukan jalan karir. Generasi perintis yang masih meringis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like