Memupuk Kembali Moralitas Spiritual di Zaman Pasca Modern4 min read

Manusia acapkali mempunyai tendensi untuk meniadakan Tuhan ketika mereka sedang berbahagia, dan ketika mereka menderita, Tuhan segera diadakan kembali dalam pelukan. Fenomena meninabobokan ketuhanan ini kadang kala terjadi di setiap individu.

Hasrat mereka bereaksi ketika mereka sedang dalam keadaan berbahagia, apa yang ada di luar dari pikiran mereka, akan disingkirkan sementara waktu dan akan dimunculkan kembali ketika keadaan mereka mulai menderita. Dua hal ini akan menimbulkan cacat dan cedera moral dalam diri seseorang. Manusia akan mengalami rasa kebingungan eksistensial dan mulai melakukan penalaran kritis terhadap esensi spiritualitas ketuhanan dan keagamaan. 

Dalam bukunya “Zarathustra” filsuf berkebangsaan Jerman yang bernama Nietzsche, mengatakan bahwa “Tuhan Telah Mati” atau “God Is Dead” yang akhirnya populer dan menimbulkan kontroversi. Tuhan telah mati sendiri sifatnya multitafsir. Salah satu tafsiran dari “Tuhan Telah Mati” adalah bahwa manusia modern sudah meruntuhkan nilai-nilai spiritualitas di dalam dirinya, bergantung dengan apa yang nyata dan fakta, bukan dari apa yang sekadar mereka yakini dan tidak pasti.

Ketergantungan mereka kepada sains juga menjadi penyebab runtuhnya moralitas keimanan, secara gamblang mematikan konsep “dosa” dan memproyeksikan diri menjadi manusia yang unggul. Aforisme ini juga sebagai bentuk kritik Nietzsche kepada para pendeta kala itu yang menganggap manusia adalah makhluk yang berdosa. Menurutnya, suatu kebodohan yang tidak bisa diampuni jika manusia hendak menjalani hidupnya dalam pelbagai kedosaan.

Tendensi inilah yang seringkali membuat manusia secara implisit menghilangkan konsep ketuhanan di dalam dirinya. Di zaman Pascamodern, sikap hedonistik juga menjadi salah satu penyebab maraknya keraguan keimanan. Manusia menjadi materialistis, hingga lupa kerohanian dirinya sudah mulai menghilang. Manusia menuhankan benda sebagai proses dari materialisasi—contohnya adalah uang.

Manusia juga mulai berpatokan pada nilai sekuler, bahwa Tuhan tak ikut andil dalam perencanaan kehidupannya. Tuhan, bagi mereka, hanya sebagai pencipta bukan sebagai penentu dan perencana. Dan juga agama bagi mereka hanyalah dogma-dogma kerdil untuk mendoktrin manusia agar patuh dan tunduk pada Tuhan maupun institusi. Apa yang mereka jalani, itu selayaknya karena kehendak mereka bukan kehendak Tuhan apalagi agama. Manusia mulai menghardik dirinya sebagai penentu jalan dan masa depan dan berpaling dari Tuhan.

Salah satu hal yang menjadi hilangnya nilai spiritualitas di dalam diri seseorang adalah menjadi masyarakat yang terobsesi dengan kepemilikan barang-barang mewah. Masyarakat konsumerisme terjadi ketika nilai-nilai konsumsi atas barang menjadi titik pusat perhatian, menurut Baudrillard. Seorang individu akan menjalani hidup yang tidak autentik dan semu, kehampaan akan melanda di dalam dirinya.

Tak hanya itu, praktik konsumerisme dianggap sebagai cara seseorang untuk mencapai kebahagiaan, dan validasi status sosial. Manusia akan cenderung berada di lingkaran setan, seperti akan mengejar barang-barang mewah yang tak habis-habisnya. Satu barang akan muncul, kemudian di beli, lalu barang baru akan muncul, kemudian dibeli, seperti itu dan seterusnya. Manusia akan kehilangan kendali dan dikontrol oleh nafsu. Manusia sering kehilangan kendali karena tidak adanya kehadiran Tuhan di dalam dirinya.

Untuk membangun kembali kepercayaan kepada Tuhan. Manusia hendaklah memupuk moralitas keyakinan yang bersumber pada intuisi dirinya. Dalam pandangan Transendentalismenya Ralph Waldo Emerson, menurutnya intuisi menjadi senjata penting untuk manusia dalam membangun nilai-nilai spiritualitas di dalam diri.

Untuk mencapai kebenaran sejati, hanya bisa didapat melalui intuisi. Karena intuisi akan menjadi corong utama dalam mendapatkan kembali aspek spiritual atau ilahiah di dalam diri manusia. Membangun aspek-aspek moralitas dan etik yang selama ini hilang atau terpinggirkan.

Intuisi ini akan membawa pada perenungan dan menghadirkan pemikiran bahwa Tuhan hadir sebagai pemberi makna kehidupan, sebagai pembawa pencerahan atas kegelapan, dan sebagai peredam kala bertengkarnya pikiran. Tuhan akan selalu ada dan berdampingan dengan manusia. Tanpa Tuhan, manusia akan hanya menuju kesesatan dan kekosongan.

Manusia akan tenggelam pada kehampaan jiwa yang tidak stabil, rasa alienasi yang begitu kuat hingga mereka akan merasa ditelantarkan, karena tidak ada lagi yang dapat diandalkan. Karena satu-satunya yang dapat diandalkan adalah eksistensi Tuhan, dan keseragaman nilai-nilai keagamaan. Dengan itu, manusia akan kembali bertaut dan menuju jalan pencerahan. Pemunculan kembali sosok Tuhan akan terjadi ketika mereka berkontemplasi.

Dalam agama Islam, cara untuk terkoneksi dengan Tuhan adalah menjalankan shalat. Sebab, shalat adalah cara langsung untuk melakukan penyerahan diri dan berbicara langsung kepada Tuhan. Selain itu, shalawat dan pujian dengan menyebut 99 nama Allah juga menjadi hal penting dalam mengembalikan aspek religiusitas dan moralitas pada diri seseorang. Manusia akan merasa tenang dan aman, dan merasa sadar bahwa selama ini Tuhan ternyata ada di dekat mereka sepanjang waktu. Sebab, eksistensi Tuhan akan selalu menjadi sisi penting di dalam diri manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like