Pada masa pasca-reformasi saat ini, apa yang telah kita peroleh dari realitas politik kita? Jawaban yang kita peroleh tentu beragam, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi “orang kanan”, dengan bangga pasti menyebut bahwa liberalisasi politik saat ini sebagai sebuah prestasi yang membanggakan. Sebaliknya, “orang kiri” barangkali menyebut bahwa perjuangan reformasi kita telah tersandera oleh pihak korporat menuju demokrasi elit yang dikuasai oleh sebagian orang saja.
Politik dalam masa pasca-reformasi sangat sulit dijelaskan secara nyata bagaimana bentuk “wajahnya”. Liberalisasi politik yang telah membuka kebebasan, meminjam istilah Habermas, ruang publik secara luas adalah sesuatu yang memang tengah dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Misalnya, pers yang sangat bebas, mempelajari berbagai buku (akhir-akhir ini mulai dilarang) dari buku komunisme sampai Leninisme, atau mengkritik pemerintah lewat media sosial sudah menjadi hal yang wajar.
Belakangan ini sulit rasanya untuk menampik bahwa tuntutan reformasi total yang disuarakan mahasiswa beberapa tahun lalu, akan segera tersingkir dan menjadi momen heroisme semata. Terlihat dari sedikitnya ‘aksi massa’ yang menyentuh angka ribuan oleh mahasiswa. Suara keras mahasiswa mulai meredup dari era pemerintahan Habibie dan Gus Dur, terdengar sayup-sayup pada era Megawati, timbul-tenggelam pada era SBY, dan pudar saat masa Jokowi.
Meminjam istilah Benedict Anderson (1983) yang ia gunakan untuk menjelaskan politik Indonesia era Orde Baru, “Old State and New Society” begitulah kondisi politik di Indonesia. Meski aktor-aktor lama telah banyak berganti, tetapi karakter-karakternya masih tetap sama. Masyarakat kita juga telah berubah karena perkembangan teknologi, namun negara tetap saja menampilkan sosoknya yang elit.
Politik elit ditandai oleh dominasi elit politik dalam panggung politik Indonesia dan tersisihnya kekuatan populis (terutama mahasiswa) yang dulu menjadi garda terdepan menggulingkan Orde Baru yang otoriter. Sejak turunnya Soeharto, pergeseran ini telah dimulai, dan bertahan hingga saat ini.
Memang benar jika mahasiswa dan para buruh masih melakukan perlawanan pada kekuatan elit negara. Namun, secara umum daya desaknya sudah melemah dan tidak begitu berpengaruh terhadap proses politik di tingkat elit. Bagi saya, kekuatan populis (mahasiswa dan kaum proletar) sudah mulai terfragmentasi, menyusul hilangnya musuh bersama, momentum, dan semangat militansi yang dulu menjadi semangat kebersamaan dalam berjuang. Kekuatan populis, khususnya mahasiswa kembali ke watak aslinya, yaitu sulit untuk diajak bersatu dan mudah berselisih pada hal yang kurang prinsipil.
Hal yang ironis terjadi belakangan ini. Jika pada awal perjuangan kekuatan populis gigih memperjuangkan pemerintahan yang anti-otoriter, namun saat ini, tanpa disadari mereka justru membuka pintu untuk tampilnya kekuasaan elit baru. Posisi mereka dengan mudah direbut oleh para elit. Elit politik dan para korporatlah yang menikmati hasilnya saat ini. Sementara kekuatan populis menjadi terasing sebagai ujung tombak reformasi.
Hal tersebut terjadi karena aktor-aktor prodemokrasi Indonesia lebih banyak berkutat pada diskusi tentang bagaimana meruntuhkan otoritarian suatu rezim, namun ide tentang bagaimana mewujudkan demokrasi jarang didiskusikan. Alhasil perjuangan menegakkan demokrasi hanya sebatas menumbangkan rezim, tetapi bukan membangun demokrasi yang stabil (Anders Uhlin, 1998: 217).
Ironisnya saat ini, tumbangnya rezim otoriter diartikan sebagai selesainya perjuangan oleh sebagian kekuatan populis. Memang penting untuk menumbangkan rezim otoriter, tetapi jauh lebih penting bagaimana membentuk panggung politik yang benar-benar memihak pada kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya. Jika ditelaah lebih lanjut, keputusan Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 bagi saya adalah strategi politik bermata dua, yaitu tersingkirnya rezim otoriter sekaligus terpecah-belahnya kekuatan populis.
Muncullah tesis bahwa kekuasaan otoriter selalu diikuti oleh berdirinya kekuasaan yang elit. Sebagai contoh ketika bangsa Indonesia berhasil lepas dari cengkeraman kolonial, yang lahir dari peran elit yang menonjol. Peranan massa hanya terjadi pada tahun 1955-1957, yaitu saat pemilihan umum anggota parlemen dan anggota Majelis Konstituante serta wakil daerah, selebihnya massa dibiarkan tidak terlibat dalam proses politik.
Herbert Feith (1962) dalam karyanya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menggambarkan kondisi politik Indonesia pada 1950-an yang bersifat elit, sementara massa (rakyat) selalu berada di posisi pinggiran dan terkucilkan dari panggung politik. Menurut Feith, dalam periode itu terjadi pertarungan elit antara pihak administrator yang diwakili Hatta dan pembuat solidaritas yang diwakili Soekarno. Peran administrator lebih menonjol ketika digunakan sistem parlementer, sedangkan pembuat solidaritas relatif kecil. Namun peran administrator mulai menyusut ketika Soekarno dengan kekuatan militernya yang memberlakukan dekrit pada 5 Juli 1959 dan praktis mengakhiri sistem parlementer.
Pada masa Soekarno (1959-1967) dan Soeharto (1967-1998) sifat elit terus bertahan. Kedua pemimpin itu mampu membangun personalisasi politik yang menyebabkan keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar. Saat ini, aktor-aktornya telah berubah, namun keadaan serupa masih berlangsung. Bedanya terletak pada lokasi para elit tidak hanya politisi tetapi juga korporat pemilik modal yang jumlahnya lebih sedikit di masyarakat.
Kelompok elit adalah kelompok minoritas superior yang berada di puncak strata dan memiliki peran yang menentukan dalam proses pembuatan kebijakan. Sedangkan massa adalah mayoritas inferior yang posisi stratifikasi sosialnya berada di bawah, dan biasanya tidak memiliki banyak dana untuk berperan dan memengaruhi perumusan kebijakan yang dibuat para elit (Munafrizal Manan, 2005: 51).
Bagi Vilfredo Pareto, kelompok elit muncul karena mereka punya kapasitas personal alami yang lebih unggul dibandingkan dengan orang kebanyakan (massa). Pareto percaya dalam lingkungan masyarakat selalu ada orang yang lebih unggul. Secara implisit, bagi Pareto kehadiran kaum elit adalah bersifat kodrat. Berbeda dengan Gaetano Mosca, kelompok elit (the ruling class) dapat berkuasa tidak hanya karena memiliki kelebihan personal, tetapi juga karena relatif terorganisir dalam berpolitik, sehingga massa sulit melakukan perlawanan kepada para elit.
Saya lebih setuju pada pandangan Robert Michels. Ia berpendapat munculnya kelompok elit akibat struktur organisasi sosial modern yang mulai kompleks dan karena itu mulai membutuhkan pembagian kerja yang jelas (Munafrizal Manan, 2005: 52). Adanya pembagian kerja secara langsung berpengaruh pada orang-orang yang memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan yang ada. Mereka dibutuhkan oleh organisasi, baik itu politik ataupun ekonomi, untuk memelihara kepentingan dan mencapai tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, mereka mempunyai kemampuan melestarikan posisi tersebut sehingga berada di puncak strata masyarakat.
Menurut Michels, para pemimpin, khususnya pemimpin politik, diyakini dapat menjawab ketidakmengertian pengetahuan massa dalam isu politik, memeroleh kepercayaan, membuat keputusan-keputusan penting yang berdampak luas dalam masyarakat. Dengan dalih semacam itulah mereka berusaha membohongi massa agar tidak ikut campur dalam proses politik.
Ada jalan keluar bagi kita untuk mengontrol perilaku kelompok elit, yaitu lewat gerakan massa. Dalam buku Gerakan Massa, Eric Hoffer mengidentifikasi gerakan massa sebagai gerakan yang dicirikan oleh: bangkitnya kerelaan para anggotanya untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, dimilikinya fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal. Tentu gerakan massa yang saya maksud bukan gerakan yang memiliki ciri tersebut.
Gerakan massa yang saya maksud memiliki ciri: kerelaan para anggotanya untuk bersama-sama bergerak berdasarkan rasionalitas, beraksi secara simultan dan terorganisir, memiliki antusiasme dan harapan berapi-api untuk menciptakan pemerintahan yang pro-rakyat, memiliki kesadaran kelas dan memiliki kebencian pada pemerintahan yang otoriter.
Gerakan massa dalam konteks ini tidak melulu diartikan sebagai demonstrasi, tetapi lebih menekankan kepekaan seluruh aspek rasionalitas masyarakat pada hakikat demokrasi yang bermuara pada rakyat. Massa sebagai kekuatan populis diibaratkan sebagai ‘mata tuhan’ untuk mengawasi kinerja para pemimpin. Partisipasi politik sebagai segala aktivitas warga negara yang sepenuhnya berfungsi untuk memengaruhi kebijakan agar benar-benar menguntungkan rakyat, bukan sebaliknya.
Jika gerakan massa sadar akan kemampuannya melakukan kontrol terhadap kinerja dan kebijakan negara, maka massa akan memiliki posisi tawar terhadap pemerintah. Ketika rakyat ikut berpartisipasi dalam proses politik, rakyat tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para elit. Dengan demikian akan terbentuk negara dan masyarakat sipil yang sama-sama kuat.
Dalam konteks inilah gerakan massa di berbagai belahan dunia kerap disebut parlemen jalanan, mengingat sifatnya yang menjadi penyeimbang kekuatan di luar parlemen. Tatkala gerakan massa terlembagakan (legal) dalam proses politik, maka ia menjadi sebuah institusi oposisi yang penting; institusi politik yang menentang kinerja dan kebijakan negara yang tidak sejalan dengan nilai dan kepentingan masyarakat (R. Eep Saefulloh Fatah, 1994).
Kekuatan populis bisa memanfaatkan modernitas sebagai transformasi kultural untuk mencerdaskan rakyat, sehingga hambatan partisipasi politik semakin terbuka. Dalam hal ini, keberanian massa akan semakin terasah untuk menunjukkan sikap politiknya yang enggan menghamba pada kepentingan kelompok elit. Meskipun kerap kali hal tersebut sangat tidak diinginkan oleh kelompok elit yang berkuasa, karena jika hal itu terjadi dikhawatirkan membahayakan status quo mereka. Tak heran jika banyak gerakan massa sering dikatakan “ada yang mendalangi”, “yang menunggangi”, “yang menggerakkan”, dan sebagainya (Munafrizal Manan, 2005: 370).
Sebagai kekuatan populis tentunya kita tak lagi ragu untuk ‘menghajar’ para elit lewat kevokalan kita bersuara. Menyuarakan suara yang terdengar sayup di daerah pinggiran sebab terhalang gedung-gedung pencakar langit. Menyuarakan petani yang miskin di tanah yang katanya subur. Menyuarakan para nelayan yang lautnya direklamasi dengan tanah. Menyuarakan suara yang merdu di telinga rakyat dan terasa memekik di telinga kaum elit kita.
Pemerhati Sosial, Minat Kajian Politik Sastra dan Filsafat