Anarkisme adalah suatu filosofi politik yang memikat banyak orang dengan gagasannya yang berani dan radikal: penghapusan negara. Gagasan ini seringkali disalahpahami sebagai dorongan untuk kekacauan dan kekerasan. Namun, apakah benar itu yang diinginkan oleh kaum anarkis? Dan bagaimana cara mereka mengusulkan untuk mencapai masyarakat tanpa negara?
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa tidak semua anarkis mendukung penggunaan kekerasan. Sebagian besar anarkis berfokus pada pembangunan alternatif sosial dan ekonomi yang dapat beroperasi tanpa perlu adanya pemerintahan pusat. Mereka beragam dalam pendekatan dan tujuan mereka, tetapi satu hal yang mereka setujui adalah bahwa otoritas dan kekuasaan, terutama yang tidak adil, harus ditentang.
Dalam spektrum anarkisme, terdapat berbagai cabang dengan ide-ide yang sangat berbeda tentang bagaimana masyarakat ideal harus diorganisir. Misalnya, mutualis mendukung gagasan tentang kepemilikan bersama dan kerja sama dalam produksi dan konsumsi, sementara anarko-kapitalis mempromosikan pasar bebas dan perlindungan hak-hak individu atas properti. Perbedaan mendasar ini juga menandai cara masing-masing kelompok memandang hak milik dan kebebasan individu.
Dengan memahami perbedaan-perbedaan ini, kita dapat melihat bahwa anarkisme bukan monolitik; itu adalah mosaik dari banyak gagasan yang semua berusaha mencari cara untuk hidup tanpa struktur kekuasaan yang represif. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan lebih lanjut tentang prinsip-prinsip umum yang dipegang oleh anarkis dan untuk mengurai perbedaan antara berbagai kelompok anarkis, sehingga membantu pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan objektif tentang apa itu anarkisme.
Istilah “anarkisme” berasal dari kata Yunani “arché”, yang memiliki arti ganda: “prinsip pertama” dari mana segala sesuatu berasal, dan “kekuasaan” atau “pemerintahan”. Dalam konteks anarkisme, “arché” diartikan sebagai keberadaan kekuasaan yang dominan yang seharusnya tidak ada, sehingga menciptakan suatu sistem non-pemerintahan atau tanpa aturan. Meskipun dalam imajinasi populer, anarkisme sering dikaitkan dengan kekacauan, ketidakaturan, atau perang saudara, para anarkis sendiri menggunakan istilah ini untuk menunjukkan ketiadaan kekuasaan opresif, bukan ketiadaan tatanan atau moral (Kinna, 2009, hlm. 7).
Sejarah pemikiran anarkis bisa dilacak jauh ke belakang, bahkan sebelum Pierre-Joseph Proudhon yang pertama kali mendeskripsikan dirinya sebagai anarkis pada abad ke-19. Pemikiran ini juga dapat dilihat pada kelompok-kelompok filsuf seperti Epikurean dan Cynic di Yunani kuno. Epikurean, yang mengikuti ajaran Epikuros, menekankan pentingnya menjalani kehidupan yang sederhana dan tidak mencolok di luar negara-kota untuk mencapai ketenangan dan kontrol diri. Sementara itu, Diogenes sang Cynic, memilih pendekatan yang lebih konfrontatif, menganjurkan penolakan terhadap otoritas politik dan norma sosial yang dominan sebagai cara untuk hidup bebas.
Tradisi anarkisme tidak hanya terbatas pada periode klasik. Para sejarawan anarkisme mengaitkan filosofi ini dengan berbagai gerakan sosial sepanjang sejarah, termasuk Levellers dan Diggers selama Perang Saudara Inggris yang juga didorong oleh keyakinan anarkis. Gerakan ini bertujuan untuk penghapusan hak milik tanah yang tidak adil dan membentuk komunitas egaliter. Begitu pula, pemikiran anarkis muncul dalam karya filsuf abad ke-18 seperti Jean-Jacques Rousseau dan William Godwin, yang meski tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai anarkis, kedua pemikir ini memberikan kontribusi pada pengembangan ide-ide tentang kebebasan dan anti-otoritarianisme.
Dengan melihat lebih dalam ke dalam sejarah dan prinsip-prinsip anarkisme, kita dapat memahami bahwa konsep ini lebih dari sekedar penghapusan negara atau kekuasaan, melainkan suatu pencarian untuk masyarakat yang lebih adil dan egaliter, di mana kekuasaan terdistribusi secara merata dan tiap individu memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa dominasi dan paksaan.
Keyakinan utama anarkis pertama adalah bahwa negara (dan bentuk otoritas politik lainnya) tidak dibenarkan. Alasan utama keyakinan ini adalah nilai kebebasan manusia (Honderich, 1995, hlm. 30). Institusi negara, dengan sifatnya, membatasi kebebasan dengan memberlakukan kewajiban untuk mengikuti hukum (dan memberlakukan hukuman bagi mereka yang gagal mematuhinya). Anarkisme adalah filosofi sosial yang berupaya membebaskan orang dari dominasi politik dan eksploitasi ekonomi negara (Kinna, 2009, hlm. 3). Dengan kata-kata Pierre Joseph Proudhon:
“Diatur adalah untuk diawasi, diperiksa, diintai, diarahkan, didorong oleh hukum, dinomori, didaftarkan, didoktrin, diberi kotbah, dikontrol, dinilai, dinilai, dikritik, diperintah. Diatur adalah pada setiap operasi, pada setiap transaksi, dicatat, terdaftar, didaftarkan, dikenai pajak, distempel, diukur, dinomori, dinilai, dilisensikan, diberi wewenang, ditegur, dilarang, direformasi, diperbaiki, dihukum. Ini adalah, di bawah kedok utilitas publik, dan atas nama kepentingan umum, untuk ditempatkan di bawah kontribusi, dilatih, ditebus, dieksploitasi, dimonopoli, diperas, diperas, dimistikkan, dirampok: lalu, pada perlawanan paling kecil, kata pertama keluhan, untuk ditekan, didenda, diremehkan, dikejar, disalahgunakan, dipukuli, dilucuti senjata, dicekik, dipenjarakan, diadili, dihukum, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati.” (Proudhon, What Is Property?, dikutip dalam Kinna 2009, hlm. 74).
Dalam pandangan anarkis, negara dipandang serupa dengan mafia karena keduanya mempertahankan eksistensi mereka melalui paksaan, ketakutan, kekerasan, dan intimidasi. Bagi banyak anarkis, kedua entitas ini dianggap tidak sah dan berpotensi merusak karena bergantung pada penggunaan kekuasaan yang tidak adil untuk mempertahankan kendali. Namun, pandangan ini menimbulkan pertanyaan: jika negara adalah lembaga yang tidak sah, apa langkah konkret yang harus diambil untuk menanggalkannya?
Dalam praktik, kaum anarkis memiliki berbagai pendekatan terkait bagaimana menggantikan atau menghapus keberadaan negara. Beberapa mendukung tindakan revolusioner, termasuk penggunaan kekerasan jika dianggap perlu, sebagai cara untuk membongkar struktur-struktur otoritas yang ada. Sebaliknya, kelompok seperti Agoris memilih strategi yang lebih bertahap dan non-konfrontatif. Mereka mendukung apa yang disebut “kontra-ekonomi”, yang melibatkan kegiatan seperti pertukaran barang di pasar gelap yang tidak terpapar oleh pajak atau regulasi pemerintah, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem fiskal negara.
Meski sering dikaitkan dengan kekacauan dan ketidakaturan, anarkisme sejatinya tidak menolak konsep organisasi sosial secara keseluruhan. Sebagai gantinya, anarkisme menantang ide bahwa keanggotaan dalam masyarakat politik harus bersifat paksa. Anarkis berargumen untuk pembentukan komunitas yang didasarkan pada keanggotaan sukarela, di mana individu bebas untuk keluar kapan saja. Mereka mendukung pembuatan keputusan bersama atau konsensus dalam mengatur aturan kerjasama, sehingga menghapus kebutuhan akan struktur hierarki yang mengandalkan perintah dan ketaatan. Dengan kata lain, organisasi dan kerjasama bisa terjadi secara alami tanpa perlu dominasi atau penekanan.
Secara keseluruhan, kaum anarkis melihat potensi untuk sebuah masyarakat yang lebih adil dan egaliter, di mana relasi kekuasaan yang tidak adil dihilangkan dan individu dapat berinteraksi dalam kerangka yang didasarkan pada kesepakatan mutual dan kebebasan individu. Pandangan ini menantang kita untuk memikirkan ulang tentang struktur dan fungsi kekuasaan dalam masyarakat kita, serta mengusulkan alternatif bagi cara kita mengorganisir kehidupan sosial dan politik.
Dalam diskursus politik, anarkisme sering kali diposisikan sebagai pandangan yang radikal dan kontras terhadap bentuk-bentuk pemerintahan tradisional, dengan penekanan kuat pada anti-negara dan kecenderungan apolitis dalam konteks tradisional. Para anarkis tidak hanya menolak ide menggunakan negara sebagai alat untuk mencapai perubahan sosial, tetapi mereka juga cenderung menghindari partisipasi dalam sistem politik konvensional, seperti pembentukan partai politik atau partisipasi dalam pemilu. Karya Kinna pada tahun 2009 dan 2019 menjelaskan bahwa banyak anarkis secara pribadi memilih untuk abstain dari pemilihan karena mereka percaya bahwa berpartisipasi dalam sistem tersebut dapat memvalidasi dan memperkuat struktur kekuasaan yang mereka lawan.
Perbedaan pendapat ini memunculkan perpecahan yang signifikan antara kaum anarkis, seperti yang dipimpin oleh Bakunin, dan kaum Marxisme selama pertemuan di Internasional Pertama. Bakunin dan pendukungnya percaya bahwa keterlibatan dalam lembaga legislatif hanya akan menumpulkan semangat revolusioner dan menyatukan mereka ke dalam sistem yang mereka coba untuk subversi. Pandangan ini menekankan kesatuan antara cara dan tujuan, yang berarti bahwa taktik yang digunakan untuk mencapai sebuah masyarakat bebas dan tanpa negara harus mencerminkan nilai-nilai kebebasan itu sendiri.
Sebaliknya, kaum anarkis tidak menghindari semua bentuk aktivitas politik. Mereka aktif dalam bentuk-bentuk aktivisme yang tidak tergantung pada struktur pemerintahan, seperti protes, pembangkangan sipil, pendidikan politik, pendudukan, pemboikotan, dan penciptaan komunitas sukarela yang beroperasi sejauh mungkin di luar batasan hukum. Tindakan-tindakan ini dianggap sebagai sarana untuk mendemonstrasikan dan mewujudkan ideal-ideal anarkis dalam praktek, menunjukkan cara alternatif dalam membangun tatanan sosial tanpa bergantung pada kekuasaan negara.
Terkait dengan penggunaan kekerasan, terdapat variasi pendapat di antara kelompok-kelompok anarkis. Anarko-kapitalis, contohnya, menganut prinsip non-agresi yang menolak penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, kecuali jika bersifat defensif. Namun, tokoh-tokoh seperti Bakunin, yang terkenal dengan pernyataan bahwa “gairah untuk penghancuran adalah gairah kreatif juga”, telah mendukung penggunaan kekerasan sebagai alat dalam revolusi yang lebih luas. Beberapa anarkis bahkan telah terlibat dalam aksi-aksi yang lebih ekstrem, seperti tindakan terorisme, menunjukkan spektrum luas pendekatan dalam komunitas anarkis terhadap isu kekerasan.
Pemahaman mendalam tentang anarkisme memperlihatkan bahwa ini bukan sekadar penolakan terhadap negara atau pemerintahan, tetapi juga sebuah eksplorasi terhadap cara-cara baru dalam mengatur masyarakat yang lebih adil dan merdeka, dengan mengedepankan otonomi individu dan konsensus kelompok daripada dominasi dan paksaan.
Konsep kebebasan yang menjadi prinsip utama bagi kaum anarkis telah menghasilkan beragam interpretasi tentang bagaimana masyarakat ideal seharusnya terstruktur. Keanekaragaman ini tercermin dari berbagai aliran pemikiran dalam anarkisme, yang masing-masing memperkenalkan variasi dalam istilah yang digunakan untuk menjelaskan ideologi mereka. Seperti yang dicatat oleh Kinna pada tahun 2009, kita mendapati istilah-istilah seperti anarko-sindikalis, anarko-feminis, eko-anarkis, dan anarko-komunis, serta variasi lain seperti anarkisme Kristen, sosial, anarko-kapitalis, reformis, dan primitivis, masing-masing mencerminkan fokus dan prioritas yang berbeda dalam konteks anarkisme.
Di satu sisi spektrum, kita temukan anarkis kolektivis yang mendukung prinsip-prinsip komunal dan kerja sama. Contoh terkenal dari kelompok ini adalah Pierre Joseph Proudhon, yang mempromosikan gagasan masyarakat yang terdiri dari usaha-usaha kecil dan pengrajin yang tergabung dalam federasi longgar. Proudhon dan anarkis komunis lainnya seperti Peter Kropotkin, menolak hak milik pribadi dan mendukung pengaturan komunal atas sumber-sumber produksi dan penghidupan. Mereka percaya pada prinsip bantuan timbal balik, di mana mereka yang mampu memberikan lebih dari yang mereka terima harus berusaha melakukannya, sedangkan mereka yang membutuhkan lebih dari yang dapat mereka kontribusikan tidak seharusnya merasa malu.
Di sisi lain, terdapat anarkis individualis seperti Murray Rothbard dan Milton Friedman, yang berpendapat kuat untuk hak milik pribadi dan pasar bebas. Bagi mereka, masalah utama dengan negara bukanlah perlindungan hak milik pribadi, tetapi sebaliknya, kegagalan negara dalam memperkuatnya sepenuhnya. Dalam pandangan ini, pajak dilihat sebagai bentuk pencurian, dan penghapusan negara dianggap sebagai sarana untuk mengurangi pencurian tersebut. Anarkis individualis tidak memberi penekanan yang sama terhadap bantuan timbal balik seperti kolektivis mereka; mereka tidak menolak ide pembentukan kolektif, tetapi menekankan bahwa partisipasi dalam sistem semacam itu harus bersifat sukarela dan tidak wajib.
Kedua pandangan ini mencerminkan dualitas dalam anarkisme, di mana setiap kelompok memiliki visi unik mereka sendiri tentang kebebasan dan organisasi masyarakat. Meskipun berbeda dalam pendekatan, kedua kelompok anarkis berbagi komitmen umum terhadap eliminasi struktur kekuasaan yang opresif dan penciptaan masyarakat di mana individu dapat berkembang tanpa paksaan atau dominasi.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.