Nurani dan Kompas Moral Kita5 min read

Sebagian dari masyarakat kita, atau mungkin diri kita sendiri, seringkali menjadikan nurani sebagai kompas atau navigasi dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana perilaku yang bermoral dan mana perilaku yang amoral. Dengan demikian, berarti kita memposisikan nurani sebagai semacam justifikasi atas tindakan-tindakan yang akan atau sudah dilakukan.

Kecenderungan semacam ini biasanya termanifestasi dalam ujaran-ujaran seperti, “nurani saya merasa tergugah saat melihat peristiwa itu,” “saya melakukan apa yang menurut nurani saya benar,” “ikuti saja nuranimu!” atau yang paling baru di tengah suasana pemilu seperti sekarang ini, banyak orang berkata, “nurani saya mengatakan bahwa Si X adalah presiden yang cocok untuk negeri ini.”

Namun, pertanyaannya adalah apakah nurani memang benar-benar memadai untuk membenarkan tindakan-tindakan dan dengan demikian juga pilihan-pilihan kita? Bukankah nurani masing-masing kita seringkali berbeda? Apa yang mengusik nurani saya seringkali tidak berlaku demikian pada orang lain, apa yang membuat nurani orang lain tergerak seringkali tidak berlaku demikian pada saya.

Namun, jika nurani yang konon cukup sakral dan suci ternyata belum cukup memadai untuk membenarkan tindakan dan pilihan kita, lalu apa yang layak untuk melengkapi atau bahkan menggantikannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini saya kira perlu untuk kita diskusikan kembali, agar kita mampu menempatkan nurani sebagaimana mestinya, yakni sebagai sesuatu yang meskipun suci dan sakral namun tetap dalam batas-batas akal.

Mari kita mulai dengan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan nurani. Serta, apakah entitas semacam ini memang benar-benar ada? Sejak zaman Yunani, para filsuf telah berupaya menjelaskan apa itu nurani. Dalam hal ini, para filsuf memiliki pelbagai pandangan yang berbeda dan seringkali saling bertentangan.

Ada filsuf yang meyakini adanya nurani, ada juga yang meyakini sebaliknya. Filsuf yang mengafirmasi adanya nurani, semisal Kant, berargumen bahwa manusia memang memiliki pengadilan internal dalam dirinya yang dapat menentukan apa yang menjadi kewajiban dan apa yang bukan.

Lalu, Erich Fromm, filsuf lain yang juga mengafirmasi adanya nurani, berargumen bahwa manusia memiliki kesadaran humanis, suatu kesadaran yang bersifat universal, intuitif, dan apriori. Apriori berarti tanpa belajar pun manusia akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Misalnya saja, semua orang tanpa belajar sama sekali, tentu akan menyetujui bahwa membunuh adalah tindakan yang buruk.

Jika kita mencoba menarik definisi dari argumen kedua filsuf tersebut, sekurang-kurangnya nurani dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran yang menentukan apa yang menjadi kewajiban kita, kesadaran ini bersifat apriori, intuitif, dan universal. Dalam artian ini, nurani bisa dianggap memadai untuk menjadi justifikasi atas suatu tindakan tertentu. Dan saya rasa, sebagian besar masyarakat kita memahami nurani dalam artian ini.

Namun, tentu banyak filsuf yang tidak setuju dengan gagasan dua filsuf besar tersebut. Thomas Hobbes dan Montaigne adalah beberapa di antaranya. Mereka mempertanyakan sumber epistemik dari nurani. Jika memang benar nurani itu apriori dan universal, lantas mengapa nurani kita seringkali berbeda dalam menanggapi sesuatu?

Atau mengapa misalnya dulu nurani kita tidak tergerak saat melihat peristiwa A, namun sekarang menjadi tergugah? Bukankah itu sudah merupakan satu bukti bahwa nurani tak lain hanyalah suatu pengadilan yang undang-undangnya berasal dari pengaruh eksternal seperti agama dan budaya alih-alih apriori?

Dengan mengajukan pertanyaan semacam ini, mereka ingin mengatakan bahwa nurani sebenarnya tidak lain adalah sekadar kesadaran kita tentang hukum moral, pengetahuan kita tentang yang baik dan buruk, yang sangat terkait dengan pengaruh dari luar diri kita, semisal budaya, agama, dan keluarga. Bagi mereka, nurani sama sekali tidak memiliki kekuatan epistemik.

Kita sama sekali tidak bisa membenarkan tindakan kita hanya karena alasan nurani. Mengaitkan satu tindakan dan dengan demikian juga pilihan kita dengan hati nurani justru menghalangi kita terhadap penalaran yang lebih lanjut terhadap tindakan dan pilihan tersebut.

Argumen dari Hobbes dan Montaigne ini memang sangat menjanjikan, namun pandangan dari Kant dan Fromm juga harus kita pertimbangkan dan sama sekali tidak bisa kita abaikan. Kita bisa saja percaya bahwa nurani hanya sebatas akumulasi dari pengetahuan moral kita yang sangat relatif dan dipengaruhi oleh kode budaya.

Namun, fakta bahwa manusia memiliki suatu peradilan internal yang apriori dan universal juga tak terbantahkan. Jadi, bagaimana jalan tengahnya? Saya kira sangat sulit untuk menjembatani kesenjangan di antara dua pendapat ini, mencoba mendamaikan keduanya sama sulitnya seperti mencoba mendamaikan antara rasionalisme dan empirisme.

Namun, meskipun demikian, sekurang-kurangnya apa yang dapat kita simpulkan dari perdebatan para filsuf di atas adalah bahwa nurani memang memiliki dimensi yang bersifat objektif dan universal, namun di sisi lain, nurani juga memiliki dimensi-dimensi yang bersifat subjektif.

Dimensi subjektif inilah yang membuat nurani belum cukup memadai untuk dijadikan justifikasi atas tindakan dan berbagai pilihan yang kita buat. Jika kita tetap memaksakan bertindak berdasarkan nurani kita masing-masing, akan banyak kekacauan yang tercipta, karena masing-masing dari kita memiliki panggilan nurani yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dibutuhkan sesuatu yang dapat menjembatani subjektivitas yang ada di antara nurani kita masing-masing.

Dan tugas semacam ini sangat layak kita bebankan pada nalar. Nalar dengan segala perangkatnya, telah sejak lama terbukti ampuh membantu manusia untuk mempermudah hidupnya. Ia sangat berperan dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Meskipun nalar pun juga memiliki dimensi subjektif, namun nalar akan membantu kita dalam mempertimbangkan segala akibat yang mungkin dihasilkan dari tindakan dan pilihan-pilihan kita. Sehingga, nalar akan mampu membantu kita membuat keputusan yang tidak hanya baik bagi diri atau budaya kita sendiri, tapi juga baik bagi orang lain.

Mengandaikan adanya keterlibatan nalar dalam setiap tindakan kita, bukan berarti sama dengan mendiskreditkan nurani. Nurani sama pentingnya dengan nalar, ia adalah penggerak atau motivasi di balik perilaku manusia. Jika diibaratkan kapal, nurani adalah bahan bakarnya dan nalar adalah kompasnya. Tanpa kompas, nahkoda bisa saja tersesat dan bahan bakar akan terbuang sia-sia. Namun, tanpa bahan bakar, kompas tentu tak akan menjadi apa-apa. Jadi, keduanya sebenarnya saling melengkapi.

Akhir kata, kita mungkin telah sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang seharusnya menjadi kompas moral kita, yang menjadi justifikasi atas tindakan dan pilihan-pilihan kita, tak cukup hanya sebatas nurani yang bersifat intuitif, tapi juga nalar yang bersifat logis dan rasional. Karena nurani, meskipun ia memiliki dimensi objektif dan universal, ia juga memiliki dimensi subjektif.

Keterlibatan nalar akan sangat membantu kita dalam menjembatani subjektivitas yang ada di antara masing-masing nurani kita. Oleh karena itu, upaya kita untuk menuruti panggilan nurani, sudah semestinya kita barengi dengan upaya kritis yang melibatkan nalar. Sehingga, pada akhirnya kita dapat melakukan tindakan yang baik secara moral maupun sosial.

Daftar Pustaka

  1. Giubilini, Alberto, “Conscience”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.) URL = https://plato.stanford.edu/ENTRIES/conscience/
  2. Fromm, Erich. Perihal ketidakpatuhan. IRCiSoD, 2020.
  3. Calne, D. B. (2004). Batas nalar: rasionalitas dan perilaku manusia. (No Title).

Mahasiswa gabut yang menulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like