Datang, Gali & Pergi Tambang Batubara Kalimantan8 min read

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa Indonesia adalah negara dengan sumber daya Alam yang melimpah. Salah satunya yang masih menjadi primadona adalah Batu Bara. Berdasarkan data dari Minerba One Map Indonesia (MODI), produksi batu bara Indonesia pada tahun 2023 menembus 766,95 juta ton. Angka tersebut setidaknya 110,43% dari target yang dipatok sebesar 694 juta ton.

Tingginya produksi batu bara ini berbanding lurus dengan tingginya kegiatan pertambangan di wilayah penghasil batu bara yang salah satunya adalah pulau Kalimantan, yang merupakan wilayah yang kaya akan hasil tambang terutama batu bara. Dalam proses pengambilan sumberdaya tak terbarukan ini tak bisa dilepaskan dengan berbagai dampak lingkungan yang di akibatkan.

Kegiatan pertambangan batu bara adalah suatu kegiatan jangka panjang, yang pada dasarnya dalam prosesnya melibatkan pembukaan lahan dan mengubah bentang alam sehinga ini berpotensi menimbulkan banyak dampak terutama dampak terhadap lingkungan warga sekitar.

Kalimantan selain dikenal dengan kekayaan bentang alamnya, Kalimantan juga destinasi favorit pelaku usaha tambang, salah satunya wilayah provinsi Kalimantan Selatan. Menurut data produksi batu bara Provinsi Kalimantan Selatan tercatat mencapai 78 juta ton tiap tahun. Berdasarkan data tahun 2022 Provinsi Kalimantan Selatan terverifikasi masih memiliki cadangan batu bara sebesar 9,3 miliar ton. Tentu cadangan batu bara ini adalah magnet tersendiri bagi para pelaku tambang. Banyaknya sumberdaya alam ini mengundang pelaku usaha tambang untuk mendirikan tambang di daerah Kalimantan Selatan.

Menurut data yang di rangkum dari kementrian lingkungan dan kehutanan secara umum luas total kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah kurang lebih 1.664.000 Hektar, dimana seluas kurang lebih 950.800 Hektar merupakan kawasan hutan lindung dan produksi. Dalam prakteknya penggunaan kawasan hutan diluar sektor kehutanan guna mendukung pembangunan dapat dilakukan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Berdasarkan data penutupan lahan KLHK tahun 2019, dari total IPPKH pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan seluas kurang lebih 55.078 Hektar yang terindikasi telah beraktivitas di lapangan adalah seluas kurang lebih 30.841 Hektar. Luas bukaan tambang pada areal IPPKH tersebut lebih kecil jika dibandingkan bukaan tambang di luar kawasan hutan(APL) seluas kurang lebih 53.456 Hektar.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, jika kegiatan pertambangan ini adalah salah satu kegiatan jangka panjang yang dalam prosesnya melibatkan pembukaan lahan yang tentunya sangat berpotensi mengubah bentang alam yang mana dapat perpotensi berdampak pada lingkungan. Tidak bisa ditepis jika sektor pertambangan juga membantu pembangunan ekonomi baik skala regional daerah bahkan ekonomi skala nasional. Tapi apakah hasil ekonomis tersebut bisa memperbaiki dampak lingkungan yang dihasilkan? Pada prakteknya justru dampak setelah kegiatan tambang inilah yang banyak menimbulkan berbagai permasalahan terutama permasalahan lingkungan yang belum terselesaikan dengan tuntas.

Menurut Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Kalimantan Selatan, Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Kalsel dengan luas 3,7 juta Ha, ada 13 kabupaten/ kota, 50% Kalsel sudah dibebani izin tambang 33% dan perkebunan kelapa sawit 17%, belum HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Selain dinilai sebagai darurat bencana dan darurat ruang, Kalimantan Selatan juga menjadi daerah yang terdampak negatif akibat sisa galian tambang yang tak kunjung di reklamasi.

Walhi mencatat, di Kalsel setidaknya ada 814 lubang tambangyang tersebar di delapan kabupaten. Kabupaten Banjar memiliki 117 lubang tambang sehingga menjadi urutan ketiga terbanyak setelah Tanah Bumbu (264 lubang) dan Tanah Laut (223 lubang). Lubang-lubang itu ada yang berada di dalam ataupun di luar area konsesi. Setidaknya, ada 638 lubang berada di 123 konsesi. Artinya, ada 176 lubang di luar konsesi yang diduga adalah pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin.

Bekas galian galian yang tidak kunjung di revitalitasi ini seakan tidak berhenti pada dampak lingkungan dan pencemarannya tetapi terdapat juga korban jiwa yang semakin membuat kekhawatiran warga sekitar daerah terdampak. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat ada 140 orang yang didominasi anak-anak menjadi korban lubang tambang selama 2014-2018. Tentunya angka ini akan terus bertambah jika belum ada upaya untuk mereklamasi bekas galian galian tambang tersebut. Pada tahun 2020, warga Desa Pakutik, kabupaten Banjarkembali menjadi korban meninggal akibat tenggelam di lubang tambang yang terletak di perbatasan Desa Rantau Nangka dan Desa Pakutik, Kabupaten Banjar.

Mirisnya dalam proses penyelidikan kasus ini justru ditemukan pelanggaran lain yang tak kalah membuat keprihatinan. Insiden yang menelan korban jiwa di bekas tambang milik Perusahaan Daerah Baramarta ini menjadi perhatian oleh wahana Lingkungan hidup Indonesia (Walhi) KalimantanSelatan. Berdasarkan keterangan dari Kisworo Dwi Cahyono sebagai direktur Eksekutif Walhi Kalsel, pihaknya menelusuri berdasarkan peta izin tambang di wilayah Kalsel, tak hanya itu dari peta citra satelit Google Earth tahun 2018, Walhi menemukan genangan air asam tambang seluas 20 hektare dari lubang dengan panjang 963 meter dan keliling 2.243 meter. “Terpantau pada citra lubang tambang ini memang sudah ditinggalkan tanpa ditutup, tuturnya. PD Baramarta masih terlihat beroperasi di wilayah tersebut pada 2009 hingga beberapa tahun berikutnya, dan saat itu luas lahan terbuka milik PD Baramarta seluas 104 Hektare dan genangan air asam tambang seluas 5,25 Hektare di lubang sepanjang 688 meter.

Walhi menambahkan bahwa 2012 sudah terlihat dilakukan reklamasi pada bukan tambang. Namun, tidak pada lubang-lubang tambang, lubang tambang masih saja menganga. Walhi juga mendapati, lubang tambang PD Baramarta yang berhimpitan dengan sungai, bahkan hampir menyatu di beberapa sisinya. “Hal ini jelas bertentangan dengan regulasi yang mengatur perlindungan sempadan sungai. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai,” jelasnya.

Sedangkan berdasarkan PP, sempadan sungai paling sedikit 50 meter kekiri dan kanan untuk sungai kecil, dan sungai besar sampai 500 meter. “Sempadan sungai yang fungsinya untuk konservasi tidak seharusnya juga ditambang,”tegasnya. Bahkan, berdasarkan PP nomor 78/2010 tentang Reklamasi Pasca Tambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan. “Namun, adanya kubangan air asam tambang sepanjang hampir satu kilometer di konsesi Baramarta ini menunjukkan bahwa tindakan reklamasi tidak dilakukan sepenuhnya sehingga memakan korban,” bebernya.

Pada kenyataannya baik pemerintah daerah dan pusat sudah berupaya mengatasi dampak yang di timbulkan dari tambang, tetapi kurannya pengawasan menjadi salah satu alasan peraturan tidak bisa benar-benar dapat di praktekan. Penemuan pelanggaran pada PD Baramarta mungkin bagian kecil yang berhasil diungkap, kemungkinan besar ada pelanggaran pelanggaran lain yang belum nampak.

Kekhawatiran tentang pencemaran lingkungan yang terdapat di daerah bekas tambang bukan tanpa alasan jika menilik kasus yang sudah terjadi belakangan ini. Jangan sampai sumber daya batu bara habis kestabilan lingkungan juga habis.

Suka tidak suka proses tambang yang terjadi dalam jangka panjang akan sangat berpengaruh pada kestabilan ekologi lingkungan. Pencemaran air dan pencemaran tanah adalah aspek yang paling terasa bagi masyarakat di sekitar kawasan tambang. Tinggalan lubang-lubang galian dan danau asam ini seharusnya menjadi fokus perusahaan tambang karena jika tidak direklamasi atau di tutup akan menjadi masalah baru dan mengancam kestabilan di lingkungan tambang yang nantinya akan berdampak pada kualitas hidup masyarakat sekitar.

Tinggalan lubang-lubang galian yang akhirnya menjadi danau asam dan akan berdampak pada penurunan tingkat kesuburan tanah dan pencemaran air. Fakta yang terdapat di lapangan, 45% air di sungai-sungai Kalimantan Selatan tercemar limbah tambang batu bara. Hal ini berdampak serius karna warga masyarakat masih mengandalkan sungai untuk kebutuhan sehari hari seperti mandi. Menurut studi Greenpeace Indonesia, sekitar 3.000 kilometer atau sekitar 45% sungai di Kalimantan Selatan mengalir melalui area pertambangan batu bara dan berpotensi tercemar limbah berbahaya tambang batu bara.

Dari 29 sampel yang dianalisis oleh Greenpeace, 22 sampel dari kolam tailing dan bekas lubang tambang dari lima konsesi pertambangan batubara Kalimantan Selatan memiliki tingkat keasaman (pH) yang sangat rendah, jauh di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Dari semua sampel dari kolam penyimpanan tailing dan ekstraksi sumur 18 memiliki pH di bawah empat dan hampir semuanya mengandung logam dengan konsentrasi tinggi.

Berdasarkan data tersebut, justru semakin miris jika sampai air dari danau asam tambang tersebut masuk dalam aliran sungai karna kelalaian pihak pengelola tambang yang tidak melakukan reklamasi. Bisa di bayangkan jika masyarakat tetap menggunakan air yang terkontaminasi limbahuntuk kebutuhan sehari-hari ada berbagai dampak kesehatan yang akan muncul jika ini tidak segera di benahi. Rasa-rasanya jika keadanan ini terus berlangsung bukan tidak mungkin jika daerah yang terdampak akan mengalami krisis air bersih layak konsumsi.

Selain dampak pencemaran air, pencemaran tanah juga tidak bisa di anggap sebelah mata. Terdapatnya lubang-lubang bekas galian tambang batubara yang sangat besar yang tidak mungkin di tutup kembali. Penggalian ini mengakibatkan rusaknya profil tanah, serta rusaknya ekosistem di lingkungan bekas tambang. Hal ini juga berpengaruh pada erosi tanah, sejatinya aktivitas penambangan meningkatkan laju erosi tanah pada muara sungai.

Setidaknya hal ini sedikit membantu kita menjawab tentang banjir yang acap kali singgah di daerah Kalimantan Selatan. Sebenarnya dalam suatu proses tambang, fokus utama yang perlu di perhatikan justru setelah proses tambang selesei, yaitu reklamasi bekas tambang. Perusahaan–perusahaan tambang harus bertanggung jawab untuk mereklamasi daerah bekas tambang. Salah satu indikator lahan hasil tambang berhasil dalam proses pemulihan adalah tingkat revegetasi yang tinggi, guna memulihkan keseimbangan ekologi.

Beberapa upaya pemerintah dalam mengusahakan agar perusahaan tambang melalukan reklamasi tertuang dalam beberapa peraturan yaitu PP No. 78 Tahun 2010 yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang. Selain peraturan pemerintah tersebut terdapat juga Peraturan Mentri ESDM 07 Tahun 2014 yang juga mengatur tentang pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang.

Tetapi walaupun sudah ada aturan tentang pelaksanaan reklamasi tersebut masih banyak perusahaan tambang yang seakan tidak bertanggung jawab dengan sisa-sisa galiannya. Kurangnya pengawasan pemerintah pada pelaku usaha tambang sepertinya menjadi hal yang patut di evaluasi supaya penegakan peraturan bisa dilakukan sehingga dampak-dampak lingkungan yang di timbulkan dapat ditekan.

Pelaku tambang harus berfokus pada pengembalian lingkungan pasca dilakukan proses tambang bukan berfokus pada pengambilan batu bara demi keuntungan ekonomis semata. Tidak terelakan semakin melimpah sumber daya alam justru semakin menurun kualitas lingkungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like