Akankah Kita Berada Dalam Deteritorialisasi? Adakah Ruang Kosong Dari Upaya Damai?28 min read

Baru saja terjadi persetujuan gencatan senjata antara Israel dan Palestina, 20 Mei 2021 setelah  perang sebelas hari1. Gencatan senjata yang rapuh2, karena beberapa jam perayaannya tiba-tiba terjadi bentrokan antara kedua belah pihak. Pendukung Hamas menyebutnya sebagai the victory of the resistance (kemenangan perlawanan terhadap Israel)3. Sesuatu telah mencapai titik akhir ketika ia menggapai titik kelenyapannya, ketika itu pula mulai bergerak menuju titik tolaknya.

Perubahan dan pergerakan kompleks menjadi tanda tanya. Kita tidak terpaksa untuk mengingat kembali teori tentang kuasa, strategi, dan kepentingan bersama relasi-relasi yang membentuknya, yang menjelaskan bagaimana tanda-tanda dan proses-proses perdamaian didambakan oleh sekian banyak manusia sejak lama. Melalui negosisasi atau perjuangan diplomatis, upaya damai sebagai diskursus atau bahasa universal meluapi batas-batasnya sendiri dan menegaskan wujud, dimana satu sisi, kuasa, strategi, dan kepentingan menciutkan teritori dan di sisi lain memperluas teritori. Jika tidak menghilang dalam peta bumi, teritori yang diduduki4 tidak lebih dari kumpulan titik-titik dan garis-garis, yang bisa jadi disepakati secara sepihak sebelum langkah permainan bahkan sejarah5 dan mitos6 berbicara di depan kita.

Rangkaian peristiwa suksesif menandai pendudukan teritori di luar garis batas yang disepakati sebelumnya oleh masing-masing pihak. Garis batas itu silih berganti menunjukkan perkembangan berbanding terbalik, sehingga dari kesepakatan damai bergerak ke pertukaran mesin teritoriseakan-akan kembali pada kemunculan mesin primitif yang tidak disadari oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran kuasa administratif dan para politisi dalam negeri. Sementara itu, perluasan ruang tidak menunjukkan gambaran kesepakatan damai, melainkan bagaimana memancangkan tubuh teritorial yang mengikuti dari arah belakang teater kekerasan dan hasrat untuk berkuasa, yang melebihi rencana perdamaian dan hasrat itu sendiri.

Selangkah demi selangkah, teritori-teritori sebelumnya diduduki nampaknya tidak pernah cukup untuk dikuasai, karena ia belum mencapai ke titik penyaluran hasrat untuk kuasa seiring dengan hasrat untuk damai. Dari tanda dan jejak yang ditinggalkan oleh peristiwa sebelumnya, ia menunjukkan ketidakheranan kita pada setiap kali perundingan damai menemui kegagalan7.

Dari mana kita mengambil titik tolak? Perkembangan yang ada sekarang ini hanyalah sisa-sisa dari sejarah yang datang entah dari mana, tanpa meja perundingan, tanpa perjamuan malam, dan tanpa garis batas. Pergerakan deteritorialisasi8 melibatkan pergerakan nomadik, dimulai dari perpindahan mata pencaharian hingga jaminan keamanan dari ancaman dari luar, tanpa peta dan tanpa mesin primitif dibalik lingkaran peranakan dari institusi kuasa global. Permasalahan antara Israel dan Palestina yang muncul ke permukaan, mencakup teritori, keamanan, dan pengungsian.

Mata kita tidak cukup untuk mengetahui titik krusial yang tersembunyi dibalik pembicaraan di meja perundingan, lewat resolusi dan rencana perdamaian bersifat abstrak dan kompleks. Dalam perjanjian damai yang dibicarakan berada pada basis material, ditandai di belakang meja sebuah kota dan tempat penting lainnya, di ruang sebuah gedung pemerintahan hingga ditampilkan lewat layar kaca atau melalui telekonferensi sebagai wujud virtual. Pembicaraan damai seperti memuat agenda tentang teritori, keamanan, dan pengungsian muncul ke permukaan merupakan struktur pertama, termasuk paling kurang sebuah elemen yang tidak bekerja dalam relasinya, tetapi hanya relasi pada struktur kedua lebih sering menentukan jalannya peristiwa.

Karena itu, struktur kedua atau sesudahnya tidak bersifat kasat mata lebih menarik untuk dimainkan oleh antar pemain di balik teritori, nampaknya celah yang tersedia dialihkan pada proses deteritorialisasi mesin. Setiap individu melibatkan kelompok orang secara kolektif untuk menyaksikan jalannya peristiwa kritis dan suksesif dimungkinkan salah satunya terjadi. Interlukutor perundingan damai dimana mereka berada untuk membagi perannya dalam posisi layaknya sebuah mesin yang mengeluarkan teritori dari ruang itu sendiri atau bagian dari mesin yang terdeteritorialkan paling menyenangkan.

Sang Ibu cepat-cepat membawa anak laki-laki dan perempuan ke luar dari rumahnya sebelum hancur berantakan, yang disaksikan langsung oleh matanya sendiri merupakan bagian dari mesin tidak menyebabkan rumah bergerak maju setelah serangan roket dan jet tempur. Tetapi, hentakan kaki sang ibu untuk bergerak cepat dan melalui langkah kakinya memerankan struktur kedua segera menyelamatkan diri dan anak-anaknya selepas tatapan matanya menerobos perhitungan seberapa biaya kerugian akibat rumahnya hancur.

Bentuk pengulangan bisa dimainkan atau disesuaikan, yaitu membangun dahulu mimpi dan hasratnya sebelum menata kembali rumahnya yang telah hancur. Mesin mimpi dan hasrat sama pentingnya dengan mesin kota tempat seluruh rumah berada. Sekali lagi, pengulangan tidak bisa diwujudkan dalam sekali rangkaian, yang menempatkan mesin bersama relasi esensialnya yang tersembunyi dengan sisa kehancuran obyeknya sendiri.

Paling tidak, dalam satu pergerakan atau lebih dan dalam bentuk yang tersembunyi, satu landasan yang disediakan oleh ucapan dan teks  sebagai bahan untuk merencanakan perdamaian. Sejumlah kemungkinan pemunculan kembali dalam kebenarannya yang dicurigai, pembicaraan lain mengenai pelanggaran damai berganti dari artikulasi menunjukkan pemolaan kata dan benda-benda yang mereka bayangkan bisa terjadi ke arah tuntutan untuk penandaan utama ucapan dan teks yang dipadatkan melalui dokumen, diatasi dengan menyepelehkan muatan kesepakatannya.

Pengulangan bukanlah pergerakan melingkar dari arah depan ke belakang dan kembali ke depan. Sebaliknya, ia menandai ambang batas menuju “deteritorialisasi”, dua ruang yang saling berdekatan, saling menopang, tetapi tidak bisa dilenyapkan: permukaan dokumen yang memiliki celah dan kata kosong yang tersembunyi mengubah wajah, mata binar korban, muatan, bentuk, dan identitasnya. Pembentukan kata dan benda-benda yang mereka representasikan yang diblokir dan dibatasi ruang geraknya sebagai persepsi terhadap teror, asal-usul gangguan keamanan, dan pemenuhan kepentingan dalam rangkaian perjanjian di atas kertas; ia disepakati sepanjang hanya permasalahan teritori melalui resolusi dari satu masa ke masa lain.

Sesungguhnya permasalahan teritori yang dimuat dalam dokumen memerincikan sebuah kerangka politik dan ekonomi untuk membangun ruang ‘tidak sejelas’ lagi bagi ruang lain. Ruang tidak jelas bagi ruang lain sebanyak penonton, gambar, dan pembaca, kecuali dari ruang dalam dirinya sendiri. Manusia dilihat dan melihat dirinya sendiri, tetapi ‘tidak dilihat’ oleh yang bukan sang pemimpi perdamaian, kecuali tertuju pada kehampaan, yang menghadapkan dirinya di luar ruang semakin tidak jelas.

Bagi pemikiran modern, kekuatan retoris lebih mencengangkan pembaca atau penonton; dari jalan yang sama, yaitu upaya diplomasi, dibandingkan kengototan suara desakan penolakan atas eksistensi negara tertentu dalam hal-hal yang tidak terpikirkan. Jalan diplomasi yang harus kita tempuh bisa terbengkalai dalam hal-hal yang bukan merupakan pemikiran tentang perdamaian. Ia harus dihidupkan kembali dan digambarkan dalam kedaulatan ‘hasrat untuk pengetahuan’ saat ia mulai berbicara, mengubah ruangnya sendiri, berputar ke samping untuk menemukan halaman rumah masa depan.

Dia berputar kembali dari belakang ke arah sudut ruang retoris dengan kata-kata yang telah dipindahkan untuk mempercepat peningkatan celah dan jalur permainan menuju tempat dimana wujud manusia selalu dipertahankan sekaligus dipertimbangkan kembali. Upaya diplomasi dan rencana masa depan perdamaian dalam hubungannya dengan manusia itu sendiri, dalam keadaan terpencil, terdesak, dan satu jarak dari rumah yang membentuknya.   

Dalam tempat yang tetap netral, pemrakarsa dan mediator mengamati dan yang diamati pada proses perdamaian, sekalipun tertunda untuk suatu masa, masih tetap melakukan pertukaran yang tidak ada ujung pangkalnya. Tidak ada perundingan yang stabil atau tidak ada pembicaraan dari teks tertulis yang terbuka pada rahasia, pembacaan dokumen kesepakatan atau perjanjian damai tanpa finalitas dan interpretasi tanpa akhir didalamnya. Bagi pihak lain, kemungkinan salah satu butir perundingan sebisa mungkin menelorkan konsep yang berada dalam sisi ketidakmungkinan untuk diputuskan.

Pernyataan seperti “itu teritoriku, ini teritorimu”, “ini milikku, itu milikku” hanya akan dipertimbangkan sebagai perbedaan kedua kalinya, karena sifatnya tidak lebih stabil dan tidak cukup cair dalam susunan pembicaraan berikutnya. Ketidaksadaran individu mengakui pernyataan kepemilikan pribadi tidak lebih dari mengakui hasrat kepemilikan pribadi dengan syarat dalam keadaan stabil. Hasrat bukan hanya selalu bersifat ekstrateritorial-deteritorialisasi, tetapi juga ia melintasi setiap pengulangan dan menerobos setiap penghalang. Aliran hasrat yang terdeteritorialkan  meninggalkan basis pribadinya, keluarga, dan kemunculan asal yang lain.

Apa yang mendorong petualangan rasial membuat deteritorialisasi dari relasi manusia telah kehilangan dasar-dasarnya dalam sebuah teritori, kelompok keluarga, tubuh, dan klasifikasi usia  sebagaimana kita saksikan hari ini? Ketika ada kepala pemerintahan negara termasuk pihak yang diuntungkan dalam konflik saja bisa tersenyum simpul ketika maju ke babak perundingan damai, setidaknya kita tidak ternganga-nganga dengan istilah deteritorialisasi hasrat-libido. Bukan tanpa alasan, ketika hasrat-libido tidak terkontrol atau liar dideteritorialkan pada ruang dimana terdapat kemungkinan terjadi peningkatan kekerasan hingga rasisme. Karena itu, diri kita yang menjadi titik itu, yaitu wajah, tubuh, dan mata, yang suatu saat berubah-ubah hingga membentuk kembali suatu permukaan.

Kita dapat menerka orang-orang yang berteriak tentang pembebasan dari suatu penindasan, bagaimana mulai mengatur permulaan hal-hal yang tidak tampak, yaitu mimpi, cita-cita, dan harapan menjadi deteritorialisasi pada susunan pertama bisa membebaskan aliran hasrat yang semakin membesar pada susunan kedua. Kita semua melihat, tidak sedikit tubuh terpancang menemui kematian memberikan tanda pada satu titik dimana dengan mudah menentukan sebuah obyek pendudukan atas ruang atau menempati permukiman yang mereka bangun dari kekuatan pandangan kita yang sebenarnya. Pandangan mereka gunakan bukanlah tertuju pada rumah yang hancur dan tidak kembali pada rumahnya, nyawa yang melayang, tanah yang terampas, terjebak dalam pengungsian atau terkucilkan dan terhadang di daerah perbatasan.

Mereka menggunakan ‘sudut pandang’ digunakan untuk melihat ‘tiga ketidaknampakan’. Pertama, dalam ruang tidak terkira, hanya tampak dari luar dirinya. Ruang berada di depan kita, tetapi kita tidak melihatnya. Banyak orang melakukan solidaritas atau gelombang unjuk rasa besar-besaran untuk mendukung sesuatu, yang membuatnya berlari, ibu mendekap anaknya yang tewas, atau rumah yang hancur melalui ruang, yang sesungguhnya bersifat abstrak. Mereka bergerak datang dari ketidaksadaran kolektif hanya tampak dari dalam dirinya sendiri. Kita tidak melihatnya dari sesuatu yang sedang mereka representasikan melalui mimpi, cita-cita, dan harapan masa depan manusia, meneriakkan sesuatu untuk mencoba menghentikan pihak lainnya yang melucuti ruang gerak yang satu.

Kedua, hasrat dan kesenangan digambarkan oleh sesuatu yang lain dalam dirinya sendiri, yang dalam setiap kuasa untuk bertindak, individu dipengaruhi oleh gairah. Hasrat atau gairah untuk membebaskan dari belenggu kehidupan seiring dengan hasrat untuk kuasa atau hasrat untuk damai melalui kuasa atas tubuh. Hasrat atau gairah diberi kuasa untuk tindakan sekaligus dipengaruhi relasi-relasi rasa iba, rasa malu, dendam, rasa takut, putus asa, kemarahan, penghinaan, kebencian, congkak, iri hati, rendah hati, dan seterusnya. Kesemuanya itu bergerak dan menyebar dalam aliran produksi immaterial, yang kelangsungan hidupnya bergantung pada keberhasilannya untuk memunculkan internalisasi oleh massa yang dieksploitasinya. Lebih disenangi oleh setiap orang yang dikaitkan dengan masa kanak-kanak dalam hubungannya dengan representasi hasrat untuk kejujuran dan perdamaian, dibandingkan hanya mengeksploitasi kebencian dan permusuhan.

Tetapi, sebaliknya pandangan sang pendamai sejati tertuju pada kehampaan, yang menghadapkannya di luar ruang, mengamati sebanyak model hasrat dan kesenangan pada rangkaian kekerasan, kehidupan, dan kematian, yang pada akhirnya tidak ada lagi ruang eksternal yang tampak lebih jelas dari sesudah perjanjian damai berlangsung. Dari sini ruang ditemukan dan secara pasti telah jelas dengan kaki dan kepala tegak di sisi kiri, kanan, atas, dan bawah tidak terdapat keraguan, yang menjalankan fungsinya untuk menembus setiap sudut ruang melalui dirinya sendiri.

Ketiga, sekarang, peristiwa muncul di hadapan kita seperti terjadi ruang yang mengandung teka-teki, dimana bayangannya dijebloskan melalui pintu masuk dari ruang tampak perlahan-lahan mulai bersinar dalam dirinya. Noam Chomsky melihat Gaza laksana “Penjara Langit Terbuka yang Terbesar di Dunia”9, betul-betul menghadapkan penonton, diri kita sendiri, pada ruang tanpa gedung atau rumah dari sudut ruang yang dekat dengan mata telanjang kita. Hampir seluruhnya dalam keadaan ekstrim tidak menunjukkan lagi jendela terbuka, yang membebaskan sepanjang hari dari sisi permukaan citra dengan melapisi sisi depan ruang tidak tampak sebelum diseimbangkan oleh mata dan tubuh lain.

Sisi yang tampak pada permukaan citra: ketakutan yang diekspresikan oleh orang-orang, lalu begitu tajam sampai pada kita hampir tidak bisa melihat lebih daripada sudut ruang di dekat sisi paling dasar. Sehingga desingan peluru, raungan mesin perang dan bayangan ledakan melimpah pada saat yang bersamaan mereka berdiri untuk membereskan urusan dapur rumah tangga, hanya tidak dibisa direduksi dengan perluasan ruang yang tidak tampak pada kita. Suatu celah dari citra dalam tatapan mata, yang membangun sebuah ruang tidak sejelas ruang lain, dari seluruh jalinan teksturnya, yang terlampau meluap dibalik produksi hasrat yang ia munculkan.

Ruang yang jelas menuju obyek dimana kaki mereka tidak berpijak pada tempat yang disembunyikan dari kita. Hal penting dari tatapan mata sesuai pikiran mereka yang akan menggambarkan diri mereka sendiri. Ia menjadikan jelas pada pandangan matanya melalui bayangan, yang ujung ruang tidak tampak melalui cahaya bernama intelek, yang memungkinkan kita untuk melihat suatu sisi dasarnya. Sisi lainnya dari jiwa tampak buram, yang diperhadapkan pada suatu cermin tanpa bayangan dirinya sendiri, kecuali sisi belakangnya diurutkan kembali melalui ruang intelek. Suatu ruang yang kita pahami masih menghadapkan penonton, tetapi ruang yang sama bukan diri kita lagi.

Intelek kita menemukan dinding pembentuk di ujung ruang yang dekat, tetapi tidak tampak dari kerangkanya lebih luas dan lebih gelap, dibandingkan mata dan tubuh yang bergantung pada cahaya yang terpancar dari dirinya sendiri. Sementara ada garis putih yang hadir di seputar meja perundingan damai, yang menyebar di seputar permukaan meluapkan hasrat untuk kuasa. Intelek di sekitar garis putih  tidak mudah dijangkau ruang yang dibentuknya. Sisi intelek adalah kritik  atas kuasa, yang pertama menyebarkan mimpi utopis berupa dominasi atas lainnya, penguasaan dan pendudukan teritori, pencaplokan lahan, genosida, pembersihan etnis, rasis, dan persekusi yang terdeteritorialkan.

Pada taraf selanjutnya, deteritorialisasi hasrat saling melengkapi dengan susunan tanda kuasa yang pertama atas perbedaan-perbedaan gengsi, status, hasrat, kesenangan, dan penampilan telah ada sebelumnya untuk mengakhiri pembicaraan tentang teritori, keamanan, dan pengungsi. Relasi-relasi yang terbentuk ditandai dengan tanah, dari bumi memberi makanan bagi ibu, ayah, anak, dan tetangga di kota, yang dialirkannya air melalui mesin teritori dan mulut anak manusia terbuka untuk menerima berkah dari tanah subur tanpa hirarki dalam ruang yang tampak menghadap ke atas langit. Pantulan cahaya melalui ruang yang terbuka terhalangi dalam kegelapan tanpa kedalaman. Di atas satu persfektif ruang dimana sudut ruang perundingan damai menyimpan bentuk-bentuk yang dikenal menyilaukan mata kita dari dalam cahaya, yang tertahan pantulannya ternyata mengganggu milik dan jarak mereka dari kita. Disamping milik dan jarak, bayangan yang mengelilinginya membuat ruang berubah lebih jelas dari titik tampak tidak jelas.

Diantara semua relasi yang bertujuan untuk menghubungkan sisi ketidakhadiran representasi ruang, dalam bagian latar depan menghadirkan sosok-sosok yang mendominasi, mengeksploitasi, dan memperluas milik dan jarak mereka dari kita yang ironis, yaitu relasi antara kuat dan lemah, yang dinetralkan karena ditunjukkan dengan bayangan yang melingkarinya. Ia menawarkan pada kita daya pikat bayangan berupa jejak-jejak ketidaksadaran dalam ingatan, dari sisi ruang tampak tidak jelas melalui ruang yang menolak kita. Hasrat yang dideteritorialkan melalui ruang dalam sisi lain dari kita, tetapi tidak seorangpun yang tertarik menggambarkan atau membicarakannya.

Suatu aliran ingatan yang mentragiskan masa depan perdamaian, tidak setegak lurus kepala dan kaki secara vertikal di atas ruang murni, dari tanah tempat kita berpijak di bumi. Para juru damai dan penonton, dari dalam diri kita, bergeser untuk menatap apa yang harus ditempatkan di depan sekaligus ditempatkan di sisi terdalam, menuju kagumnya ketidakjelasan jejak-jejak dan tanda-tanda yang ditinggalkannya saat terjadi pelacakan atas perluasan teritori yang menyilaukan daya pikatnya. Adalah jelas dalam ruang yang tidak tampak dari kita, tatkala orang-orang mengatakan bukan dari jenis mereka sebagai sosok-sosok asing: “Anda dari ras yang lebih rendah dan lemah untuk selama-lamanya. Anda adalah kegelapan yang menandai ujung teritori, sekelompok orang yang berada dalam ruang yang tidak tampak nan gelap, yang jauh dimana mereka digambarkan”. Ada dari beberapa wajah mereka dalam ruang tidak tampak dari pandangan kita memalingkan diri mereka dan bahkan memancarkan kebencian bisa juga muncul secara timbal-balik pada kita.

Daya pikat terhadap ruang yang tampak tidak jelas dari kita justeru itulah mereka berada di sekitar kita, yang berlindung di belakang hak kepemilikan atau hak-hak lain, yang diperjuangkan melalui pendudukan dan rasisme dalam kekerasan atau kata-kata perdamaian menyisakan fantasi atau penanda kosong. Pergerakan resolusi nomor sekian dan nomor lain yang dikeluarkan secara resmi oleh United Nations Security Council memang penting untuk diamati, tetapi mereka telah berbalik memandangnya sebagai ketidakjelasan membatasi ruang demi ruang lain, dimana milik dan jaraknya paling dekat dengan mereka. Resolusi dan hasil perjanjian damai lain semestinya tidak terjebak dalam bujur sangkar kepentingan yang bersinar redup menuju kembali kegelapan, yang menciptakan “kaum Nomadik membuka pintu Kota Suci dan Tua, kaum Nomadik memuat kejutan dengan cara berputar mengitari yang berada di belakang ruang terdekat dan tidak terbatas tanpa menjadikan mereka melihat Bangsa Catur” ke sekian kalinya.

Seperti tubuh yang memiliki daya pikat, matanya diarahkan pada perbedaannya terletak pada permainan dari kode catur dan pemecahan kode ruang; manusia berdiri antara garis putih dan bayangan hitam yang utuh, yang mengkonsolidasikan wilayah dalam titik terjauh dari mata; suatu teritori yang berdekatan dengan ruang yang tidak tampak dari kita. Sekarang, kaki-kakinya diayunkan pada langkah yang berbeda dengan matanya tanpa berkedip sedikitpun diarahkan menuju sisi lain dari permainan baru yang tersembunyi memungkinkan terjadi di balik meja perundingan damai, tetapi memberikan pilihan untuk mendeteritorialkan musuh dengan jalan menghancurkan teritorinya dari dalam. Lebih dua tangan untuk menandatangani naskah perjanjian damai yang tidak dikeluarkan dari ruangan yang dikelilingi oleh bayangan dalam ketidakjelasan. Mereka diuji dalam ketenangan yang luar biasa; mereka mungkin masih ingin melibatkan dirinya dalam kejutan lain tanpa menghadirkan orang-orang untuk melihatnya dari sudut pandang yang sama. Di sini, Gilles Deleuze dan Felix Guattari menggunakan istilah schizonomadic10.

Titik perlawanan atas penindasan muncul ke permukaan, tetapi tidak satu pun dari mereka yang bergeser cukup jauh untuk melihat; di sisi lain dari dalam ruang menjadikannya lebih nyata, tiba-tiba menghasilkan kehampaan dari tontonan yang mereka tawarkan. Hak untuk hidup adalah milik kita semua, tidak satu pun menikmati buah perdamaian dan juga tidak merefleksikan apa pun dari semua sudut yang ada dalam ruang yang sama seperti dirinya sendiri. Pada kedalaman hasrat untuk perdamaian yang dangkal berbeda dari permukaan tubuh sejelas wujud penampakan aslinya. Orang akan melihat dalam bayangan yang sama seperti mereka melihat tanda-tanda dan jejak-jejaknya meningkat hanya di bagian dalam ruang yang tidak nyata; bayangan begitu dekat beberapa langkah telah dimainkan dan dibelokkan dari apa yang masih tetap tidak jelas.

Permukaan dari sisi penampakan ruang aslinya hanya menyamarkan cermin peristiwa yang tidak sedang dibicarakan apa pun oleh mereka terhadap hal-hal yang telah dibayangkan sebelumnya. Orang melihat meja dalam gedung, tempat dimana perundingan damai berlangsung diatur oleh garis batas, bukan suatu garis persfektif baru, yaitu ruang tampak tidak jelas dimana orang berbicara menuju ruang yang tidak bisa dilihat. Kata lain, untuk menyatukan cita-cita, mimpi, hasrat, dan harapan masa depan, kita harus memelihara relasi kuasa, sekalipun mereka telah berubah. Kita boleh mengharapkan ruang lain tentang apa-apa yang ditampilkannya dalam ruang tampak tidak jelas sesuai ruang imajiner dan cermin yang membentuk gambar asli yang hadir di depannya. Kemudian, pada titik luar dari ruang tampak tidak jelas, bayangan harus lebih jauh dari kedalamannya yang samar-samar.

Kita tidak lagi bersembunyi dibalik suatu cermin, dimana orang berbicara dan melihat untuk memperlakukan ketidaksesuaian antara kata dan ambang batas dalam ruang tampak asli di depan kita sesuai teritorialisasi, yang akan menegaskan orang seperti tempat tinggal mereka. Kita juga perlu melihat ruang tampak tidak jelas melalui pergerakan deteritorialisasi, yang membagi bumi tempat dimana tanah yang diamanahkan secara tulus pada manusia, terbentang jauh berdasarkan efek-efek kepemilikian tanpa penindasan. Manusia dengan hasrat dan bahasanya melihat dirinya seperti: “Mereka datang seperti takdir … mereka muncul ketika kilat muncul, tampak terlalu mengerikan, terlalu mendadak”11. Bukan karena kata-kata tidak jelas atau ketika dipertentangkan  dengan kejelasan ruang, ia terbukti tidak memudar wajah yang tidak bisa dilihat dari depan.

Apa- apa yang kita lihat tidak pernah terletak dalam apa yang kita bicarakan, ruang dimana orang bisa dilihat bukan dalam dirinya, melainkan pada apa yang terletak di luar dunianya. Takdir intelek adalah pilihan. Setelah mimpi, harapan, hasrat, dan kesenangan, dalam keadaan demikian, orang-orang tertentu akan mulai untuk tidak bingung dengan penggunaan bahasa ketakutan, keamanan, dan penindasan. Ketiganya itulah dinilai sebagai pertimbangan, yang diubah menjadi syarat bagi jutaan orang di sana agar terbebaskan dari bayangan hitam darinya. Kita sadar bahwa ketakutan, keamanan, dan penindasan menjadikan juga berubah menjadi mesin perang yang dimainkan oleh mesin perang tanpa tubuh, tetapi melalui tubuh murni kita dengan apa disebut relasi timbal balik, relasi antara tubuh dan gairah atau hasrat. Diantara keduanya terdapat kecepatan dan kelambatan pembentukan relasi antara hasrat dan tubuh, yang saling menopang dan saling melengkapi untuk membangun perdamaian yang kita cita-citakan dan mimpikan bersama. Terlepas, apakah mereka akan mengatakan bahwa menemui kegagalan atau tidak.

Dalam ruang yang jelas, tetapi tersembunyi masih direnungkan oleh mata dalam lingkaran pertukaran mengapa ada tanda-tanda lain dari kemunculan wujud yang aneh. Otot, daging, darah, mata, dan kakinya muncul dari luar, pada ambang batas wilayah seperti pendulum akan dijajaki oleh manusia, yang tidak ingin ditindas dan ditakut-takuti oleh bayangan hitam di luar jendela rumah kita sendiri. Mata dan kaki mereka pergi dan datang pada saat yang berbeda. Perdamaian  bukanlah sesuatu yang terdapat di depan tembok, dibuat dengan mendorong pintu ke samping.

Ia adalah aliran hasrat, mimpi, harapan, dan intelek sebagai ruang itu sendiri keluar dari sisi dalam, yang menempati latar depan baju anak muda berwarna merah berdiri sambil berkacak pinggang di atas puing-puing gedung manusia. Dia juga menoleh hingga di garis batas pandangan matanya tertuju pada ujung gedung lain menghampar di kanan dan kirinya membentuk garis horizontal; di atas kepalanya sedang dipandangi oleh rembulan tampak memancarkan cahaya putih mengatasi bayangan hitam di senja hari. Tetapi, dengan pandangan matanya yang secara jernih masih tetap diarahkan ke depan, menuju titik yang sama, yang telah dipandangi oleh “mata lain” dari kamera fotografer.

Terakhir, seorang lelaki separuh baya memakai topi dan berbaju warna hitam sedang duduk dari latar belakang yang sama nampak gedung hancur, sekalipun sebelah kanannya masih tersisa lebih dari satu gedung berdiri tegak. Tetapi, pada setiap pandangan ada sudut tangkapan mata kamera menjadi lebih dari garis yang luas, lebih dari tiga tujuannya yang ditentukan oleh pergerakan hasrat, mimpi, kesenangan, dan harapan masa depan melebihi sisi kiri dan kanan, sisi depan dan belakangnya. Pusat garis yang membujur di sekitarnya terjadi pada gambar yang lebih dekat dengan kita akan terjalin kelindang dengan mata, wajah, kaki, dan tubuh murni lain. Lebih mantap lagi, pandangannya dilapisi oleh rekaman yang disusun dan dibentuk oleh “mata” sebuah kamera yang mengabadikan gambarnya, sekalipun mata dengan lubang intipan tidak lebih dari suatu ruang kecil yang tersembunyi tetapi melingkari.

Karena persfektif dalam satu tujuan, kedua anak manusia sangat dekat satu sama lain, dari masing-masing keduanya tentu tidak sedikit dari  garis batasnya, yang keluar melalui “mata lain” datang dari lensa kamera, yang mereka sendiri tidak melihatnya. Ketika mereka membentuk latar depan dan lata belakang, deteritorialisasi akan membawa ke ruang yang lebih jauh dalam wujud yang ada di sudut lain, pada titik yang terletak dalam gambar dari mana kita mengamatinya, tetapi menampakkan wujud lahiriahnya. Suatu titik ini ada dalam titik yang jelas dalam ketidaknampakan, karena mereka hanya bisa melihatnya dari sisi lain, yaitu sisi yang dibatasi oleh ruang tanpa batas.

Karena tidak satu pun pesohor yang memberikan perhatian yang adil atau seimbang terhadap semua pihak yang terlibat dalam pertentangan hingga pertumpahan darah yang tidak terelakkan antara Israel dan Palestina, yang tenggelam dalam ‘eforia’ balas dendam dan permusuhan selarut malam nan gelap tanpa upaya bersama untuk saling mengoreksi masing-masing diri kita. Semua bayangan gambar di depan ruang tidak terkira didiami secara diam-diam paling jauh dari realitas. Seandainya, setiap saat mereka tidak berdiri saling berhadap-hadapan di luar gambar dan karena itu menarik diri mereka dari “bayangan hitam” kebencian dan permusuhan.

Mereka menyediakan seluruh titik ruang di sekitar mana representasi ditata ulang. Di sanalah berlangsung sebuah garis tipis untuk mereka yang menata susunan gambar keceriaan menuju pandangan terbuka, dimana ketika mereka merenungkan gambar dirinya sendiri saling memberi gambar dalam satu titik ideal dan benar-benar nyata dalam ketenangan yang utuh. Di sana orang tidak buta bermain pada garis yang terputus-putus dalam sebuah gambar, ruang dimana realitas diproyeksikan darinya; ia tidak bisa tidak menjadi lebih jelas dari titik ideal saat mata, kaki, dan tubuh lain memasuki latar depan yang semuanya bisa dilihat dari sisi samping kiri.

Dalam seluruh kondisi penampakan geopolitik sejak perang awal dan sebuah tanda teritorial dalam beberapa tahun sesudahnya, orang melihat tidak hanya pandangan penonton, pusat pandangan sebenarnya, tetapi juga komunitas, kelompok intelektual, wakil-wakil dari tokoh agama atau organisasi keagamaan, dan sekian kepala negara meminta penyelesaian konflik dan kekerasan atau apapun namanya agar segera dihentikan. Kita perlu kiranya membawa kemurahan hati pada bagian ‘cermin diri’ dibuat secara tulus dari hasrat sebanyak atau bahkan lebih banyak dari apa yang tampak. Ruang yang tidak terkira menyediakan kehidupan sejati, kecuali bayangan hitam melalui kekerasan dan kematian yang ditampilkan oleh penanda pasca-kolonial dan penanda otoritarian dalam suatu kawasan atau tanda teritorial. Suatu saat penanda adalah tanda yang menjadi tanda atas tanda kehidupan dan kematian. Sedangkan, tanda tiranik diganti oleh mesin pemodal, yang membangun relasi timbal-balik dengan penanda atau mesin pasca-kolonial dan mesin otoritarian yang deteritorialkan tidak akan pernah ada tanpa kemunculan ruang residual.

Tetapi, terjadi perluasan titik dan garis teritorial melalui penindasan di luar, lalu memutar balik ketakutan dalam dirinya sendiri. Jadi, tanda ketidakhadiran kesadaran yang menstruktur ruang teater kekerasan, yang diperparah oleh kebencian dan permusuhan antar manusia telah melintasi ambang batas deteritorialisasi itu sendiri. Hasrat tidak lagi menampilkan dirinya untuk perdamaian, ia hanyalah hasrat atas hasratnya sendiri, yaitu hasrat dari hasrat yang zalim dan pandir, yang kuat dan yang lemah. Kaki tidak lagi melangkah, mata tidak lagi melihat, mulut tidak lagi berbicara. Hasrat atas hasrat telah melampaui gedung, darah, daging, rumah, jalur, tepi, ladang minyak, kubah, menara, lampu, air, dan sebagainya, yang bisa dilihat satu atau lebih banyak tempat tetapi tersembunyi dari kita, dalam kegilaan atas ruang tidak terkira.

Secara khusus, mengapa proses perdamaian menampakkan kegagalan berpindah-pindah dari tempat ke tempat lain menuju pembentukan deteritorialisasi? Mungkin terdapat alasan yang tidak memadai di tengah cita-cita dan harapan masa depan perdamaian, diantaranya: pertama, wujud Israel dan Palestina terbentuk rangkaian relasi antara dominasi dan subordinasi, kuat dan lemah, penjajah dan terjajah. Basis material mesin perang hanya muncul di permukaan pada suatu celah ruang. Pembentukan wilayah kemunculan aliran produksi hasrat menghubungkan dirinya dengan mesin pemodal dari Amerika Serikat memposisikan dirinya pada pseudo-mediator dalam konflik dan kekerasan antara Israel dan Palestina, yang tidak tanggung-tanggung memberi bantuan 3,8 milyar dollar per tahun dalam bentuk bantuan militer pada Israel12.

Relasi produksi antara hasrat dan sosial, antara produksi atas produksi dan eksploitasi demi ekspolitasi lainnya terus-menerus telah melampaui teritorinya sendiri tanpa bertempat atau ‘tanpa proses teritori’ (deteritorialisasi). Kedua, “permainan tanpa aturan” yang dimainkan sering dilanggar atau digubris oleh Israel atas Palestina, ditandai dengan pertukaran13 kesepakatan damai melalui pendudukan atau perluasan teritori Israel sebagai Pusat atas Palestina sebagai ‘Pinggiran’, ‘lemah’, dan semakin ‘ciut’ ruang teritorialnya, yang ditampilkan di atas panggung peristiwa suksesif, krisis, atau konstelasi perang yang bertitik tolak di sekitar pertengahan abad kedua puluh. Noam Chomsky, kritikus terdepan terhadap permasalahan Gaza14 dan menyebut Israel dari hari sejak awal penjajahan Zionis yang tidak memunculkan ucapan dan teks, kata-kata atau diskursus, kecuali Arab tidak punya alasan nyata berbicara untuk berada di Palestina15.

Ketiga, Israel dalam relasi dominasi di mata aparatur atau pendukungnya telah membicarakan tuntutan atas “hak untuk eksis”16 sebagai pertimbangan yang harus dipenuhi oleh Palestina sepanjang berlangsung proses perdamaian. Suatu hal tidak terlupakan yang mengiringi relasi antara kuasa dan dikuasai, syarat dan tuntutan adalah “hak untuk membela diri” (right to defence itself) bagi yang Satu, tetapi bukan hak orang lain, seperti   Immanuel Levinas melihat ‘wajah-ke-wajah dengan sang Lain’17, yang menggiring penyelesaian permasalahannya dalam ruang kosong. Begitu pun ritus kuasa, simulakra, penghancuran kreatif, mesin despotik, hipokrit, dan teritori primitif diluapi dengan retorika yang sedang kita geluti saat ini. Hal lain, pemenuhan hak yang timpang dan berat sebelah dimaterialisasi akan terjatuh dalam kekosongan.

Kita sadar, bahwa orang-orang yang berbicara dengan dirinya sendiri, lalu berteriak dalam ruang kosong bukanlah gambaran-gambaran dimana tidak ada sama sekali benda-benda lahiriah atau tanpa wujud inderawi yang dipersepsikan dalam sebuah ruangan. Deteritorialisasi menyediakan ruang kosong berarti hidup dinamis dan kompleks dalam kehingar-bingaran. Kita juga percaya tentang deteritorialisasi menandai ruang kosong tidak bergantung pada situasi apapun yang mengelilinginya. Dan keempat, produksi hasrat yang meluap-luap tanpa akhir, tidak terkontrol, dan represif, yang terinstitusionalisasikan melebihi produksi, sirkulasi, dan perluasan teritori maupun sumber daya lain. Suatu sumber kesia-siaan menyelimuti bangsa yang dirundung konflik dan kekerasan apalagi terbentuk satu relasi penjajahan. Setelah itu, muncul rencana dan pernyataan untuk perdamaian, tetapi masih menyimpan bara kebencian atau permusuhan diantara kedua belah pihak tanpa akhir.

Marilah kita berpikir dan berhasrat untuk membangun pemaafan dan perdamaian sejati, yang menggantikan kebencian dan permusuhan antara sesama manusia. Kita mungkin masih mengingat kembali sejarah kelam atau peristiwa kemarin yang memilukan dan bersifat destruktif, yang membuat bahasa perdamaian tinggal kata-kata kosong atau hanya ditempatkan diurutan paling belakang dari mimpi dan hasrat, cita-cita dan harapan kita. Marilah kita mengakhiri pembentukan relasi-relasi antara hasrat dan kesenangan untuk kebencian dan permusuhan, ketakutan dan penindasan menjadi relasi-relasi antara hasrat dan kesenangan untuk persaudaraan dan keramahan, kesejahteraan dan perdamaian. Bukankah kita masih sadar untuk bisa berpikir bagaimana caranya menghindari kematian dan kekacau-balauan, dimana kehidupan kita dipersembahkan untuk membuat seluruhnya masuk akal? Dalam esensinya, memang intelek tidak sesuai dengan penindasan dan ketakutan.

Agar menjadi pelajaran bagi kita semua, kehadiran tabiat destruktif yang menyelinap dalam otoproduksi hasrat yang tidak terkontrol bisa mengalir melalui tubuh, satu diantaranya kekerasan dalam bentuk perang. Semua orang mengetahui bahwa penyaluran hasrat yang tidak terkontrol dan hampa akan menggelincirkan dirinya sendiri dalam bentuk-bentuk penindasan, kekejaman, pembantaian kolosal, dan kejahatan lainnya. Otoproduksi hasrat untuk perang Israel atas Gaza mungkin bisa menjadi keseluruhan dalam taraf “metamorfosis” menuju ‘bentuk-bentuk awal dari penjajahan’ atas Palestina, tetapi ia menghasilkan lebih dari 4.000 roket yang ditembakkan oleh militan Palestina terhadap Israel. Tercatat, sedikitnya 248 orang Palestina terbunuh, termasuk 66 anak-anak dan 39 perempuan. Sekitar 1.910 orang terluka. Di pihak Israel, dilaporkan sekitar 13 warga tewas18.

Bentuk kegilaan yang didorong oleh penyimpangan nafsu buta untuk membunuh dimana pun tempat dan siapa pun pelakunya tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yuridiko-politik, karena paling tidak tindakan tersebut tidak bersifat a priori dan empiris. Sementara, manusia dilihat secara lahiriah bisa digerogoti oleh hasrat dalam ledakan sendiri. Telah banyak contoh terulang atau terjadi sebelumnya dan semuanya biasa-biasa saja tanpa beban yang bersifat logis, yaitu logika ketidakhadiran subyek, yang biasanya diidentifikasi berasal dari wahyu, nalar, atau tuturan begitu dekat dan mengambil jarak dengan kita. Kita bertanya masing-masing pada diri kita, apa yang terjadi jika tidak berjatuhan korban?

Apa yang dilakukan jika setiap orang di sana lebih memilih kembali untuk bekerja, berpikir, dan merahi mimpi-mimpi dalam keadaan terjaga. Setiap orang menggunakan waktu senggang dengan menikmati hiburan, tamasya, dan kegiatan santai lain tanpa membawa kembali permasalahan hidup yang menghimpit? Dalam titik tolak mereka bisa muncul yang lebih menonjol daripada cara persepsi yang beragam, kemudian diturunkan dalam koeksistensi manusia melalui bidang ruang yang luas, dalam keterbatasan dan jarak waktu yang tidak bisa diatasi. Tentang wujud manusia ini untuk tidak mengungkapkan satu relasi saja, tetapi banyak cara menemukan relasi, yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ada sebelumnya dari hasrat, mimpi, dan harapan tetangga di luar ruang tampak tidak jelas.

Dan kita juga sadar tentang eksistensi manusia kembali diragukan atau dipertanyakan sesuai yang ada dalam pemikiran modern atau diskursus bukanlah sesuatu yang bisa diganti dan dilepaskan pada suatu tempat yang jauh, yaitu delokalisasi atau pemindahan tempat. Hal ini dimaksudkan adalah deteritorialisasi lebih dekat dengan ‘ruang tidak terkira’ atau ‘ruang yang muncul ke permukaan, tetapi tidak bisa dilihat’ oleh mata kita. Deteritorialisasi mengatasi delokalisasi dan pemindahan. Kita memahami bagaimana wujud anak manusia terutama dalam kondisi konflik dan kekerasan atau kondisi perang, dia dibatasi, dibalik, dan dipertimbangkan oleh penampakan dalam teka-teki wujud yang berbeda seperti tanda kepunahan, kematian atau sebuah ancaman kehidupan.

Tanda kematian murni atau ancaman kehidupan menurut data Statista (2021) menunjukkan bahwa lingkaran  konflik dan kekerasan antara Israel dan Palestina sejak 2008 hingga 2020 telah menewaskan 5.600 jiwa dan 115.000 orang terluka di pihak Palestina19. Kita mungkin bisa membayangkan berapa banyak korban yang meninggal, yang telah diproduksi oleh mesin perang sebelumnya. Kita juga tidak bisa membayangkan nilai satu nyawa demi hasrat untuk kuasa tanpa prikemanusiaan atau demi sejengkal tanah yang memalukan. Mungkin, disinilah pilihan manusia untuk membayangkan atau mengingat hal-hal yang tidak terpikirkan.

Tidak akan kembali pada titik-titik permulaan, kecuali kita mengingat kembali pada sesuatu, yang keseluruhannya belum diuji dengan tanda bahaya, dalam kesenyapan pergerakan dan dalam kesamaran tujuan. Kita tidak menyesal pada titik akhir saat memutar kembali pergerakannya ke titik tolak. Pemikiran dan kehidupan yang berulang-ulang, terputus-putus, diam atau mundur ke belakang dipengaruhi oleh setiap pengulangannya, dengan berlangsungnya rangkaian pergerakan terus-menerus dalam dirinya ruang tidak terkira, yang tidak bisa dilenyapkan pada banyak titik dan garis yang menyusun cara wujud bahasa dan manusia, yang sesuai dengan wujud bebasnya.

Dalam setiap kekerasan, kehidupan, dan kematian bisa saja terjadi dalam pengulangan, baik berlangsung secara alami maupun rekayasa, dalam skenario maupun non skenario. Untuk satu fenomena dan gejala, lingkaran pengulangan yang tertuju pada semua hal tersebut tidak lebih dari bentuk penyaluran nafsu tidak tertahankan menjadi irasionalitas yang rasional, yang pada akhirnya wilayah kemunculan jejak, bekas, dan tanda tiba-tiba hadir kembali di hadapan kita melalui aliran produksi ingatan tentang kebenaran atas kegilaan untuk membunuh, menjajah, dan untuk menghancurkan harapan masa depan manusia.

Pembentukan jejak-jejak dan tanda-tanda menjurus pada kelenyapan masa damai terulang kembali; ia diselingi dengan konflik atau perang dan kembali damai lagi benar-benar tersedot pada lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian, dalam nyanyian duka cita atau suka cita, dalam kemunculan atau ketidakhadiran nalar, dalam kebangkitan hasrat dan penampakan tubuhnya; ia yang menyerap, tertancap, dan memancar sinar kedamaian yang terakhir. Begitulah sisi deteritorialisasi bekerja di sekitar kita. Begitulah pula harapan dan mimpi akan perdamaian mengarungi wilayah buta, terjal, menanjak, dan berlika-liku.

Produksi hasrat menghubungkan dirinya pada ambang batas pemikiran dan kehidupan kita. “Ayahku dibunuh, anak-anakku dibunuh, Anda membunuh perempuan, Aku membunuh harapan mereka, rumahku hancur, tanahku dirampas, air kami tidak sehat, kami kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin”. Di bawah mesin skizois, aliran darah seiring aliran modal dan aliran produksi ruang menjadi bentuk penyaluran atau kecanduannya begitu sangat remeh-temeh untuk menguak korban berjatuhan, yang datang dari titik kekerasan hasrat, bahasa, dan selera yang imanen tanpa cermin dan tanpa arah. Pada saat yang sama, ia meninggalkan dan diberikan jejak dan tanda akan berubah menjadi peristiwa yang tidak bisa ditebak begitu saja kemunculannya.

Perkembangan peristiwa yang mengarah pada bentuk-bentuk ekstrim berada di bawah suatu ‘penandaan ganda’, yaitu konteks ‘kuasa’ dan ‘dikuasai’, yang memiliki proses dan mekanisme tersendiri, tetapi terjadi ketumpang-tindihan antara perang dan genosida, konflik dan kekerasan, pendudukan dan penjajahan, diskriminasi dan pembersihan etnis, persekusi dan pencaplokan, pengusiran dan rasis. Sebagaimana yang lainnya, peristiwa penting yang diselimuti permasalahan yang kompleks memungkinkan untuk dideskripsikan, dinilai, dikritisi maupun dianalisis menjadi bagian dari proses pembentukan obyek pengetahuan. Ataukah semuanya hanyalah bentuk-bentuk keremeh-temehan permasalahan, yang memungkinkan untuk mengakhiri tahapan verifikasi dan kaidah-kaidah ilmiah lainnya bersama kelenyapan interpretasi filosofis? Hal lain juga terlepas dari tanda-tanda bahaya ‘skandal ketidakhadiran nama alias anonimitas’ dalam kekacau-balauan yang dimainkan secara bersama-sama dan bergantian.

Sambil menghibur diri tentang cita-cita, mimpi, dan harapan perdamaian untuk Palestina sebagai bangsa meninggalkan ingatan kolektif, teritori yang tidak terdefinisikan, tanpa wilayah, tanpa identitas. Akhirnya, tanpa hasrat, kesenangan, dan tubuhnya untuk memiliki sisi kehidupan ditujukan hanya satu pada dirinya sendiri, tetapi secara jujur, kehidupan kita bersama.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like