Teori Elite: Negara sebagai Aspek Kekuasaan Elite10 min read

Sesungguhnya, ancaman sosialisme otoriter-lah yang menjadikan para teoretisi elite menolak dengan keras teori Marxis maupun resep liberal tentang hubungan negara-masyarakat sipil. Menurut para teoretisi elite, kedua teori tadi mengandung ancaman logika egalitarian yang mengabaikan realitas sejarah. Mosca salah satu teoretisi elite terkemuka, menjelaskan ‘realitas’ ini sebagai berikut;

Orang yang memegang dan menggunakan kekuasaan negara selalu merupakan kelompok minoritas, dan di bawahnya terbentang banyak kelas masyarakat yang tidak pernah berpartisipasi dalam pengertian sebenarnya dalam pemerintahan, dan menjadi subjek kehendak penguasa; kita bisa menyebut mereka sebagai orang yang dikuasai.[1]

Kutipan di atas memotret esensi pendirian kaum eliteis. Michels bahkan melebihi Mosca dalam menggambarkan tak terelakkannya kekuasaan elite sebagai ‘hukum besi oligarki’. Demokrasi bersifat paradoksal, dan dengan demikian mustahil, karena demokrasi tidak dapat eksis tanpa organisasi, dan bagi Michels, ‘siapa yang meneriakkan organisasi berarti meneriakkan oligarki’[2].

Pertanyaan tentang siapa yang memerintah sangatlah mudah untuk dijawab: negara dikontrol oleh individu-individu yang mempunyai sumber daya tak sepadan yang dibutuhkan dalam proses kekuasaan. Dua tokoh kunci teoretisi elite klasik, Mosca dan Pareto, berbeda pandangan tentang sumber daya mana yang digunakan oleh kaum elite, namun keduanya sepakat bahwa negara dan masyarakat sipil ditandai oleh pembagian kekuasaan yang tak terelakkan antara elite dan massa.

Keniscayaan kekuasaan elite itulah yang membuat Mosca dan Pareto menolak pandangan tentang kedaulatan rakyat. Mosca berpendapat bahwa bahkan praktik pemilihan demokratis yang riil pun dimanipulasi oleh kaum elite: ‘mereka yang mempunyai keinginan, dan khususnya, mempunyai sarana moral, intelektual, dan material untuk memaksakan keinginannya kepada orang lain, akan memimpin dan memerintah mereka’[3].

Walaupun Mcsca dan Pareto sama-sama mempunyai opini tentang kelemahan massa, mereka berbeda pandangan tentang basis untuk kekuasaan elite. Mosca menyangkal bahwa kaum elite pastilah unggul moral atau bahkan intelektualnya, dan memandang skill keorganisasian sebagai kunci bagi kekuasaan elite[4].

Pareto lebih militan tentang superioritas (keunggulan) kaum elite dari segi karakter psikologis dan pribadi yang sesuai untuk pemerintahan. Pareto berbicara tentang elite politik dari segi kekuatan fisik dan mental mereka. Dengan lugas Pareto mengatakan bahwa kalangan elite akan menjadi rentan digulingkan ketika mereka ‘lebih lembut, lebih lunak, lebih manusiawi dan kurang mampu mempertahankan kepentingan pribadi’[5].

Pareto menyebut adanya kelemahan daya tahan fisik terhadap pemberontakan di Roma Kuno, dan aristokrasi Perancis sebelum terjadinya revolusi tahun 1789, sebagai bukti kelemahan mereka[6]. Teori Pareto tentang perubahan elite, yang dia sebut sirkulasi elite, berpijak pada tak terelakkannya kemerosotan kualitas elite. Bagi Pareto, ‘sejarah adalah kuburan aristokrasi’[7]. Namun demikian, elite selalu diperbarui oleh individu yang unggul, yang muncul dari rakyat jelata melalui kekuatan kehendak.

Pareto membedakan dua jenis elite: mereka yang unggul dalam hal kecerdikan dan kelicikan politik (yang dia sebut ‘para rubah’) dan mereka yang memiliki keberanian dan kepemimpinan militer tinggi (‘para singa’). Sepanjang sejarah negara, salah satu di antara elite ini—atau kombinasi di antara keduanya—memerintah, tergantung pada kebutuhan zaman. Jadi, Pareto mengambil pandangan fungsional tentang peran elite, yakni meskipun elite bisa berubah, namun struktur dasar masyarakat, dengan pembedaan antara elite dan massa, tidak berubah, dan karenanya mempertahankan keseimbangan sosial[8].

Manipulasi massa melalui pemanfaatan kekuasaan komunikasi merupakan tema yang kuat dalam tulisan Pareto maupun Mosca. Menurut, manusia, dan khususnya massa, sebagian besar adalah irasional: ‘sebagian besar tindakan manusia bukan bersumber dar pemikiran logis, melainkan dari perasaan’[9]. Oleh karena itu, unsur kunci dalam kekuasaan elite adalah persuasi.

Melalui penciptaan apa yang disebut Pareto ‘keyakinan hidup’ (living faith), kekuasaan elite pun dimantapkan. Demikian juga, bagi Mosca, kelas penguasa dari negara manapun berusaha melegitimasi kontrolnya melalur penciptaan sebuah ‘formula politik’ (political formula) yang tampak cocok dengan keadaan historis yang ada. Misalnya dalam periode feodal, gagasan tentang hak Ketuhanan para raja menghasilkan dukungan Tuhan kepada pemerintahan monarki.

Konsep tentang formula politik mempunyai persamaan dengan gagasan Marxis tentang hegemoni, tetapi berbeda dengan konsep ini dari segi bahwa ia tak bertalian dengan struktur ekonomi masyarakat. Mosca tidak percaya bahwa kekuasaan politik didirikan di atas dominasi ekonomi, meskipun anehnya Mosca menggunakan istilah kelas penguasa ketika menyebut elite politik.

Seperti Pareto, Mosca anti-sosialis dan bahkan menyatakan dalam karyanya yang paling terkenal bahwa ‘keseluruhan karya ini merupakan pembuktian kesalahan sosialisme[10]. Namun, dia mengakui arti penting gagasan Marxis tentang perjuangan kelas dan menegaskan risiko mengasingkan massa dari pelaksanaan kekuasaan di mana sebuah kelas penguasa baru yang bersikap antagonistik terhadap kelas pemegang pemerintahan yang legal’ bisa muncul dan melengserkan elite yang tengah berkuasa[11].

Terlepas dari permusuhannya terhadap perluasan hak suara, Mosca mengakui bahwa demokrasi representatif bisa memainkan peran dalam menengahi hubungan antara elite dan massa. Oleh karena penerimaannya yang nyata terhadap institusi liberal ini, Birch menyatakan bahwa Mosca dapat digolongkan sebagai seorang liberal[12].

Meskipun demikian, berbeda dengan John Stuart Mill yang takut bahwa massa yang tak terdidik akan bisa berkuasa jika demokrasi diperluas, meski secara teoretis setia pada prinsip-prinsip demokrasi, Mosca lebih tertarik pada representasi (perwakilan) sebagai mekanisme stabilitas sosial. Dengan kata lain, representasi merupakan versi khusus dari gagasannya mengenai formula politik. Melalui representasi, ‘sentimen dan gairah “khalayak” bisa menimpakan pengaruhnya’, sehingga menghindarkan terjadinya penggulingan kekuasaan melalui kekerasan oleh satu elite atas elite yang lainnya[13].

Teori elite jelas kurang matang, dan tidak banyak menjelaskan tentang hubungan negara-masyarakat sipil. Berkenaan dengan pertanyaan tentang konflik dan konsensus, Mosca maupun Pareto sama-sama menyatakan arti penting keduanya, namun gagal mengkonstruksi sebuah teori yang meyakinkan mengenai hubungan di antara keduanya. Mosca dan Pareto tidak banyak memberikan bukti tentang bagaimana atau mengapa ‘formula politik’ atau ‘keyakinan hidup’ yang berbeda digunakan atau menjadi tidak berguna lagi. Pada titik apakah elite penguasa beralih dari mengandalkan kekuatan komunikasi menuju penggunaan kekuatan militer?

Tak satu pun dari kedua teori itu yang kuat pembahasannya tentang perubahan kaum elite. Bagi Pareto, elite gagal karena menuruti kehendak sendiri, namun teori ini mengabaikan pentingnya arti perjuangan kelas dan revolusi sebagai penyebab perubahan. Gagasan Mosca tentang munculnya elite baru dari kalangan masyarakat sipil tidak sesuai dengan opininya tentang kelemahan massa. Pareto dan Mosca juga gagal menjelaskan bagaimana dan mengapa elitee yang baru bisa memperoleh sumber daya kekuasaan yang dibutuhkan untuk memerintah[14].

Para teoretisi elite gagal menjelaskan hubungan antara berbagai jenis kckuasaan, khususnya kaitan antara politik dan ekonomi yang sebagian besar tidak terjamah. Pareto memang menyediakan ruang untuk mendiskusikan ekonomi elite, yang ia definisikan sebagai terdiri atas para rentier (orang yang pendapatannya dari properti dan investasi), yang merupakan pemilik properti dan penabung dan yang karenanya menginginkan stabilitas ekonomi, dan para spekulator, yang sebagai wirausaha terus berusaha memajukan dan merespon perubahan ekonomi.

Namun, hubungan antaranggota ekonomi elite dalam masyarakat sipil dan negara tidak jelas. Pareto dengan singkat menyebutkan jaringan ‘minoritas yang terkemuka’, tetapi hubungan antara elite politik dan ekonomi tampaknya bersandar pada pandangan Pareto mengenai kesesuaian temperamental yang didefinisikan secara sembrono (misalnya, para singa dekat dengan rentier karena keinginan mereka akan stabilitas), dan bukannya karena rasa persamaan posisi kelas yang dimiliki.

Terlepas dari banyaknya kekurangan, teori elite klasik menegaskan kembali perhatian Marxis tentang kepentingan kelompok sosial dalam menentukan distribusi kekuasaan dalam negara dan masyarakat sipil. Teori itu tampaknya menawarkan tinjauan realistis tentang relasi kekuasaan aktual yang ada, di mana para elite tak diragukan lagi menjadi pemain penting dalam bagaimana institusi negara dan masyarakat sipil dibangun.

Para elite telah melembagakan pengaruh mereka melalui negara dan menentang demokratisasi radikal karena alasan-alasan yang tidak dapat direduksi menjadi kepentingan ekonomi semata. Teori elite juga memunculkan tantangan, yang harus dijawab oleh para penganut demokrasi radikal, tentang apakah para elite bisa benar-benar dikesampingkan, dan sampai taraf apa penentuan-diri demokratis murni oleh semua individu merupakan hal yang mungkin dan dikehendaki.

Asumsi teori elite klasik juga membentuk basis bagi eliteisme demokratis yang lebih canggih dari Weber dan Schumpeter. Konsep elite yang demokratis akan tampak dalam pandangan pertama sebagai hal yang kontradiktif. Namun, pertanyaan ini mengarah pada definisi demokrasi yang sedang diterapkan. Weber dan Schumpeter menerima pendekatan ‘realis’ dari Mosca, dan melihat kepemimpinan elite sebagai hal yang tak terelakkan.

Dalam ungkapan Weber, ‘semua gagasan yang bertujuan menghapuskan dominasi antar manusia adalah khayalan’[15]. Kekuasaan elite juga diperlukan, untuk merintangi tindakan berlebihan dari massa yang bodoh. Namun, untuk menjamin stabilitas sosial, kepemimpinan elite harus terkait dengan masyarakat melalui mekanisme demokratis.

Schumpeter menawarkan sebuah deskripsi yang menarik tentang bagaimana demokrasi dapat disesuaikan dengan realitas kekuasaan elite[16]. Pertama, Shumpeter menyatakan bahwa kekuasaan politik selalu dipegang oleh kelompok minoritas, dan bahwa dalam masyarakat yang kompleks, demokrasi partisipatoris -di mana massa memainkan peranan langsung dan berkelanjutan dalam pengambilan keputusan-adalah hal yang mustahil[17].

Tidak ada satu pun elite dominan dalam masyarakat liberal, tapi memang ada ‘dinamika di antara minoritas yang terorganisir’, yang masing-masing berjuang, melalui sarana tanpa-kekerasan, untuk mencapai supremasi. Kedua, demokrasi dilihat bukan sebagai tujuan itu sendiri, melainkan sebagai metode agar para elite bisa dipilih oleh massa, sehingga menjamin sirkulasi elite secara tertib.

Sebagai seorang ahli ekonomi, Schumpeter merasa bahwa institusi yang paling demokratis dalam masyarakat adalah pasar, dan karena itu institusi politik harus didasarkan atas model ini: persis seperti halnya para kapitalis bersaing memperebutkan konsumen, para politisi harus bersaing untuk merebut suara. Asalkan demokrasi terbuka bagi masukan dari massa, dan keanggotaan elite didasarkan pada kepatutan, Schumpeter menyatakan bahwa sistem seperti itu dapat stabil dan berhasil.

Bottomore dan Bachrach telah memberi kritikan terus-menerus terhadap teori elite demokratis. Yang menjadi pokok masalah adalah miskinnya pandangan tentang demokrasi yang dimiliki para penulis seperti Weber dan Schumpeter. Para elite dianggap perlu karena irasionalitas, apatisme dan kebodohan massa, dan demokrasi dianggap tidak lebih sebagai penggunaan legitimasi atas ketidaksetaraan tersebut secara berolok-olok.

Persoalan yang ada pada model demokrasi elite ini adalah karena ia merupakan sebuah self-fulfilling prophecy (ramalan tentang sesuatu yang karena dipercaya justru mendorong terjadinya sesuatu itu). Teori elite mengabaikan bagaimana ketergantungan pada elite itu sendiri menghalangi partisipasi dan mendorong sikap apatis dan tidak peduli di kalangan mereka yang menganggap pergulatan antarelite sebagai hal yang jauh dan tidak terkait dengan kehidupan mereka.

Asumsi ini diperkuat oleh fakta bahwa Schumpeter memandang partisipasi demokrasi sebagai perkara yang terbatas, yang tidak berlaku untuk kehidupan ekonomi atau sosial. Bahkan, demokrasi politik dianggap oleh Schumpeter terancam oleh ‘partisipasi berlebihan’ yang dilakukan oleh masa, seperti lobi di antara wakil-wakil rakyat dalam pemilu. Seperti ditulis Bachrach, pandangan seperti itu memahami demokrasi sebagai hal yang ‘secara implisit didedikasikan untuk kelangsungan hidup sistem eliteis demokrasi’ alih-alih untuk ‘perkembangan diri para individu[18].

Teori yang sinis seperti itu berisiko mengasingkan kalangan mayoritas dari peluang untuk mengelola kehidupan mereka sendiri, dan ini bisa mengancam stabilitas sistem. Demokrasi sebaliknya bisa dipandang lebih positif sebagai sebuah proses berkelanjutan yang dinamis. Masyarakat manapun yang mengklaim sebagai sebuah demokrasi perlu menyadari keterbatasannya dan harus bekerja keras untuk memperluas partisipasi.

Sebuah contoh tentang hal ini adalah kurangnya partisipasi dalam elite politik dari kalangan etnis minoritas dan perempuan di kebanyakan negara seluruh dunia. Pada 1992 misalnya, perempuan hanya menempati 8% kursi dalam badan legislatif di Italia, 6 persen di Prancis dan Yunani, serta 9 persen di Inggris[19].

Pengabaian seperti itu menggambarkan bahaya rasa puas atas jangkauan demokrasi dalam sistem manapun. Jawaban Schumpeter atas masalah ini adalah dengan menyatakan bahwa suatu negara bisa secara legitimatif memandang satu unsur masyarakat sipil sebagai ‘tidak pantas’ untuk memberikan suara mereka; misalnya, ‘suatu bangsa yang sadar akan ras mungkin mengasosiasikan kepantasan [untuk berpartisipasi] atas pertimbangan rasia’[20].

Asumsi seperti itu membawa kita kembali ke inti kelemahan teori elite kecenderungannya untuk mengasumsikan bahwa ketidaksetaraan kekuasaan adalah bukti dari kekuatan-dan bukannya kelemahan-suatu sistem politik. Ketidaksetaraan ini bukan cerminan dari ketimpangan distribusi hak atribut- atribut yang sesuai bagi pemerintahan (seperti yang dipertahankan penganut eliteis). Akan tetapi semua itu adalah karena ketidaksetaraan struktural seperti kelas, ‘ras’ dan gender.

Penulis: Muhammad Rizal Baihaqi


[1] Albertoni, Ettore A. (1987). Mosca and the Theory of Eliteism. Blackwell.

[2] Peter A. LaVenia, Michels, Robert, Encyclopedia of the Philosophy of Law and Social Philosophy, 10.1007/978-94-007-6730-0, (1-4), (2020).

[3] Mosca, Gaetano (1939). The Ruling Class pp: 154. London: Mcgraw-Hill Book Company.

[4] Ibid pp: 450

[5] Cahiers Vilfredo Pareto 6, no. 16/17 (1968). http://www.jstor.org/stable/40368892.

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Tom Bottomore (1993). Elitees and Society. Routledge

[9] Cahiers Vilfredo Pareto (1968).

[10] Mosca, Gaetano (1939). pp: 447.

[11] Ibid pp: 116.

[12] Birch J, McKeever LM. Survey of the accuracy of new pseudoisochromatic plates. Ophthalmic Physiol Opt. 1993;13:35

[13] Mosca, Gaetano (1939). pp: 155.

[14] Tom Bottomore (1993) pp. 35. Elitees and Society. Routledge

[15] Evans, P., & Rauch, J. E. (1999). Bureaucracy and Growth: A Cross-National Analysis of the Effects of “Weberian” State Structures on Economic Growth. American Sociological Review, 64(5), 748–765. https://doi.org/10.2307/2657374

[16] Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism, and Democracy (1942). University of Illinois at Urbana-Champaign’s Academy for Entrepreneurial Leadership Historical Research Reference in Entrepreneurship, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1496200

[17] Ibid

[18] The Theory of Democratic Eliteism: A Critique. By Peter Bachrach. (Boston: Little, Brown and Co., 1967. Pp. xiv, 109.)

[19] Evans, P. (1997). Government Consumption and Growth. Economic Inquiry, 35(2), 209–217. doi:10.1111/j.1465-7295.1997.tb01904.x

[20] Schumpeter, Joseph A (1942)…

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like