Urgensi Filsafat dalam Beragama14 min read

Filsafat berasal dari kata philos dan shopia, φιλος (philos) dan σοφοσ (sophos), secara harfiah (literally) memiliki arti teman bijak atau teman yang bijaksana. Atau dalam pengertian lain yakni mencintai kebijaksanaan. Dan diserap dalam bahasa arab menjadi falasifah/falsafah. Dalam pemahaman ilmuwan muslim waktu lampau (abad pertengahan) disebut dengan hikmah. Yakni perkara yang diperoleh dari manapun itu sumber/asalnya, yang terpenting adalah kebenaran atau realitas.

Pengertian filsafat sebagai world of view (cara pandang dunia) adalah melihat segala sesuatunya menggunakan akal fikiran yang sudah tentu dimiliki oleh makhluk bernama manusia. Dengan filsafat dimaknai sebagai pandangan dunia maka ia tidak terbatas pada sekat-sekat atau rezim-rezim tertentu, atau menempel pada ilmu-ilmu tertentu. Justru ia menjadi sumber, menjadi dasar, menjadi fondasi dari segala keilmuan yang ada.

Filsafat sebagaimana yang sudah mafhum dan dalam mata kuliah Pengantar Filsafat Islam dikatakan sebagai akal, sudah semestinya digunakan dalam beragama. Akal dalam pemahaman keagamaan mendapatkan tempat yang tinggi dan mulia. Kaum agamawan sendiri tidak menampik peran akal dalam memahami agama. Namun sebagian juga menolak akal sebagai otoritas tertinggi untuk memahami agama. Dengan alasan karena masih ada hati atau qolbu yang bisa digunakan. Benarkah demikian? Jawabnya tidak, sebab hati/qolbu sendiri masih meminjam peran akal untuk menjelaskan apa itu qolbu. Berarti, peran tertinggi masih dipegang oleh akal.

Mengutip ucapan Imam Ali bin Abi Thalib k.w.a.s dalam Nahjul Balaghah mengatakan bahwa badan fisikal itu dikuasai oleh ruh, maka ruh berhak mengatur badan. Dan badan sendiripun dikuasi oleh akal, maka akal berhak mengatur ruh. Dari sini kita mengetahui bahwa raja dari segala raja (perangkat/elemen di tubuh kita) ialah akal. Dan peran akal sungguh amat sangat penting.

Karena dalam ayat-ayat kitab suci disebutkan perintah ataupun sinyalemen untuk berfikir. Dengan redaksi kalimat sebagai berikut: “afala ya tafakarun? (apakah kamu tidak berfikir?)”, “afala ta qilun? (apakah kamu tidak memahaminya?)”, “afala tatadzakarun? (apakah kamu tidak mengambil pelajaran?)”, selanjutnya ayat yang berbunyi ”innama yatadzakaru ulul albab. (hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran)”, dan masih banyak ayat-ayat lainnya, yang berbicara/memerintahkan agar manusia itu berfikir atau mendayagunakan otaknya dengan optimal, dengan maksimal, dengan sebaik-baiknya.

Mari kita tinjau secara filosofis, Penulis memiliki pandangan bahwa justru manusia bisa dikatakan sebagai manusia jika ia memiliki akal. Tidak mungkin manusia yang tidak berakal dimintai pertanggungjawaban. Secara pemahaman, manusia yang tak berakal akan diakui sebagai makhluk yang kurang atau keluar dari sifat umumnya.

Misalnya saja orang gila atau hilang akal yang ada di jalan-jalan atau tempat-tempat umum. Tentu mereka akan dianggap/dinilai sebagai manusia yang tidak mukallaf (terikat oleh hukum/terbebani hukum), atau tidak memikul tanggung jawab sebagaimana manusia yang berakal.

Dalam narasi naqilyah (hukum normatif) dikatakan bahwa Allah Subhanawatala mengangkat pena selama manusia itu tidur dan atau pada saat keadaan gila. Kenapa bisa seperti itu? Ya karena manusia yang tidak berakal, tidak masuk dalam hitungan atau tidak ada dosa dan pahala baginya.

Kemudian, contoh dihadapkan dengan makhluk lain. Apakah bisa kita selaku manusia mengadili hewan atau tumbuhan kehadapan majelis hakim? Atau menuntut hewan dan tumbuhan untuk bertanggungjawab? Tentu tidak mungkin. Karena apa? Karena mereka golongan yang tidak berakal.

Tidak mungkin peran akal disingkirkan atau ditiadakan dari aktifitas keagamaan. Kalau itu terjadi maka akan timbul kekacauan, muncul ketidakbenaran. Dan bahkan dari mulai perkara yang kecil sampai dengan yang besar, dari awalan hingga akhiran. Dan proses dari tidak tau menjadi tau, semua itu menggunakan yang namanya akal.

Misal dalam membaca huruf a, b (be), c (ce), d (de), e, f (ef), sampai dengan z (zet). itu semua menggunakan akal. Kemudian memahami terkait angka 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga) dan seterusnya sampai 9 (sembilan) dan 0 (nol). Itu semua menggunakan akal, tidak mungkin tidak. Dan bahkan juga dalam membaca ا (alif), ب (ba’), ت (ta’), ث (tsa’), ج (jim), ح (kha), خ (kho), د (dal), ذ (dzal), ر (ro’), ز (zain), س (sin), ش (syin), dan seterunya sampai huruf ي (ya’). Itu juga menggunakan akal sebagai pijakan. Termasuk menghafal ayat-ayat Tuhan (Quran) dan kabar/pengajaran dari utusan Tuhan (Hadits).

Jadi jika ada pihak yang mengatakan bahwa filsafat atau setidaknya orang yang belajar filsafat sebagai orang yang sesat maka itu termasuk sebuah kekonyolan. Karena tidak ada satu pun perkara di alam ini/kehidupan ini yang lepas dari filsafat. Baik itu rasionalitas ataupun irasionalitas. Karena untuk menyebut dan menunjukkan hal yang irasionalitas itu sendiri membutuhkan kata-kata serta huruf dan pemikiran terkait yang ditunjuk atau perihal yang dimaksud itu.

Termasuk hal-hal yang berkaitan dengan fisik dan metafisik, alias kaitan wujud yang nampak oleh mata ataupun tidak tampak oleh mata. Perkara yang nampak oleh inderawi dan atau perkara yang tidak nampak oleh inderawi. Semua itu dijelaskan juga melalui akal.

Karena agama itu berisi doktrin atau dogma, yang mana dalam kegiatan sehari-hari langsung diimani dan diikuti begitu saja oleh mayoritas. Maka perlu menggunakan akal atau filsafat supaya tidak gagal faham, tidak tersesat kearah yang tidak dikehendaki oleh agama itu sendiri.

Apalagi pada zaman modern ini, masih terdapat golongan yang secara serampangan dalam memahami agama. Terutama mereka yang memiliki corak pemikiran secara materialis atau literer. Agama bagi kaum materialis ini dibatasi hanya pada teks-teks.

Dan cenderung mengabaikan pendapat atau jurisprudensi dari para pendahulunya. Aliran keagamaan dengan metode belajar melalui sanad keagamaan dengan mata rantai (dengan segala konsekuensinya) orang per orang ini dinilai oleh kaum tekstualis materialis ini sebagai bid’ah atau sesat.

Seperti contohnya, keilmuan yang diperoleh dari jalur keturunan atau jalur guru dengan murid. Jalur keturunan ialah misalkan dari nabi Muhammad kepada putrinya Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Sayyidah Az-zahra memiliki anak Imam Hasan Al-Mujtaba dan Imam Husain Asy-Syahid, Imam Husain memiliki anak Imam Ali Zaenal Abidin, Imam Ali Zaenal Abidin memiliki putra Imam Muhammad Al-Baqir, kemudian Imam Muhammad Al-Baqir memiliki putra bernama Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Ja’far Ash-Shadiq memiliki anak bernama Imam Musa Al-Kadzim, Imam Musa Al-Kadzim memiliki anak Imam Ali Ar-Ridha, Imam Ali Ar-Ridha memiliki keturunan bernama Imam Muhammad Al-Jawad, Imam Muhammad al-Jawad memiliki keturunan bernama Imam Hasan Al-Askari, Imam Hasan Al-Askari memiliki anak bernama Imam Muhammad A-Mahdi.

Contoh diatas merupakan periwayatan ilmu agama yang dilakukan dari hubungan jalur darah atau keturunan. Kemudian ilmu agama yang muncul dari jalur periwayatan dari hubungan guru dan murid. Seperti halnya Imam Ja’far Ash-Shadiq memiliki murid bernama Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi’i, Imam Syafi’I memiliki murid Imam Ahmad bin Hambal. Dan seterusnya.

Lantas, mau dikemanakan ilmu yang sambung-menyambung itu? Apakah akan dihilangkan begitu saja? Alias tidak diakui? Mereka hendak menghilangkan mata rantai penghubung keilmuan dari satu pihak kepada pihak lain. Yang diketahui sebagaimana klaim mereka mengambil langsung dari sumbernya (yakni dari kitab suci dan atsar).

Kurangnya penghargaan bagi orang yang belajar agama menggunakan sistem rantai keilmuan turun-temurun atau bersanad ini oleh kaum materialis tekstualis dikarenakan tidak mengambil langsung apa-apa yang tertulis pada teks. Padahal tidak demikian. Dengan kecerdasan yang minimalis, kaum tekstualis ini menilai bahwa sumber agama adalah ‘hanya teks (only text)’. Tanpa ada pemahaman atau ilmu pegetahuan di dalamnya. Ini tentu sangat mengerikan.

Contoh, ketika mereka berhadapan dengan kalimat “Tuhan duduk di atas arsy” atau “Tuhan berada di langit” atau “Tuhan memiliki tangan dan kaki” dan “Kerajaan Tuhan berada di atas air” dan seterusnya, mereka memahami teks demikian secara apa adanya (polos tiada bermakna). Tentu ini sangat dungu. Tidaklah mungkin Tuhan berada dilangit ataupun duduk diatas arsy sebagaimana duduknya manusia.

Jika Tuhan dipikirkan seperti makhluk sebagaimana Ia (Tuhan) telah menyerupai makhluk, maka ini tentu mustahil. Karena Tuhan itu mukholafatu lil hawadits (berbeda dengan makhluk-Nya). Kalau Tuhan menyerupai makhluk-Nya, maka status ke-Tuhannannya bisa batal.

Kemudian mereka (kaum tekstualis) berpendapat bahwa Allah berada di langit/arsy karena mereka berpegangan pada hadits isra’ mi’raj nabi Muhammad s.a.w. yang pada waktu itu diperjalankan oleh Allah s.w.t. ke langit ke tujuh (sidratul muntaha) guna mendapatkan wahyu sholat.

Jikalau analogi itu yang mereka pakai maka apakah juga Tuhan/Allah swt berada di bukit Thursina? Karena ketika nabi Musa a.s. berdialog dengan Tuhan, keadaannya berada di bukit Thursina (yang sekarang masuk wilayah Mesir). Tentu argumentasi mereka terbantahkan. Dan naudzubillah, tidak mungkin bagi Allah membutuhkan tempat.[1]

Sebagaimana pemahaman yang benar ialah Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu (qiyamuhu binafsihi). Karena Tuhanlah yang menciptakan ruang dan waktu itu sendiri, jadi mustahil bagi Allah membutuhkan ciptaan-Nya sendiri.

Dengan corak pemikiran demikian itu, justru mereka secara tidak langsung telah melakukan berhalanisasi kepada Tuhan. Yakni dengan menurunkan derajat Tuhan menyerupai makhluk ciptaan-Nya dan membutuhkan ciptaan-Nya sendiri (terikat oleh ruang dan waktu).

Sesungguhnya mereka itu sudah terjebak dalam ruang dan waktu, berfikir dengan sudut pandang esensial, bukan menggunakan point of view eksistensial. Kesadaran adanya sesuatu yang berada diluar ruang dan waktu, adanya realitas sejati diperlukan seseorang dalam beragama dan dalam kehidupan. Orang yang belum mengetahui kesadaran pada dirinya, maka ia tidak akan bisa memahami kesadaran yang berada diluar dirinya.

Selanjutnya suatu contoh yang pada era tahun 2000-an menyulut api prahara tentang terorisme. Islam diidentikkan dengan terorisme. Setelah peristiwa 11 September Gedung WTC di Amerika Serikat ditabrak oleh pesawat yang konon katanya diterbangkan oleh kader Al-Qaeda dari Afghanistan. (walaupun peristiwa ini masih debatebel) sampai dengan munculnya ISIS (Islamic State Iraq and Suriah / Daish / daulah islamiyah) [Daulah islam yang jauh dari nilai-nilai islam] di sekitaran wilayah Iraq dan Suriah.

Mengapa bisa demikian? Mari kita telusuri pemikiran  para ekstrimis ini. Dapat diambil contoh pembahasan terkait ayat-ayat Quran yang mereka gunakan sebagai hujjah dalam beraksi. Yakni seputar faqtuluna kafirun fi kulli zaman wa makan (artinya: dan bunuhlah orang-orang kafir itu dimanapun engkau jumpai ditiap tempat dan ditiap waktu). Yang berkaitan dengan ayat-ayat peperangan. Padahal dalam pemahamannya ada tiga klasifikasi, yakni kafir harbi, kafir muahid, dan kafir dzimmi.

Kafir harbi adalah orang-orang kafir dengan status yang sedang berperang dengan orang islam, kafir muahid adalah orang kafir yang berstatus sedang mengikat perjanjian dengan orang islam, dan kafir dzimmi adalah kafir dengan status yang dilindungi atau sedang dalam perlindungan. Dari pengertian tersebut, ayat yang boleh berlaku bagi orang kafir yang dibunuh dimanapun dan kapanpun berada ialah orang kafir harbi, yakni orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Sedangkan yang dua lagi, yaitu kafir muahid dan kafir dzimmi dilarang untuk dibunuh atau dimusuhi.

Para ekstrimis ini hanya memakan mentah-mentah dalil yang sampai pada dirinya tanpa difikrikan terlebih dahulu. Mereka cenderung menggunakan pendapat pribadi, namun disanyangkan jahil atau ketiadaan ilmu, dan enggan untuk menerima pendapat para ulama atau orang-orang ahli ilmu yang sudah belajar bertahun-tahun mengenai agama.

Maka tidak heran bila hasil dari cara beragama kaum ini tidak sesuai dengan pemahaman orang zaman dahulu, atau ilmu yang didapat secara turun temurun.

Jika kita melakukan kontemplasi atau perenungan, maka agama itu tidak hanya berbentuk teks (Quranniyyah), akan tetapi juga ada ayat-ayat Tuhan atau tanda-tanda kebesaran Tuhan yang bertebaran di alam semesta ini. Yang dalam bahasa agama disebut ayat Khaunniyyah. Ayat-ayat tersebut juga wajib dipelajari dan dipahami. Apakah itu akan dicampakkan begitu saja?

Bagaimana cara mempelajarinya, sudah barang tentu menggunakan akal. Apalagi kalau itu digunakan sebagai argumentasi keimanan. Jadi tidak hanya berkutat masalah apa-apa yang tertulis dalam teks, tapi juga apa-apa yang ada diluar teks.

Semisal saja perangkat-perangkat ilmu yang lain, yang “dianggap diluar agama”. Seperti tinjauan keilmuan atau sudut pandang historis, ekonomis, sosiologis, yuridis, antropologis, biologis, kimiawi, kultural, filologis, etimologis, psikologis, dan is-is yang lainya.

Berarti dengan adanya tinjauan dari sudut pandang lain, kita akan menerima informasi yang lebih lengkap mengenai kenapa terjadi, untuk apa dilakukan, dampak apa yang akan terjadi di masa depan, semua itu memperkaya kajian kita terhadap agama.

Sebenarnya ukuran daripada manusia ini dapat dipecah melalui dua kategori dari empat metode. Dalam ilmu pengetahuan yang sudah mahsyur, terdapat empat cara empiris untuk mendapatkan ilmu, yakni listening-speaking-reading-writing.

Yang pertama ialah kemampuan listening-speaking atau mendengarkan dan berbicara. Ini diperuntukkan untuk kalangan manusia rata-rata. Kebanyakan penduduk dunia memang mengetahui cara ini.

Dan yang kedua ialah reading-writing atau membaca dan menulis. Ini diperuntukkan bagi kalangan manusia dengan kecerdasan menengah ke atas. Hanya sebagian dari penduduk dunia yang bisa melakukan ini. Sebab hal ini membutuhkan kecerdasan lebih untuk memahami apa itu membaca/bahan bacaan/tulisan.

Dalam perkara tulisan inilah kaum jadali, atau orang-orang yang selalu menanyakan dalil dari suatu perkara agama. Pertanyaannya adalah apakah mereka juga secerdas yang diharapkan? Sebab jika hendak mengetahui agama melalui dalil atau bukti tertulis maka seseorang dituntut untuk dapat mengerti apa yang dibacanya. Tidak bisa/tidak boleh memiliki pemahaman lain terhadap teks tersebut (sesuai dengan konteks). Tulisan itu pada hakikatnya adalah pengikat dari ilmu yang sudah didapat. Karena ilmu sendiri berbentuk abstrak, maka cara membuatnya menjadi konkret (selain mengamalkannya) adalah dengan menuliskannya. Agar seseorang yang telah mendapatkan ilmu itu tadi tidak lupa.

Keimanan yang benar dan baik tentunya dilandasi dengan ilmu pengetahuan. Sehingga dalam realitanya tidak semua orang mau dan mampu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (ashadu ala ila ha ilallah, wa asyhadu anna muhammadarosulullah) yang berupa persaksian dengan ilmu pengetahuan. Karena orang itu pasti tau mengenai konsekwensi logisnya. Harus apa dan bagaimana.[2]

Berikutnya adalah pembuktian empiris terhadap ajaran agama, contoh hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan larangan meniup minuman/makanan yang masih panas dan hadits tentang meminum air kencing onta untuk digunakan sebagai obat.[3]

Ada suatu riwayat yang menjelaskan bahwa nabi Muhammad melarang kita meniup minuman yang masih panas. Apakah ini benar secara keilmuan? Dalam suatu pembahasan yang ditinjau dari ilmu kimia bahwa memang benar bila meniup minuman/makanan yang masih panas. Dilihat dari rumusnya adalah H2O + CO2 = H2CO3. H2O yang merupakan air/zat cair bertemu dengan CO2 (karbon dioksida) yang merupakan hasil pernafasan menghasilkan H2CO3 (asam karbonat). Asam itu jika masuk ke dalam tubuh maka akan mengakibatkan penurunan pH (konsentrasi atom Hidrogen) darah menjadi lebih asam.

Apabila kadar asam tinggi dalam tubuh maka akan membuat tubuh dalam kondisi asidosis. Ini tentu cukup berbahaya, dalam bentuk gangguan jantung yang ditandai dengan tarikan nafas yang lebih cepat. Dan sesak karena tubuh berusaha menyeimbangkan pH darah, serta mengurangi kadar karbon dioksida. Maka ini benar dan dapat diamalkan, dan bisa naik levelnya menjadi sunnah.

Kemudian pada hadits tentang meminum air kencing onta yang mereka klaim dan yakini sebagai obat. Apakah benar demikian? Bila kita lihat dalam kacamata ilmu biologi maka ini tidak benar. Yang namanya kencing atau urine itu adalah eksresi dari ginjal, dibuang keluar dari tubuh. Karena sudah tidak ada lagi zat-zat yang berguna bagi tubuh untuk dikonsumsi.

Berbeda halnya dengan ludah, ludah masih bisa ditelan karena masuk kategori sekresi. Sekresi ini ialah zat yang bisa dibuang dan bisa juga dikembalikan ke tubuh karena masih dapat digunakan oleh tubuh. Akan tetapi urin dan feses masuk kategori eksresi, yang mana benda-benda itu sama sekali tidak ada gunanya bagi tubuh. Sehingga tidak layak urine atau air kencing untuk diminum atau dikonsumsi. Maka ini kurang tepat bila diamalkan. Sepatutnya hadits yang demikian ini hanya untuk cerita sejarah, dan tidak bisa naik level menjadi sunnah.

Ini sungguh memprihatinkan. Karena diwaktu yang lalu ada tayangan viral di media sosial, kaitan adanya muslimin Indonesia di Arab yang mempraktikkan hal ini. Padahal WHO (World Health Organization) badan yang berada di bawah naungan UN (United Nation) / PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sendiri sudah melarang orang-orang arab untuk tidak meminum kencing onta karena dinilai berbahaya bagi kesehatan. Dan kadang kala orang-orang yang menjual air kencing onta itu menggantinya dengan air kencingnya sendiri. Ini sungguh miris dan menjijikkan.

Menurut penulis ini sesuatu yang konyol. Dan mereka akhirnya menjadi bahan olok-olokan oleh sebagian orang yang tidak setuju. Seolah-olah orang-orang islam yang sudah ada dizaman modern ini ditarik kembali ke zaman yang belum ada tekhnologi, belum dikenal secara luas ilmu pengetahuan.

Perlu diperhatikan bahwasanya Ar-Razi (seorang ilmuwan muslim abad pertengahan) yang mendirikan rumah sakit dan laboratorium di Baghdad pada wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Yang dipergunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan penelitian. Dan Ibnu Sina yang menciptakan kitab pengobatan yang dipergunakan oleh ilmuwan-ilmuwan barat dalam proses operasi dan penyembuhan. Dan masih banyak lagi imuwan-ilmuwan muslim yang berjasa besar dalam dunia medis dan kimia.

Justru orang-orang islam-lah yang mempelopori ilmu pengetahuan dan tekhnologi, terdapat dalam kisah-kisah sejarah islam yang gemilang. Terbukti dengan berdirinya Baitul Hikmah, yakni perpustakaan terbesar dimasanya. Jadi harusnya orang yang mengaku beragama (islam) lebih cenderung berobat ke medis daripada non medis. Karena semua itu ilmiah, bisa dipertanggungjawabkan, dan prosesnya melalui akal fikiran, teruji klinis serta ada ukuran-ukurannya.

Dari pemaparan yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa kita harus mengaktifkan akal kita dalam beragama ini. Tidak boleh untuk men-shutdown akal atau menjauhi filsafat, siapa saja yang mematikan akalnya atau meghardik filsafat tentu akan menjadi “orang yang lucu”.


[1] Argumentasi ini berasal dari Buya Yahya (seorang ulama muslim madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah dari Cirebon) dalam majelis Al-Bahjah yang beliau pimpin.

[2] Argumentasi ini disampaikan oleh Prof. Dr. Egi Sudjana, S.H., M.Si., pada saat acara debat lintas agama secara daring dalam kanal media social tertentu.

[3] Materi tentang ini, menjadi pembahasan penulis pada saat mengikuti mata kuliah Studi Interdisipliner dalam jenjang pendidikan Magister Filsafat Islam. 

Mahasiswa Program Magister Filsafat Islam STFI [Sekolah Tinggi Filsafat Islam] SADRA Alumnus Institut Agama Islam Surakarta [IAIN Surakarta], Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam, jurusan Akuntansi Syariah, Tahun 2016

2 thoughts on “Urgensi Filsafat dalam Beragama

  • Bahasannya cukup luas, Sy tertarik dengan kalimat “Orang yang belum mengetahui kesadaran pada dirinya, maka ia tidak akan bisa memahami kesadaran yang berada diluar dirinya.” Mohon pencerahannya. Kesadaran diri itu apa ya? Bagaimana cara mengetahui kesadaran diri? Apa bedanya kesadaran diri dan diluar diri? Terima kasih.

    • Terima kasih atas pertanyaannya.
      Sebetulnya ini bisa menjadi satu bahasan khusus, akan tetapi tidak mengapa saya jawab secara sederhana saja.

      Kesadaran diri ialah memahami/mengetahui tentang keberadaan dirinya sendiri, bahwa dirinya adalah sebuah realita. Mengakui jika diri ini ada atau mewujud sebagaimana wujudnya. Baru kemudian mengakui wujud-wujud yang ada diluar dirinya sebagai wujud lain yang juga sama-sama eksis.

      Contoh, sebelum mengenal Tuhan atau agama, kita mesti mengenal diri kita sendiri. Setelah terlahir di alam dunia ini, dan pada saat akal telah aktif, maka kita tentu melihat diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum melihat yang lain bukan? Nah, baru setelah kita memvalidasi keberadaan kita, kita memvalidasi keberaadaan agama dan Tuhan.

      Cara mengetahui kesadaran diri bisa dengan kontemplasi, berfikir sampai pada akar-akarnya, melihat apa-apa yang ada pada diri kita sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like