Masih adakah nurani manusia era modern yang memandang bahwa kosmos ini sebagai bagian dari kehidupannya? Masihkah ada harapan bagi generasi ke depan menikmati alam ini untuk mengantarkan kehidupan mereka pada pemenuhan kehidupan lahiriyah juga batiniyah?
Jika flashback menuju zaman pencerahan (aufklarung) atau pencerahan Eropa, di mana umat manusia lebih mendewakan yang namanya akal budi atau rasio. Dengan percaya diri, manusia meyakini bahwa akal budi ini sebagai Tuhan baru yang akan memecahkan segala persoalan hidup umat manusia.
Sejak zaman pencerahan Eropa inilah menandakan bahwa umat manusia telah memasuki suatu era yang sering disebut dengan era masyarakat modern, atau lebih populernya era modernitas, era di mana manusia begitu antusias dan optimis bahwa segala persoalan hidupnya akan terpecahkan oleh ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan digitalisasi.
Pertanyaannya: benarkah kehidupan masyarakat modern ini segala persoalan hidupnya bisa teratasi? Kenyataannya tidak demikian. Kehidupan modern yang lahir dari pencerahan Eropa ini justru telah membawa masalah baru bagi kehidupan umat manusia saat ini.
Saya tertarik dengan ungkapan yang disampaikan oleh seorang sosiolog asal Jerman bernama Ulrich Beck (1944-2015), sebab ia mengatakan: “kehidupan modern membuat hidup kita pada risk society atau segala berisiko”. Ungkapan Ulrich Beck ini menggambarkan definisi bahwa segala aktivitas manusia, baik itu produksi maupun konsumsi selalu menyimpan risiko.
Makanan instan misalnya, atau jenis makanan yang cepat saji, makanan siap konsumsi, dan derivasi istilah kata lainnya, yang seakan-akan tidak berisiko atau aman bagi tubuh, namun kenyataanya berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Dilansir dari Kompas, laporan studi terbaru tentang makanan cepat saji ini dikaitkan dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik, yaitu spektrum penyakit yang ditandai oleh steatosis hati yang dapat menyebabkan kanker ataupun gagal hati (Makanan Cepat Saji Terkait dengan Penyakit Hati, Kompas.id, 11 Januari, 2023). Dari contoh tersebut menggambarkan betapa kultur budaya modern telah melahirkan budaya instan, yang akhirnya juga melahirkan makanan instan bagi keseharian masyarakat modern.
Contoh lainnya adalah penggunaan AC, ini berisiko bagi kesehatan manusia, kemudian air kemasan juga mengadung mikroplastik-nanoplastik, sebagaimana baru-baru ini ditemukan oleh peneliti (Air Kemasan dapat Mengandung Ratusan Ribu Nanoplastik, Kompas.id, 17 Januari, 2024). Kita keluar rumah, terpapar oleh asap kendaraan bermotor yang penuh dengan timbal, berisiko juga, menggunakan laptop, smart phone, dan peralatan elektronik lainnya ternyata ada radiasi di situ. Intinya, kehidupan ini segala sesuatunya mengandung banyak risiko, sehingga kehidupan modern telah menghasilkan banyak risiko bagi masyarakat modern saat ini.
Di depan Ulrich Beck mengungkapkan kegelisahannya atas kehidupan masyarakat modern dengan istilah rick society (segala berisiko), kemudian tokoh lain yaitu Anthony Giddens (1938-) seorang sosiolog dari Inggris, melihat dilema kehidupan masyarakat modern dengan istilah high risk atau risiko tinggi. Gidden mengatakan: “bagaimana pabrik-pabrik yang di bangun oleh kehidupan modern akhirnya menciptakan polusi, efek rumah kaca atau Global Warming, yang membuat lapisan ozon semakin menipis. Ketika lapisan ozon bocor, maka akan mengancam kehidupan manusia, bahkan dapat menyebabkan kepunahan bagi kehidupan seluruh umat manusia di bumi”.
Di era modern ini, perkembangan Iptek dalam bidang persenjataan telah melahirkan nuklir, yang justru pada akhirnya mengancam kehidupan manusia, bahkan sangat mungkin akan menyebabkan kepunahan. Kemudian perkembangan Iptek di bidang pangan, di mana instrumen-instrumen pertanian modern seperti pupuk kimia atau pestisida, justru membuat para petani merugi karena terancam gagal panen akibat senyawa zat kimia yang sebetulnya tidak baik bagi alam.
Dalam ranah praksis, kehidupan modern ini juga telah melahirkan birokrasi, yang merupakan anak kandung dari rahim modernitas. Secara sederhana, birokrasi terdefinisi sebagai suatu organisasi yang di bentuk negara untuk memperlancar peran dan fungsi pemerintahan. Adapun karakteristik utama dari birokrasi ini adalah efisiensi atau efektifitas tingkat tinggi.
Sayangnya, cara kerja birokrasi telah diterapkan di hampir semua aktivitas manusia. Bagaimana tidak, mereka yang bekerja di sebuah lembaga, institusi pemerintahan, pabrik, dan lain sejenisnya di mulai dari jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Jika kita menginginkan agar diterima di tempat kerja yang menjanjikan maka kita harus lulus SD, SMP, SMA, bahkan lulus sarjana. Jangankan di situ, ketika kita ingin lulus kuliah saja maka kita harus memenuhi sekian banyak mata kuliah, wajib Kuliah Kerja Nyata, skripsi, dan lain seterusnya. Itu semua merupakan cerminan bagaimana kehidupan modern ini mengalami birokratisasi.
Tidak mengejutkan jika ada seseorang lulusan perguruan tinggi, secara ekonomi mapan, akan tetapi ia berubah menjadi sosok pribadi yang radikal, atau setidaknya mengikuti salah satu kelompok organisasi agamis radikal. Mengapa ini terjadi? Pasalnya kehidupan modern yang gersang dan kering ini telah menyebabkan masyarakat modern mengalami kehampaan jiwa (alienasi) dan haus spiritualitas, karenanya mereka menjadikan hal-hal demikian itu sebagai sarana pelarian. Inilah yang oleh Erich Fromm (1900-1980), seorang filsuf kebangsaan Jerman diistilahkan dengan “lari dari kebebasan”.
Sebenarnya masyarakat modern ini berusaha ingin lari dari kebebasan. Akan tetapi, kebebasan yang mereka dambakan sebagai kehidupan modern yang katanya serba optimis ini, ternyata sangat mengecewakan bagi dirinya maupun kehidupannya.
Berbagai problem masalah kehidupan masyarakat modern di atas, kemudian muncul suatu kritik tajam yang pada akhirnya melahirkan aliran baru bagi filsafat, yaitu filsafat eksistensialisme, suatu aliran filsafat yang terlahir sebagai respons ketidakpuasan atas permasalahan-permasalahan yang mengemuka dalam kehidupan masyarakat modern. Bagi aliran eksistensialisme, betapa kehidupan modern ini sangat absurd dan aneh. Manusia modern tak lebih hanyalah angka atau statistik, tersebabkan manusia telah dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi di luar dari dirinya.
Persisnya, filsafat eksistensialisme ini memandang kehidupan modern ini sebagai kehidupan yang absurd, kehidupan yang membingungkan dan memuakkan, atau kehidupan yang membuat kita ingin muntah dalam artian yang sesungguhnya. Karena realitanya, dilema kehidupan masyarakat modern ini di satu sisi telah menyimpan berbagai permasalahan baru bagi umat manusia, namun di sisi lain telah membawa masyarakat pada kemudahan-kemudahan yang berarti.
Lahir di Kebumen tepatnya di desa Ambarwinangun kecamatan Ambal kabupaten Kebumen-Jawa Tengah. Pekerjaan saat ini adalah sebagai penulis dan mahasiswa Pascasarja di UNU Surakarta. Minat kajian adalah filsafat, keislaman, pendidikan, dan pemikian kritis. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur.