Pemikiran Plato: Antara Idealisme dan Realitas Politik6 min read

Poin penting yang sering dibahas—bahwa dialog-dialog karya Plato harus dipandang sebagai hasil pemikiran satu orang filsuf, meskipun mungkin ada kemungkinan ia mengubah pandangannya seiring waktu—juga relevan saat kita menelaah aspek politik dalam tulisannya. Sebagai titik awal, penting untuk diakui bahwa Plato bukan hanya filsuf dalam ranah metafisika atau epistemologi, tetapi juga dalam bidang politik. Dalam berbagai karyanya, terutama dalam “Phaedo”, Plato mengungkapkan keinginannya untuk melepaskan diri dari kekotoran hubungan antarmanusia yang dianggapnya sepele. Dia juga menunjukkan ketidakpuasan terhadap dunia nyata, yang keindahannya, menurutnya, tidak sebanding dengan keindahan bentuk-bentuk ideal.

Dengan latar belakang pemikiran seperti ini, Plato bisa saja dengan mudah mengabaikan sepenuhnya realitas dan hanya fokus pada pertanyaan-pertanyaan teoretis. Memang, beberapa karyanya, dengan “Parmenides” sebagai salah satu contoh paling jelas, cenderung memfokuskan diri pada eksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya tidak terkait langsung dengan kehidupan praktis. Akan tetapi, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa hanya sedikit sekali karya Plato yang benar-benar terisolasi dari realitas praktis. Bahkan dalam “Sophist”, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan abstrak mengenai esensi dari keberadaan dan ketiadaan, terdapat usaha untuk mendefinisikan apa itu sofisme, yang secara tidak langsung mengingatkan kita pada pertanyaan apakah Socrates sendiri bisa dianggap sebagai sofis dan apakah sofis layak untuk dihindari atau dicela.

Meski Plato seringkali menunjukkan empati yang besar terhadap hasrat untuk melepaskan diri dari ikatan tubuh dan hidup dalam dunia yang tak berwujud, ia tetap mengalokasikan sejumlah besar energi untuk memahami, menghargai, dan bahkan memperbaiki dunia di mana kita hidup, dengan segala keterbatasan keindahannya. Upayanya dalam memahami dan mengapresiasi keindahan dunia nyata, yang dipaparkan dalam “Timaeus”, digambarkan melalui penciptaan dunia sebagai hasil dari usaha ilahi untuk membentuk realitas menurut gambaran bentuk-bentuk ideal, dengan menggunakan pola-pola geometri sederhana dan hubungan aritmetika yang harmonis sebagai pondasi.

Upaya Plato dalam memahami dan memperbaiki dunia nyata, meskipun sering kali melalui pendekatan yang sangat teoretis dan abstrak, menunjukkan komitmen yang mendalam terhadap pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan manusia, hubungan sosial, dan tatanan politik. Ini menggarisbawahi bahwa meskipun tertarik pada ranah ide dan bentuk ideal, Plato tetap berakar pada keinginan untuk memperbaiki kondisi manusia dan masyarakat secara nyata.

Dalam karyanya “Timaeus”, Plato memberikan penghormatan kepada keindahan alam semesta fisik, yang digambarkannya sebagai manifestasi dari usaha ilahi. Dia mengilustrasikan bagaimana dunia ini dibentuk dengan citra bentuk-bentuk ideal, di mana pola geometris yang sederhana dan relasi aritmetika yang serasi menjadi dasar penciptaannya. Melalui penggambaran ini, Plato bukan hanya mengeksplorasi hubungan antara dunia ideal dan dunia nyata, tetapi juga menunjukkan apresiasinya terhadap keindahan yang dapat ditemukan dalam kenyataan, meskipun keindahan tersebut terbatas dan tidak sempurna.

Keinginan Plato untuk memperbaiki dan mengubah hubungan antarmanusia tidak hanya diungkapkan dalam beberapa karya tertentu, tetapi merupakan tema yang berulang dalam banyak dialognya. Misalnya, dalam “Apologi”, Socrates, yang dijadikan sebagai perwakilan suara Plato, menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang tetap terikat pada dunia nyata, bertentangan dengan gambaran yang dibuat oleh Aristophanes dalam “Clouds”. Socrates menegaskan bahwa tujuannya bukan untuk melarikan diri dari kenyataan, melainkan untuk memperbaikinya.

Pandangan ini diperkuat lebih lanjut dalam “Gorgias”, di mana Socrates mengklaim dirinya sebagai satu-satunya di Athena yang berani menekuni seni politik yang sejati. Ini menunjukkan kesediaan Socrates, dan secara tidak langsung Plato, untuk terlibat dalam upaya perbaikan sosial dan politik, meskipun dalam konteks yang sangat menantang dan sering kali tidak ramah.

Hal serupa juga dapat ditemukan dalam “Republik”, di mana Socrates menghabiskan waktu yang tidak sedikit untuk mengkritik lembaga-lembaga sosial yang ada, seperti keluarga, kepemilikan pribadi, dan sistem pemerintahan yang demokratis. Dialog ini didorong oleh keinginan kuat untuk mengubah, atau paling tidak memperbaiki, struktur politik dan sosial, bukan untuk menghindarinya. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada dorongan untuk mundur dari urusan dunia dan merenungkan tentang realitas ilahi, ada pula pengakuan bahwa tugas memerintah kota, walaupun berat, merupakan tugas yang mulia.

Keingintahuan Plato terhadap ranah praktis juga terlihat dalam “Hukum-Hukum”, sebuah karya yang membahas secara detail tentang aspek-aspek seperti prosedur pemungutan suara, sistem hukuman, pendidikan, legislatif, dan pengawasan terhadap pejabat publik. Ini menunjukkan bahwa Plato memiliki ketertarikan nyata dalam menyumbangkan pemikiran untuk memperbaiki kehidupan konkret di dunia ini. Dalam surat-suratnya, yang keasliannya masih diperdebatkan, Plato bahkan menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang sangat berinvestasi dalam pendidikan Dionysius II, penguasa Sirakusa, dengan harapan dapat mereformasi tatanan politik kota tersebut. Hal ini menegaskan kembali bahwa, meskipun Plato sering kali dianggap sebagai filsuf yang terlepas dari kenyataan, dia sebenarnya sangat peduli dan berkeinginan untuk memperbaiki kondisi manusia dan masyarakatnya.

Dalam menelusuri karya-karya Plato, kita dihadapkan pada tantangan yang sama seperti saat kita mencoba memahami konsepsinya tentang bentuk ideal: apakah pemikirannya berkembang atau berubah sepanjang waktu? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan ketika kita mempertimbangkan Plato tidak hanya sebagai filsuf metafisika, tetapi juga sebagai filsuf politik. Misalnya, dalam “Republik”, kita melihat Plato, melalui dialog Socrates, menyuarakan ketidaksukaannya yang mendalam terhadap ide demokrasi, atau pemerintahan oleh banyak orang. Socrates, dengan tegas, menunjukkan bahwa politik yang seharusnya dijalankan adalah yang mengikuti model rezim anti-demokrasi, yang olehnya digambarkan sebagai contoh ideal sebuah konstitusi.

Namun, ketika kita beralih ke “Hukum”, terdapat pergeseran yang menarik. Dalam dialog ini, seorang pengunjung dari Athena memperkenalkan sebuah kerangka legislatif rinci untuk mengatur sebuah kota, di mana individu-individu non-filsuf—mereka yang asing terhadap konsep bentuk ideal dan tidak memiliki pelatihan filosofis—diberikan kekuatan signifikan dalam peran pemerintahan. Plato tidak akan mempersembahkan waktu dan energi yang begitu besar untuk mengembangkan karya panjang dan mendalam ini jika ia tidak yakin bahwa pembentukan komunitas politik yang dipimpin oleh mereka yang belum tercerahkan secara filosofis adalah usaha yang layak dan penting.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah Plato mengubah pikirannya? Apakah ia mengkaji ulang pandangan negatifnya terhadap mereka yang asing dari dunia filsafat? Apakah ia awalnya menganggap upaya memperbaiki kota-kota Yunani yang sudah ada, dengan segala kekurangannya, sebagai sesuatu yang sia-sia, hanya untuk kemudian menyadari bahwa usaha tersebut memiliki nilai yang besar? Dan jika demikian, apa yang mendorong perubahan pandangannya tersebut?

Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan pengamatan yang seksama terhadap dialog-dialog Plato, dan menolak asumsi bahwa tidak perlu ada pertanyaan tentang perkembangan pemikiran Plato hanya karena “Republik” dan “Hukum” memiliki karakter yang berbeda, dan oleh karena itu tidak dapat bertentangan satu sama lain. Hipotesis yang memisahkan karakter dari pemikiran Plato sendiri—menyatakan bahwa karena Socrates yang mengkritik demokrasi dalam “Republik”, dan pengunjung Athena yang mendukung pemerintahan oleh banyak orang dalam “Hukum”, kedua dialog tidak dapat berada dalam konflik—harus ditolak.

Kedua karya tersebut, di mana Plato berusaha mengarahkan pembacanya pada kesimpulan tertentu melalui refleksi atas berbagai argumen, tidak terlepas dari kemungkinan memiliki fitur ini meskipun melalui penggunaan interlokutor. Sebagai pembaca dan peneliti Plato, kita memiliki tanggung jawab untuk bertanya apakah ide yang diungkapkan dalam satu dialog kompatibel dengan yang diungkapkan dalam dialog lain. Jika kita menemukan ketidaksesuaian, kita dituntut untuk menjelaskan apa yang mungkin menyebabkan perubahan tersebut. Sebaliknya, jika kita menemukan bahwa kedua karya tersebut sesungguhnya kompatibel, kita harus mampu menjelaskan mengapa perbedaan yang tampak hanyalah semu.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like