Era modern awal dikenal sebagai masa kejayaan inovasi dalam dunia filsafat Barat. Ini adalah era di mana munculnya teori-teori baru mengenai pikiran dan materi, keilahian, serta struktur masyarakat sipil, dan beragam tema penting lainnya. Menetapkan batasan waktu yang tepat untuk era ini memang cukup sulit, namun umumnya periode ini diakui berlangsung dari akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-18.
Para tokoh terkemuka era ini, seperti Descartes, Locke, Hume, dan Kant, telah memberikan kontribusi signifikan melalui karya-karya mereka. Buku-buku yang mereka terbitkan tidak hanya berpengaruh pada masanya, namun juga telah meletakkan dasar bagi pemahaman modern kita tentang filsafat.
Asal-usul dari filosofi modern awal dapat dilacak hingga abad ke-13, sebuah periode yang menandai puncak dari tradisi skolastik. Pemikiran para filosof seperti Aquinas (1225-1274), Ockham (1288-1348), dan Buridan (1300-1358) sangat menghargai kekuatan akal budi manusia. Keyakinan mereka adalah bahwa jika Tuhan telah memberikan kita kemampuan untuk berpikir, maka melalui kemampuan itulah kita diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang dunia duniawi maupun keilahian.
Akan tetapi, inovasi filosofis yang paling menentukan mungkin terjadi pada abad ke-14, ketika era humanisme dan Renaisans mulai berkembang. Dengan meningkatnya interaksi dengan masyarakat di luar Eropa, pengetahuan yang lebih luas tentang filsafat Yunani kuno, serta dukungan finansial dari para bangsawan yang mendanai penelitian mereka, para humanis mulai menemukan kembali teks-teks penting dari era Yunani Kuno. Munculnya gelombang baru dalam pemikiran Platonisme, Aristotelianisme, Stoikisme, Skeptisisme, dan Epikureanisme memberikan dampak yang signifikan terhadap tokoh-tokoh penting di awal masa modernitas.
Descartes seringkali dijuluki sebagai filsuf yang membuka era modernitas. Dia bukan hanya seorang ilmuwan terkemuka dengan kontribusi besar dalam teori matematika dan materi, tetapi juga memperkenalkan pandangan-pandangan baru yang revolusioner mengenai relasi antara pikiran dan tubuh, serta tentang wewenang ilahi. Namun, pandangan filosofis Descartes tidak muncul dari kekosongan. Sebaliknya, ia merupakan respons terhadap tradisi filsafat skolastik yang telah berlangsung selama berabad-abad, seraya menawarkan bantahan terhadap pandangan-pandangan anti-skolastik dari beberapa zeitgenossen (rekan sezamannya). Sebagai contoh, kita mengenal Michel de Montaigne (1533-1592), seorang negarawan sekaligus penulis, yang melalui karyanya “Essais”, menciptakan genre literatur baru di Eropa modern dan diduga mengilhami kegemaran Descartes terhadap keraguan skeptis.
Di belahan Eropa lainnya, filsafat yang mengikuti aliran pemikiran Descartes, atau dikenal sebagai Pasca-Cartesian, menjadi pusat penting dari perkembangan filsafat modern awal. Negara-negara seperti Prancis, Belanda, dan Jerman menjadi pusat kegiatan filosofis, dengan beberapa tokoh terkemukanya mendapat pengakuan luas. Di antara mereka, Spinoza (1632-1677) dan Leibniz (1646-1716) memainkan peranan penting, dengan masing-masing mengembangkan sistem pemikiran yang dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemahan utama dalam Kartesianisme.
Revolusi ilmiah, yang dikenal melalui karya Descartes di Prancis, turut memberikan dampak signifikan pada filsafat di Inggris. Pada abad ke-16, muncul tradisi baru yang dikenal sebagai empirisme, yang menitikberatkan pada pengalaman sensoris sebagai sumber pengetahuan. Tokoh-tokoh penting dari era modern awal ini termasuk Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704), Adam Smith (1723-1790), dan David Hume (1711-1776).
Empirisme Inggris juga berperan penting dalam pengembangan apa yang kemudian dikenal sebagai “filsafat analitik” — sebuah aliran filsafat kontemporer yang mengutamakan analisis masalah filsafat secara parsial daripada menyikapinya secara holistik. Meskipun sulit untuk memberikan definisi yang tegas dan tidak kontroversial mengenai filsafat analitik, namun secara efektif dapat diidentifikasi melalui karya-karya para empiris Inggris dari masa itu.
Pada abad ke-18, landskap filsafat Eropa diwarnai oleh munculnya gerakan filsafat baru: Zaman Pencerahan. Era ini juga sering disebut sebagai “Zaman Akal”, mencerminkan keyakinan yang kuat pada kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisi kehidupannya hanya dengan mengandalkan ilmu pengetahuan. Pencerahan bisa dianggap sebagai klimaks dari serangkaian pemikiran yang telah digagas sejak zaman para filsuf Abad Pertengahan, di mana Tuhan dianggap telah memberikan akal kepada manusia sebagai alat yang sangat berharga. Karena Tuhan itu baik, maka akal budi—sebagai ciptaan-Nya—juga pada dasarnya baik. Hanya dengan menggunakan akal inilah manusia bisa mencapai kebaikan sejati. Sungguh, ini merupakan pemikiran yang mendalam untuk direnungkan!
Namun, Zaman Pencerahan menyulut kebangkitan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yang tercermin dalam karya seni, inovasi, kemajuan teknologi, dan ekspansi filsafat. Bahkan, pada akhir periode modern awal, karya-karya Immanuel Kant (1724-1804) telah meletakkan batu penjuru bagi filsafat modern seperti yang kita kenal hari ini.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.