John Locke: Filsafat Liberalisme7 min read

John Locke adalah seorang pemikir yang memiliki peran penting selama Zaman Pencerahan, sebuah era di mana ide-ide tentang ilmu pengetahuan, politik, dan filsafat mengalami perkembangan signifikan di Eropa. Walaupun Voltaire sering dianggap sebagai tokoh sentral Pencerahan di benua itu, pengaruh Locke terhadap filsuf asal Prancis tersebut dan banyak pemikir lainnya tidak bisa diabaikan.

Locke, yang berasal dari Inggris, memiliki latar belakang dan pendidikan yang memainkan peran besar dalam pembentukan pandangan filosofisnya. Pendidikannya yang mendalam dalam bidang ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filsafat memberinya dasar untuk memikirkan tentang cara-cara yang mendasari pemerintahan dan masyarakat. Filosofi politiknya, yang memfokuskan pada hak-hak individu dan konsep pemerintahan yang berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, sangat mempengaruhi para pemikir di masa mendatang dan menjadi fondasi bagi ide-ide yang melandasi Revolusi Amerika di akhir abad ke-18.

Kehidupan Awal John Locke

John Locke, seorang tokoh terkemuka di Zaman Pencerahan, lahir pada 29 Agustus 1632 di Wrington, Somerset, Inggris. Masa kecil dan awal karier Locke terjadi di bawah naungan takhta Inggris yang saat itu dikuasai oleh Raja Charles II, yang memerintah dari tahun 1649 hingga 1685. Raja Charles II adalah pemimpin Inggris serta Skotlandia dan Irlandia, yang kelak menjadi bagian dari Kerajaan Inggris. Masa pemerintahan Charles II, beserta periode sebelum dan sesudahnya, sangat berpengaruh dalam membentuk pemikiran dan filsafat Locke.

Sejak awal, Locke dibesarkan dalam tradisi Puritan dan mendapatkan pendidikan di Universitas Oxford, salah satu institusi pendidikan tertinggi di Inggris saat itu. Di Oxford, minatnya tidak hanya terbatas pada bidang akademis yang umum, tetapi juga meliputi metafisika, filsafat alam, dan kedokteran, yang mana ia berhasil meraih gelar sarjana dan dua gelar master. Keberhasilan akademis ini membuka jalan bagi kariernya di bidang kedokteran.

Pada tahun 1667, perjalanan karier Locke mengambil arah yang baru ketika ia mulai bekerja sebagai dokter pribadi untuk Anthony Ashley Cooper, yang dikenal sebagai Lord Ashley, seorang politisi terkemuka dan salah satu pendiri Partai Whig, yang kelak menjadi Partai Liberal di Inggris. Pengalaman ini memberi Locke kesempatan unik untuk menyelami dunia politik dan ekonomi dari sudut pandang praktis. Kerja sama mereka ini tidak hanya memperkaya pengalaman Locke sebagai seorang dokter tetapi juga sebagai seorang pemikir politik.

Selama periode inilah, terutama pada tahun 1679, Locke mulai menulis “Two Treatises of Government”, sebuah karya yang mengusung ide-ide sangat radikal untuk zamannya. Dalam tulisan ini, Locke menantang konsep pemerintahan absolut dan mengusulkan teori kontrak sosial, yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah harus berasal dari persetujuan yang diberikan oleh rakyat. Karya ini, yang menjadi salah satu dasar ideologis Revolusi Glorious di Inggris dan Revolusi Amerika, menandai salah satu kontribusi terbesarnya pada pemikiran politik modern.

Masa-masa ini sangat penting dalam memahami bagaimana pengalaman pribadi dan profesional Locke membentuk pandangannya tentang kekuasaan, pemerintahan, dan hak-hak individu, yang terus mempengaruhi pemikiran politik dan sosial hingga saat ini.

Perang Saudara Inggris dan Pengaruhnya pada John Locke

John Locke dilahirkan dalam periode yang sangat kritis di Eropa, di mana iklim politik dan sosial sedang mengalami transformasi besar-besaran. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648), yang menghancurkan Eropa Tengah, adalah salah satu konflik yang sangat mempengaruhi konteks zaman tersebut, meskipun Inggris tidak terlibat secara langsung. Konflik ini memperdalam ketegangan agama antara Katolik dan Protestan di seluruh benua, menciptakan suasana ketidakstabilan yang luas.

Di Inggris sendiri, situasi tidak lebih tenang. Negara ini dilanda Perang Saudara Inggris (1642-1651) selama masa kecil Locke, yang berujung pada eksekusi publik Charles I pada tahun 1649. Charles I, yang telah menolak mendirikan monarki konstitusional parlementer, digantikan oleh pemerintahan republik singkat sebelum pewarisnya, Charles II, diasingkan. Antara tahun 1653 dan 1658, Inggris berada di bawah kendali de facto Oliver Cromwell sebagai Lord Protector. Di bawah Cromwell, monarki dianggap sangat tidak populer karena praktik kekuasaan absolut dan toleransi terhadap Katolik, yang menambah ketegangan agama yang sudah ada.

Selama periode ini, John Locke, yang dibaptis sebagai Puritan, mungkin mulai mengembangkan pandangan yang cenderung ke arah Kristologi Socinian, yang menekankan pemahaman yang lebih rasional dan kurang dogmatis tentang Kekristenan. Puritan, sebagai pembela kuat Protestanisme, sangat berpengaruh dalam politik Inggris pada 1640-an. Mereka mendorong pandangan Protestan dan berusaha membersihkan Gereja Inggris dari pengaruh Katolik. Setelah perang saudara yang panjang dan brutal serta restorasi monarki yang bersimpati pada Katolik, banyak Puritan, merasa tidak lagi aman di Inggris, memilih untuk meninggalkan negara tersebut dan berimigrasi ke Tiga Belas Koloni di Amerika.

Dalam konteks ini, tulisan-tulisan Locke, yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang Puritannya, tidak hanya membentuk pemikiran politik dan filosofisnya tetapi juga memberikan inspirasi besar bagi para pemukim awal Amerika. Ide-idenya tentang hak-hak alami dan pemerintahan yang berdasarkan persetujuan orang-orang, yang terangkum dalam karyanya “Two Treatises of Government”, menjadi salah satu dasar bagi revolusi dan perumusan konstitusi di Amerika. Melalui karya-karyanya, Locke memberikan kontribusi penting tidak hanya kepada pemikiran Eropa tetapi juga kepada fondasi ideologi Amerika.

Restorasi Monarki

Kembalinya monarki di Inggris dibawah kepemimpinan Raja Charles II membawa sejumlah perubahan politik dan sosial signifikan. Charles II, yang naik takhta setelah periode singkat tanpa raja yang diakibatkan oleh pemerintahan Cromwell, mencoba mendamaikan keadaan yang tegang dengan memberikan kebebasan hukum yang lebih luas kepada minoritas Protestan dan Katolik Roma di wilayah Inggris. Keputusan ini diperkirakan banyak dipengaruhi oleh hubungannya dengan Raja Louis XIV dari Prancis, yang juga merupakan sepupunya. Kedua raja ini, yang berbagi hubungan keluarga erat, mempunyai pandangan yang lebih toleran terhadap keberagaman agama di kerajaan mereka.

Namun, kebijakan toleransi agama ini tidak sepenuhnya disambut baik. Charles II, meskipun cukup populer karena karismanya, seringkali dilihat sebagai sosok yang hedonis dengan kehidupan pribadi yang kontroversial, termasuk memiliki banyak anak haram dan tidak satupun secara sah. Ketika ia meninggal pada tahun 1685 tanpa meninggalkan ahli waris yang jelas, kekosongan kekuasaan yang dihasilkan menjadi masalah serius.

Pergantian kekuasaan kemudian berlanjut ke adiknya, James, yang adalah seorang Katolik taat. Pemerintahannya dari tahun 1685 hingga 1688 menimbulkan kecemasan lebih lanjut di antara populasi Protestan di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, terutama ketika James memiliki seorang anak laki-laki pada tahun 1688, yang menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan pembentukan dinasti Katolik yang bisa mengesampingkan garis suksesi putri Protestannya, Mary.

Ketakutan akan dominasi Katolik mendorong terjadinya “Glorious Revolution” pada tahun 1688, yang menggulingkan Raja James. Putrinya, Mary, dan suaminya, William dari Orange, yang merupakan pemimpin Republik Belanda, diundang untuk naik takhta sebagai raja dan ratu bersama. Mereka setuju dan memerintah bersama dari tahun 1688 hingga 1702, memulai era baru sebagai monarki konstitusional Protestan. Pergantian ini tidak hanya mengakhiri pemerintahan Katolik di Inggris tetapi juga memantapkan fondasi Inggris—dan kemudian Britania—sebagai negara yang mendasarkan kekuasaan kerajaannya pada konstitusi dengan dasar kepercayaan Protestan.

Resonansi Filsafat Locke

Lanskap politik yang berubah-ubah di Inggris selama hidup John Locke sangat mempengaruhi pandangan dan filsafatnya. Sebagai seorang empiris, Locke mengemukakan konsep “tabula rasa”, atau papan tulis kosong, yang merupakan salah satu komponen utama dalam pemikirannya. Menurut konsep ini, Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat kelahiran adalah seperti lembaran kosong, tanpa pengetahuan atau pemahaman inheren. Semua karakteristik seseorang, setiap aspek dari keberadaan mereka, dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi dari luar, yang artinya manusia dibentuk oleh lingkungan dan pengalaman mereka sepanjang hidup.

Iklim politik di Inggris, yang dipenuhi dengan pergolakan dan perubahan, seperti restorasi monarki, pengasingan raja, serta kontroversi agama dan politik, memberi konteks yang kaya bagi pemikiran Locke. Situasi ini, termasuk pengalaman pribadinya, memperkuat pandangannya tentang pentingnya pengalaman dan belajar dalam membentuk ide dan prinsip.

Pada tahun 1683, Locke terpaksa melarikan diri ke Belanda setelah dituduh terlibat dalam Rencana Pembunuhan Rye House, sebuah komplotan untuk membunuh Raja Charles II. Di Belanda, sebuah negara yang terkenal dengan liberalisme dan toleransi agamanya, Locke menemukan lingkungan yang mendukung untuk melanjutkan karya dan pemikirannya. Meskipun ia adalah seorang liberal yang mendukung toleransi hukum, Locke secara tegas berargumen melawan konsep pemerintahan monarki absolut, sering kali berbeda pendapat dengan pemikiran kontemporer seperti Thomas Hobbes.

Filsafat Locke, yang menekankan pada kebebasan individu, hak-hak sipil, dan pemerintahan yang didasarkan pada persetujuan orang banyak, sangat mempengaruhi pemikir di Amerika pada akhir abad ke-18. Pemikirannya, yang mungkin terlalu progresif untuk zamannya, memberikan inspirasi bagi Whigs progresif dan Anak-anak Liberty, baik di Inggris maupun di Amerika Serikat.

John Locke meninggal pada 28 Oktober 1704 pada usia 72 tahun, tanpa pernah menikah atau memiliki anak. Meski ia menganjurkan adanya sistem kontrol dan keseimbangan dalam pemerintahan monarki, Locke tidak sempat menyaksikan munculnya demokrasi parlementer atau monarki konstitusional yang sebenarnya terbentuk beberapa dekade setelah kematiannya. Karya-karyanya tetap relevan dan berpengaruh, membentuk dasar bagi banyak prinsip demokrasi liberal modern.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like