Leviathan: Filsafat Politik Thomas Hobbes7 min read

Dalam era yang ditandai oleh gejolak politik dan tekanan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, pemikiran filosofis Thomas Hobbes mencapai puncak kepopulerannya dengan terbitnya karyanya yang berjudul “Leviathan.” Hobbes menulis di tengah masa yang penuh dengan kekacauan politik, yang dipicu tidak hanya oleh Perang Tiga Puluh Tahun yang melanda benua Eropa, tetapi juga oleh Perang Saudara Inggris di negara asalnya. Kekerasan yang bercampur dengan isu agama selama periode tersebut pada akhirnya membentuk dasar-dasar tata negara dan teori politik modern yang kita kenal sekarang.

Meskipun generasi berikutnya secara terbuka menolak otoritas dan mengarah pada beberapa revolusi, Thomas Hobbes memilih pendekatan yang berbeda. Pemikirannya menawarkan suatu perspektif yang menegaskan pentingnya struktur pemerintahan yang kuat sebagai jawaban terhadap kekacauan yang terjadi, suatu ide yang bertentangan dengan tren pemberontakan yang mulai berkembang di kalangan masyarakat saat itu.

Perang Tiga Puluh Tahun

Dekade yang mengantarkan pada penerbitan “Leviathan” oleh Thomas Hobbes adalah periode yang sangat mempengaruhi pemikirannya. Mulai dari era Martin Luther, ketegangan yang signifikan antara kelompok Protestan dan Katolik merasuki sebagian besar Eropa utara dan tengah. Ketegangan ini berakar dari perbedaan dalam prinsip dan praktik keagamaan yang dalam, serta persaingan atas pengaruh politik dan kontrol sosial.

Gustavus Adolphus dari Swedia di Pertempuran Breitenfeld, oleh Johann Walter, sekitar 1631-1677, melalui Medium

Perbedaan ini memuncak dalam Perang Tiga Puluh Tahun, yang berlangsung dari tahun 1618 hingga 1648. Konflik ini bukan hanya sekedar pertempuran antara dua kelompok agama, tetapi juga sebuah pertarungan ideologis yang mendalam. Di satu sisi, Katolik mendukung sistem hierarki masyarakat yang terstruktur dengan kuat di bawah kepemimpinan Paus di Roma. Di sisi lain, Protestan mengembangkan bentuk ibadah yang lebih introspektif, menekankan hubungan pribadi antara individu dengan yang ilahi, yang mengarah pada penolakan terhadap struktur otoritas agama yang kaku.

Dampak dari konflik ini sangat luas, berkontribusi pada evolusi dan reformasi tata kelola negara di seluruh Eropa, meletakkan dasar-dasar bagi apa yang kemudian dikenal sebagai negara-negara modern. Dalam konteks inilah Thomas Hobbes, yang mengalami tahun-tahun formatifnya di tengah konflik besar di benua Eropa dan kerusuhan domestik di Inggris, memutuskan untuk menulis tentang prinsip-prinsip pemerintahan.

Dalam karyanya “Leviathan,” Hobbes mengeksplorasi dan menawarkan pandangan tentang bagaimana struktur pemerintahan yang kuat bisa menjadi solusi untuk mengendalikan kekacauan dan menjaga stabilitas dalam masyarakat. Pemikirannya ini tidak hanya mempengaruhi kontemporer-nya, tetapi juga melahirkan dan memprovokasi diskusi-diskusi penting di kalangan teoretisi politik masa depan, membawa dampak yang jauh melebihi era dan wilayahnya.

Negara Alam

Argumen yang sangat berpengaruh yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes berkaitan dengan konsep “Negara Alam.” Hobbes memiliki pandangan yang cukup sinis tentang sifat manusia, ia berpendapat bahwa manusia cenderung bersifat solipsistik—hanya percaya pada realitas diri sendiri—dan secara alami berbahaya. Hobbes sendiri dikenal karena sifatnya yang paranoid, penuh ketakutan, dan sangat hati-hati dalam hidupnya.

Untuk menggambarkan pandangannya tersebut, Hobbes menciptakan konsep Negara Alam, sebuah kondisi hipotetis di mana tidak ada struktur politik atau konstruksi sosial yang berlaku. Dalam Negara Alam ini, setiap orang hidup sebagai pemburu-pengumpul, mirip dengan hewan, tanpa aturan atau perlindungan dari siapa pun. Hobbes berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini, setiap orang akan berbuat apa saja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri—prinsip “setiap orang untuk dirinya sendiri” akan berlaku sepenuhnya.

Menurut Hobbes, kehidupan di Negara Alam akan “sendirian, miskin, buruk, brutal, dan pendek.” Dia sangat takut akan kematian, dan pandangan politiknya banyak didorong oleh keinginan untuk menghindari kematian yang tidak wajar sebelum “Pencipta” menginginkannya secara alami. Karena keadaan Negara Alam yang sangat berbahaya dan menakutkan, Hobbes berpendapat bahwa manusia harus mengadakan sebuah “perjanjian.”

Perjanjian ini, menurut Hobbes, adalah janji yang dibuat oleh umat manusia dengan Tuhan, di mana, sebagai imbalan atas perlindungan dan keamanan total dari Tuhan, manusia akan menyerahkan sebagian dari hak-hak alaminya—semacam sistem “mata ganti mata.” Dalam konteks politik, perjanjian ini kemudian diinterpretasikan sebagai hubungan antara warga negara dan penguasa, di mana warga negara menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada penguasa untuk mendapatkan perlindungan dan ketertiban sosial. Ini menjadi dasar bagi Hobbes untuk membenarkan keberadaan pemerintahan yang kuat dan otoriter, sebagai kekuatan yang diperlukan untuk memastikan keamanan dan stabilitas dalam masyarakat.

Tuhan dan Pemerintahan

Dalam gagasan perjanjian yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, terdapat penyatuan peran raja dalam konteks sekuler dengan peran Tuhan dalam konteks religius, sehingga batasan antara kepemimpinan monarki dan keilahian menjadi kabur. Hobbes berargumen bahwa raja sekuler, dalam teorinya, selalu memiliki niat terbaik untuk rakyatnya, dan bahwa tidak ada otoritas lain yang dapat menjamin kesejahteraan rakyat dengan sebaik atau seefektif raja tersebut.

Tuhan Bapa di atas Takhta, dengan Bunda Maria dan Yesus, seniman tidak diketahui, sekitar abad ke-15, melalui Wikimedia Commons

Menurut Hobbes, sama seperti orang beragama memohon perlindungan kepada Tuhan, ia memandang raja sebagai sumber perlindungan terhadap ketakutan terbesar manusia, yaitu kekacauan dan kekerasan yang mungkin muncul dalam keadaan tanpa pemerintahan. Selanjutnya, seperti umat beragama mencari petunjuk dari Tuhan untuk menjalani kehidupan yang baik, Hobbes memandang hukum yang dibuat oleh raja sebagai panduan untuk mencapai kehidupan yang baik. Dalam pandangannya, kebijakan monarki adalah hukum, dan ketaatan mutlak terhadap hukum ini adalah syarat untuk mendapatkan kehidupan yang panjang dan baik.

Dalam konteks filosofis Hobbes, politik seharusnya berorientasi pada pencegahan kematian dini. Tindakan yang diambil oleh monarki dianggap selalu untuk kepentingan terbaik rakyatnya, dan Hobbes menganjurkan penyerahan yang tanpa pertanyaan terhadap keputusan-keputusan tersebut. Melalui perspektif ini, jika Hobbes hidup selama era kepemimpinan tokoh-tokoh seperti Adolf Hitler atau Joseph Stalin, ia mungkin akan berargumen bahwa tindakan-tindakan mereka, seburuk apa pun, pada dasarnya bertujuan untuk kepentingan rakyat, meskipun pandangan ini tentu sangat kontroversial dan berpotensi menimbulkan banyak perdebatan. Ini menunjukkan betapa ekstremnya keyakinan Hobbes terhadap kekuasaan mutlak raja dan kekhawatiran mendalamnya terhadap chaos yang tidak terkendali dalam masyarakat.

Hobbes, Filsafat, dan Agama

Dalam filsafatnya, Thomas Hobbes dikenal sebagai seorang materialis yang teguh. Baginya, realitas hanya bisa diterima jika dapat dipersepsikan secara empiris; segala sesuatu yang tidak dapat diamati atau diukur tidak dianggap memiliki eksistensi. Pandangan ini, meskipun logis dan konsisten dengan prinsip-prinsip ilmiah, menempatkannya pada posisi yang berpotensi konflik dalam konteks abad ketujuh belas yang masih kuat pengaruh Katoliknya.

Hobbes menggambarkan alam semesta sebagai “materi dalam gerakan”, di mana segala aspek kehidupan adalah kumpulan materi yang berinteraksi dalam waktu dan ruang, diatur oleh apa yang Aristoteles sebut “Penggerak Tak Bergerak”. Pandangan Hobbes yang materialistis ini memiliki resonansi dengan pemikiran Aristotelian, namun cara Hobbes mengintegrasikannya dengan teori politik dan kekuasaan menambahkan dimensi yang unik.

Menurut Hobbes, tanggung jawab utama penguasa adalah melindungi rakyat—sebuah ide yang menjadi pusat perjanjian sosial Hobbesian. Bagi Hobbes, rasa takut terhadap penderitaan fisik jauh lebih mendesak daripada kekhawatiran atas penderitaan spiritual; dengan demikian, otoritas penguasa, dalam pandangannya, secara literal lebih penting daripada otoritas Tuhan. Hal ini mengarah pada penggabungan otoritas agama dan sekuler dalam filsafatnya, di mana ia secara simultan menghubungkan tubuh material raja dengan Tuhan, sambil menyangkal Tuhan dalam pengertian tradisional Kristen.

Pandangan ini tidak hanya dianggap kontroversial, tetapi juga sebagai penistaan oleh banyak pihak pada zamannya. Akibatnya, karyanya “Leviathan” dilarang di Inggris dan Hobbes sendiri nyaris menghadapi pengadilan gereja—situasi yang mirip dengan apa yang dialami oleh Galileo Galilei. Ironisnya, Hobbes menerima perlindungan dari Raja Inggris, yang pernah menjadi muridnya, sebuah keadaan yang secara simbolis mencerminkan teorinya sendiri tentang hubungan antara raja dan rakyat sebagai bentuk perlindungan mutlak. Dalam hal ini, Hobbes menunjukkan betapa kekuasaan dan filosofi dapat terjalin dalam praktik politik dan kehidupan nyata.

Warisan Thomas Hobbes

Thomas Hobbes mengembangkan pandangan politik yang bertentangan dengan arus utama pemikiran di zamannya. Di saat banyak wilayah di Eropa mulai memberontak melawan otoritas yang menindas, Hobbes justru menekankan pentingnya kepatuhan dan tunduk pada kekuasaan. Inti dari pemikirannya terletak pada prioritas terhadap umur panjang dan keselamatan; ia berargumen bahwa melakukan apapun yang diperlukan—termasuk mengorbankan sejumlah hak alami—adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai stabilitas dan perlindungan dari kekacauan sosial.

Halaman Depan Leviathan, terukir oleh Abraham Bosse (dengan masukan dari Thomas Hobbes), 1651, melalui Columbia College

Hobbes sendiri hidup jauh lebih lama dari rata-rata umur manusia pada waktu itu, meninggal pada usia 91 tahun setelah mengalami masalah kandung kemih dan stroke. Muncul pertanyaan, apakah umur panjangnya ini adalah hasil dari sifatnya yang takut, paranoid, dan sangat hati-hati dalam menavigasi dunia yang penuh konflik dan ketidakstabilan politik? Selain itu, pertanyaan filosofis yang lebih mendalam muncul: apakah kehidupan yang lebih lama dan lebih aman, tapi dengan hak politik yang berkurang, benar-benar layak untuk dijalani?

Hobbes tampaknya berpendapat bahwa keamanan dan kestabilan adalah aset yang paling berharga, bahkan jika hal itu berarti mengorbankan sebagian kebebasan individu. Ini merupakan pemikiran yang radikal pada masa itu, dan hingga hari ini tetap menjadi topik diskusi yang relevan tentang hubungan antara kebebasan individu dan keamanan dalam negara. Diskusi ini menjadi semakin penting dalam konteks politik modern, di mana pertanyaan tentang seberapa banyak kebebasan yang seharusnya dikorbankan untuk keamanan masih sering menjadi perdebatan panas.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like