Requiem aeternam dēmokratía!
Yunani, yang sering dijuluki sebagai tempat lahirnya peradaban Barat, merupakan pusat pembelajaran dan inovasi selama masa kuno. Negara ini terkenal dengan kontribusinya yang signifikan dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari geometri, astronomi, hingga kedokteran, yang semuanya berakar di sana. Selain itu, bangsa Yunani juga dikenal atas karya sastra dan drama mereka, yang masih dihormati dan dipelajari hingga hari ini karena kualitas dan kedalaman pemikiran yang terkandung di dalamnya.
Uniknya, Yunani juga dikenal sebagai salah satu negara yang pertama kali menerapkan sistem pemerintahan demokratis, di mana kekuasaan secara langsung diberikan kepada rakyatnya. Meskipun demokrasi Yunani mendapatkan pujian sebagai langkah awal dalam praktik pemerintahan rakyat, tidak semua tokoh setempat mendukung sistem ini. Salah satu kritikus terkenal adalah filsuf Socrates, yang pandangannya terhadap demokrasi sering kali kritis dan introspektif.
Demokrasi, baik dalam bentuk langsung maupun perwakilan, adalah sistem di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Dalam demokrasi langsung, warga negara sendiri yang membuat keputusan penting melalui pemungutan suara atau referendum, suatu proses yang memungkinkan setiap orang untuk secara langsung berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, dalam demokrasi perwakilan, warga memilih perwakilan atau pejabat untuk membuat keputusan atas nama mereka, yang merupakan model yang paling umum di negara-negara modern seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris Raya.
Di Yunani Kuno, khususnya dalam negara-kota seperti Athena, demokrasi langsung lebih mudah diimplementasikan karena jumlah populasi yang lebih kecil dan definisi ‘warga’ yang lebih eksklusif, yang terbatas hanya pada laki-laki dewasa yang lahir dari orang tua yang keduanya adalah warga Athena. Dalam konteks ini, ‘warga’ memiliki akses dan pengaruh langsung dalam urusan pemerintahan, sebuah situasi yang jauh berbeda dengan praktik demokrasi modern yang lebih kompleks dan melibatkan populasi yang jauh lebih besar dan lebih beragam.
Pendekatan demokratis ini, meskipun revolusioner, tidak luput dari kritik. Socrates, dengan pandangan filosofisnya yang mendalam, sering menyoroti kelemahan-kelemahan dalam sistem demokrasi langsung, terutama mengenai kapasitas dan pengetahuan rata-rata dari para pemilih. Ia mengkhawatirkan bahwa tanpa pendidikan politik dan filosofis yang memadai, demokrasi bisa tergelincir menjadi kekacauan atau bahkan kediktatoran oleh mereka yang pandai berbicara tetapi kekurangan kebijaksanaan dan integritas. Kritik-kritik ini, yang tetap relevan hingga era modern, memicu diskusi lebih lanjut tentang bagaimana idealnya sebuah demokrasi harus dijalankan untuk memastikan pemerintahan yang benar-benar adil dan berdasarkan pada kebijakan yang informasi dan pertimbangan yang matang.
Socrates, seorang filsuf berpengaruh dari Athena pada abad ke-5 SM, terus dikenang sebagai salah satu pemikir terkemuka di zamannya. Meskipun ia tidak meninggalkan karya tulis pribadi, murid-muridnya seperti Plato berhasil memelihara dan menyebarkan gagasan-gagasannya, yang pengaruhnya masih dirasakan hingga kini. Socrates terkenal karena metode pengajarannya, yang sekarang dikenal sebagai Metode Socrates, di mana ia menggunakan diskusi berbentuk tanya jawab untuk merangsang pemikiran kritis dan mendalam. Dengan prinsip bahwa seseorang harus selalu skeptis dan mempertanyakan segala hal, Socrates juga menerapkan pendekatan ini dalam menilai sistem pemerintahan, termasuk demokrasi. Sebagai salah satu kritikus vokal terhadap pemerintahan demokratis di Athena, ia menyoroti dua masalah utama: kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh mayoritas pemilih dan risiko munculnya demagog yang bisa memanipulasi rakyat.
Socrates mengajukan pertanyaan retoris untuk menggambarkan pandangannya: jika Anda akan melakukan perjalanan laut yang panjang dan berbahaya, siapa yang Anda pilih untuk membuat keputusan kritis — setiap orang yang ada di kapal atau seorang kapten yang terlatih dan berpengalaman? Jawabannya, tentu saja, adalah kapten. Analogi ini digunakan Socrates untuk menjelaskan keberatan terhadap demokrasi. Menurutnya, sekalipun demokrasi dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang ideal karena memberikan kekuasaan kepada rakyat, sistem ini tidak selalu efektif. Dalam pandangan Socrates, proses pemilihan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan, membutuhkan tingkat keahlian dan kebijaksanaan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Memberikan hak suara kepada mereka yang tidak memenuhi kriteria ini bisa berakibat fatal, serupa dengan membiarkan orang awam mengambil keputusan krusial di tengah pelayaran, yang berpotensi membawa kepada kehancuran sosial.
Socrates menganggap demokrasi dapat terlalu mudah dipengaruhi oleh opini massa yang tidak selalu berdasarkan pada pengetahuan atau pemahaman yang mendalam. Keadaan ini dapat memungkinkan pemimpin yang cerdik dan berkarisma, namun kekurangan kebijaksanaan dan integritas, untuk memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, bagi Socrates, penting bagi sebuah demokrasi untuk tidak hanya mengandalkan jumlah suara terbanyak tetapi juga memastikan bahwa setiap suara itu didasarkan pada penilaian yang rasional dan terinformasi.
Melalui kritik dan dialog filosofisnya, Socrates berupaya menyadarkan masyarakat Athena akan pentingnya pendidikan dan pemahaman politik dalam menjalankan hak demokratis mereka. Ia menekankan bahwa tanpa fondasi ini, demokrasi dapat dengan mudah tergelincir menjadi bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan bahkan berpotensi merusak. Ini menunjukkan betapa pentingnya kebijakan pendidikan dan keterlibatan politik yang berdasarkan pemikiran kritis dan informasi yang akurat, sebuah prinsip yang tetap relevan dalam konteks demokrasi modern.
Demagog adalah tipe pemimpin politik yang memanfaatkan prasangka, janji-janji kosong, dan karisma untuk mempengaruhi pemilih agar memilih mereka. Istilah ini pertama kali muncul di Yunani kuno, sekitar abad ke-5 SM, bertepatan dengan masa hidup Socrates dan sering kali digunakan dalam konotasi negatif. Socrates sendiri memiliki kekhawatiran mendalam terhadap potensi demokrasi dalam mengangkat demagog ke posisi kekuasaan. Kekhawatiran ini tidak hanya terbatas pada risiko pemungutan suara yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang cukup oleh mayoritas, tetapi juga pada risiko bahwa calon pemimpin yang tidak memiliki kebijaksanaan yang memadai dapat memanipulasi massa untuk keuntungan pribadi mereka sendiri, bukan untuk kebaikan bersama.
Figur seperti Cleon di Yunani Kuno, yang dikenal dengan kepemimpinan brutalnya, menjadi contoh nyata bagaimana demagog dapat menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi yang ada. Pemerintahannya yang otoriter hampir saja membawa demokrasi Athena ke ambang kehancuran. Socrates, melihat contoh-contoh nyata ini, menganggap bahwa kekhawatirannya atas demokrasi yang memilih demagog bukan tanpa dasar yang kuat. Kekhawatirannya menggambarkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana demokrasi, tanpa dasar pendidikan politik dan moral yang kuat, dapat dengan mudah disalahgunakan.
Meskipun Socrates menentang banyak aspek demokrasi, penting untuk mengingat bahwa pengalaman pribadinya dengan sistem tersebut juga sangat buruk, yang puncaknya adalah persidangan yang mengakibatkan kematiannya. Ironisnya, kritiknya terhadap demokrasi terbukti benar ketika dia diadili dan dihukum mati oleh juri di Athena karena dituduh tidak menghormati dewa-dewa kota dan meracuni pikiran pemuda. Kekhawatiran yang ia sampaikan melalui dialog-dialog yang diriwayatkan oleh murid-muridnya, khususnya Plato, terwujud ketika pemerintahan yang tidak dia percayai akhirnya membunuhnya.
Socrates tetap skeptis dan kritis terhadap sistem hingga akhir hayatnya, selalu mempertahankan bahwa tindakannya didasarkan pada pencarian kebenaran dan keadilan, bukan kejahatan atau ketidakpatuhan. Dia berpendapat bahwa keputusan untuk menghukumnya lebih banyak dipengaruhi oleh prasangka dan kepentingan politik daripada oleh proses pengadilan yang adil dan objektif. Kasusnya menjadi contoh klasik tentang bagaimana demokrasi dapat gagal dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan ketika dipengaruhi oleh ketakutan, prasangka, dan manipulasi politik.
Melalui kisah dan kritik Socrates, kita mendapatkan pelajaran berharga tentang pentingnya kebijaksanaan, pendidikan, dan integritas dalam demokrasi untuk mencegah kepemimpinan yang merusak dan memastikan bahwa kekuasaan benar-benar digunakan untuk kebaikan bersama. Kisah hidupnya mengajarkan kita tentang risiko dan tanggung jawab dalam menjalankan hak-hak demokratis, serta perlunya kewaspadaan yang terus-menerus terhadap kemungkinan penyalahgunaan sistem oleh mereka yang berkuasa.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.