Ideologi Jerman adalah koleksi manuskrip yang dikarang oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Naskah ini pada mulanya dibuat sebagai kritik terhadap pemikiran beberapa filsuf Jerman, namun kemudian berkembang menjadi penjelasan yang komprehensif mengenai konsep materialisme historis. Materialisme historis adalah pandangan Marx mengenai cara dunia beroperasi melalui dominasi kelas-kelas sosial.
Teori ini secara khusus memulai analisisnya dari pemahaman materiil dan historis mengenai kondisi sosial yang ada pada suatu masyarakat, dan dari situ mengembangkan kerangka yang dapat digunakan untuk memahami berbagai peristiwa yang terjadi di dunia, baik yang telah lalu, sedang berlangsung, maupun yang akan datang. Pendekatan ini mengungkapkan bagaimana sejarah dan kondisi ekonomi secara signifikan mempengaruhi struktur sosial dan interaksi manusia, menjadikannya alat yang penting untuk menganalisis dinamika sosial secara lebih mendalam dan terstruktur.
Marx mengkritik para filsuf Jerman pada zamannya yang terlalu terpaku pada pemikiran Hegel, sering kali mengangkat konsep-konsep ke tingkat abstraksi tinggi dan memperlakukannya dalam lingkup pemikiran yang murni, seolah-olah konsep-konsep tersebut terpisah dari realitas material yang ada. Marx menekankan bahwa para filsuf ini gagal untuk mempertanyakan keterkaitan antara filsafat Jerman dengan kondisi nyata Jerman, atau bagaimana pemikiran kritis mereka berkaitan dengan lingkungan material mereka. Dalam tulisannya, Marx menyatakan:
“Tidak terpikir oleh salah satu dari filsuf-filsuf ini untuk menanyakan hubungan antara filsafat Jerman dengan realitas Jerman, hubungan kritik mereka dengan lingkungan material mereka sendiri.”
Melalui kritik ini, Marx ingin mengarahkan filsafat untuk kembali ke dasar, menjauhkannya dari abstraksi yang tak berdasar dan sewenang-wenang yang sering kali dijadikan pondasi oleh para filsuf idealis dalam membangun sistem pemikiran mereka. Bagi Marx, titik tolak yang penting adalah individu itu sendiri—bukan sebagai konsep abstrak, melainkan sebagai entitas yang nyata, hidup, bernapas, dan tenggelam dalam kondisi materialnya.
Menurut Marx, kondisi material ini adalah yang menentukan mode produksi dalam masyarakat, yang pada gilirannya membentuk ulang hubungan antara individu-individu tersebut. Proses produksi ini adalah keharusan bagi keberlangsungan hidup, dan bergantung pada kondisi material yang ada, individu mungkin melaksanakan produksi ini dengan berbagai cara yang berbeda.
Selanjutnya, Marx berpendapat bahwa pengembangan hubungan internasional dan perkembangan suatu negara juga sangat dipengaruhi oleh tahap perkembangan kekuatan produktifnya. Jadi, dalam pandangan Marx, tidak hanya struktur sosial internal yang dipengaruhi oleh kondisi material, tapi juga posisi dan kebijakan internasional suatu negara. Ini membawa filsafat kembali ke realitas material, mengikatnya dengan kehidupan nyata dan mengurangi gap antara teori tinggi dan praktek sehari-hari.
Dalam teori Marx, evolusi masyarakat manusia melalui berbagai tahap produksi dan pembagian kerja memainkan peran penting dalam memahami sejarah dan perkembangan struktur sosial. Tahap pertama yang dijelaskan oleh Marx adalah fase tribal atau kepemilikan suku. Pada tahap ini, masyarakat masih berada pada tingkat produksi yang sangat dasar, dimana kegiatan sehari-hari mencakup berburu, memancing, beternak, atau bertani pada skala kecil. Pembagian kerja dalam masyarakat ini masih sangat sederhana dan biasanya hanya merupakan ekstensi dari pembagian kerja dalam keluarga. Oleh karena itu, struktur sosial yang terbentuk juga sangat erat kaitannya dengan hubungan keluarga, yang di mana hubungan produksi masih sangat terikat pada lingkup keluarga tersebut.
Tahap kedua dalam evolusi sosial adalah kepemilikan komunal kuno, yang muncul dari penggabungan beberapa suku. Pada tahap ini, konsep properti pribadi mulai muncul, namun masih dalam bentuk yang tidak umum jika dibandingkan dengan kepemilikan bersama atau komunal. Di tahap komunal ini, pembagian kerja menjadi lebih kompleks dan mulai terlihat adanya perbedaan kelas sosial. Selain itu, perbudakan mulai menjadi komponen penting dalam struktur ekonomi, menandai adanya peningkatan dalam pembagian kerja dan munculnya antagonisme antara kehidupan kota dan desa.
Dari kondisi komunal ini, kemudian berkembang sistem feodal. Feodalisme masih berbasis pada komunitas, tetapi memiliki struktur produksi yang lebih terstruktur di mana petani bekerja dan menghasilkan untuk tuan tanah yang memiliki tanah. Properti utama pada zaman feodal adalah tanah, yang sering dikaitkan dengan budak atau pekerja terikat. Namun, terdapat juga kelompok kecil pemilik modal yang mengendalikan pekerjaan para tukang. Dari kelompok pemilik modal inilah, lama-kelamaan, muncul para pedagang yang akhirnya memiliki cukup kekuatan untuk menantang dan mengadu domba tuan tanah feodal.
Konflik antara pedagang dan tuan tanah ini memicu lahirnya kapitalisme dan konsep properti pribadi yang lebih modern. Menurut Marx, kapitalisme ini kemudian akan menciptakan kondisi di mana terjadi perjuangan antar kelas, khususnya antara kelas proletariat (pekerja) dan borjuis (pemilik modal). Marx berpendapat bahwa konflik ini akan mendorong terciptanya sosialisme, sebuah sistem di mana produksi dan distribusi diatur oleh masyarakat secara kolektif, menandai fase selanjutnya dalam evolusi sosial.
Deskripsi yang telah diberikan adalah versi yang disederhanakan dari pemikiran Karl Marx, namun esensi dari pandangannya terhadap sejarah dan perkembangan peradaban telah cukup jelas. Pemahaman ini kemudian dikenal dengan istilah “Materialisme Historis”. Dalam perspektif ini, Marx berusaha mengeksplorasi sejarah tidak dari ide atau konsep abstrak, melainkan dari kondisi material konkret yang ada dalam masyarakat serta hubungan sosial dan produksi yang terbentuk sebagai respons terhadap kondisi tersebut.
Materialisme Historis adalah jawaban langsung terhadap pendekatan filsuf-filsuf Idealisme Jerman yang cenderung bergerak dari konsep abstrak ke realitas, atau seperti Marx katakan, “dari langit turun ke bumi.” Sebaliknya, Marx berpendapat bahwa pendekatannya adalah “naik dari bumi ke langit.” Artinya, bukannya memulai dari konsepsi atau ide tentang manusia yang sering kali hanya berupa pemikiran, khayalan, atau konsepsi yang terlepas dari realitas, Marx memulai dari manusia nyata dan aktif yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari. Dari proses kehidupan nyata ini, dia kemudian menggambarkan bagaimana ide-ide, keyakinan ideologis, dan konsepsi berkembang sebagai refleksi atau gema dari kondisi material yang dialami.
Oleh karena itu, pemikiran, keyakinan ideologis, dan ide-ide yang kita miliki bukanlah entitas yang terisolasi atau yang ‘turun dari langit’, tetapi merupakan refleksi nyata dari realitas material di mana kita berada. Kondisi kehidupan material inilah yang menentukan dan membentuk ide-ide serta keyakinan yang kita pegang, bukan sebaliknya. Ini menggarisbawahi pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam ranah pemikiran manusia memiliki akar yang mendalam dalam kondisi material dan hubungan produksi yang ada. Dengan demikian, Marx menawarkan cara melihat sejarah dan peradaban yang lebih terikat pada realitas nyata daripada abstraksi semata.
Pemahaman mengenai realitas material dan kondisi material yang esensial untuk reproduksi kehidupan kita sehari-hari harus dijadikan sebagai landasan utama dalam menganalisis struktur masyarakat, bukan sekadar bergantung pada konsep-konsep abstrak yang bersifat sewenang-wenang. Untuk memahami mengapa beberapa masyarakat mengalami kegagalan, pertumbuhan, atau kehancuran, kita perlu meneliti kontradiksi-kontradiksi yang tersembunyi di dalamnya—bagaimana masyarakat yang berbeda-beda menghadapi kontradiksi tersebut, dan bagaimana akhirnya kontradiksi-kontradiksi itu bisa meruntuhkan sistem ketika tidak lagi bisa ditolerir atau diakomodasi oleh kerangka sistem tersebut. Pendekatan ini, yang dikembangkan oleh Karl Marx, dikenal dengan istilah “Materialisme Dialektis.”
Konsep “dialektis” dalam Materialisme Dialektis berasal dari pemikiran Hegel. Namun, Marx terkenal karena telah “membalik sistem Hegel” dengan mendasarkan dialektikanya pada materi, bukan ide. Menurut Marx, setiap sistem mengandung kontradiksi internal yang mendorong perkembangan atau degradasi sistem tersebut. Keberlanjutan sistem tergantung pada kemampuan sistem itu sendiri untuk mengakomodasi atau memecahkan kontradiksi tersebut.
Cara berpikir dialektis ini berlawanan dengan pendekatan analitis atau sekolah logika formal yang cenderung mengisolasi pemikiran dari konteksnya dan mencoba untuk menguniversalisasikan bentuk-bentuk abstraknya. Dalam pandangan dialektis, pemikiran tidak bisa hanya bergerak dalam ruang hampa tanpa konten; pemikiran harus selalu berinteraksi dengan kondisi material yang ada.
Hegel sendiri telah menekankan bahwa pemikiran tidak mungkin beroperasi tanpa dasar yang konkret, dan tidak mungkin sepenuhnya terlepas dari konteks materialnya. Meskipun pemisahan ini secara teoretis mungkin, kita harus menyadari bahwa bentuk-bentuk abstrak yang kita gunakan adalah hasil dari proses pemikiran yang telah berkembang dalam konteks material tertentu dan bukan merupakan pedoman universal tentang bagaimana semua pemikiran harus beroperasi. Dengan demikian, Marx mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih terintegrasi dan realistis dalam menganalisis dinamika masyarakat.
Dalam logika formal, prinsip-prinsip yang berlaku sering kali bersifat mutlak, di mana sesuatu itu dianggap benar-benar benar atau salah, tanpa adanya ambiguitas. Setiap kontradiksi yang muncul dianggap sebagai kesalahan dalam pemikiran, yang harus diperbaiki atau dieliminasi. Pendekatan ini memang memiliki daya tarik tertentu karena kejelasannya, tetapi pada saat yang sama, hal ini mengarah pada sebuah metafisika tentang keberadaan dan identitas yang statis, tidak berubah, dan universal, di mana realitas dilihat sebagai sesuatu yang tetap, tanpa dimensi ruang atau waktu. Dalam logika formal, ide dan konsep diisolasi dari konteks luarnya dan hanya berurusan dengan pemikiran yang murni dan terpisah dari realitas material.
Di lain sisi, pemikiran dialektis yang dikembangkan oleh Marx dalam Materialisme Dialektis mengambil pendekatan yang berbeda. Pemikiran dialektis tidak menghindar dari kontradiksi; sebaliknya, ia menganggap kontradiksi sebagai bagian mendasar dari realitas itu sendiri. Dalam proses pemikiran yang dialektis, saat kita membuat kemajuan, kita justru menemukan kontradiksi yang semakin mendalam. Kontradiksi ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, tetapi sebagai aspek intrinsik dari upaya entitas untuk mencapai kesatuan dan integritas; mereka adalah bagian dari identitas internal objek itu sendiri. Ini menjadikan pemikiran dialektis lebih dinamis dan adaptif terhadap perubahan.
Seringkali, Materialisme Dialektis disalahpahami sebagai pandangan yang menganggap konsep, institusi, dan budaya—secara esensial, seluruh kesadaran—hanya sebagai lapisan permukaan yang tidak signifikan dibandingkan dengan dasar ekonomi yang dianggap sebagai fondasi stabil dan mandiri. Namun, pandangan Marx sebenarnya sangat berbeda; ia menekankan pada hubungan praktis yang mendasari keberadaan manusia yang terorganisir dan mengkaji hubungan-hubungan ini sebagai prasyarat konkret untuk munculnya budaya atau gaya hidup tertentu.
Dalam Materialisme Dialektis, relasi, momen, dan kategori yang tampaknya sederhana dan dasar sebenarnya secara historis dan metodologis terhubung ke dinamika yang lebih kaya dan lebih kompleks. Meskipun komponen-komponen ini penting, mereka tidak mencakup segalanya. Realitas yang sejati terletak dalam hubungan yang rumit antara kehidupan materi dan kesadaran yang terus berinteraksi dan harus kita eksplorasi dan klarifikasi lebih lanjut. Pendekatan ekonomi yang murni bukanlah esensi dari materialisme dialektis. Sebaliknya, materialisme dialektis berupaya untuk memecah hubungan ini sebelum mengintegrasikannya kembali dalam gerakan keseluruhan yang lebih luas dan mendalam.
Marx memberikan makna yang sangat mendalam pada apa yang ia sebut sebagai “metode eksposisi,” yang terkait erat dengan dialektika. Istilah “eksposisi” dalam konteks ini bukan sekadar pemosisian berdampingan sederhana atau pengaturan eksternal dari hasil analisis. Eksposisi yang dimaksud adalah proses rekonstruksi lengkap dari objek yang konkret, yang menangkap gerakan internalnya, dinamika yang terlibat di dalamnya, dan menjelaskannya sebagai satu kesatuan yang utuh dan bergerak.
Dalam metode eksposisi, kita harus memulai dari konten atau substansi itu sendiri. Keberadaan nyata yang memicu pemikiran dialektis harus ditempatkan di awal analisis, bukan sebagai tambahan atau kesimpulan. Penyelidikan kita bertujuan untuk mengambil dan memahami materi dalam keseluruhan komposisinya, memeriksa berbagai bentuk pengembangan yang dimilikinya, dan mengungkap hukum-hukum internal yang mengatur pergerakannya. Hasil dari analisis ini adalah pemahaman yang mendalam tentang hubungan dan momen dalam konten yang kompleks. Gerakan keseluruhan dari konten tersebut kemudian dapat direkonstruksi dan “dipamerkan” melalui eksposisi yang teliti.
Seringkali, ketika konten kehidupan tercermin dalam ide, kita mungkin merasa seolah-olah sedang bekerja dengan konstruk a priori—konsep yang terbentuk sebelumnya. Namun, alasan mengapa sesuatu yang konkret tampak sebagai konkret adalah karena ini adalah sintesis dari berbagai penentuan; berbagai elemen yang berbeda disatukan menjadi satu kesatuan. Meskipun ini adalah titik awal nyata dalam dunia material, dalam pemikiran, hal itu muncul sebagai proses sintesis, sebagai sebuah kesimpulan daripada permulaan.
Dari perspektif ekonomi politik, analisis realitas yang ada sering kali menghasilkan “hubungan abstrak umum” seperti pembagian kerja, nilai, uang, dan lainnya. Jika kita hanya terbatas pada analisis semata, kita akan kehilangan esensi dari konkret yang sebenarnya diasumsikan oleh kategori-kategori ekonomi. Kategori ini hanya merupakan “hubungan satu sisi abstrak dari keseluruhan konkret dan hidup yang sudah ada” dan sering kali “mengaburkan” representasi konkret menjadi sesuatu yang terlalu abstrak. Oleh karena itu, pergerakan dari abstrak ke konkret menjadi sangat penting untuk memulihkan gambaran keseluruhan yang lebih utuh dan hidup. Sebaliknya dengan apa yang diyakini Hegel, totalitas konkret bukanlah hasil dari konsep yang muncul sendiri dari atas persepsi dan representasi, tetapi merupakan elaborasi konseptual dari konten yang dipahami dalam persepsi dan representasi itu sendiri.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.