Marxisme dan Sastra8 min read

Marxisme telah memberikan sumbangan penting terhadap pendekatan kritis dalam studi sastra selama hampir dua abad terakhir. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri tiga gagasan utama yang telah membentuk tradisi kritik sastra Marxis. Pertama, kita akan memulai dengan mengkaji pandangan Karl Marx sendiri tentang sastra, yang menempatkan karya sastra dalam konteks sosial dan ekonomi waktu itu. Kedua, artikel ini akan menggali lebih dalam mengenai sosiologi sastra, yaitu bagaimana sastra tidak hanya mencerminkan masyarakat tapi juga mempengaruhinya. Hal ini termasuk memasukkan analisis sosial yang lebih luas ke dalam kajian sastra.

Ketiga dan terakhir, kita akan membahas tentang bagaimana kekuatan material—seperti ekonomi dan teknologi—berperan dalam produksi karya sastra. Selain itu, kita juga akan mengeksplorasi hubungan antara ideologi dan sastra, menunjukkan bagaimana nilai dan kepercayaan dalam sebuah masyarakat dapat mempengaruhi dan tercermin dalam sastra. Dengan mendalami tiga aspek ini, kita dapat memahami lebih jauh bagaimana sastra bisa dijadikan alat untuk memahami dan bahkan mengkritisi struktur sosial.

Pendekatan Marxis terhadap Sastra

Marx dan hubungannya dengan sastra merupakan topik yang menarik dan kompleks. Karl Marx, terkenal dengan teori ekonomi dan politiknya, juga memiliki kedalaman yang tidak biasa dalam hal literatur. Keterlibatan Marx dalam sastra dimulai sejak muda, dimana ia tercatat sebagai pembaca yang sangat rakus dengan kecenderungan membaca yang serba bisa. Marx tidak hanya membaca dalam satu atau dua bahasa, tapi multibahasa, yang memungkinkan dia untuk menyerap berbagai karya sastra dari berbagai tradisi.

Sampul edisi pertama Manifesto Komunis, 1848, melalui Wikimedia Commons

Pada masa mudanya, Marx bahkan mencoba menulis karya sastra sendiri, termasuk sebuah novel yang tidak pernah diselesaikan dan beberapa puisi. Meski percobaan ini mungkin tidak membawa ke puncak karir sastra, pengalaman ini memberikan wawasan tentang cara pandang Marx terhadap sastra dan bagaimana ia melihat sastra sebagai sarana untuk mengeksplorasi dan menyatakan gagasan.

Lebih lanjut, terdapat beberapa proyek yang dia rencanakan tetapi tidak sempat selesaikan, termasuk studi tentang teori seni dan budaya serta analisis tentang novel-novel Balzac. Hal ini menunjukkan bahwa minat Marx terhadap sastra bukan hanya sebagai pembaca tetapi juga sebagai kritikus dan teoretikus.

Menurut Terry Eagleton, yang telah banyak berkontribusi dalam membahas aspek ini, keterlibatan langsung Marx dan kolaborator inteleknya, Friedrich Engels, dalam sastra sebenarnya cukup jarang dalam karya-karya mereka. Namun, ketika mereka berbicara tentang sastra, pendekatan mereka cenderung menganalisis bagaimana karya sastra menggambarkan dinamika sosial dan ekonomi, serta bagaimana sastra bisa menjadi alat untuk memahami lebih dalam kondisi sosial dan ekonomi suatu masa.

a. Kondisi Sosial Sastra

Wawasan Marxis dalam teorisasi sastra telah mendalam dan berpengaruh, terutama dalam pemahaman bahwa sebuah karya seni, sebagian besar, adalah hasil dari kondisi historis yang melahirkannya. Memahami sebuah karya seni sepenuhnya berarti mempertimbangkan dan menganalisis kondisi-kondisi tersebut. Karya seni bukan hanya sekedar kreativitas semata; ia adalah produk dari proses kerja yang kompleks, mirip dengan bagaimana situasi historis tertentu bisa mempengaruhi munculnya industri, pola kerja, dan distribusi sumber daya. Dalam konteks ini, jenis seni yang muncul juga merupakan cerminan dari situasi historis tersebut.

Musik dan Sastra, William Michael Harnett, 1878, melalui Museum Seni Buffalo AKG

Dalam apa yang dikenal sebagai ‘sosiologi’ sastra, kita mencoba untuk memahami kondisi sosial yang berperan dalam produksi karya sastra. Hal ini meliputi analisis tentang demografi sosial penulis dan pembaca, tingkat literasi, kendala ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh penerbit, serta faktor-faktor yang menentukan selera publik. Sosiologi sastra bukan hanya sekedar meneliti karya seni itu sendiri, tetapi juga melihat bagaimana karya tersebut diproduksi dan diterima dalam konteks sosial yang lebih luas.

Disiplin ini berbeda dengan kritik Marxis, yang lebih fokus pada analisis karya seni itu sendiri dalam konteks pengaruh sosial dan historis. Kritik Marxis cenderung menggunakan wawasan ini untuk menggali lebih dalam bagaimana karya sastra mencerminkan atau menanggapi kondisi masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, Marxis juga memperkenalkan gagasan bahwa kondisi historis tidak hanya melahirkan karya seni, tetapi juga ideologi—cara orang memahami dan mempersepsikan masyarakat mereka. Dalam konteks pemikiran Marxis, ‘ideologi’ sering kali digunakan untuk menggambarkan sistem keyakinan atau cara pandang yang mendominasi suatu zaman, yang bisa jadi tidak sepenuhnya koheren atau bahkan sadar sepenuhnya. Ini bisa termasuk dari respons emosional sederhana hingga sistem keyakinan yang lebih kompleks. Memahami ini membantu kita melihat bagaimana nilai dan norma tertentu bisa mempengaruhi, dan terwakili dalam, karya seni.

b. Sastra sebagai Produk Kekuatan Material

Pandangan Marxis tentang sastra sangat menekankan pada interaksi antara karya seni dan konteks sosial yang melahirkannya. Hal ini membawa kita pada sebuah gagasan penting bahwa semua produksi ide, konsep, dan kesadaran manusia tidak terlepas dari kondisi material mereka. Dalam “Ideologi Jerman”, Karl Marx menjelaskan bahwa produksi intelektual seseorang—baik itu ide, konsep, atau kesadaran—erat kaitannya dengan kondisi material dan aktivitas nyata yang dilakukan oleh manusia. Marx menolak gagasan bahwa kesadaran atau ideologi dapat membentuk realitas material; sebaliknya, realitas material—kondisi kehidupan dan pekerjaan manusia—yang menentukan bentuk dan isi dari kesadaran tersebut.

Patung Karl Marx di Karlovy Vary, 2017, melalui Pixabay

Marx juga menggarisbawahi bahwa ideologi tidak pernah bersifat netral; selalu ada fungsi tertentu yang dilayani oleh ideologi, yaitu untuk melegitimasi struktur politik dan sosial yang ada. Dalam konteks ini, seni dianggap sebagai bagian dari ‘superstruktur’ masyarakat, yang termasuk dalam ranah ideologi. Seni, menurut Marx, bukan hanya untuk keindahan semata tetapi juga sebagai alat dalam pembentukan dan pemeliharaan ideologi.

Sebagai tambahan, Terry Eagleton—seorang teoritikus sastra—menunjukkan bahwa dalam menganalisis karya sastra, tidak cukup hanya melihat pada konteks sosial pembuatannya saja. Kita juga harus mempertimbangkan ‘dunia ideologi’ tempat karya tersebut berada, serta bergerak bolak-balik antara teks sastra dan konteks ideologis untuk memahami sepenuhnya makna dan tujuan dari karya sastra tersebut.

Foto Karl Marx, 1861, melalui Wikimedia Commons

Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah psikologi dari penulis itu sendiri. Memang benar bahwa karya seni seringkali mencerminkan pengalaman pribadi dan pandangan dunia seniman, yang mana bisa memberikan wawasan yang berharga tentang motivasi dan tujuan seniman dalam menciptakan karyanya. Namun, dari perspektif Marxis, penting untuk diingat bahwa psikologi seorang penulis juga dipengaruhi oleh masyarakat dan kondisi historisnya. Oleh karena itu, dalam kajian sastra, biografer dan kritikus sastra perlu mengintegrasikan pemahaman ini dalam pendekatan mereka terhadap penulis dan karyanya, melihat bagaimana faktor eksternal dan internal berinteraksi dalam proses kreatif.

c. Sastra dan Ideologi

Terry Eagleton, dalam menulis tentang kritik sastra Marxis, menekankan bahwa Marxisme tidak hanya berfokus pada membedakan antara karya seni dan proses produksi yang mengondisikan penciptaannya, melainkan lebih pada mengakui bagaimana kedua aspek tersebut saling bersatu. Dalam pandangan Marxis, seni tidak hanya merupakan cermin yang transparan dari kondisi sosial, melainkan juga arena di mana ideologi dianalisis dan diungkapkan dengan cara yang kompleks dan mendalam.

Bermain-main dengan Sastra, William Merritt Chase, 1877-8, melalui Galeri Seni Yale

Seni dianggap sebagai salah satu ‘situs ideologi’ yang paling canggih dan rumit. Ini berarti bahwa seni memiliki kemampuan untuk tidak hanya menggambarkan atau mencerminkan ideologi, tetapi juga untuk menantang atau memperkuatnya. Seni dapat mengilhami pemikiran kritis, menawarkan wawasan baru, atau menyajikan perspektif yang berbeda yang mungkin tidak muncul dalam diskusi atau media lain. Ini menjadikan seni sebagai alat yang sangat berharga dalam analisis sosial dan kritis.

Mengenai ideologi itu sendiri, dalam konteks non-Marxis, istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada dogma politik atau kumpulan prinsip yang jelas dengan implikasi politik yang signifikan. Namun, dalam konteks Marxis, ideologi tidak semata-mata terbatas pada keyakinan politik. Ideologi dianggap lebih luas, mencakup nilai, ide, penilaian, respons emosional, dan bahkan refleks yang mungkin tidak sepenuhnya disadari. Ideologi membentuk cara masyarakat memahami diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka, seringkali menyembunyikan struktur nyata masyarakat di balik layar kepercayaan dan nilai yang tampaknya natural.

Dalam konteks kritik sastra, ini berarti bahwa analisis karya sastra tidak hanya melihat teks itu sendiri atau penciptaannya, tetapi juga bagaimana teks tersebut berinteraksi dengan ideologi yang lebih luas. Seni tidak hanya dipahami sebagai produk budaya, tetapi juga sebagai mediator atau pengomunikasi ideologi. Ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana seni berfungsi dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat mempengaruhi dan dibentuk oleh produksi seni.

Sejumlah Pandangan

Terry Eagleton dalam pembahasan kritik sastra Marxisnya, mengidentifikasi bagaimana seni, khususnya sastra, dapat dilihat dalam hubungannya dengan ideologi melalui dua posisi yang kontras secara ekstrem. Posisi pertama melihat sastra sebagai wujud langsung dari ideologi. Menurut pandangan ini, sastra sejatinya merupakan manifestasi artistik dari konsep-konsep dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Artinya, sastra secara fundamental merupakan cara masyarakat mengungkapkan dan mempertahankan ideologi yang ada.

Foto Terry Eagleton, 2008, melalui Wikimedia Commons

Posisi yang kedua, yang merupakan kebalikan dari yang pertama, dipegang oleh Ernst Fischer yang berargumen dalam karyanya “Art Against Ideology” bahwa sastra seharusnya berfungsi sebagai penolakan terhadap ideologi. Dalam konteks ini, sastra yang baik dinilai berdasarkan kemampuannya untuk menawarkan perspektif alternatif dan melawan narasi dominan yang diterapkan oleh struktur kekuasaan.

Louis Althusser, seorang teoritikus Marxis Prancis, menawarkan perspektif yang berbeda lagi. Ia berpendapat bahwa seni dan sastra bukanlah ideologi itu sendiri, melainkan cara untuk mengalami dan memahami ideologi. Seni menurut Althusser, menyediakan ruang untuk refleksi dan kritik terhadap norma-norma yang berlaku, memberikan peluang untuk mempertanyakan dan memikirkan ulang konsep-konsep yang diterima secara umum dalam masyarakat. Bagi Althusser, meskipun karya sastra tidak dapat langsung menghasilkan kritik ideologi, ia bisa menjadi media untuk merepresentasikan dan memproses pengetahuan tentang pengalaman tersebut.

Dalam semua perspektif ini, kita melihat bagaimana Marxisme berusaha menjelajahi hubungan yang kompleks antara seni, sastra, dan ideologi. Pendekatan Marxis mencoba mengatasi dualitas antara intelektualisasi yang berlebihan dan filsafat materialis, dengan fokus pada bagaimana seni dan sastra tidak hanya mencerminkan tetapi juga mempengaruhi realitas sosial dan ideologi. Pendekatan ini memberikan pandangan mendalam tentang potensi sastra sebagai alat pemahaman dan kritik sosial yang kuat.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like