Empirisme: Tinjauan tentang Peran Pengalaman dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia4 min read

Empirisme adalah sebuah aliran filsafat yang menganggap bahwa indera manusia adalah sumber utama dari segala pengetahuan. Pandangan ini berlawanan dengan rasionalisme, yang berpendapat bahwa akal atau pikiran adalah sumber pengetahuan yang utama. Dalam sejarah filsafat Barat, empirisme memiliki banyak pengikut dan menjadi sangat populer pada abad ke-17 dan ke-18. Beberapa tokoh empirisis terkemuka dari Inggris pada waktu itu adalah John Locke dan David Hume.

Empirisisme dan Pemahaman Melalui Pengalaman

Para penganut empirisme meyakini bahwa semua ide yang dapat kita pikirkan berasal dari pengalaman, atau dengan istilah yang lebih teknis, dari “kesan”. David Hume, salah satu filsuf terkemuka dalam aliran ini, pernah mengatakan, “harus ada satu kesan yang menimbulkan setiap ide nyata” (dalam karyanya “A Treatise of Human Nature”, Buku I, Bagian IV, Bab VI). Lebih lanjut, Hume menegaskan di Buku II bahwa “semua ide atau persepsi kita yang lebih lemah adalah tiruan dari kesan-kesan kita yang lebih hidup.”

Para empiris memperkuat pandangan mereka dengan memberikan contoh situasi di mana kekurangan pengalaman seseorang menghalangi pemahaman yang lengkap terhadap suatu subjek. Sebagai ilustrasi, mari kita pertimbangkan buah nanas, yang sering digunakan sebagai contoh oleh penulis-penulis pada masa awal modern. Bagaimana Anda menjelaskan rasa nanas kepada seseorang yang belum pernah mencicipinya sebelumnya? John Locke, dalam esainya, mengemukakan pendapat tentang hal ini:

“Jika Anda ragu akan hal ini, cobalah, dengan kata-kata, berikan kepada seseorang yang belum pernah mencicipi nanas, gambaran tentang rasa buah tersebut. Dia mungkin mendekati pemahaman tentang rasa itu dengan diberitahu tentang persamaannya dengan rasa lain yang sudah ada dalam ingatannya, yang tercetak di sana oleh hal-hal yang telah dia rasakan; tetapi ini bukan memberinya ide tersebut dengan definisi, melainkan hanya membangkitkan dalam dirinya ide-ide sederhana lain yang masih akan sangat berbeda dari rasa nanas yang sebenarnya.”

(An Essay Concerning Human Understanding, Buku III, Bab IV)

Tentu saja, ada banyak kasus serupa dengan yang dikutip oleh Locke. Mereka biasanya ditunjukkan dengan klaim seperti: “Anda tidak akan mengerti rasanya …”

Batasan Empirisisme

Ada banyak batasan dalam teori empirisme, serta banyak tantangan terhadap pandangan bahwa pengalaman dapat memberikan pemahaman menyeluruh tentang spektrum pengalaman manusia. Salah satu keberatan utama terkait dengan proses abstraksi, di mana ide-ide dianggap terbentuk dari kesan.

Sebagai contoh, mari kita pertimbangkan konsep tentang segitiga. Kebanyakan orang mungkin telah melihat banyak segitiga dalam berbagai bentuk, ukuran, warna, dan bahan. Namun, bagaimana kita bisa mengenali bahwa sebuah objek dengan tiga sisi itu adalah segitiga sebelum kita memiliki konsep tentang segitiga itu sendiri di dalam pikiran kita? Penganut empirisme biasanya akan menjawab bahwa proses abstraksi ini melibatkan kehilangan informasi: kesan sangat nyata, sementara ide hanya kenangan samar dari kesan tersebut. Jika kita mempertimbangkan setiap kesan secara terpisah, kita akan menyadari bahwa tidak ada dua kesan yang persis sama; namun, ketika kita mengingat beberapa kesan tentang segitiga, kita akan menyadari bahwa semuanya adalah objek dengan tiga sisi.

Namun, meski mungkin untuk memahami secara empiris ide konkret seperti “segitiga” atau “rumah,” konsep yang lebih abstrak jauh lebih rumit. Sebagai contoh, pertimbangkan konsep cinta: apakah ini berkaitan secara spesifik dengan kualitas posisional seperti jenis kelamin, usia, latar belakang, atau status sosial, atau adakah satu ide abstrak universal tentang cinta?

Konsep abstrak lain yang sulit untuk dijelaskan dari sudut pandang empiris adalah konsep tentang diri sendiri. Kesan apa yang bisa mengajarkan kita tentang ide tersebut? Menurut Descartes, diri adalah ide bawaan, yang ada dalam seseorang secara independen dari pengalaman spesifik; kemungkinan memiliki kesan tergantung pada kepemilikan subjek atas ide tentang diri. Kant, dengan cara yang serupa, memusatkan filsafatnya pada ide tentang diri, yang menurut terminologi yang diperkenalkannya bersifat a priori. Jadi, bagaimana pandangan empiris tentang diri?

Salah satu jawaban paling menarik dan efektif datang dari Hume. Dalam karyanya “Treatise” (Buku I, Bagian IV, Bab VI), Hume menulis:

“Bagi saya, ketika saya menyelami apa yang saya sebut diri saya sendiri, saya selalu menemukan beberapa persepsi tertentu, entah itu panas atau dingin, cahaya atau bayangan, cinta atau kebencian, rasa sakit atau kesenangan. Saya tidak pernah bisa menangkap diri saya tanpa persepsi, dan saya hanya bisa mengamati persepsi tersebut. Ketika persepsi-persepsi saya hilang untuk sementara waktu, seperti saat tidur nyenyak, selama itu saya tidak sadar akan diri saya, dan dapat dikatakan bahwa saya tidak ada. Dan jika semua persepsi saya dihilangkan oleh kematian, dan saya tidak bisa lagi berpikir, merasakan, melihat, mencintai, atau membenci setelah pembubaran tubuh saya, saya akan sepenuhnya hilang, dan saya tidak tahu apa lagi yang diperlukan untuk membuat saya menjadi ketiadaan yang sempurna. Jika ada orang yang, setelah merenungkan serius dan tanpa prasangka, berpikir dia memiliki pandangan yang berbeda tentang dirinya, saya harus mengakui bahwa saya tidak bisa lagi berdebat dengan orang tersebut. Yang bisa saya akui adalah, dia mungkin benar seperti saya, dan kami pada dasarnya berbeda dalam hal ini. Dia mungkin merasakan sesuatu yang sederhana dan berkelanjutan, yang ia sebut sebagai dirinya; meskipun saya yakin tidak ada prinsip seperti itu dalam diri saya.”

Apakah Hume benar atau tidak, sebenarnya bukanlah pokok permasalahan. Yang terpenting adalah bahwa pandangan empiris tentang diri sendiri cenderung berusaha untuk meniadakan konsep kesatuan diri. Artinya, gagasan bahwa ada sesuatu yang tetap ada dan konsisten sepanjang hidup kita hanyalah sebuah ilusi.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like