Metaverse: Setelah Dua Hal, Apakah Wujud Virtual Sesuai Wujud Nyata?19 min read

Kutipan di atas berasal dari sebuah judul tulisan Nicole Buckler, seorang editor, jurnalis, dan penulis dari majalah-gila, Gold Coast, Australia. Agar tidak misink atau keceplosan tinta tulisan, dari paragraf awal hingga nyaris terakhir, dia menghubungkan Mall Dubai dengan purwarupa metaverse, yang akan dialami dalam kehidupan nyata.

Mall Dubai dianggap salah satu mall perbelanjaan terbesar di dunia. Alexander Heller, bos HyperSpace akan membangun taman HyperSpace di mall. Suatu ruang yang dilengkapi jalanan melalui aquarium, ring salju berkelas dunia, dan teknologi virtual. Ditambah ‘zona pengalaman’ dalam jumlah 38 pengalaman melalui pintu masuk taman. Idenya bertujuan untuk menyatukan dunia nyata dan metaverse[1].

Jadikanlah pengalaman metaverse! Pengalaman berakhir tanpa kata-kata dan benda-benda tidak lebih dari labirin dalam dunia metaverse. Labirin adalah nyata. Tetapi, akankah mesin masa depan dibalik pengalaman metaverse bisa menunda hal-hal a priori? Masa depan dalam pikiran; asap dalam kehadiran api.

Jagat virtual menghampar luas tanpa akhir dalam ruang virtualnya sendiri. Sehari atau lebih, pengguna jejaring situs baru bermain dalam a priori algoritma. Realitas yang satu berubah dan bertukar; lainnya tetap realitas, tetapi realitas baru, yang menumpuk sejak dari kelahirannya.  

Ternyata, setelah membaca Desert Islands and Other Texts sekaligus Desert Islands menjadi urutan pertama tulisan dalam buku karya Gilles Deleuze bisa mengantarkan pada imajinasi tentang ‘tanah virtual’[2]. Sementara, perpaduan imajinasi, hasrat, kesenangan hingga ilusi berubah menjadi sejenis kekuatan simulakra. Secara lahiriah atau perseptual, wujud nyata berbeda dengan wujud virtual, yang berkelindang dalam simulakra melalui media sosial dan sejenisnya[3].

Dua dunia menyatu dalam metaverse dan Desert Islands. Bagaikan musim bunga matahari virtual tampak mekar tanpa siraman cahaya matahari alamiah terpampang sebuah gambaran yang akan dialirkan melalui metaverse di kemudian hari.

Metaverse bersama para pencetusnya memungkinkan bisa untuk melibatkan teks Deleuze, Desert Islands. Kemunculan wilayah penampilan simulakra yang diserap oleh metaverse seakan-akan menciptakan hidup lebih ‘nyata’, jika orang-orang meluangkan sedikit saja waktu untuk menjalaninya. Di era metaverse, imajinasi, fantasi, dan hasrat yang menubuh melalui teknologi paling baru menjadi hal yang biasa dialami. Dari penundaan ke horizon.

Deleuze memberi informasi yang bernilai bagi imajinasi tentang bagaimana batu karang, laut, dan sisi kehidupan lain menyertainya perlahan-lahan lenyap dan muncul kembali. Spesies manusia tidak mampu hidup tanpa pengetahuan dimana mereka mengumpulkan makanan untuk melangsungkan hidupnya. Mereka akan bertahan hidup hanya karena mereka percaya adanya pulau esensial. Karunia alam dalam kehidupan tanpa keamanan akibat perjuangan manusia tidak mencapai permukaan yang terpisah antara daratan pulau dan lautan.

Dalam satu atau cara lain, ‘Pulau Gurun’ (Desert Islands) merupakan sudut pandang dirinya sendiri. Suatu sudut pandang yang tidak terpisah antara lautan dan daratan. Imajinasi menghasilkan pulau yang benar-benar nyata melalui geografi. Pulau impian, apakah itu sebuah wujud tiruan atau wujud murni tidak menjadi permasalahan? Terpenting adalah wujudnya yang jelas asli bagi kehidupan pulau, laut, pesisir pantai, dan sekitarnya.

Desert Islands berbicara tentang sisi kehidupan dalam dirinya sendiri. Imajinasi membantu simulakra untuk mencapai “pulau” yang digambarkan sebagai tempat manusia berkelana. Berkat metaverse tanpa asal-usul dan rujukan dengan segala mimpi dan harapan masa depan dan kekhawatiran manusia yang membayanginya, maka simulakra tidak untuk menyembunyikan wujud aktual dan wujud virtual dalam bentuknya yang berbeda menjadi dunia lebih nyata.

Simulakra berkali-kali tidak dipercaya oleh orang-orang yang hanya mengandalkan mitos sebagai alasan penyangkalannya terhadap realitas baru dari metaverse. Apa yang terjadi dalam kelenyapan realitas, tumbuh dan menyebar dari realitas baru ke hal-hal baru lain, yang berlapis-lapis melalui metaverse. Wilayah penampilan metaverse menghimpun wujud virtual dan wujud nyata. Jadi, bukan lagi suatu penekanan pada virtualitas lebih nyata dari yang nyata. Kata lain, metaverse mencoba untuk mengatasi kedua wujud tersebut. Bukan hanya struktur, wujud virtual dan wujud nyata adalah kerangka epistemik, yang mengalir dan meledak dalam perbedaan.

Perkembangan telemedia dan mesin lain dianggap mutakhir tidak memiliki lagi pembenaran atas citranya sendiri. Secara khusus dalam kaitannya dengan mesin digital atau ‘Web 3 Dimensi’ sebagai kekuatan baru, imaterial, dan molekuler menjadi cara kerja tubuh masa depan mesin baru dengan apa yang disebut ‘tubuh virtual’ dalam sebuah jagat yang masih asing, tidak jelas, dan murni. Dari satu perusahaan, seseorang harus mengamati perkembangan aset atau properti, yang tidak dibuat untuk dirinya saja, melainkan sebagai bagian dari tanda komunikasi hingga tercapai sebuah pertukaran renungan dan berpikir dalam ruang yang belum diketahui dimana titik ujung pangkalnya.

Keberadaan pikiran mungkin ditukar dan diubah dengan sistem yang lebih abstrak dan lebih lunak. Ia sebagai otak mesin kecerdasan artifisial yang bertugas untuk membersihkan segala unsur metafisis, kesakralan, dan keilahiaan[4]. Pikiran murni dan tubuh kita menjadi ruang kosong, sejenis ruang kedap suara, tatkala disterilkan dalam obyek-obyek yang berserak-serakan; tidak hanya ditemukan dalam detail paling kecil, tetapi juga dalam kepingan detail paling kecil yang sekecil-kecilnya. Di bawah segala bentuk representasi, dunia virtual lebih menajam dalam detail paling kecil, dari yang paling kecil nyaris tidak memiliki batas.

Dalam pertukaran, aset atau uang virtualah yang tidak hanya membujuk rayu, tetapi juga menggembosi pilihan atas penampilan luar dari obyek yang tidak kasat mata. Bermula dari daya pikat mereka terhadap teknologi virtual, segala hal ditampilkan dalam ketidakhadiran titik akhir dari horizon baru setelah diluapi oleh bentuk aplikasi permainan pasar. Terutama para pengguna, mereka diminta menjawab pertanyaan seputar dunia virtual dan dunia nyata, disamping itu juga perubahan dari fiksi ilmiah ke realitas virtual. Dalam diskursus bahasa, masyarakat menghadapi perbedaan makna yang tidak stabil dan tidak cair mengenai ruang virtual dan ruang digital ketika permainan mata uang terjadi di depan mereka, yang bergerak cepat dari wujud sebelumnya.

Kini, metaverse merupakan turunan besar dari simulakra yang paling baru melalui perantara ruang siber atau jaringan aplikasi yang saling berkaitan. Banyak pihak menyambut suka cita atas kedatangan Metaverse, terutama dalam satu sistem yang saling terhubung antara para pengguna internet, media sosial, dan peselancar dunia virtual lain. Tertawalah, menangislah! Setelah itu, Anda akan berada dalam ketidakhadiran dunia nyata dan tiruan.

Dua Hal Adalah Akhir Dari Dua Tulisan Fiksi

Berilah ruang imajiner bagi Snow Crash dan Ready Play One! Satu karya Neal Stephenson, yang satu lagi novel karya Ernest Cline. Demikianlah dua tulisan fiksi berubah menjadi novel sebelum dibawa ke dunia lain. Keduanya berbeda dengan pengalaman metaverse(xual), bukan? Dari ruang imajiner dirampungkan melalui novel yang menarik dan diambil-alih oleh sinema.

Sebelum kelahiran metaverse, pelanggaran batas-batas muncul ke permukaan kehidupan di dunia nyata, yang memungkinkan juga seseorang membangun seksualitas melalui dunia virtual. Seorang anak muda menyenangi tulisan fiksi ilmiah tentang wujud seksual yang tervirtualisasi, yang mengalir dalam wujud virtual. Lalu, wujud virtual bergeser menjadi pengulangan, yang bisa dibawa dalam simulakra (mimpi, refleksi, bayangan, lukisan).

Penemuan baru sering memperkenalkan dirinya. Orang-orang atau perusahaan beranjak dari tempatnya menuju teknologi metaverse karena ada sesuatu yang memikat dan lebih menantang. Seks non-manusia, tubuh seksual, dan tubuh virtual juga menimbulkan pertanyaan yang baru. Seseorang menggambarkan secara praktis tentang simulakra seperti perpaduan antara ‘mata uang virtual’ dan ‘mata uang nyata’, ‘fesyen virtual’ dan ‘fesyen alamiah’ adalah struktur. Kata lain, perpaduan apik antara dunia nyata dan dunia virtual dalam simulakra, selanjutnya menjelma dalam apa yang disebut Metaverse. Apa itu Metaverse? Mesin? Debu? Anugerah?

Suatu tatanan simulakra tidak asing bagi orang-orang yang menggumuli metaverse. Sejauh ini, pembentukan definisi menghindari homogenitas. Metaverse adalah jaringan dunia virtual yang selalu aktif, dimana memungkinkan banyak orang berinteraksi dengan obyek digital antara satu dengan lain tatkala menjalankan representasi virtual— atau avatar— dari mereka sendiri[5]. Kelahiran penjelajahan baru dari simulakra membeberkan titik akhir sebuah permukaan tubuh melalui metaverse setelah ditopang dengan berbagai asset atau benda-benda dan permainan yang dimilikinya. Suatu tubuh yang dijinakkan karena diubah menjadi tubuh lebih mudah ditempati oleh simulasi dalam ruang kosong, yang mengakhiri dunia nyata.

Kelahiran “mesin baru” yang dinantikan. Penulisan benda-benda dan masa depan membuat penafsiran tentang metaverse. Bentuk penulisan benda-benda dalam metaverse menyangkut hal-hal pemikiran dan wujud, diantaranya seperti permainan minecraft atau roblox, mata uang kripto, email, realitas virtual, media sosial, dan streaming langsung[6]. Sebuah ayunan kehidupan antara manusia dan mesin, yang menyatu dari konvensional ke realitas baru ada di sekitar kita.

Metaverse lahir dari jaring sosial tiga dimensi melalui teknologi virtual? Suatu jaringan situs lama tidak ditelan oleh dunia virtual yang baru, melainkan ia menyesuaikan diri hingga lenyap dalam dirinya sendiri. Mesin masa depan teknologi virtual menciptakan kesenangan perbedaan. Dalam permainan dengan ruang yang saling berkaitan, dimana metaverse memiliki kemampuan lebih cepat dalam ‘ruang yang mengambang bebas’. Sebagaimana warga global, seseorang akan mengajukan pertanyaan tentang adakah perbedaan antara dunia nyata dan dunia virtual? Jaringan tiga dimensi betul-betul menjadi sulit dibedakan dalam metaverse, yang mana dunia virtual dan mana dunia nyata, dimana keduanya membentuk ‘mesin masa depan’ yang bersentuhan dengan pengalaman manusia atau para pengguna. Seseorang bermain dengan mesin berarti menandai wujud dirinya sendiri melalui tubuh yang tertukar dengan tubuh yang baru.

Karena wujud kemunculannya banyak digemari, maka orang-orang akan mengarah pada jagat virtual, yang mengintimkan kita dengan dunia baru semakin nyata dalam kemiripan. Cukup kita memilih untuk menceburkan diri seseorang terhadap salah satu dari ‘realitas yang banyak atau bertambah’ (augmented reality/AR), ‘realitas virtual’ (virtual reality/VR), dan kecerdasan artifisial (AI) menjadi struktur tanpa penundaan, tersembunyi, dan berbeda dengan tiga dimensi dalam metaverse hingga betul-betul tidak terpisah antara ilusi dan dunia nyata, yang virtual dan yang murni lahiriah[7]. Struktur delay (penundaan) dihubungkan dengan sisi pengalaman metaverse seiring ketemporalan dalam kehadiran dunia tiruan. Ketidakhadiran intuisi sama arahnya dengan kematian penulis dan ketidakhadiran subyek, yang berada di luar realitas baru.

Apa yang dilakukan dengan Metaverse jika tidak ada augmented reality, virtual reality, dan kecerdasan artifisial?Dimanakah gerangan Metaverse tanpa ketiga mesin masa depan tersebut? Mendahului pertanyaan, AR serupa dengan ‘hasrat untuk menciptakan’. AR memiliki kemiripan antara anti-logos dan pengalaman dalam perbedaan. Perpaduan VR dan AI tidak lebih dari obyek pengetahuan yang tidak bisa direfleksikan seperti halnya fantasi dan imajinasi.

Perpaduan realitas virtual dan realitas yang banyak dalam metaverse tidak selamanya bisa mengungkapkan wilayah kenampakan lahiriah menjadi nyata atau sebaliknya, sehingga membuat sebagian yang lain hanya hal-hal yang tidak jelas dan pasti dari sesuatu yang bersifat kualitatif. Seperti perang nyata berkecamuk yang saling membunuh melalui virtual gaming atau di sebuah planet virtual yang menjadikan seseorang tidak nyata dan pasti secara lahiriah berada di ruang tersebut. Titik kemunculan permainan jagat virtual membuat kesenangan sekaligus menegangkan sejauh ia masih dianggap dunia asing.

Memang betul, seseorang atau perusahaan tidak hanya memainkan suatu sisi permainan jagat virtual, melainkan pembentukan mode wujud dan mode kehidupan, yang mengarah pada jaringan dunia yang baru. Satu pertanyaan untuk usia anak-anak di masa yang telah berlalu. Masih ingatkah permainan simulakra melalui permainan pokemon go? Permainan metaverse merupakan tiruan dan turunan dari permainan simulakra. Orang-orang bisa marah dan tertawa betul-betul nyata setelah menonton kisah anak muda yang kehilangan kasih sayang orang tuanya. Tetapi, marah dan tertawa mereka hanyalah tiruan.

Pengalaman metaverse mengandalkan mesin tanpa reset, jeda, dan akhir. Kehadiran ruang virtual bisa seseorang melihatnya setelah mencangkokkan realitas melalui imajinasi, fantasi, dan pengalaman dengan tiruan atau buatan yang dialami di ruang nyata. Metaverse tidak bergantung pada intuisi intelektual Kant; permainan metaverse hadir dan lenyap melalui pengalaman, yang berlipat-ganda dengan caranya sendiri.

Mark Zuckerberg sebagai sosok teknologis yang telah menyatakan suatu horizon baru dari metaverse[8]. Mark, ‘Meta’ pujaannya, yang menciptakan keriangan kecil. Apa yang dimaksud keriangan kecil? Karena, sebagian dirinya sudah merupakan tubuh murni dan sebagian yang lain serupa “mesin” yang dialamiahkan. Satu hal juga karena besar harapan masa depan darinya.

Beberapa pengalaman diciptakan oleh metaverse dunia virtual yang menubuh di dunia nyata. Pengetahuan dan pengalaman menghimpun mode kehidupan setelah kelahiran sosok teknologis memasuki masa depan jagat baru. Sosok Mark percaya pada sisi pengalaman metaverse. Secara imajinatif, terdapat kemungkinan bisa terjadi di hadapan melalui wujud virtual dan realitas yang ‘bertambah’ dengan caranya sendiri. Sekawanan muncul dalam Ready Player One, sebuah kisah film fiksi ilmiah yang mengutuk dirinya karena datang begitu terlambat menjadi pengalaman metaverse[9]. Monster pikiran keluar dari ruang gelap menuju sisi terang.

Memasuki Halliday Journals, tiba-tiba sosok anonim bersuara lantang, memanggil. “Hei, itu Parzival! Parzival! Pahlawanku! Banyak wujud virtual seakan-akan ingin menerjangnya untuk mengerumuni Parzival, tokoh dibalik Wade Watts merahi “kunci pertama” setelah melewati garis akhir balapan. Terdapat Tiga Kunci yang diciptakan oleh Anorak, nama Avatar dari James Halliday sang perancang game, Trilyuner. Tiga Kunci merupakan Tiga Tantangan tersembunyi yang pantas dicari. Begitulah kira-kira petikan cerita film destopia tersebut di atas berlangsung pada menit ketiga puluh lima, lebih. Ketidakhadiran subyek dalam metaverse merupakan sosok simulakra, yang sama dalam yang berbeda dan bebas berpetualang.

Tetapi, lebih dari sekedar mengganti nama menjadi ‘Meta’, sebuah teknologi virtual ditandai oleh media sosial mengalami ‘metamorfosis’, tetapi suatu mode wujud yang ditampilkan masih tetap menyatu dalam realitas baru. Sesuatu yang paling baru dari yang baru. Tanda ekspresi ditandai oleh pengalaman atas pengalamanyang tidak terhingga dibalikruang tidak terhingga, dunia, atau alam yang dilintasi. Jagat virtual antara pemikiran dan wujud dibebaskan dari ruang kosong. Ia dipolesi dengan lingkaran atau horizon dalam kehidupan bersama. Ruang eksistensi bergerak ke luar menuju ruang kosong. Ruang bebas untuk menari tidak terhingga dari yang terhingga antara dunia nyata dan dunia virtual dalam perbedaan. Dalam ‘Web’ atau cyberspace menghadapi ruang bebas, yaitu ruang terbuka bagi pemikiran dan wujud yang berbeda.

Bentuk pengalaman yang nyata dari tubuh virtual dalam metaverse yang tersensual sekaligus tersosialkan dalam kehidupan nyata. Ruang bebas yang melimpah hingga waktu akan berbicara lain untuk mengakhiri ruang terbatas petualangan diri di dunia. Ketika Mark dan sosok teknologis lain berbicara seputar kamera dan video menjadi lebih visual, maka merekalah yang berada didalamnya, bukan obyek lain dalam dunia virtual. Kamera, internet, dan video sebagai obyek pengetahuan diganti dalam dimensi baru dari yang sebelumnya mengandung pengalaman akan digambarkan, dianalisis, dan dinilai dibalik selubung teks dan permainan tanda, yang dimainkan melalui jejaring atau medium yang juga baru.

Seseorang membayangkan bagaimana keterlibatan dari pengalaman baru yang dihubungkan dengan kerja, belajar, berbelanja, dan sebagainya diminiaturisasi dalam dunia virtual. Manusia  datang bersama paradoks dari penandaan ganda: kenampakan dan realitas baru. Keduanya datang seperti dunia nyata bersama mimpi dan imajinasi.

Pada akhirnya, suatu permainan simulakra datang bersama kreatifitas saat masa depan yang menjanjikan baru saja dimulai sejak titik tolak kemunculannya dirampungkan. Wujud virtual atas wujud virtual lain saling menyilang juga dengan wujud nyata atas wujud nyata lain. Lalu, wujud virtual melalui teknologi paling baru bisa menciptakan ingatan, selera, mimpi, dan kesenangan saat dihubungkan dengan ruang fisik. Misalnya, foto seorang anak yang dirindukan oleh orang tuanya dalam jaringan tiga dimensi atau mengingat tulisan mengenai a priori Algoritma yang menarik untuk dibaca oleh banyak orang.

Kita belum mengetahui secara persis apa masa depan yang belum pernah diimpikan oleh sosok teknologis ketika terjadi “akhir dari tanah masa kini”, karena kenampakan dan realitas baru dalam metaverse seakan-akan memiliki ruang tanpa batas.

Hasrat dan Fantasi

Pertunjukan tarian virtual, didukung busana yang serasi. Ruang ekspresi dibangkitkan oleh hasrat dan fantasi atas kehidupan di dunia nyata. Setiap ruang ekspresi ada dalam ketidakhadiran obyek, bukan ketidakhadiran diriku sendiri, yang tidak bisa dipersepsi atau dialami. Kesempatan menari sama tujuannya ketika bersenang-senang untuk mengungkapkan sejauh mana kemampuan untuk menyelesaikan satu peristiwa di dunia nyata. Kesenangan terhadap jenis tarian dan busana mengarah pada kemiripan permainan metaverse sebagai tujuan bersama.

Hasrat untuk menari sama pentingnya hasrat untuk menciptakan. Bagaimana gambaran kota impian ditaburi warna-warni di tengah kerlap-kerlip cahaya merupakan fantasi tentang kota masa depan, yang dipisahkan dengan ruang kosong. Pergerakan fantasi tanpa cahaya gelap dan terang dalam perbedaan hasrat terhadap dunia nyata. “Aku menari.” “Aku berekspresi sesuatu.” Ruang kosong  diintimi tidak lebih dari kelenyapan esensial. Hasrat untuk menari bukanlah pemenuhan intuisi dalam dunia virtual, tetapi dunia nyata dalam ketidakhadiran obyek antara realitas dan representasi pengalaman. Perbedaan yang nyata dari tiruan.

Peristiwa yang dulunya dianggap tidak masuk akal kelak akan terjadi kenampakan dunia virtual yang berbeda dari hasil pencapaian pengetahuan. Kecuali hasrat untuk mengetahui, ketika fantasi bebas, yang mulanya dianggap kosong melompong. Ruang bebas dalam kehidupan yang terhingga bergerak dari hasrat untuk mengetahui ke hasrat untuk menciptakan permukaan tubuh virtual, yang sama sekali belum dialami atau dilihat di dunia nyata.  

Ketidakjarakan wujud virtual dan wujud kehidupan sehari-hari akan disemarakkan dengan pertunjukan olah keterampilan memata-matai, mengintai pertemuan rahasia, dan memilih teman yang aneh di belakang meja makan atau meja kerja. “Anda pilih menu sajian, benda-benda yang menjanjikan atau jenis tontonan apa saja.” Pengalaman metaverse memiliki tantangan tersendiri, satu diantaranya, bagaimana menggambarkan, menganalisis, dan menentukan penciuman atas cita rasa atas benda-benda di sekitarnya.

Di sini, terdapat daftar menunya nampak nyata di depan mataku. Sosok teknologis berhasrat dan berfantasi untuk bertamasyia di jagat raya, di satu planet, yang jauh dari bumi. Hasrat dan fantasi sejauh melintasi cita rasa dan penciuman atas sesuatu yang berputar di jagat. Cita rasa dan penciuman atas aroma dapur beradu dengan imajinasi, dibandingkan mengandalkan pengalaman tanpa disertai sentuhan dunia virtual.

Bersebelahan dengan sebuah meja, pandangan tertuju pada kemunculan permukaan ruangan yang cukup jelas wujud kenampakannya, seperti seseorang berbicara dengan mata terbuka, tetapi pihak yang ditemani berbicara tidak lagi dalam satu ruangan yang sama. Karena itu, perpaduan antara kenampakan benda-benda dan realitas baru menambah aliran fantasi untuk menjelajahi ruang yang tidak tersentuh secara lahiriah, melainkan ditandai oleh hasrat.

Sebaliknya, celah dunia nyata berhadapan dengan dunia nyata lain. Dunia virtual mengatasi dirinya sendiri sebagai dunia virtual lain, yang terjalin dalam sebuah perpaduan yang berserak-serakan antara kenampakan dan realitas baru. Disinilah pergerakan “akhir dari tanah masa kini”, suatu peristiwa yang sia-sia jika seseorang begitu larut dalam mimpi atau terbius pada kedalaman cita rasa.

Pada saat-saat penting yang kita tunggu, teknologi virtual paling baru dari blockchain belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, kecuali penggunaan media sosial dan internet. Setiap orang dan perusahaan tanpa teknologi virtual belum tentu bisa menggunakan platform kripto dan jejaring tiga dimensi atau horizon baru. Disitulah, hasrat untuk menyenangi, bukan hasrat untuk memamerkan dunia baru.

Tetapi, hasrat untuk menyenangi platform media sosial bersama jejaringnya bisa digunakan untuk urusan kerja, bermain, belajar, belanja, tulisan, nonton, tayangan lelucon, hingga peristiwa lain secara daring seiring dengan melimpah-ruahnya fantasi para pengguna. Untuk urusan serius dan santai juga bisa disalurkan dalam metaverse. Ada saatnya seseorang yang berprofesi karyawan tidak harus datang ke kantor, tetapi bisa berubah dan bermetamorfosis dengan bertemu dan rapat secara langsung di dunia virtual.

Paling penting dari setiap teknologi virtual tidak membuat seseorang lebih dekat dengan kehidupan kontemplatif. Karena seseorang berada dalam dunia asing di tengah gemerlapnya ‘dunia virtual yang menubuh’ justeru berlapis-lapis kekuatannya untuk menampilkan permainan jagat virtual tanpa dibumbuhi desas-desus picisan. Jika masih penasaran mengenai metaverse, para pengguna dan peselancar dunia masa depan lain, lebih baik menjalani selingan distopia sebelum sosok teknologis memindahkan imajinasi baru dari ruang kosong.

Pada akhirnya, tanah kota diselimuti dengan wujud virtual, yang selebihnya ditanggulangi oleh hasrat atas wujud nyata. Disamping tanah pendudukan bukan tanah virtual yang dijanjikan oleh ‘juru selamat Metaverse,’ melainkan mesin fantasi masa depan kembali terkubur di bawah ruang kosong setelah perang melawan monster pikiran betul-betul bukan lagi tiruan.

Kehadiran tiruan menunda ketidakhadiran subyek, karena penampilan wujud virtual menjadi tidak aktual, tetapi tiruan dimulai daru wujud nyata. Setiap wujud virtual berada antara kehadiran pengalaman dan ketidakhadiran subyek, karena ketidakhadiran obyek dalam metaverse ditandai dengan ketidakhadiran dunia. Selama ketidakhadiran obyek tanpa akhir, maka setiap kelimpahan ruang melalui kehadiran pengalaman akan mengarah pada ketidakhadiran dunia.

Kehidupan kita yang bergerak secara mekanis di bumi akan dipengaruhi oleh virtualitas atau realitas yang banyak tanpa akhir, jeda, dan reset layaknya pengalaman di dunia nyata. Rangkaian peristiwa menyediakan tanda dan wujud virtual bagi para pengguna atau sosok teknologis untuk merasakan berbagai sisi pengalaman metaverse dengan perpaduan ‘tanda waktu-sebenarnya’ dan ‘tanda rentetan waktu’, yang memungkinkan terjalin dengan kehidupan dunia nyata. Disinilah, hasrat atas hasrat, fantasi atas fantasi muncul dan lenyap dalam zona pengalaman.

Sebagaimana pengalaman di dunia nyata, mesin mimpi dan mesin kesenangan pada obyek ekonomi menghubungkan dengan mesin kapitalis untuk menjajaki peluang metaverse saat terjadi peristiwa produksi, transaksi jual beli, kegairahan konsumen, layanan, dan aktivitas lain ditandai dengan mata uang virtual yang serupa wujud aslinya. Dari sini, semuanya berada dalam ‘tanda waktu sebenarnya’.

Kemunculan wilayah teknologi baru yang menghubungkan antara dunia nyata dengan dunia virtual tidak lebih dari ‘metamorfosis’ merupakan ‘tanda rentetan waktu’ melalui jejaring tiga dimensi, yang berbeda dengan mesin masa depan sebelumnya. Suatu titik pergerakan ‘wujud lain’ yang akan terjadi dari satu titik tolak atau dari masa yang telah berlalu.

Kita sadar, bahwa tanda jagat virtual tanpa rujukan telah meletakkan manusia dan kelompok manusia seperti fantasi akan masa depan dalam ruang bebas yang mengambang. Terutama fantasi di luar para pengguna atau penggemar setia teknologi baru menilai masa depan manusia tidak bergantung pada kekuatan dunia virtual dan dunia nyata.

Tetapi, tujuan kita untuk mempercayai simulakra semata-mata demi rangkaian pembentukan  mode berpikir dan mode kehidupan lebih maju tentulah akan menjadi hasrat, mimpi, dan fantasi manusia. Sejalan dengan eksistensi manusia yang alamiah mampu berhasrat untuk pengetahuan tentang masa depan yang didambakan. Seprimitif-mitifnya manusia, petualangan akan mengubah dan melangsungkan kehidupan dengan cara dan teknik yang lebih baru. Jika dimulai berhasrat, sebelum mengambil beberapa langkah kedepan, yang menggambarkan suatu kejutan, dimana jejak-jejak dan tanda-tanda ‘tanah baru’, ‘kota baru’, ‘mesin baru’, dan ‘buku baru’ tidak lagi diproyeksikan, melainkan sedang dialami oleh orang-orang dalam dunia yang berbeda.


[1] Alexander Heller, bos HyperSpace akan membangun taman HyperSpace di mall. Suatu ruang yang dilengkapi jalanan melalui aquarium, ring salju berkelas dunia, dan teknologi virtual. Ditambah ‘zona pengalaman’ dalam jumlah 38 pengalaman melalui pintu masuk taman. Idenya bertujuan untuk menyatukan dunia nyata dan metaverse. Diakses dari https://beincrypto.com/hyperspace-welcome-to-the-metaverse-in-real-life/, tanggal 2 Februari 2022, pukul 13.50 WITA.

[2] Lihat Gilles Deleuze dalam Desert Island and Other Texts, Semiotext(e), Los Angeles, 2004, hlm. 9-18.

[3] Menyangkut pembicaraan tentang simulakra bisa dilihat, diantaranya melalui karya Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation, The University of Michigan Press, Michigan,1994 dan Gilles Deleuze dalam Desert Island and Other Texts, Semiotext(e), Los Angeles, 2004.

[4] Kecerdasan artifisial bisa dilihat dari persfektif yang berbeda, diantaranya karya Hubert L. Dreyfus dalam What Computer Still Can’t Do? A Critique Artificial Reason, The MIT Press, Cambridge Masshacusset-London, 1992 dan karya Max Tegmark dalam Life 3.0 Being Human in the Age of Artificial Intelligence, Alfred A. Knopf, New York, 2017.

[5] Metaverse adalah jaringan virtual yang selalu aktif, di mana banyak orang bisa berinteraksi dengan obyek digital antara satu sama lain saat menjalankan representasi virtual– atau avatar– dari mereka sendiri.  Diakses dari https://bigthink.com/the-future/metaverse/, tanggal 1 Desember 2021, pukul 14.51 WITA.

[6] Metaverse adalah dunia virtual yang memadukan aspek teknologi digital termasuk konferensi video, game seperti minecraft atau roblox, cryptocurrency, email, realitas virtual, media sosial, dan streaming langsung.  Diakses dari https://fortune.com/2021/09/29/welcome-metaverse-what-it-is-who-behind-why-matters-matrix-zuckerberg/, tanggal 28 November 2021, pukul 14.25 WITA.

[7] Matthew Ball mengatakan tentang metaverse yang digambarkan sebagai ruang dimana internet atau dunia digital menjalar ke berbagai penjuru dan berinteraksi dengan yang lain. Metaverse menguak sebuah perwujudan dirinya dari realitas yang sebenarnya, tetapi berbasis di dunia virtual. Diakses dari https://www.matthewball.vc/all/themetaverse, tanggal 28 November, pukul 11.07 WITA.

[8] Mark Zuckerberg sebagai sosok teknologis yang telah menyatakan suatu horizon baru dari metaverse. Diakses dari https://www.newsweek.com/facebook-changes-company-name-meta-rebrand-social-network-name-will-stay-1643605, tanggal 26 Desember 2021, pukul 22.37 WITA.

[9] Sosok Mark percaya pada pengalaman metaverse; suatu kemungkinan yang dibayangkan bisa terjadi di hadapan kita secara lahiriah melalui teknologi virtual dan realitas yang ‘berbiak’ dengan caranya sendiri. Diakses dari https://fortune.com/videos/watch/mark-zuckerberg-explains-the-metaverse/0b5b6e19-9360-4338-a4f3-2e978a896739, tanggal 28 November 2021, pukul 14.07 WITA.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

One thought on “Metaverse: Setelah Dua Hal, Apakah Wujud Virtual Sesuai Wujud Nyata?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like