Manusia pada dasarnya diutus ke muka bumi dengan membawa mandat kosmis. Namun seringkali bukan hanya lupa akan mandat ini, tetapi termasuk tidak memahami realitas yang sedang didiami dan mengitarinya. Apalagi di tengah kehidupan—meminjam istilah dan tesis Yasraf Amir Piliang—“dunia yang dilipat”, dan “dunia yang berlari”.
Pemahaman akan realitas yang didiami dan mengitari adalah modal utama agar manusia secara ontologis bukan hanya hidup secara vegetatif dan animalia. Diharapkan hidup sebagai insan yang secara epistemologis menyadari realitas dan memahami berbagai entitas yang ada di dalamnya. Dan secara aksiologis mampu memberikan kemanfaatan atau sesuatu yang bermakna.
Realitas hari ini di tengah arus globalisasi yang bukan hanya secara teoritik tetapi globalisasi dalam praksis, telah membuat apa saja mengalami borderless (tanpa batas). Entitas dan identitas personal maupun kolektif telah kehilangan batas-batas. Hal ini menyebabkan realitas semakin sulit dipahami selain daripada itu manusia telah menjadi—ibarat planet—sebagai pusat orbit berbagai informasi, narasi dan diskursus yang mengitarinya. Inilah yang secara semiotik, bahwa manusia telah mengalami transformasi dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia.
Bagi yang pernah membaca/mendengar cerita semiotik, tentang pangeran kecil yang diculik oleh nenek sihir, betapa mirisnya, karena pesan “penderitaan”, justru yang tertangkap dan sampai dalam pengetahuan manusia adalah sesuatu yang indah, merdu dan menyenangkan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam kehidupan ini seringkali tidak bebas nilai, bahkan titah ilahi pun yang awalnya sesuatu yang transenden ketika mengalami proses historisasi, melewati dimensi profan akan mengalami hal yang sama: penafsirannya pun tidak luput dari pemahaman yang tidak bebas nilai. Dari sinilah, sehingga Haidar Bagir membuat sejenis klasifikasi, “Islam Tuhan Islam Manusia”. Dan tidak sedikit mengalami proses hegemonisasi sehingga diarahkan kepada penafsiran tunggal untuk memenuhi tujuan ideologis pemilik dominasi. Di sini bisa memicu lahirnya—salah satunya—kesadaran palsu.
Dari kompleksitas realitas yang diuraikan di atas, maka kesadaran memiliki ruang urgensi. Kesadaran bukan sesuatu yang tunggal baik dari jenisnya maupun pengetahuan dan pandangan hidup atau paradigma yang mendasarinya. Kesadaran sebagai sebuah mekanisme psikis bukan hanya sekedar mengetahui, tetapi memahami. Meskipun demikian, bukan sesuatu yang muncul begitu saja, tetapi membutuhkan proses filosofis atau pun ideologis. Saya menyebut sebagai sebuah proses filosofis karena minimal butuh pemahaman mendalam, dan proses ideologis karena bisa saja dipengaruhi atau bahkan ada aparatus ideologis tertentu yang sengaja mengkonstruksi untuk langgengnya suatu hegemoni.
Dari Paulo Freire yang diteruskan oleh Mansour Fakih, saya pertama kali mengenal jenis-jenis kesadaran, serta implikasi dan dampak implementasinya. Awalnya saya menyadari ada tiga jenis kesadaran: Pertama, kesadaran magis; Kedua, kesadaran naif; dan ketiga, kesadaran kritis. Dan untuk dalam tulisan ini, saya tambahkan satu jenis kesadaran yaitu kesadaran progresif.
Dalam buku Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (2001), Mansour Fakih, dkk. mengurai secara terminologis, filosofis dan ideologis tiga jenis kesadaran tersebut di atas. Berbicara tiga jenis kesadaran di atas, saya teringat sebuah masa, dimana kami mencelupkan diri dalam sebuah pergulatan dan pergumulan aktivisme di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (pada saat itu bernama Ikatan Remaja Muhammadiyah). Diskusi filosofis tiga kesadaran di atas sangat mewarnai kami. Dan jujur saja, bahkan judul tulisan ini, saya pun terinspirasi dari satu alinea yang termaktub dalam “Blue Print Materi Muktamar XXII IPM” yang baru saja terlaksana.
Kesadaran magis, yakni suatu kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Contoh tegas disampaikan oleh Mansour Fakih, dkk. bagi masyarakat miskin yang memiliki kesadaran ini, tidak akan mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
Dalam pandangan saya, kesadaran ini lahir bisa saja disebabkan—jika saya hubungkan dengan diskursus pemikiran Islam—teologi tradisional. Teologi tradisional sebagai suatu yang mempengaruhi cara pandangan/pandangan dunianya termasuk dalam melihat diri dan hubungannya dengan Tuhan dan realitasnya, sehingga dalam menjalani hidupnya fatalis. Dan jika kesadaran ini dipicu oleh proses pendidikan, oleh Freirean pun menyebutnya “pendidikan fatalistik”.
Kesadaran naif, adalah jenis kesadaran yang dikategorikan lebih melihat “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah baik yang dirasakan secara personal maupun secara kolektif oleh masyarakat tertentu. Jadi jika ada masyarakat yang miskin, maka serta merta akan disimpulkan penyebabnya oleh masyarakat itu sendiri, seperti malas.
Dalam jenis kesadaran kedua ini, tidak mampu melihat realitas yang lebih luas dari diri dan masyarakatnya. Sebuah kehadiran sistem sosial kurang dipahami, padahal sebagaimana tesis Samuel P. Huntington, terjadi Clash of Civilizations (benturan peradaban). Dan sesungguhnya yang dimaksud ini adalah perebutan pengaruh dari sistem sosial yang ada berskala kolosal.
Kesadaran kritis, adalah jenis kesadaran yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai penyebab kemajuan maupun problematika sosial yang ada. Freire yang dilanjutkan oleh Mansour sangat mendorong jenis kesadaran ketiga ini untuk dimiliki, dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan. Bahkan dalam tilikan filosofisnya yang diorientasikan dalam lingkup pendidikan, menjadi modal penting untuk membebaskan pendidikan yang selama ini, dinilainya terjadi proses “dehumanisasi”. Kesadaran kritislah modal utama untuk melakukan sebuah proses “humanisasi”.
Dalam sebuah forum-forum perkaderan maupun LDK OSIS, saya sering kali menerjemahkan secara sederhana mengenai kesadaran kritis adalah sebuah kesadaran yang di dalamnya, terdiri dua hal urgen yakni: simpati dan empati. Untuk lebih dipahami saya bingkai dalam sebuah cerita “tentang seorang anak kecil yang menangis karena ditinggalkan oleh ibunya yang sedang ke pasar”. Melihat kondisi anak ini, bisa jadi muncul dua reaksi psikis simpati atau bisa saja termasuk empati.
Bagi yang simpati, tentunya dia hanya sekedar membenarkan secara teoritik bahwa “pantas” saja anak itu menangis, karena ditinggal pergi oleh ibunya”. Sedangkan bagi yang empati bukan hanya memahami secara teoritik tentang kondisi anak tersebut, tetapi segera melakukan langkah solutif agar anak itu berhenti menangis.
Kesadaran kritis mengsyaratkan dua tindakan ini, bukan hanya sekedar simpati tetapi dari simpati (memahami realitas yang terjadi, termasuk penyebabnya) untuk selanjutnya melakukan langkah empati (melakukan sebuah tindakan nyata) berdasarkan pemahaman realitas sebelumnya.
Ternyata berdasakan pemahaman filosofis—untuk tidak menyebut tafsir progresif—para kader dan pimpinan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), memahami bahwa tidak cukup hanya dengan kesadaran kritis, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut analisis nahi munkar tetapi dibutuhkan sebuah kesadaran progresif (berkemajuan). Hal ini terinspirasi dari makna derivatif Kuntowijoyo dari QS. Ali Imran/3: 110.
Saya membaca ulang, dengan harapan sebagaimana yang dipahami secara filosofis dan teologis oleh Quraish Shihab, akan melahirkan hal intuitif dan pemaknaan baru. Dan saya semakin memahami dan menyadari bahwa benar, kita bukan hanya membutuhkan kesadaran kritis—apalagi dalam konteks kehidupan hari ini yang penuh kompleksitas dan sebagai sebuah keniscayaan universal dari pergerakan zaman, termasuk yang disimpulkan oleh Yasraf di atas—dibutuhkan sebuah kesadaran progresif. Buku-buku yang saya baca ulang, Pendidikan Popular Mansouf Fakih, dkk, Islam sebagai Ilmu Kuntowijoyo, dan beberapa buku lainnya.
Dari QS. Ali Imran di atas, Kuntowijoyo memberikan makna derivatif —sebagai pilar utama dari paradigma Ilmu Sosial Profetik (ISP)-nya—amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tu’minuna billah (transendensi). Dari pemahaman derivatif Kuntowijoyo ini, ternyata ditemukan sejenis formulasi pemahaman baru. Di dalam QS Ali Imran ini mengandung dua kesadaran sekaligus yaitu kesadaran kritis dan kesadaran progresif. Kesadaran kritis disejajarkan dari nahi munkar (liberasi) dan kesadaran progresif adalah elaborasi amar ma’ruf (humanisasi) dan tu’minuna billah (transendensi).
Hanya dari derivatif lanjutan setelah Kuntowijoyo atau formulasi pemaknaan baru yang saya maksud, akan semakin dipahami apabila dielaborasi dengan konsepsi Appreciative Inquiry dan termasuk teologi Al-Ashr. Artinya dari kedua ini kita akan menemukan pemantik pemahaman secara mendalam.
Kesadaran kritis di tengah kompleksitas kehidupan memang tidak cukup sebagai basis dan spirit untuk memahami realitas dan melakukan perubahan. Tidak bisa dipungkiri, jika berangkat dari pemahaman prinsip apresiatif sebagai determinasi dari Appreciative Inquiry, kita akan senantiasa diperhadapkan dengan suatu masalah atau problem oriented. Dan jika dikaji secara mendalam dengan mekanisme psikologis (mekanisme kerja pikiran dan alam bawah sadar) seringkali hanya menguras energi dan kembali bermuara pada sebuah problem baru.
Selain daripada itu realitas kehidupan hari ini, yang cukup kompleks, majemuk yang tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi sesuatu yang tunggal, tetapi yang dibutuhkan adalah sebuah integrasi-interkoneksi antara yang satu dengan yang lainnya, termasuk sebuah sintesis dari berbagai sistem sosial yang saling berbenturan. Tidak bisa lagi dipaksakan, termasuk dalam konteks kehidupan Indonesia, untuk mewujudkan satu sistem sosial yang tunggal atau memaksakan sebuah antitesis dari Pancasila (Pancasila dipahami sebagai perasan dari genius nusantara, pemahaman sistem sosial yang beragam).
Dari kesadaran ini, maka dibutuhkan satu bentuk kesadaran baru yaitu kesadaran progresif. Sebuah kesadaran yang meniscayakan akan kemajemukan realitas yang beragam. Kesadaran yang memahami betul bahwa perubahan terus hadir dan abadi. Di dunia ini hanya perubahan yang abadi. Kesadaran akan pemahaman bahwa memahami realitas kehidupan hari ini tidak cukup dengan hanya menggunakan satu pendekatan disiplin ilmu tertentu. Bahkan pendekatan agama dan Agama Islam an sich sekalipun tidak cukup. Dibutuhkan sebuah—jika meminjam istilah M. Amin Abdullah—integrasi-interkoneksi atau sebuah pendekatan “multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin.
Dunia hari ini, dan pendekatan yang ditempuh tidak lagi secara dikotomis, apalagi jika kita sebagai umat Islam—lalu mempertegas sebagai anti Barat/Peradaban Barat—bukanlah sikap yang tepat. Intinya dunia hari ini penuh dengan kompleksitas dan untuk memahaminya juga dibutuhkan sebuah komplesitas.
Dari hal tersebut maka kesadaran progresif menemukan ruang urgensi dan garis relevansinya. Bila mencermati pilar ilmu sosial profetik Kuntowijoyo yang merupakan derivasi dari QS. Ali Imran/3: 110 khususnya amar ma’ruf (humanisasi) dan tu’minuna billah (transendensi), maka dua hal inilah yang merupakan basis filosofis dan teologis dari kesadaran progresif tersebut.
Dan jika menggunakan pisau analisis dari Appreciative Inquiry yang mengedepankan prinsip apresiatif sebagai antitesa dari prinsip defisit (problem solving) atau analisis nahi munkar tersebut, —QS Ali Imran/3: 110 ini menegaskan tentang energi postif dan berkemajuan.
Energi positif dan berkemajuan itu dalam paradigma Appreciative Inquiry mengandung sebuah energi fusi yang tentunya akan menghasilkan energi yang dahsyat. Selain itu jika mengikuti hukum heliotropic maka tentunya manusia yang fokus pada energi positif dan berkemajuan justru akan semakin mengalami perkembangan ke arah yang lebih positif dan maju, begitu pun organisasi (sebagai wadah kolektifitas manusia) mengalami hal yang sama. Hukum heliotropic bukan hanya berlaku bagi tumbuhan.
Selain daripada itu, integrasi-interkoneksi, ataupun interdisiplin, multidisiplin dan transdisiplin sebagai sebuah prasyarat memahami kompleksitas kehidupan termasuk sebagai modal untuk melahirkan perubahan-perubahan, hanya bisa dilakukan jika mengikuti prinsip dan paradigma Appreciative Inquiry. Artinya, dari awal berbagai disiplin ilmu, pemikiran, peradaban harus fokus melihat dari sisi positifnya daripada sisi negatifnya (yang selama ini menjadi mentalitas).
Seperti peradaban Barat, mengikuti model kesadaran progresif ini, maka tidak lagi difokuskan pada sesuatu yang bersifat negative darinya, tetapi melihat hal positif yang ada di dalamnya untuk dielaborasi dengan genius nusantara, kearifan lokal bahkan dengan khazanah keislaman untuk melahirkan sintesis baru yang lebih relevan dengan kehidupan hari ini.
Bukankah—kita selaku umat beragama Islam—telah memiliki kesadaran bersama bahwa misi utama Islam adalah rahmatan lil alamin. Bukankah Islam juga telah melakukan dialog dengan peradaban lain, sehingga Islam mengalami kejayaan dan berhasil menaklukkan dua imperium besar di kala itu. Dan bukankah hasil dialog lintas peradaban itulah sehingga Islam mampu menyelamatkan Eropa pada saat itu dari era kegelapan.
Saya menyadari betul bahwa dalam tulisan ini, masih banyak hal yang harus diurai lebih dalam dan diintegrasikan dengan berbagai konsepsi lain, namun saya pun harus menyadari bahwa tulisan ini hanya saya niatkan untuk diterbitkan media online yang mengsyaratkan batasan panjang tulisan. Namun di lain waktu atau melalui media offline lainnya mungkin bisa saja diulas lebih dalam lagi.
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023
Luar biasa tulisannya bang Agusliadi
Alhamdulillah, terima kasih. meskipun demikian saya tetap berharap ada saran saran konstruktif demi perbaikan dan pendalaman tulisan tulisan berikutnya.