St. Sunardi dalam buku “Vodka dan Birahi seorang ‘Nabi’’ menguraikan lewat musik diharapkan kita bisa merasakan “a sense of continuity within a stream of consciousness”.
Musik menjadi bagian dari kesadaran dan identitas suatu masyarakat, secara antik musik dianggap sebagai dari sarana berkomunikasi dengan Yang Ilahi. Posisi musik bukan sekedar memberi hiburan, namun yang lebih dalam musik memberi penghidupan bagi rohani manusia.
Musik memiliki posisi sentral dalam masyarakat kehadirannya lewat paduan apik antara irama dan kata telah mengalir deras dalam samudra batin yang memberi keluasan. Musik bukan sekedar menghibur guna melupakan tekanan kerja dan tuntutan keluarga. Tetapi, yang lebih mendalam musik menghidupkan batin.
Fungsi musik yang paling esensial menciptakan ruang dalam hidup yang berkesadaran, musik bukan pelarian melainkan pelancongan jiwa ke dalam hidup yang maha luas. Sehingga musik memiliki cita rasa membangkitkan baik secara materi maupun non-materi.
Bagi masyarakat musik menjadi media bercakap ibarat “wahyu” untuk memaknai dan memahami hidup. Kedalaman makna musik akan terlihat dalam lagu-lagu yang esensinya adalah religi. Karena itu, irama lagu dan semesta kata yang teramat mendalam dapat dijumpai dalam musik-musik khas setiap masyarakat.
Musik paket komplit bukan sekedar irama dan bunyi, tapi di sana ada keselaran, keseimbangan dan kedamaian. Telah banyak bukti musik dengan suhuhan lagu menjadi alat transformasi kehidupan, setidaknya itu dapat dijumpai dalam setiap lagu-lagu kebangsaan. Lagu telah mengalirkan harapan yang lebih berkeadilan dan berkeadaban.
Apakah ada transformasi besar dalam suatu masyarakat tanpa lagu? Masa perjuangan bangsa Indonesia banyak dihidupkan semangat juangnya dengan lagu-lagu yang membangkitkan. Renungkan kedalaman lagu-lagu perjuangan di masa lalu, maka di sana akan memberikan transformasi dalam kehidupan. Lalu, kenapa hari ini lagu kehilangan daya transformasinya?
Hari ini ada banyak lagu yang diproduksi, tapi nuansa keselarasan, keseimbangan dan kedamaian telah tercerabut dari daya pikat estetiknya. Lagu banyak memilih jalan kompas dengan mengelaborasi nuansa “vulgar” demi melayani kerendahan erotis khas pasaran. Lagu kehilangan daya tuntun dan ikut terseret dengan tuntutan selera pasar. Tapi, tidak semua lagu demikian hanya sedikit yang memilih jalan hikmad itu dengan dimasukkan ke dalam genre lagu religi.
Tetapi, yang patut dipertanyakan bukankah semua lagu itu mengandung religi? Sehingga pemilahan-pemilahan demikian hanya akan mengecilkan musik dan lagu. Padahal musik dan lagu esensinya religi. Memaknai religi bukan sekedar agama atau aliran kepercayaan, melainkan religi yang dimaksud adalah fungsi yang menghidupkan dan membangkitkan jiwa. Bukankah para pembawa agama juga menyampaikan demikian.
Lagu hari ini tidak lagi mengalami one and same, seiring dan serupa dalam melayani kehidupan. Kehidupan modern bukan sekedar membawa lagu dan musik jauh dari kehidupan hingga hanya sibuk melayani komersialisasi. Yang lebih mengecilkan fungsi lagu dengan memasukkan dalam label-label genre. Padahal esensi musik dan lagu bukan sekedar itu, melainkan lagu menjadi bagian dari religi.
Kalau lagu hari ini kehilangan estetik-nya itu, disebabkan karena lagu kehilangan religiusitasnya atau kedalamannya dalam memberikan pelayanan bagi kehidupan. Dunia modern juga menyuguhkan keanehan dengan kemunculan otoritas keagamaan tertentu yang menolak musik dan lagu.
Lagu bagian dari religi itu sendiri, sehingga memisahkan lagu dan religi akan membuat kehilangan satu bagian dari religi. Karena, itu kesempurnaan religi menjadi satu kepaduan dengan lagu.
Selamat menikmati lagu
Semoga iman dan imun tetap terjaga
Petani Muda Merdeka Sanjai
Mungkin menurut saya diksi yang tepat adalah spiritual (spirit), bukan religi.