Dewasa: Beban atau Kesempatan?4 min read

Dalam sebuah komunitas yang berisi berbagai macam manusia. Orang dewasa merupakan salah satu roda penggerak atau tonggak penegak yang menjadi inti dari komunitas tersebut. Dengan adanya mereka sebuah komunitas dapat tetap berjalan dengan stabil dan juga dinamis. Stabil dalam artian teratur, dan dinamis dalam artian progesif.

Kehadiran orang dewasa memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan suatu komunitas. Alasannya adalah, kebanyakan dari pelaku ekonomi merupakan orang dewasa, dan kebanyakan dari profesional ataupun tenaga ahli juga merupakan orang dewasa.

Dan hal ini cukup membuktikan bahwa kehadiran orang dewasa memiliki pengaruh besar dalam masyarakat.

Deskripsi di atas terkesan menjadikan eksistensi orang dewasa sebagai manusia penuh tanggung jawab dan juga individu yang memiliki banyak kewajiban. Namun apakah kenyataannya seperti itu?

Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya apabila kita mengerti terlebih dahulu mengenai eksistensi yang disebut sebagai ‘manusia dewasa’.

Jadi apakah dewasa itu?

Dewasa adalah orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita seutuhnya. Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tetapi lazimnya merujuk pada manusia.[1] Kematangan disini memiliki arti bahwasanya organisme tersebut telah sepenuhnya siap untuk menjalani kehidupan, dapat beradaptasi dan menunjukan kemampuannya kepada khalayak umum.

Ciri utama dari kedewasaan adalah terlepasnya seorang individu pada ketergantungan atas keluarganya. Yang berarti ia telah menjadi mandiri, dan dapat hidup secara utuh (dalam artian materialistis ataupun psikis) tanpa selalu meminta bantuan kepada mereka yang sedarah dengannya. Terkhusus orang tua.

Bagi beberapa orang, fase dewasa adalah fase yang menakutkan. Karena di dalamnya ia tidak dapat lagi merasakan kehidupan seperti sebelumnya (fase anak-anak ataupun remaja), tidak dapat lagi bersenang-senang, ataupun meminta bantuan dan bergantung kepada individu lainnya. Hal ini seringkali disampaikan oleh pemuda-pemudi yang merasa belum siap dan enggan untuk menjadi dewasa.

Pertanyaannya adalah mengapa hal itu terjadi? Dan apakah kenyataannya seperti itu?

Pada realitanya manusia dewasa masih dapat untuk bersenang-senang, menikmati kehidupan ataupun bergantung kepada keluarganya. Hanya saja itu tidak memiliki bentuk seperti dahulu. Dimana senang-senang identik dengan permainan ataupun hal-hal yang kurang memiliki faedah, menikmati hidup hanya untuk merasakan hak-hak semata, ataupun bergantung kepada orang tua hanya dengan satu arah saja.

Ketakutan untuk menjadi dewasa adalah sebuah fenomena yang terjadi akibat kesalahan informasi dan juga persepsi. Bagi orang-orang tersebut, fase dewasa merupakan fase paling membebankan dalam kehidupan, penuh kewajiban, minim pleasure, dan juga hal-hal negatif lainnya. Padahal kenyataannya tidak semenakutkan itu.

Fenomena ketakutan ini tidak sepenuhnya salah ataupun keliru. Karena bagaimanapun juga, untuk seorang remaja dapat berevolusi menjadi manusia dewasa diperlukan sebuah konflik yang dinamakan dengan quarter life crisis, atau krisis seperempat kehidupan.

Krisis ini dapat dianalogikan sebagai ujian masuk atau gerbang pertama dari kedewasaan, yang dengan menyelasaikannya manusia dapat tumbuh menjadi lebih matang atau menjadi dewasa. Krisis-krisis di dalamnya memiliki bentuk yang bermacam-macam, seperti halnya krisis identitas, bakat-minat, idealisme-realitas dan juga hal-hal lainnya.

Dan dari semua hal itu point utama yang akan didapatkan setelah melewatinya adalah, terbentuk sebuah kepribadian yang lebih adaptif dan cocok dengan kehidupan individu tersebut.

Menjadi dewasa tidak semenakutkan seperti bayangan atau imajinasi para remaja pada umumnya. Dalam kedewasaan seseorang diberikan kesempatan untuk ‘menjadi’. Dan kesempatan itu hanya muncul jika individu tersebut telah memilih untuk berevolusi.

Proses aktualisasi diri dalam hierarki kebutuhan maslow memerlukan tahapan-tahapan yang panjang untuk merealisasikannya. Di saat yang sama kedewasaaanpun demikian. Jika pada fase pertumbuhan sebelumnya manusia telah memenuhi hierarki kebutuhannya, seperti kebutuhan biologis (makan minum), rasa aman, kasih sayang, dan pengakuan. Maka ia akan dapat mengaktualisasikan dirinya dalam fase ini.

Menurut maslow (muda) aktualisasi diri adalah tahapan puncak yang dituju oleh manusia. Karena dengannya manusia dapat menjadi entitas secara utuh. Baik dalam kognitif (pikiran), afektif (perasaan), ataupun somatis (tubuh).

Disebutkan dalam beberapa literatur bahwa fase keemasan manusia adalah fase dewasa awal. Mengapa demikian? Karena seperti yang tertulis di atas bahwasanya menjadi dewasa berarti menjadi utuh atau lengkap. Dan menjadi lengkap berarti menjadi optimal dalam setiap hal.

Dewasa adalah kesempatan yang diberikan oleh kehidupan kepada manusia. Kesempatan untuk menjadi manusia, kesempatan untuk berterimakasih kepada alam ataupun masyarakat, dan juga kesempatan untuk bertahan hidup serta membuktikan dirinya kepada orang lain maupun dirinya sendiri.

Quarter life crisis memang tidak bisa dianggap remeh, karena bagaimanapun juga ia tetaplah sebuah krisis. Keadaan yang berbahaya, genting, ataupun menentukan. Akan menjadi tidak heran apabila banyak dari mereka yang menghadapinya, jatuh pada kondisi depresi.

Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa manusia yang dapat menjalani kehidupan selama bertahun-tahun, memiliki arti bahwasanya ia juga bisa hidup di tahun-tahun berikutnya. Krisis tetaplah berbahaya, hanya saja krisis bukanlah sebuah akhir ataupun vonis final terhadap kehidupan seorang individu. Jadi apakah dewasa itu? Apakah sebuah beban atau kesempatan?


[1] Yudrik Cahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), hlm. 245.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like