Konsumerisme; Analisis Manipulasi Tanda Jean Baudrillard4 min read

Bagi masyarakat modern, mengikuti trend kekinian seringkali menjadi keharusan untuk menunjukkan dirinya sebagai entitas yang diakui dan tidak tertinggal. Kenyataan ini ternyata memberi pengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat, utamanya masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan memiliki prilaku konsumsi berbeda dengan masyarakat desa. Faktor pembeda prilaku konsumsi antara keduanya sangat dipengaruhi oleh faktor pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang, biasanya berbanding lurus dengan tingkat konsumsi.  

Prilaku konsumtif pun telah mengalami pergeseran, konsumsi tidak lagi hanya sebatas untuk kebutuhan fungsi esensial suatu benda, lebih dari itu rasa keingintahuan, gengsi sosial, dorongan orang lain atau bahkan iklan menjadi alasan pertama. Dampak paling nyata, masyarakat hari ini didikte oleh barang.  

Fenomena baru-baru ini perusahaan retail makanan cepat saji McDonald menjadi perhatian publik. Pasalnya, setelah berkolaborasi dengan boy band BTS dari Korea Selatan merilis produk terbaru BTS Meal yang terdiri dari ayam nugget, minuman coca cola, kentang goreng dengan saus andalan cajun dan sweet chilli, membuat penjualannya laku keras berbuntut antrean panjang.

Hal ini tentu saja menarik perhatian para Army (sebutan untuk penggemar BTS) untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap sosok yang diidolakan. Membeli BTS Meal adalah bentuk lain dari mencintai Kim Namjoon, Kim Soekjin, Min Yoongi, Jung Hoseok, Park Jimin, Kim Taehyung dan Jeon Jungkook. Tidak berhenti disitu, bungkus Mcd Meal yang berwarna ungu itu tak luput dari sasaran penggemarnya hingga salah satu market place menjualnya mulai Rp. 70.000 sampai Rp.100.000. 

Pertanyaan yang muncul, mengapa model prilaku kunsumtif seperti ini bisa terjadi?

Manipulasi Tanda dan Histeria Konsumsi

Seorang tokoh sosiologi sekaligus filsuf aliran postmodern asal Prancis, Jean Baudrillard menjabarkan bahwa Model konsumsi masyarakat abad ke-19 yang bercorak mode of production berbeda jauh dengan masyarakat abad ke-20 dengan kecendrungan mode of consumtion. Konsumsi masyarakat kontemporer dilatar belakangi oleh kebutuhan akan simbol dan tanda.

Tanda dianggap sebagai realitas itu sendiri. manipulasi tanda merupakan hubungan konsumen dengan dunia nyata bukan karena kebutuhan, tetapi karena hasrat keingintahuan dan hasrat untuk memiliki. Baudrillard menyebut simulasi sebagai proses representasi atas objek yang justru kemudian menggantikan objek itu sendiri. Akibatnya, reprentasi menjadi lebih penting dibanding objek aslinya.

Dari konsumsi-konsumsi terhadap simbol dan tanda, masyarakat seakan menemukan sebuah nilai, makna dan eksistensi diri yang sebenarnya. Padahal, pengalaman-pengalaman tersebut semata-mata hanyalah sebuah manipulasi imajiner yang sengaja dibuat oleh para penjual untuk meningkatkan daya beli terhadap produk mereka. Selu Margaretha (2001) menjelaskan, pemalsuan akan tanda adalah refleksi atas realitas yang mendasarinya. Pemalsuan yang terjadi memberikan kontrol pada masyarakat. Kenyataan diganti dengan simulasi kenyataan, diwakili oleh simbol dan tanda.

Apalagi akses informasi yang semakin gampang menambah proses manipulasi tanda dengan mudah membentuk mainstream konsumsi masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat tidak dapat menolak tawaran iklan apabila ingin diakui sebagai bagian dari kelompok atau kelas sosial tertentu. Baudrillard menyatakan bahwa dalam simulasi tidak ada perbedaan antara realitas dengan tanda itu sendiri. simulasi yang dibuat dianggap sama dengan realitasnya, bahkan pada bagian tertentu simbol dan tanda lebih penting.  

Apa yang terjadi pada konsumen BTS Meal sama persis dengan penjelasan Baudrillard. Mereka seolah-olah mendapat legalitas sebagai fanbase sejati BTS setelah membelinya. Logika konsumsi beranjak dari kepemilikan individu beralih menjadi kepemilikan sosial, ini sebuah fenomana yang benar-benar nyata pada masyarakat kita, terutama masyarakat perkotaan. Memang tidak dapat dipungkiri jika fenomena ini bisa terjadi pada semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali, tetapi masyarakat perkotaan memiliki kecendrungan lebih besar.

Kita bisa melihatnya tidak hanya sebatas pada fenomena BTS Meal, contoh lain pada kasus barang-barang tertentu semisal tas jinjing wanita merk Hermes dengan harga ratusan juta, sepeda Brompton, atau yang lebih unlogik batu bata merk Supreme seharga Rp. 1,5 juta. Mereka dengan bangga dan rela merogoh kocek tinggi hanya untuk membeli sebuah barang yang sebenarnya bukan karena kebutuhan akan fungsi esensial suatu benda. Histeria konsumsi tidak lagi dapat dibendung. Muncullah sebuah adagium, “aku konsumsi, maka aku ada”.

Sekarang, bagaimana caranya agar tidak terjebak pada jerat konsumerisme? Saya tidak pandai memberi solusi dan nasehat-nasehat mengagumkan layaknya seorang bijak bestari. Hanya saja sebagai al-hayawanun nathiq dalam penyebutan Al-Ghazali saat mendefiniskan manusia, mengeja dan melakukan refleksi terhadap segala tindakan yang dilakukan termasuk prilaku konsumsi bisa dijadikan usaha alternatif membangun tanggul pencegah konsumerisme. Sejarah tidak pernah mencatat terdapat kawanan sapi, kambing atau binatang lain yang membanggakan batu bata merk Supreme, tas Hermes, sepeda Bromptom dan memburu BTS Meal kecuali manusia. Jika manusia mampu mengambil jeda untuk mendalami kedalaman dirinya, dorongan kunsumerisme mungkin bisa direda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like