Tante saya baru saja melahirkan seorang bayi perempuan, lahir normal, pipinya menggemaskan dan membuat saya tak kuasa untuk menciumnya berulang-berulang. Terlepas dari kebahagiaan keluarga kami, saya lalu berpikir aneh, “mungkinkah sebuah pernikahan akan bahagia tanpa kehadiran seorang anak?”
Pertanyaan itu hadir bukan dari ruang hampa, muncul atas penglihatan saya terhadap berbagai persoalan di lingkungan sekitar ihwal pernikahan: pertengkaran sebab suami kurang memberikan uang belanja, anak minta dilunasi uang pangkal kuliah, tagihan kredit motor belum kelar, dst. Setiap pasangan yang menikah tentu menginginkan kebahagiaan sebagai cita-cita pertama.
“Kebanyakan orang bilang hidup belum sempurna kalau belum punya anak; perempuan belum sempurna kalau belum melahirkan. Tapi saya tahu, hidup saya sudah sempurna tanpa harus ada tambahan suami ataupun anak” itulah sepenggal ucapan Victoria Tunggono dalam buku “Childfree and happy”. Buku itu menceritakan pengalaman Victoria sendiri yang memantapkan dirinya sebagai perempuan childfree (Victoria Tunggono, 2021).
Memang, memilih untuk tidak memiliki anak merupakan keputusan yang cukup dianggap tabu bagi pasangan suami istri pada umumnya. Adagium “banyak anak banyak rezeki” masih sering kita dengar, bahkan bagi beberapa orang layaknya rukun iman ketujuh. Saya rasa mengamalkan adagium tersebut haruslah dengan perhitungan panjang kali lebar, bukan sekedar mengamini saja tanpa hitung-hitungan yang matang.
Setelah menimbang, pikir saya adagium yang tepat bukan “banyak anak banyak rezeki” tetapi “banyak anak harus banyak mencari rezeki”. Memiliki seorang anak juga harus diimbangi dengan kesiapan menerima konsekuensinya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana nasib bayi yang dilahirkan tidak dengan kalkulasi yang tepat. Setiap bayi manusia lahir ke dunia berbeda dari kucing, bayi lahir dengan espektasi orang tuanya, masyarakatnya, bahkan ekspektasi negara!
Ada beberapa faktor yang wajib diperhatikan untuk mengamalkan adagium “banyak anak banyak rezeki” atau bahkan memilih childfree (bebas anak), yaitu: Pertama keadaan fisik. Jika keadaan fisik kita atau pasangan kita memiliki penyakit sehingga hadirnya anak akan menambah keterpurukan, lebih-lebih menularkan penyakit tersebut pada si anak. Maka mengambil keputusan tidak boleh sembarangan.
Kedua, faktor psikologis. Jangan sekali-kali menganggap kesiapan psikologis sebagai persoalan enteng. Suami-istri dengan kematangan mental yang belum prima menjadi orang tua, akan menjadi petaka bagi seorang anak. Kesiapan mental mempengaruhi perilaku orang tua. Ingat, jangan sampai anak menjadi korban.
Ketiga, kondisi ekonomi. Nah, kondisi eknomi yang rendah seringkali kita dengar menjadi pemantik bara perpecahan rumah tangga. Kehadiran seorang anak niscaya akan menambah pemenuhan kebutuhan keluarga, mulai dari kebutuhan biologis (makan-minum), kesehatan, hingga pendidikan anak dan tentu semuanya membutuhkan uang. Betapa banyak anak-anak terpaksa putus sekolah, terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Jangan harap kualitas SDM meningkat bila pendidikan tidak tuntas.
Ketiga faktor di atas sudah cukup menjadi bahan pertimbangan memilih keputusan yang tepat. Sekarang, bagaimana Islam melihat polemik ini? Membincang childfree apalagi seputar konteks Indonesia tidak boleh menafikan sudut pandang agama, wabil khusus Islam sebagai mayoritas.
Dalam majelis-majelis taklim kita tidak asing mendengar hadis nabi yang disampaikan oleh para ustadz “apabila telah wafat manusia, maka terputuslah keseluruhan amalnya melainkan tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya” (HR. Muslim).
Dari hadis tersebut secara gamblang dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang anak menjadi tabungan bagi orang tua di hari kemudian. Sejajar dengan sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat, memberi pahala tiada berkesudahan. Anak merupakan investasi besar bagi orang tua hingga ke alam baka.
Perlu digaris bawahi, anak yang dimaksud hanyalah anak yang saleh dan mendoakan orang tuanya, tentu tidak semua anak. Anak yang enggan mendoakan orang tuanya bukan anak saleh, tidak bisa memberi keselamatan bagi orang tuanya kelak.
Islam memang tidak familiar dengan istilah childfree bahkan tidak mengenalnya. Namun Islam mensyaratkan kesiapan lahir batin bagi seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan, artinya terdapat kalimat “tanggung jawab” di dalmnya. Sekiranya belum mampu bertanggung jawab atas konsekuensi pernikahan, termasuk memliki anak, islam tidak mengizinkan pernikahan.
Memiliki anak, mendidknya sebaik mungkin hingga paham agama, lalu berimplikasi pada prilaku berbuat baik bagi segala mahluk Tuhan merupakan kesunahan terhadap setiap muslim. Benar, bahwa Al-Qur’an menyebut anak sebagai hiasan kehidupan “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingin, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali Imran:14).
Al-Qur’an juga menyebut anak sebagai penyejuk mata “Dan orang-orang yang berkata: “wahai tuhan kami anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74).
Tetapi bagi saya, apabila diri sendiri dan pasangan tidak mampu mempunyai anak, mendidiknya mejadi saleh ritual juga sosial, childfree adalah keputusan paling logis untuk diambil. Toh, agama juga mengajarkan “dar’ul mafaasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”, bahwa mencegah kerusakan haruslah didahulukan daripada mengusahakan kebaikan. Memiliki anak yang bisanya hanya berbuat keburukan, menjadi beban bagi sesamanya merupakan sebentuk kerusakan (mafsadah), maka mencegahnya harus didahulukan dibanding berbuat kemaslahatan.
Tuhan juga memberi peringatan kepada hambanya “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS.An-Nisa’: 9).
Bahkan, setelah merenungi lagi kaidah “dar’ul mafaasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”, rasa-rasanya childfree pada situasi tertentu wajib dilakukan. Apalagi melihat fertilitas penduduk negara Indonesia masih cukup tinggi, berbeda dengan Jepang yang angka mortalitas berbanding jauh dengan fertilitas. Indonesia tidak mungkin mengalami keterbatasan penduduk hanya karena satu dua orang dengan perhitungan yang matang memilih hidup tanpa anak.
Pun, “segala sesuatunya tergantung oleh niat” begitu salah satu kredo yang saya ingat waktu ngaji di pesantren. Saya juga tidak setuju terhadap mereka yang memilih childfree hanya ikut trend semata, tanpa alasan logis, apalagi hanya berdalih feminis. Semuanya kembali pada komitmen setiap pasangan. Landasan mempunyai keturunan tidak boleh menafikan kesiapan mental, finansial, fisik, spritual, emosional dan pendidikan. Semua keputusan akan kembali pada diri masing-masing. Tidak elok menuding prilaku orang lain salah dengan memejamkan mata pada seba-akibatnya.