Standup komedian, Fico Fachriza terlihat menangis sesenggukan memeluk kakaknya sambil mengucapkan permintaan maaf. Hal itu terjadi sesaat setelah pihak kepolisian menggelar konferensi pers atas kasus penggunaan narkotika yang dilakukan oleh Fico.
Fico diamankan terkait kepemilikan tembakau sintesiz yang termasuk dalam jenis narkotika golongan I. Dirinya disangkakan pasal 112 ayat (1) subsider pasal 127 ayat 1 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Fico terancam pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.
Tertangkapnya Fico menambah panjang daftar artis yang terjerat kasus narkoba. Seminggu sebelumnya kepolisian lebih dulu menangkap seorang musisi muda, Ardhito Pramono.
Narkotika dewasa kini seringkali menjadi pilihan instan orang-orang untuk mendapatkan kebahagiaan ataupun menghilangkan kecemasan. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus menyebutkan bahwa mengejar kebahagiaan abadi adalah proyek besar umat manusia di abad 21. Manusia brusaha melakukan cara-cara agar mendapatkan kebahagiaan secara kimiawi. Pencarian kebahagiaan kimiawi saat ini menjadi penyebab kejahatan nomor satu di dunia. Di tahun 2009 sebagian besar penghuni penjara di Amerika adalah para pengguna obat bius, 55 % penghuni penjara di Inggris terlibat bisnis jual beli obat bius. Di Indonesia sendiri lapas/rutan sebagian besar dihuni narapidana kasus narkotika.
Pengguna narkotika sesungguhnya merupakan korban. Mereka adalah korban dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Namun pandangan masyarakat dan negara terlanjur menganggap mereka sebagai penjahat yang harus diberi hukuman berat. Tentu pandangan seperti ini harus dikoreksi.
Pengguna narkotika harusnya mendapat perlindungan dari negara. Namun Undang-undang narkotika yang ada saat ini masih menempatkan mereka dalam posisi sebagai penjahat. Sehingga masih banyak pengguna narkotika yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Bahkan dalam proses peradilan mereka diperlakukan layaknya kriminal.
Fico dapat dikategorikan sebagai pengguna. Dimana pengguna narkotika seharusnya wajib diupayakan rehabilitasi. Namun kenyataanya pengguna narkotika lebih banyak yang dijatuhi hukuman penjara. Rehabilitasi adalah hak bagi pengguna narkotika. Hal itu sangat diperlukan agar menghilangkan ketergantungan terhadap obat terlarang. Inilah yang dapat menyelesaikan permasalahan bagi pengguna narkotika, bukan hukuman pidana penjara.
Direktur Eksekutif Institue for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa selama ini pengguna narkotika masih diperlakukan layaknya seorang penjahat. Contohnya saat polisi mengadakan konferensi pers, para pengguna biasanya dipajang untuk dipertontonkan. Menurutnya itu mempermalukan para pengguna yang juga korban dan tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana.
Pengguna narkotika seharusnya tidak dipenjara. Namun kenyataanya penegakan hukum pemberatansan narkoba di Indonesia malah lebih banyak menyasar pada pengguna. Sebagian besar mereka mendapatkan hukuman pidana penjara. Padahal kriminalisasi pengguna narkotika malah menjauhkan mereka dari akses kesehatan dan malah memberikan stigma kepada mereka sebagai seorang kriminal.
Pendekatan pelarangan narkotika sebenarnya dianggap tidak efektif. Nayatanya sejak 1998 PBB mencatat bahwa terjadi kenaikan konsumsi narkotika jenis opiod sebesar 34,5%, Kokaina 27% dan ganja 8,5%. Selama 2009-2018 jumlah pengguna narkotika di dunia mengalami peningkatan yang signifikan, dari 210 juta menjadi 269 juta.
Dampaknya juga terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan yang mengalamai over kapasitas di mana sebagain besar warga binaan berisi narapidana narkotika. Data Ditjen Pemasyarakatan tahun 2021 menunjukan bahwa jumlah seluruh warga binaan pemasyarakatan (WBP) sebanyak 255.435 dengan 139.088 merupakan WBP kasus narkotika
Pendekatan kesehatan terhadap pengguna narkotika harus dikedepankan, bukan penghukuman yang selama ini terbukti tidak efektif. Memberikan rehabilitasi kesehatan adalah langkah yang jauh lebih tepat bagi pengguna narkotika. Rehabilitasi tidak musti berbasis kelembagaan atau di dalam suatu lembaga tertentu. Rehabilitasi bisa diberikan dengan berbasis komunitas dan rawat jalan, seseuai dengan kebutuhan.
Penggunaan pendekatan kesehatan rehabilitasi tentu juga akan memberikan pengaruh terhadap overkapasitas di lapas/rutan. Sehingga bisa melakukan penghematan penggunaan anggaran negara. Hal ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan melakukan revisi UU Narkotika.
Revisi UU Narkotika harapannya akan memberikan perlindungan bagi pengguna narkotika. Tidak ada lagi pengguna narkotika yang diperlakukan layaknya seorang kriminal. Cara paling tepat menangani pengguna narkotika adalah dengan dekriminalisasi. Dekriminalisasi yang dimaksud adalah penghapusan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan. Dalam hal ini adalah terhadap perbuatan penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi. Dekriminalisasi akan menempatkan pengguna narkotika pada persoalan kesehatan.
Tentu harapannya akan memberikan dampak baik terhadap pengendalian penggunaan narkotika di Indonesia. Pengguna narkotika yang mengalami efek adiksi harus disembuhkan, bukan dihilangkan kemerdekaaannya dengan pidana penjara. Dekriminalisasi bisa juga disandingkan dengan sanksi administratif.
Penggunaan pendekatan penghukuman harusnya dikedepankan bagi peredaran gelap narkotika yang terorganisir. Tentu banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk dapat memberantas sampai akar. Kejahatan yang terorganisir pasti melibatkan banyak kepentingan yang mempunyai kekuatan modal.
Saya berharap para pengguna narkotika seperti Fico dan Ardhito mendapatkan penanganan yang tepat. Rehabilitasi bukanlah privilage bagi orang-orang tertentu, namun hak bagi pengguna narkotika. Mereka masih muda dan memiliki banyak prestasi. Sayang mereka kehilangan pegangan yang kuat sehingga terjerat dalam penggunaan narkotika yang hanya memberikan kebahagiaan semu. Mereka adalah korban yang harus kita bantu untuk bangkit dan terlepas dari adiksi narkotika.