Logika Sosial Media dan Gerakan Sosial Digital7 min read

Beberapa dekade ini, perubahan signifikan terjadi di banyak aspek kehidupan. Umumnya ini mengarah pada proses digitalisasi di setiap aspek. Sejak masa pandemi, proses ini semakin masif dan menjadi tidak terelakkan. Untuk itu, abai dan tidak ingin menyesuaikan diri dengan keadaan bukanlah pilihan. Pada titik ini, memahami dunia digital menjadi penting serentak urgen pula.

Salah satu hal yang kemudian mesti juga menyesuaikan pola dan bentuknya adalah laku gerakan sosial. Pada titik ini, dunia digital juga menjadi salah satu ruang gerakan sosial yang sama sekali baru. Ruang digital ini punya banyak sekali platform, sosial media adalah salah satunya. Umumnya, kebanyakan gerakan sosial digital terjadi di sosial media. Dalam konteks ini, sosial media mengubah pola dan sifat gerakan sosial itu sendiri. Victoria Carty , dalam bukunya tentang Social Movements and New Technology (via Kautsar, 2019), menjelaskan bahwa gerakan sosial di sosial media telah menyebabkan gerakan sosial menjadi terdesentralisasi dan tak punya pemimpin pasti (leaderless). Partisipannya juga beragam dan karenanya isunya juga tidak kalah variatifnya. Menurut Victoria, ini muncul karena teknologi muncul sebagai alat memasifkan wacana yang dibawa oleh suatu gerakan sosial. Untuk itu, pentingnya peran subjek di sini sangat signfikan.

Pada titik ini, pandangan bahwa sosial media dan teknologi hanya sekedar alat itu problematis. Christian Fuchs (Fuchs, 2014) dalam bukunya tentang Sosial Media menyatakan bahwa sosial media diciptakan dengan algortitma, fitur, dan fungsi tertentu yang punya logikanya sendiri. Konsekuensinya adalah tidak semua hal bergantung pada pengguna sosial media ini. Ia mempunyai dunianya sendiri.

Untuk itu, sosial media sebaiknya mesti dilihat sebagai suatu dunia yang punya sistem dan logikanya sendiri. Apa-apa yang masuk di dalamnya pasti akan terpengaruh dengan logika ini. Hal yang sama juga terjadi pada gerakan sosial yang masuk ke ruang digital. Perubahan pola dan sifat gerakan sosial tidak datang serta merta dari penggunanya saja. Akan tetapi, mempunyai kait kelindan dengan sistem algoritma sosial media itu sendiri. Tulisan ini akan berusaha mengajukan beberapa tampakan sistem algoritma sosial media yang bisa mempengaruhi gerakan sosial di dunia digital. Penulis sendiri akan menamakan itu sebagai logika internal sosial media itu sendiri.

Menelaah Logika Internal Sosial Media

Menurut Dijck dan Poell (van Dijck and Poell, 2013), sekurang-kurangnya ada tiga logika sosial media yang bisa diperhatikan dengan seksama. Logika tersebut adalah logika programibilitas, popularitas, dan konektivitas. Ketiga logika ini mempunyai signifikansi tersendiri dalam perubahan gerakan sosial dalam dunia digital. Elaborasi lebih lanjut akan dijelaskan dalam beberapa paragraf berikut.

Logika programibilitas adalah logika sosial media yang merujuk pada kemampuan sosial media untuk menjadi ruang yang bisa memancing kreativitas pengguna untuk menyumbangkan konten-konten tertentu ke dalam sosial media(van Dijck and Poell, 2013). Di sini, pengguna kemudian menjalankan peran ganda,yaitu konsumen sekaligus produsen. Bahkan, dalam konteks tertentu, konten dari seorang pengguna bisa mempengaruhi arus informasi di suatu sosial media.

Pada titik ini, konsekuensi logis dari logika ini adalah adanya ruang individual yang  besar untuk berpartisipasi dalam mengonsumsi maupun memproduksi suatu konten berisikan ide, pengetahuan, ataupun budaya tertentu (Lim, 2013). Dalam bahasa yang lebih spesifik, ruang ini kemudian menyatakan satu sifat mendasar dari sosial media itu sendiri, yaitu sifat partisipatorisnya (Jenkins, Henry, 2015). Dengan demikian, logika programibilitas dari sosial media kemudian menjadikan sosial media partispatoris sifatnya. Sifat ini kemudian membuat banyak orang bisa berpartisipasi dalam gerakan sosial digital tertentu.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, logika programibilitas lantas secara sekilas mengajukan ruang demokratis yang cukup besar. Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam, sifat partisipatoris dari sosial media tidak lantas membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan gerakan sosial digital. Buktinya sederhana, tidak  banyak gerakan sosial digital masif yang senantiasa berhasil atau bernafas panjang. Untuk itu, penjelasan lebih lanjut terkait logika sosial media lainnya perlu diajukan. Logika tersebut adalah logika popularitas.

Logika popularitas dalam sosial media sendiri itu merujuk pada sistem algoritma dari suatu sosial media yang menciptakan popularitas suatu konten tertentu. Logika popularitas dan sistem algoritma ini lantas mematahkan asumsi egalitarian dan demokratis dari sosial media itu sendiri (van Dijck and Poell, 2013). Sistem algoritma sosial media kerapkali bukan dirancang untuk memenuhi kepentingan publik, tetapi lebih jauh mengarah pada kepentingan komersiil sosial media, yaitu pendapatan iklan (Rahmawan, Mahameruaji and Janitra, 2020). Untuk itu, konten-konten yang punya signifikansi terhadap perubahan dan gerakan sosial digital tidak lantas bisa menjadi pusat perhatian.

Akan tetapi, ini tidak berarti konten gerakan sosial digital itu sama sekali tidak bisa menjadi pusat perhatian. Studi Merry Lim (2010) menunjukkan bahwa ada dua prasyarat tertentu untuk memungkinkan konten gerakan sosial tertentu menjadi populer atau viral. Hal tersebut adalah simplifikasi narasi dan simbol gerakan.[1] Luasnya jaringan sosial media dan membanjirnya berbagai macam konten mengharuskan pembungkusan narasi dan simbolisasi gerakan mesti ringan sifatnya. Umumnya simplifikasi paling potensial untuk sukses mengarah pada narasi serta simboliasi baik melawan buruk atau hitam versus putih. Secara politis, ini kental dan mengikut pada aras populisme gerakan.

Pada titik ini, keterbatasan dari sosial media itu sendiri terkemuka. Isu yang sifatnya substansial dan butuh pemahaman yang dalam dengan demikian sulit mendapat perhatian  yang banyak. Persoalan yang sifatnya tidak sesederhana hitam versus putih atau persoalan sistemik juga cukup sulit untuk disederhanakan. Potensi reduksi isu selalu membayangi. Karena itu, logika popularitas  dari sosial media dengan demikian menyajikan kemungkinan reduksi isu yang dibawa oleh gerakan sosial.

Lalu, terlepas dari dua logika tadi, satu logika dari sosial media juga perlu diajukan. Logika tersebut adalah logika konektivitas. Logika konektivitas ini mengarah pada sistem algoritma dari sosial media yang menghubungkan pengguna sosial media dengan apa-apa yang pengguna itu sukai, mulai dari ide, relasi, maupun produk tertentu (van Dijck and Poell, 2013). Biasanya ini terlihat dari munculnya rekomendasi konten atau bahkan orang tertentu yang tiba-tiba sesuai dengan sejarah like,pencarian pengguna, atau daftar teman pengguna sosial media.

Ini kemudian menciptakan keterhubungan yang kompleks antara para pengiklan, para pengguna, platform, dan konten yang tersebar di sosial media. Kenyataan semacam ini juga berpengaruh langsung terhadap gerakan sosial dewasa ini. Bennet dan Segerberg (via Dijck and Poell, 2013) misalnya mengatakan bahwa gerakan sosial melalui sosial media telah menciptakan gerakan sosial yang sifatnya ‘konektif’ bukan ‘kolektif’. Pada konteks ini, sifat konektif di sini merujuk pada ketiadaan identitas kolektif dan sifat hirarkis tertentu dari gerakan sosial digital itu sendiri (Kautsar, 2019).

Di sini, setidak-tidaknya, ada tiga poin utama sifat konektif ini, yaitu 1.) individu yang terlibat dalam gerakan cenderung tidak perlu punya komitmen terhadap kelompok tertentu, 2.) partisipasi politik lebih menyerupai ekpresi personal individu dibanding aksi kelompok, dan 3.) dan cenderung inklusif serta menghubungkan banyak sekali segmentasi masyarakat(Nastiti, 2020). Pada titik ini, ketiga hal tersebut bermuara pada sifat gerakan sosial digital yang tidak hirarkis, variatif, dan konektif sifatnya.

Simpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah dilakukan, penulis telah menunjukkan pengaruh yang bisa dihasilkan oleh sistem algoritma sosial media. Sifat dan pola gerakan sosial yang tanpa hirarkis, variatif, reduksi isu, dan cenderung mengambil massa yang banyak tanpa komitmen tertentu itu paling tidak telah dipengaruhi oleh sistem algoritma sosial media. Apakah ini niscaya terjadi dalam setiap gerakan sosial digital yang akan datang nanti? Jawabannya tentu saja tidak. Sistem algoritma sosial media bukanlah faktor tunggal dalam pembentukan sifat dan laku gerakan sosial digital di Indonesia.

Kondisi ekonomi politik dan historis masyarakat pengguna sosial media juga penting untuk dijadikan satu variabel tersendiri. Dalam konteks Indonesia, mayoritas pengguna sosial media di sini adalah kelas menengah (Jati, 2020). Dari tampakan yang paling permukaan, kelas menengah di Indonesia cenderung menggunakan sosial media dengan orientasi pada kesenangan dan mengisi waktu senggang semata (Jati, 2020). Ini lantas bisa mempengaruhi cara mereka menyikapi isu politk di dunia digital. Di masa pasca-reformasi, sikap politik kelas menengah masih labil pada posisi independen atau dependen terhadap negara (Jati, 2015). Pada posisi ini, masyarakat kelas menengah mampu menampilkan sikap kritis dan rasional, tetapi di posisi lain masih ingin menikmati segala bentuk status quo maupun bentuk keistimewaan ekonomi politik yang diberikan oleh rezim.

Dominasi pengguna sosial media dari keas menengah ini misalnya bisa berpengaruh terhadap ketahanan suatu gerakan sosial digital dan juga pemahaman terhadap isu-isu tertentu yang muncul dalam jagad sosial media. Untuk itu, riset lebih lanjut bisa diajukan terkait ini. Sekian.


Referensi

van Dijck, J. and Poell, T. (2013) “Understanding social media logic,” Media and Communication, 1(1), pp. 2–14. doi: 10.12924/mac2013.01010002.

Fuchs, C. (2014) Social Media: A Critical Introduction. 1st ed, Media. 1st ed. Edited by M. Steele. SAGE Publications Ltd.

Jati, W. R. (2015) “Rekonfigurasi politik kelas menengah indonesia,” Masyarakat Indonesia, pp. 219–226.

Jati, W. R. (2020) Prospek Politik Digital dalam Kelas Menengah Indonesia, LIPI. Available at: http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1050-dilema-politik-dinasti-di-indonesia.

Jenkins, Henry, E. a. (2015) Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century, The MacArthur Foundation. doi: 10.1016/b978-0-12-801867-5.00008-2.

Kautsar, F. (2019) “Discern Social Movements in the Digital Age,” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 24(1), pp. 139–142. doi: 10.7454/mjs.v24i1.9812.

Lim, M. (2013) “Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia,” Journal of Contemporary Asia, 43(4), pp. 636–657. doi: 10.1080/00472336.2013.769386.

Nastiti, A. (2020) “Gerakan Sosial dalam Konektivitas Digital,” pp. 1–8. Available at: https://www.remotivi.or.id/kupas/408/gerakan-sosial-dalam-konektivitas-digital.

Rahmawan, D., Mahameruaji, J. N. and Janitra, P. A. (2020) “Strategi aktivisme digital di Indonesia: aksesibilitas, visibilitas, popularitas dan ekosistem aktivisme,” Jurnal Manajemen Komunikasi, 4(2), p. 123. doi: 10.24198/jmk.v4i2.26522.


[1] Merry Lim  mengajukan hal ini dengan merujuk pada kasus Cicak vs Buaya dan Koin untuk Prita di Indonesia

Nandito Oktaviano adalah seorang mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional. Senang berdiskusi tentang filsafat, sastra, dan ilmu hubungan internasional. Bisa dihubungi lewat ditoguntur10@gmail.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like