Tantangan Marxis: Negara sebagai Aspek Pemerintahan Kelas12 min read

Marxisme adalah sebuah teori yang masyarakat-sentris. Oleh karena itu, Marxis berkecimpung pada bagaimana ketidaksetaraan masyarakat sipil membentuk hakikat negara. Perkembangan kapitalisme industri, alih-alih perilaku negara, diidentifikasi sebagai kekuatan pendorong utama di balik perubahan sosial.

Tindakan politik individu dipahami dalam hubungannya dengan cara produksi kapitalis, sebagai anggota kelas sosial, dan bukannya sebagai warga negara. Oleh karena kapitalisme adalah suatu sistem yang eksploitatif, yang menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan yang luas, sebagian pihak akan mendapat keuntungan dan sebagian lainnya merugi.

Oleh sebab itu, masyarakat kapitalis pasti terbagi dan terdefinisi berdasarkan perjuangan kelas. Bahkan, dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels (1962: 34) sampai mengklaim bahwa ‘sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas’. Asumsi ini membentuk konteks teori negara kaum Marxis.

Menurut Marx, negara pada dasarnya adalah pelayan kepentingan dominan dalam masyarakat sipil, betapapun kelihatannya ia memiliki kepentingannya sendiri, atau mungkin tampak melayani ‘kepentingan universal’ masyarakat. Bentuk khusus yang digunakan negara secara historis pada pokoknya ditentukan oleh cara produksi yang berlaku.

Namun demikian, Marx menyatakan bahwa hanya dengan perkembangan kapitalisme-lah masyarakat sipil bisa berkembang sepenuhnya. Dalam tahapan sejarah ini, ketidaksesuaian antara kewarganegaraan yang setara dan ketimpangan antara kelas sosial menjadi akut. Semakin jelasnya kontradiksi negara memastikan bahwa perjuangan kelas antara kaum proletar dan kaum borjuis menjadi tak terelakkan.

Ketika masalah ini diselesaikan dengan cenderung pada kepentingan kaum proletar, negara akan menjadi tidak berguna lagi dan masyarakat sipil pun unggul. Hal ini karena negara dijelaskan dari sudut pandang kelas. Kelas yang memerintah, yang mengontrol sarana produksi, menggunakan negara sebagai sebuah alat untuk menindas kelas pekerja.

Ketika kelas lenyap dalam komunisme, negara pun demikian. Di dunia pascakapitalis, pembagian masyarakat sipil digantikan oleh masyarakat komunis kolektivis dimana hak milik dimiliki oleh masyarakat dan semua individu akan sama-sama terberdayakan.

Baca Juga:

Marxisme menyoroti ketegangan penting dalam hubungan negara dengan masyarakat sipil, yang sama sekali berlawanan dengan pandangan optimistis kaum liberal. Semua penganut Marxis menunjuk pada bagaimana struktur kekuasaan dalam masyarakat sipil, yang didasarkan atas pembagian kelas yang berakar pada kepemilikan hak milik, menghalangi perkembangan potensi kreatif seluruh manusia.

Ketidaksetaraan ini membuat keseteraan formal yang dimiliki individu sebagai warga menjadi mandul, karena kesetaraan politik tersebut terpisah dari kebutuhan masyarakat sehari-hari. Kaum Manxis menolak individualisme abstrak ala liberalisme dan sebaliknya memahami perilaku manusia dalam konteks sosialnya, di mana kegiatan masyarakat dibentuk-bahkan ditentukan-oleh kedudukan mereka dalam sistem ekonomi. Negara pasti mencerminkan pembagian kelas ini: ia harus menyokongnya atau berusaha mendamaikannya untuk kepentingan kelanjutan jangka-panjang kapitalisme.

Ada pengetahuan yang tidak diragukan lagi dalam gagasan bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari pembagian kelas masyarakat sipil, dan bahwa pertimbangan ekonomi adalah inti bagi keberhasilan negara. Tetapi wawasan ini bisa diterima tanpa harus menganut kerangka pandangan Marxis.

Meskipun demikian, menjadi tugas teori negara Marxis untuk memperjelas detail hubungan negara dengan masyarakat sipil dengan cara yang sejalan dengan teori holistik Marx sendiri tentang sejarah manusia, yang dipandang mengikuti alur yang tak terelakkan menuju suatu masyarakat tanpa negara, dan yang didorong di sepanjang langkah itu oleh konflik kelas. Dengan meneruskan kiasan perjalanan, kaum Marxis menghadapi persoalan bahwa Marx gagal mengenali dimana tepatnya institusi negara berada pada peta konseptual yang mengarah pada komunisme!

Karena relatif mengabaikan negara, Marx meninggalkan warisan yang sangat membingungkan bagi banyak pengikutnya. Setidaknya ada dua teori berbeda mengenai negara yang normalnya ditemukan dalam tulisan Marx (Held, 1996: 129). Pertama, yang dapat ditemukan secara jelas dalam The Communist Manifesto, mendefinisikan negara sebagai sebuah instrumen yang dikontrol secara langsung oleh kelas penguasa untuk memaksa kelas yang tidak menguasai hak milik: ‘kaum eksekutif negara tak lain adalah sebuah komite untuk mengelola segenap urusan kaum borjuis’ (Marx dan Engels, 1962: 43-4).

Teori ini mempunyai pengaruh besar terhadap kaum revolusioner yang telah berusaha menjatuhkan kapitalisme. Jadi, bagi Lenin, pemimpin Revolusi Rusia pada 1917, perjuangan untuk mengontrol negara menjadi tujuan yang harus diperjuangkan kaum komunis. Pemusatan kekuasaan militer negara—di tangan wakil-wakil kaum proletariat—bisa digunakan untuk membasmi sisa-sisa masyarakat borjuis. Hal ini berarti pertama-tama menangkap dan kemudian ´menggulingkan’ negara kapitalis dan membangun sebuah negara sosialis sebagai gantinya.

Baca Juga:

Lenin dan kemudian Stalin, memperluas ungkapan Marx dan Engels, ´kediktatoran proletariať menjadi pembenaran yang meragukan bagi semakin tersentralisasinya negara yang berdiri di Rusia setelah revolusi tahun 1917. Lenin (1965: 41) menyatakan kebutuhan untuk mengganti satu bentuk demokrasi parsial dengan lainnya, sehingga pada akhir revolusi ‘negara tak pelak lagi pasti bersifat demokratis dengan cara baru (bagi kaum proletar dan umumnya mereka yang tidak memiliki hak milik) dan diktatorial dengan cara baru (melawan bourjuis).’

Teori kedua tentang negara yang ditemukan dalam karya Marx ada dalam tulisan sejarahnya mengenai Perancis. Dalam The Eighteenth Brumaire, di mana Marx meneliti pemerintahan Louis Napoleon pada pertengahan abad ke-19, negara dipandang mempunyai hubungan yang lebih rumit dengan masyarakat sipil:

Di bawah monarki absolut, selama revolusi pertama, di bawah Napoleon, birokrasi hanyalah sarana mempersiapkan kelas borjuis penguasa. Dalam era perbaikan, di bawah Louis Philippe, dalam republik parlemen, birokrasi menjadi instrumen kelas penguasa, seberapa pun ia berjuang keras untuk kekuasaannya sendiri. Barulah di bawah masa Bonaparte kedua negara sepertinya telah menjadikan dirinya independen sepenuhnya. (Marx dan Engels, 1962: 333).

Kutipan singkat ini menyoroti sulitnya menemukan teori yang konsisten mengenai negara dalam tulisan Marx. Dalam tiga kasus sejarah yang dikutip dari Marx, kita menghadapi tiga interpretasi berbeda tentang peran’negara, yang masing-masingnya telah dikembangkan oleh para penganut Marxis sesudahnya.

Pertama, Marx merujuk pada motif politis Napoleon Bonaparte dalam membangun kekuasaan negara Perancis yang dalam faktanya demi kepentingan jangka-panjang kaum borjuis. Hal ini pada dasarnya merupakan teori fungsionalis dan deterministik, di mana negara dipandang bertindak semata-mata sebagai agen perkembangan kapitalisme. Satu versi dari pendirian ini dianut oleh penulis seperti Poulantzas (1978).

Kedua, di bawah Louis Phillippe, negara tampil sebagai instrumen langsung kelas kapitalis, dan interpretasi ini sejalan dengan teori yang dipaparkan dalam The Communist Manifesto dan dikembangkan oleh para teoretisi seperti Miliband (1968). Akhirnya, Marx terlihat membuka kemungkinan bahwa dalam keadaan tertentu negara bisa mempunyai independensi penuh dari kelas kapitalis.

Marx menghindari pernyataan tegas tentang otonomi negara ini beberapa kalimat kemudian ketika Marx menulis bahwa kekuasaan negara tidak tergantung di awang-awang. Bonaparte mewakili sebuah kelas, dan kelas terbanyak dalam masyarakat Perancis adalah petani gurem’ (Marx dan Engels, 1962, 333).

Namun, para penulis seperti Jessop (1990) telah memberikan pembahasan serius mengenai kemampuan negara untuk bertindak secara otonom, dengan cara tertentu yang tidak dapat direduksi menjadi dorongan-dorongan ekonomi. Ketidakjelasan Marx tentang negara-lah yang telah menelurkan literatur yang sangat banyak dan seringkali rumit, sehingga sulit menghasilkan kemajuan dalam memperjelas hubungan antara negara dan masyarakat sipil.

Seperti diamati oleh Carnoy (1984: 3-9), periode pasca-perang telah memperlihatkan pertumbuhan minat kaum Marxis terhadap negara. Pertama, hal ini lantaran pertumbuhan fungsi dan kapasitas negara yang pesat dalam masyarakat kapitalis. Kedua, kaum Marxis berusaha mengoreksi distorsi tulisan Marx oleh partai-partai komunis yang mulai berkuasa di Eropa Timur dan China, yang pemerintahannya berpijak atas mesin negara yang penuh kekerasan dan tersentral.

Kebanyakan pembahasan yang paling menarik oleh kaum Marxis mengenai negara telah terinspirasi oleh karya penganut komunis Italia, Gramsci (1971). Hal ini karena penekanan Gramsci terhadap negara sebagai kancah penting perjuangan politik tampaknya memungkinkan adanya tingkat otonomi yang besar dari struktur ekonomi, yang dipandang Marrx sebagai penentu bentuk masyarakat sipil.

Hal ini menarik bagi kaum Marxis yang ingin menghindar tuduhan ekonomisme, yakni pandangan bahwa Marxisme mereduksi semua tindakan manusia hanya untuk memenuhi ketentuan dasar ekonomi yang menjadi sandaran semua masyarakat.

Gramsci jelas memperkenalkan sejumlah variasi konseptual terhadap karya Marx. Khususnya, teorinya tentang hegemoni menyoroti pentingnya arti manipulasi ideologi oleh kelas berkuasa terhadap kelas pekerja. Hegemoni adalah sejenis kekuasaan komunikatif yang merujuk pada sebuah pembenaran ideologis atas ketidaksetaraan kapitalisme.

Hegemoni ini beroperasi melalui institusi seperti media, gereja, dan partai politik. Meski hegemoni kapitalis melanda negara maupun masyarakat sipil, ia tidak pernah sempurna, karenanya memungkinkan dibangunnya sebuah hegemoni alternatif.

Jadi, Gramsci melihat pemanfaatan kekuasaan komunikatif, di samping perjuangan material kelas, sebagai hal yang penting untuk menggulingkan kapitalisme. Karena Itu, ia menekankan peran kaum intelektual dalam membangun sebuah ‘proyek hegemoni’ egalitarian sebagai alternatif terhadap ideologi dominasi kapitalisme, yang mehekankan eksploitasi terhadap orang banyak oleh segelintir orang.

Hal ini menunjuk pada kemungkinan suatu transisi politik menuju komunisme, di mana mekanisme demokrasi liberal digunakan oleh kelas pekerja untuk mengubah dan pada akhirnya mengatasi negara. Gramsci menyebut jenis strategi ini sebagai ´perang posisi’ (war of position), yang ia lawankan dengan ‘perang muslihať (war of manoeuvre) yang menekankan tindakan kekerasan terhadap kapitalisme (Gramsci, 1971: 238-9).

Dalam teori Gramsci, negara bukan sebuah objek untuk dikuasai, melainkan sebagai arena perjuangan (Thomas, 1994: 143). Namun, ada sejumlah permasalahan pada pendirian Gramsci yang menyingkapkan dilema yang lebih fundamental di jantung Marxisme,

Pertama, Gramsci tidak konsisten dalam pendefinisiannya tentang negara dan masyarakat sipil. Suatu saat keduanya dipandang identik, namun pada saat lain keduanya berlawanan, dan dalam bagian lainnya negara dipandang merangkum masyarakat sipil. Negara berbeda dari masyarakat sipil hanya melalui monopolinya atas kekuatan fisik (Gramsci, 1971).

Kedua, meski memberi ruang untuk per- timbangan yang lebih mendalam tentang hubungan antara politik dan ekonomi, pada akhirnya Gramsci menerima bahwa faktor ekonomi adalah yang utama dalam menentukan hasil politik. Pandangan ini munculkan pertanyaan tentang apakah ekonomisme, bagaimanapun telitinya ia diistilahkan, adalah esensial bagi semua gagasan kaum Marxis tentang relasi negara dan masyarakat sipil. Kaum Marxis belakangan ini telah berusaha memecahkan pertanyaan ini. Karya Poulantzas memberikan contoh yang terbaik.

Poulantzas (1978) mengambil gagasan Gramsci tentang negara sebagai kancah perjuangan kelas yang strategis, dan memperluas gagasan ini ke dalam sebuah teori umum tentang otonomi relatif negara dari masyarakat sipil. Dengan menulis dalam konteks semakin meningkatnya peran negara dalam mengelola ketegangan kapitalisme, Poulantzas berusaha menunjukkan bagaimana keterpisahan nyata negara dari kontrol langsung kaum kapitalis merupakan hal yang fungsional bagi kebutuhan kapitalis.

Menurut Poulantzas, keniscayaan kapitalisme memberikan kontrol tidak langsung terhadap negara. Karenanya, posisi kelas aktual personil negara relatif tidak penting. Hal ini karena fakta bahwa negara tergantung pada pertumbuhan ekonomi untuk keberlangsungan hidupnya. Karena itu, negara memainkan peran inti dalam menetapkan ketidaksetaraan kapitalisme sebagai hal yang tidak terelakkan dan bahkan dibutuhkan.

Kebutuhan masyarakat digambarkan oleh lembaga negara sebagai hal yang identik dengan kebutuhan kapitalisme. Negara kapitalisme mempunyai banyak bentuk, seperti fasis atau sosial demokratis dan bentuk ini bergantung pada banyak faktor sosial maupun politik. Namun demikian, karena batasan struktural kapitalisme, negara selalu dimundurkan ke fungsi primernya yakni mempertahankan kondisi bagi akumulasi kapital. Hal ini termasuk memelihara stabilitas sosial, memberikan dukungan infrastruktur, dan melangsungkan pasar tenaga kerja yang tepat.

Poulantzas menuai kritikan bahwa teorinya bersifat deterministik dan fungsionalis. Negara hanya sekadar sebuah institusi yang fungsional bagi kapitalisme dalam perannya sebagai pendamai konflik kelas. Atas alasan ini, seorang pengikut Marxis, Miliband, telah menuduh Poulantzas sebagai sejenis penganjur ‘super-determinisme struktural di mana agensi individu dianggap tidak relevan (Miliband, 1970: 57).

Jika ini yang terjadi, menurut Miliband, sulit untuk mengklaim adanya perbedaan riil antara negara fasis dan sosial demokrat. Bagi Milliband, kedangkalan negara analisis seperti itu menggambarkan kekeliruan pendapat Poulantzas. Oleh karena itu, tidak jelas sejauh mana manfaat riil yang dihasilkan oleh Poulantzas terhadap teori kedua Marx tentang negara.

Marx, seperti Poulantzas, menyadari fakta bahwa kelas kapitalis ada saatnya bisa melepaskan cengkeramannya atas kekuasan politik demi mempertahankan kemampuannya untuk mengakumulasi kekayaan: ´yakni untuk menyelamatkan dompetnya ia musti kehilangan mahkotanya, dan pedang yang sejatinya untuk melindunginya pada saat bersamaan diacungkan ke kepalanya seperti pedang Democles’ (Marx dan Engels, 1962: 288).

Kontradiksi yang menyelimuti segenap tulisan Marx tentang negara, dengan pembahasan ekstensif oleh Poulantzas hanya lebih memperjelas kontradiksi itu, diilustrasikan dengan baik dalam kutipan ini. Bagian pertama kutipan menunjukkan bahwa akumulasi kapitalis akan terjadi tanpa memandang siapa pun yang memerintah negara, bagian kedua menyatakan bahwa pengendali negara mempunyai setidaknya potensi untuk menggunakan kekuasaan pemaksa negara untuk melawan kepentingan borjuis.

Persoalan ini juga terungkap dalam argumen Poulantzas yang kontradiktif, bahwa di satu sisi negara dibentuk oleh kebutuhan kapitalisme, namun di sisi lain negara itu sendiri menjadi kancah bagi perjuangan kelas. Yang menjadi masalah bagi Poulantzas, sebagaimana bagi Marx, adalah bagaimana dua masalah yang saling terpisah ini bisa dipertemukan dalam sebuah teori yang meyakinkan tentang transisi menuju komunisme (Carnoy, 1984: 107).

Ambiguitas Marx tentang peran negara, dan kegagalannya untuk menghasilkan sebuah teori yang meyakinkan tentang transisi menuju komunisme, mendorong Lenin untuk menganggap negara sebagai sebuah objek untuk diperebutkan oleh Partai Bolshevik, yang kemudian mengacungkan ‘Pedang Democles’ demi kepentingan kelas pekerja.

Terlepas dari peringatan Marx bahwa ‘kelas pekerja tidak bisa begitu saja merampas mesin negara yang siap- pakai dan membentuknya untuk tujuannya sendiri’ (Marx dan Engels, 1962: 516), interpretasi Lenin tentang negara bukannya tidak terkait dengan teori Marx itu sendiri.

Walaupun sedikitnya ada dua versi peran negara yang dapat diidentifikasi dalam tulisan Marx, keduanya bukan merupakan pendirian yang bertolak belakang, dan seringkali keduanya bertumpang-tindih. Hal ini memungkinkan penafsiran rasional bahwa negara bukan hanya bisa berfungsi mempertahankan kapitalisme, tetapi negara juga bisa digunakan —dalam keadaan tertentu— sebagai sarana untuk mengatapi kapitalisme.

Persoalan teoretis ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan kaum Marxis untuk mengenali negara sebagai satu aktor itu sendiri, dengan segenap sumber daya dan keniscayaannya sendiri, yang tidak dapat direduksi menjadi faktor ekonomi semata. Hal ini bukan hendak menyangkal relasi saling-tergantung yang pasti dimiliki negara dengan masyarakat sipil, namun hendak memberi perhatian lebih pada pertanyaan seperti potensi negara untuk bersifat represif seperti halnya dengan ketimpangan ekonomi.

Potensi represif negara ini juga tidak dapat dipahami semata dari sudut pandang kelas. Dengan kata lain, negara bukanlah alat penindas milik salah satu kelas, melainkan ia adalah alat penindas per se. Pemahaman inilah yang dianut oleh para kritikus feminis dan teoretisi etnisitas yang menyatakan bahwa negara memainkan peran penting dalam mencerminkan maupun menyokong ketidaksetaraan dalam masyarakat sipil antara pria dan wanita serta antara berbagai kelompok etnis.

Hasil dari paradoks teori negara Marxis telah tergambar secara menakutkan oleh penggunaan negara secara represif di China dan Uni Soviet. Jika kita menerima kesatuan esensial antara teori dan praktik, yang terungkap dalam gagasan Marxis tentang ‘praxis’, maka teori Marxis harus dievaluasi kembali secara kritis dengan mengambil hikmah dari pengalaman historis rejim Komunis yang aktual.

Hal ini bukan bermaksud memperdebatkan kekuatan kritik Marxis atas model liberal, namun menghendaki kita untuk mempertanyakan manfaat suatu teori yang mereduksi praktik politik menjadi faktor ekonomi semata. Tanpa teori yang matang tentang pemerintahan, yang berbeda dari kritiknya tentang kapitalisme, Marx menabur benih bagi munculnya negara yang sangat represif di mana tujuan utamanya adalah berakhirnya politik, yang secara implisit dipahami oleh Marx (terutama dalam karyanya yang terkemudian) sebagai hal yang hanya relevan dalam masyarakat berbasis kelas.

Persoalan pemerintahan tidak akan pupus, bahkan dalam masyarakat nirnegara sepe:ti yang dikehendaki Marx. Tidak pula dalam negara otoriter yang mengklaim legitimasinya dari tulisan-tulisan Marx.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like