Pemikiran Gramsci tentang Hegemoni Budaya4 min read

Hegemoni budaya adalah cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis. Hegemoni itu tampas dalam pendidikan buruh populär untuk mendorong perkembangannya intelektual dari kelas pekerja, dan dalam pemisahan antara “masyarakat politis” (polisi, tentara, sistem legal, dan sebagainya) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan “masyarakat sipil” (keluarga, sistem pendidikan, serikat perdagangan, dan sebagainya) di mana kepemimpinan dikonstitusionalisasi melalui ideologi kesetiaan pada rezim fasis.

Kaum Marxis pada umumnya mengambil titik tolak pemikiran mereka tentang masyarakat berdasarkan kritik Marx mengenai kapitalisme. Neo-Marxisme dan Gramsci pun mengambil titik tolak pemikiran pada Marx di atas. Akan tetapi, isi kritik Gramsci terhadap kapitalisme jauh berbeda dengan Marx sendiri terutama karena ia memberi arah baru pada Marxisme yang dipraktikkan oleh kelompok Marxisme ortodoks. Neo-Marxisme tidak percaya pada tesis dasar Marxisme ortodoks yang mengatakan bahwa problem kebudayaan berasal dari dirinya sendiri sebagai akibat bias material hubungan dalam kegiatan produksi dalam sistem ekonomi kapitalis.

Marxisme ortodoks bertekad membongkar problem kebudayaan dengan menggunakan analisis dialektika materialisme historis atas susunan masyarakat berkelas, yaitu kelas atas (pemilik alat-alat produksi) dan kelas bawah (pekerja, khususnya industri). Neo-Marxisme menawarkan pemikiran Marxisme alternatif, yang dianggap lebih baik untuk memahami, menjelaskan, dan menunjukkan kekuatan Marxisme sebagai kritik, yang diarahkan pada kapitalisme dan Marxisme sendiri.”[1]

Prison Notebooks

Prison Notebooks (1929-1933) merupakan kumpulan tulisan yang didasarkan pada catatan-catatan Gramsci semasa di penjara, yang isinya adalah kritik atas Marxisme ortodoks yang memahami secara salah Marxisme hanya sebagai akibat dominasi kekuasaan ekonomi tanpa memberi perhatian yang memadai pada akar-akar kebudayaan dan politik. Salah paham ini membuat Marxisme ortodoks salah bidik sasaran solusi permasalahan yang dihadapinya, dengan mengira bahwa mematahkan dominasi ekonomi kaum kapitalis, masalah sudah selesai, padahal akar permasalahan sesungguhnya tidak disentuh, yakni politik fasis.

Revolusi proletariat yang menghapuskan milik pribadi dalam sebuah sistem sosial komunis justru memperkuat akar permasalahan yang seharusnya dicabut, yakni kediktatoran proletariat dalam wujud kekuasaan Partai Komunis. Menurut Gramsci, fasisme merupakan sebuah rezim dominasi “kesadaran” budaya melalui dua jalan kekuasaan, yakni pemaksaaan dengan kekerasan (coarse) dan pengondisian kepatuhan elemen-elemen masyarakat kepada penguasa (hegemony). Gramsci memfokuskan analisisnya pada jalan kekuasaan hegemonistik, yang begitu kuat mengikis daya kritis masyarakat tanpa disadari.[2]

Jalan Mengatasi Hegemoni Budaya

Menurut Gramsci, rezim fasis dapat merealisasikan penguasaan atas masyarakat karena memiliki infrastruktur organisasi intelektual yang sudah ada di masyarakat. Seorang fasis memanfaatkan situasi budaya dan politik yang memberi respek pada intelektual sebagai perpanjangan tangan dan pengaruh kekuasaan di masyarakat. Melalui kaum intelektual yang terkooptasi oleh kekuasaan itu, rezim fasis mendapatkan legitimasi politis atas kekuasaannya. Sebagian besar revolusi proletariat untuk mendapatkan kekuasaannya dalam sistem sosial komunis menemui hambatan ideologis ini, kultus penguasa: Fuhrer, Bapak Pembangunan, Pemimpin Besar, Yang Mulia, dan lain-lain.

Gramsci mengatakan bahwa jalan untuk mengatasi hegemoni budaya hanya mungkin dilakukan dalam pemulihan kesadaran masyarakat yang terbelenggu mulai dari kelompok-kelompok kecil, yang disebutnya blok solidaritas. Anggota blok solidaritas ini diharapkan menjadi tulang punggung penyebaran kesadaran kritis untuk melawan kekuasaan fasis. Blok solidaritas dapat dibentuk di kalangan intelektual yang berani melawan arus pemikiran intelektual pendukung penguasa lasis. Blok solidaritas disebut intelektual organik, sedangan blok pendukung kekuasaan fasis disebut blok historis atau intelektual radisional. Pembedaan intektual organik dari intelektual tradisional dapat dimengerti berdasarkan konsep E. Durkheim yang membagi masyarakat menurut perkembangan kesadaran solidaritas, dari  yang mekanik menjadi organik.

Solidaritas mekanik menyatakan homogenitas masyarakat yang berinteraksi menurut pola-pola yang sama sehingga kesatuan masyarakat terbentuk secara mekanik dan belum terdiferensiasi. Solidaritas organik merupakan kesatuan dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh perbedaan, diferensiasi, dan kerja sama. Menurut Durkheim, solidaritas organik lebih cocok untuk masyarakat modern yang menjunjung tinggi kebebasan dan kerja sama.[3] Solidaritas organik menunjukkan keterbukaan pada rasionalitas dan bertujuan sebagai jalan rasional untuk mewujudkan sebuah tujuan. Kesetiaan pada tradisi hanya mengungkapkan rasionalitas yang lemah untuk mewujudkan masyarakat rasional.[4]

Cita-cita Gramsci

Gramsci mencita-citakan lahirnya soliditas baru dalam masya- rakat dengan motor penggerak kaum intelektual yang tercerahkan untuk membawakan misi pembebasan kepada mayoritas masyarakat yang hidup dalam selubung hegemoni kekuasaan fasis. Penyadaran masyarakat melalui gerakan pendidikan dan politik akan melahirkan masyarakat rasional, yakni masyarakat warga negara (robust civil society) yang sadar akan hak-hak politiknya yang terbelenggu oleh kekuasaan hegemonistik. Bagi Gramsci, pendidikan politik menjadi kata kunci perubahan sosial, yakni perubahan dari hegemoni budaya menjadi manusia bebas.

Oleh sebab itu, tugas kaum intelektual organik harus melakukan “perang posisi” (the war of position), yakni membantu masyarakat merebut kembali posisi-posisi vital yang sudah dikuasai rezim fasis. Perang posisi dapat dilakukan di lingkungan intelektual untuk menggusur posisi para intelektual pro-kekuasaan dengan intelektual pro-kebebasan. Ini menjadi tugas profetik bagi intelektual organik dalam teori hegemoni Gramsci, yakni mengecam ketidakadilan dan memimpin di garis depan perang pencarian posisi.[5] Dibandingkan dengan Lukàcs, Gramsci lebih progresif men- dorong perlawanan terhadap sistem budaya dan politik kekuasaan. Lukas lebih mrngarahkan perlawanan terhadap sistem ekonomi kapitalis sehingga lebih kuat kecenderungan untuk mempertahankan Marxisme ortodoks.


[1] Bima Saptawasana dan Haryanto Cahyadi, “Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi: Diteropong dari Perspektif Para Eksponen Neo-Marxisme” dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.). Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 26-27.

[2] Ibid., hlm. 30-31.

[3] E. Durkheim, The Division of Labor (1893) diterbitkan kembali oleh The Free Press Reprint, 1997.

[4] Konsep M. Weber tentang “rasionalitas bertujuan” dalam Jürgen Habermas, The Theory o Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society, Vol. I, diterjemahkan dari teks Jerman, Theorie des kommunikativen Handelns, Band 1 Handlungrationalität und gesellschaftliche Rationalisierung, oleh Thomas MacCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), hlm. 168ff.

[5] Bima, op. cit., hlm. 32.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like