Pemikiran Vladimir Ilyich Lenin8 min read

Lenin lahir dengan nama asli Vladimir Ilyich Ulyanov (1870- 1924). Ia melarikan diri ke Suriah pada umur 53 tahun dan sempat mengikuti Internasional II Pada waktu itu, Lenin mendekati Engels dan bekerja sama untuk menyebarluaskan materialisme historis, yang kemudian dimatangkannya sendiri dialektika menjadi Marxisme-Leninisme, setelah ia kembali ke Rusia dengan memimpin Partai Bolshevik. Partai ini menjadi cikal bakal gerakan revolusioner Partai Komunis Rusia yang terbentuk dari soviet-soviet (dewan-dewan) perwakilan Lenin berayah Rusia, Vladimir Ilyich Ulyanov, dan beribu keturunan Jerman dan Yahudi.

la dididik dalam keyakinan Katolik Ortodoks Rusia yang dianutnya di masa kecil sebelum menganut ajarannya sendiri, yakni perjuangan revolusioner Marxisme-Leninisme sebagai dasar pembentukan buruh, soviet menjadi sebuah negara komunis. Pekerjaan awal sebagai seorang pengacara di St. Petersburg mengantarnya mengenal Marxisme melalui bacaan-bacaan atas karya Marx dan Engels yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena Marxisme dilarang di Rusia.

Pengenalan dengan Marxisme memengaruhi pandangan politiknya dan karena itu pula ia dihukum selama setahun (1899) di Siberia. Saat di dalam penjara, ia mematangkan pandangannya mengenai kapitalisme, dan menulis mengenai kapitalisme di Rusia. Selepas dari penjara (1900), aktivitas politik Lenin bertambah padat dengan berkeliling Eropa dan mengunjungi konferensi-konferensi Marxis.

Marxisme-Leninisme

Aktivitasnya di Partai Sosial-Demokrat dan Buruh Rusia sangat menonjol sehingga pada tahun 1903 Lenin dan Julius Martov berselisih paham dalam kepengurusan partai mengenal struktur kepartaian, Martov menginginkan sebuah struktur kepartaian yang agak lepas dan otonom, sedangkan Lenin menginginkan struktur kepartaian yang sentralistis Lalu partai ini pecah menjadi dua.

Orang-orang Lenin disebut kaum Bolshevik yang berarti “mayoritas”, dan orang-orang Martov disebut kaum Menshevik yang berarti “minoritas”. Kekalahan Rusia dalam Perang Dunia I meyakinkan Lenin untuk mengambil kesempatan melakukan revolusi sosial pada bulan Februari 1917 untuk memaksa Tsar Nikolas II untuk turun takhta dan diikuti dengan pembentukan sebuah kabinet yang dipimpin oleh Alexander Kerensky. Pada bulan Oktober 1917, Lenin berhasil memimpin Revolusi Oktober yang memaksa Kerensky turun dan melarikan diri. Sejak itu Lenin mematangkan komunisme Rusia dalam sistem ideologi Marxisme-Leninisme sampai akhirnya meninggal dunia pada 21 Januari 1924[1].

Jasa-jasa Lenin yang tak ternilai adalah pematangan ideologi Marxisme-Leninisme sebagai bangunan ideologi komunisme internasional yang membawa Rusia sebagai negara adikuasa nomor dua di dunia dalam waktu kurang dari 30 tahun, dan dikelilingi oleh 18 negara yang berhaluan komunisme radikal yang membawahkan sepertiga populasi penduduk dunia[2].

Terlepas dari sejarah hitam komunisme di bawah kendali ideologi Marxisme-Leninisme, Lenin, menurut Franz Magnis-Suseno, adalah penjasa intelektual dan praksis politik yang mem- buat Marxisme berkibar secara intelektual, politik, sosial, dan budaya dan tetap bertahan di halaman-halaman karya ilmiah dan praksis politik, ekonomi, dan budaya hingga sekarang. Tanpa Lenin, pemikiran Marx hanya akan dikenang di ruang studi filsafat dan ekonomi oleh segelintir orang.

Akan tetapi, kreativitas intelektual dan naluri politik yang tajam dalam diri seorang Lenin yang memiliki juga kedekatan dengan Engels, sahabat karib Marx sejak awal, membuat ketokohan Marx dikenal dunia sebagai intelektual politik dan ekonomi yang diperhitungkan. Kerja samanya dengan Engels secara intelektual dalam penyebaran gagasan dialektika materialisme dan pemantapan kiprah partai politik komunis dalam masyarakat sudah dirintis dalam Internasional II.

Asosiasi Internasional Sosialis III

Setelah berkuasa, Lenin mendirikan Asosiasi Internasional Sosialis III (Moskwa: 1919- 1943), yang lazim disebut komintern yang berpusat di Moskwa dengan tugas sentralistis memantau dan mengontrol gerakan Marxisme-Komunisme secara internasional[3]. Komintern menekankan aspek keamanan secara ketat untuk menjaga keberlangsungan Marxisme-Leninisme secara internasional melalui partai-partai komunis dunia. Untuk itu, spionase menjadi alat keamanan yang mutlak diperlukan dan harus dikelola secara profesional.

Tugas itu diserahkan Lenin kepada Leon Trotsky yang dipandangnya kapabel untuk menjaga kontinuitas pergerakan revolusioner dalam masyarakat melalui Partai Komunis Rusia. Sejak itu dan sampai sebelum berakhirnya Perang Dingin, KGB menjadi andalan untuk pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan pertahanan Uni Soviet. Lenin berharap kepemimpinan Marxisme-Leninisme Uni Soviet akan dilanjutkan Trotsky. Namun, kenyataan berbicara lain.

Karena kelicikan Stalin, kepemimpinan Uni Soviet sepeninggal Lenin dialihkan kepada Stalin yang ketika itu menduduki jabatan Sekjen Partai Komunis[4]. Gambaran mengenai Lenin yang darah dagingnya adalah Marxisme-Leninisme bukanlah tokoh innocent mengenai kedigdayaan kapitalisme. Seperti Marx dan Engels, kapitalisme dikagumi sebagai sebuah sistem ekonomi dan politik yang berhasil melalui borjuasi dan harus dilawan penuh perhitungan rasional dan strategis.

Untuk menghindarkan kaum komunis dari kelemahannya diperdaya kapitalisme, Lenin membuat analisis atas kapitalisme melalui kritik dalam bukunya, Materialisme dan Empirokritisisme[5], menekankan bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan, termasuk kapitalisme, tidak netral kepentingan, maka manusia harus memilih antara idealisme atau materialisme, karena idealisme bersifat reaksioner, sedangkan materialisme bersifat progresif.

Terkandung maksud, Lenin mau mengatakan bahwa pilihan materialisme lebih sesuai dengan tujuan masyarakat tertindas untuk keluar dari ideologi kapitalisme yang reaksioner terhadap perlawanan yang intinya berawal ketika ekses negatif kapitalisme di Eropa pada masyarakat atas penindasan. Kapitalisme membela kepentingan kelas atas, pemilik modal. Sebelum Lenin, Engels sudah menulis itu dalam Anti-Dühring[6] yang sejalan dengan logika materialisme dalam gagasan pokok Marx mengenai dialektika materialisme historis, Bagi Lenin, agama merupakan alat yang berhasil dalam tangan kapitalisme untuk menyuburkan idealisme, padahal Marxisme-Leninisme harus membuktikan bahwa materialisme merupakan jalan pembebasan manusia dari penindasan kapitalisme[7].

Jadi, sikap pragmatis yang harus diambil bukan menyebarkan ateisme, melainkan merebut hati buruh dengan memperlihatkan kelemahan idealisme[8]. Oleh sebab itu, fasisme sosial bertentangan dengan kediktatoran proletariat. Fasisme melabrak kebebasan individu, sedangkan kediktatoran proletariat mengikat kebebasan individu sebagai sebuah kekuatan bersama kaum buruh dalam wadah Partai Komunis. Fasisme menyatakan kediktatoran kelas (atas), sedangkan kediktatoran proletariat menyatakan kediktatoran partai sebagai pasukan depan selurut proletariat yang harus dijaga[9].

Pengaruh Marxisme-Leninisme atas Trotsky

Leon Trotsky adalah pengawal gerakan revolusioner kawakan yang dipuji Lenin. Ia lahir dengan nama Lev Davidovich Bronstein pada 7 November 1879 di Yanovka, Kherson (sekarang Ukraina), sebagai keturunan Yahudi dari keluarga petani yang kaya. Ia adalah cucu empu sastra Rusia, Alexander Pushkin[10]. Reputasi Trotsky dalam mempertahankan Marxisme-Leninisme dilakoninya dengan pengabdian tanpa pamrih meski dirinya terancam oleh kekuasaan yang reaksioner terhadap gerakan revolusioner kaum Marxis.

Leon Trotsky

Kemenangan Lenin dalam Revolusi Oktober 1917 tidak bisa dibayangkan tanpa peran Trotsky dan pengabdiannya kepada Lenin dan ajarannya dilakukan Trotsky dengan menciptakan dan memimpin tentara merah Uni Soviet. Jasanya yang cemerlang di bidang pengawalan revolusi secara militer, dibarengi dengan ketajaman analisisnya mengenal konsep Lenin tentang kediktatoran proletariat, memberi gambaran yang lebih jelas dari Lenin sendiri mengenai bagaimana konsep ini dinyatakan dalam praktik.

Menurut Trotsky, tulang punggung kediktatoran proletariat karena buruh tani tidak proletariat industrilah cukup baik kemampuan sumber daya manusia (SDM). Kaum tani penting untuk dilibatkan dalam revolusi land reform dengan membagi-bagi tanah milik kaum feodal sehingga kekuatan revolusioner dapat diandalkan, teta- pi mereka tidak di garda depan kekuasaan partai. Ide ini dikemukakan untuk mengatasi kebuntuan hubungan buruh tani (mayoritas, Menshevik) dan buruh industri (minoritas, Bolshevik). Ide ini ditolak oleh Lenin dan dua golongan buruh.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Trotsky mengusulkan solidaritas proletariat Rusia yang masih lemah dengan proletariat Eropa yang maju dan berpengalaman melawan kapitalisme. Ini yang dimaksud dengan revolusi permanen, yakni kerja sama internasional untuk mempertahankan Marxisme, mulai dari Rusia lalu menjalar ke Eropa dan kemudian meliputi seluruh dunia[11]. Berbeda dengan Lenin yang konseptualis dan penuh analisis ilmiah, Trotsky mendasarkan analisisnya pada kenyataan yang dihadapi untuk tetap menjaga api Revolusi Rusia yang masih menderita kekalahan atas Jepang 1905. Kecepatan bertindak pragmatis itulah yang membawa Rusia memenangi Revolusi Oktober 1917.

Sepeninggal Lenin, Stalin tampil memegang kendali gerakan revolusioner Rusia. Trotsky melanjutkan pemikiran mengenai revolusi permanen dengan mengkritik hasil-hasil revolusi yang mulai merosot menjadi Stalinisme, yang secara parasiter memanfaatkan hasil Revolusi Oktober, tetapi melenyapkan gagasan revolusi permanen di baliknya sebagai pembunuhan sosialisme internasional.

Stalin mau mengembangkan sosialisme Rusia di negerinya sendiri tanpa kerja sama intensif dengan proletariat Eropa. Kebijakan ekonomi Stalin dinilai lebih longgar bagi intervensi kapitalisme, yang berbahaya terhadap sosialisme dengan mengondisikan kembalinya tatanan sosial borjuis. Dengan demikian, Trotsky menilai Stalinisme sebagai kemunduran, bahkan negasi terhadap Leninisme. Pemberian peluang kembalinya borjuasi akan melemahkan kediktatoran proletariat demi menjaga kontinuitas revolusi.

Oleh sebab itu, kekerasan proletariat tidak melawan prinsip demokrasi karena kekerasan itu diambil untuk menjaga kepentingan proletariat yang hakikatnya menurut sejarah berhak atas kemaslahatan material yang ada di masyarakat. Sebaliknya, fasisme memakai kekerasan hanya sebagai reaksi untuk mempertahankan kekuasaan kelas (atas) untuk menjaga status quo. Seperti Lenin, ia menilai bahwa lahirnya sistem sosial yang menentang dialektik materialisme historis, apa pun bentuknya, merupakan imperialisme sebagai wajah baru kapitalisme yang harus dilawan.

Oleh sebab itu, revolusi sosial untuk mewujudkan komunisme tidak menunggu Rusia menjadi negara kapitalis. Revolusi sosial melawan kapitalisme dapat dimulai dengan melawan imperialisme sebagai pengkhianatan terhadap kaum buruh. Trotsky memperjuangkan monopoli kekuasaan dalam sistem kediktatoran proletariat sebagai raison d’être dari Marxisme sebagai penghapusan demokrasi dalam artinya yang sebenarnya.

Menurut Trotsky, pemikiran Marxisme-Leninisme pada dasarnya adalah bahwa organisasi partai akan menggantikan keseluruhan partai, komite sentral akan menggantikan organisasi partai, dan akhirnya seorang diktator menggantikan komite sentral. Tentu saja tafsiran Trotsky ini tidak membawa pengaruh yang kuat dalam gerakan komunisme di negara-negara Barat dan tidak berpengaruh juga terhadap bangkitnya Kiri Baru, neo-Marxisme, dan mazhab-mazhab Marxis di Barat. Kiri Baru adalah istilah bagi gerakan sayap kiri yang terjadi di sejumlah negara pada tahun 1960 dan 1970-an, yang tidak seperti aktivis kiri sebelumnya yang berfokus pada aktivisme.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Vladimir_Lenin

[2] Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka (Jakarta: PT Gramedia, 2003), hlm. 1.

[3] Ibid., hlm. 8-9.

[4] Ibid., hlm. 9.

[5] Ibid., Bab I, hlm. 20.

[6] https://www.marxists.org/archive/marx/works/1877/anti-duhring/index.htm

[7] Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka (Jakarta: PT Gramedia, 2003), hlm. 12.

[8] lbid, hlm., 29.

[9] Ibid., hlm. 43.

[10] http://en.wikipedia.org/wiki/Leon_Trotsky.

[11] Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 72-73.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like