Marx Muda Pemikiran/Filsafat Tentang Humanisme11 min read

Pemikiran Marx Muda dijiwai oleh semangat humanis revolusioner sebagaimana terungkap dalam manuskrip karya-karya jurnalistik yang ditulisnya di Paris antara tahun 1841 dan tahun 1847. Manuskrip-manuskrip tersebut diterbitkan posthumus di Moskwa sekitar tahun 1932 dan diberi judul Naskah-naskah Ekonomis-Falsafi atau Naskah-naskah Paris 1844.

Apa yang dibahas Marx tentang humanisme adalah alienasi manusia dari Karl Marx Muda hasil pekerjaannya karena “perampokan” yang dilakukan oleh sistem ekonomi kapitalis. Berbeda dengan paham humanisme yang dibahas Ludwig Andreas von Feuerbach (1804-1872), khususnya alienasi dalam agama, yang dinilainya belum melepaskan diri dari Idealisme (filsafat spekulatif) Jerman.

Marx menunjukkan humanisme yang berorientasi praktis, sedangkan Feuerbach berbicara tentang humanisme dalam bahasa metafisis. Dari manuskrip diketahui bahwa humanisme Marx yang berorientasi praktis berbeda dengan humanisme Feuerbach dalam bahasa spekulatif; dengan humanisme yang berorientasi praktis. Marx mau memperlihatkan peralihan pemikirannya dari seorang liberal radikal menjadi seorang sosialis yang penuh perhatian atas masalah konkret pekerja yang terasing dalam pekerjaan.

Pembebasan Manusia dari Sistem Politik Totaliter

Alienasi sebagai keterasingan pekerja dalam pekerjaannya menggambarkan sistem ekonomi kapitalis yang tumbuh dalam sistem sosial totaliter, yakni penguasaan manusia oleh negara, atau individu oleh masyarakat. Kebebasan pekerja terpasung oleh sistem produksi ekonomi kapitalis yang menimbulkan keterasingan pekerja mengklaim apa yang dihasilkannya dalam bekerja.

Warga negara terasing dari politik karena kebebasannya terpasung oleh sistem politik reaksioner dan melibas perbedaan pendapat. Orang beragama terasing dari kebahagiaan yang sejatinya dialami dalam hidup di dunia karena agama memberi harapan surga (ilusi). Karena akar keterasingan itu terdapat dalam negara atau agama, maka manusia harus dibebaskan dari ikatan negara atau agama.

Perlawanan ini secara filosofis ditujukan kepada I. Kant, G.FW Hegel, dan L.A., von Feuerbach. Dalam filsafat Kantian, negara lahir sebagai subjek makro atau civitas yang memiliki kehendak bebas di atas kehendak bebas individu-individu. Oleh sebab itu, kehendak negara sebagai civitas mencakup kehendak individu sebagai subjek mikro yang harus tunduk pada kehendak civitas yang sudah mencakup (universal) kehendak individu-individu.

Dalam arti itu, filsafat Kantian menuntut agar setiap individu sebagai anggota civitas tunduk pada hukum negara karena ketidaktaatan dapat menimbulkan perlawanan terhadap hukum universal dan alhasil menimbulkan chaos. Kiat revolusi dalam pemikiran Marxis untuk mengatasi alienasi politik tidak ada tempatnya dalam filsafat negara Kantian.[1]

Sittlichkeit 3 unsur yakni keluraga, masyarakat, dan negara

Hegel menolak filsafat subjek sebagai manifestasi kesadaran subjektif karena, menurut Hegel, kesadaran bersifat sosial. Kesadaran publik tersebut termanifestasi sebagai moralitas publik (Sittlichkeit)[2] yang layak dijadikan referensi hukum universal. Karena merupakan representasi moralitas publik, negara harus menjadi satu-satunya regulator dan pelaksana kepentingan umum.

Kehendak negara adalah kehendak publik (the sole arbiter of law) dan karena itu menjiwai kehendak individu dan warga-warga masyarakat (civil society). Dalam perspektif pembebasan manusia dari alienasi, pemikiran Hegel tidak mengoreksi filsafat Kant, tetapi meradikalisasi sumber alienasi politik.

Pengaruh Pemikiran

Feuerbach

Feuerbach pada awalnya adalah pengikut Hegel, tetapi akhirnya mengambil haluan Hegelian kiri yang melawan teori negara Hegelian yang dinilainya sebagai sumber alienasi (keterasingan) atau keterasingan manusia dari kodratnya sebagai makhluk yang bebas dan rasional. Dengan menerima negara Hegelian, seseorang akan tercakup dalam kungkungan negara absolut yang didasarkan pada pemikiran Hegel mengenai agama sehingga rasionalitas manusia pun akan hilang. Humanisme revolusioner merupakan aliran pemikiran yang secara mendasar menolak campur tangan otoritas (negara dan agama) yang dianggap mengasingkan manusia dari kesejatian dirinya sebagai sumber kebebasan dan rasionalitas.

Konsep alienasi atau keterasingan, yang untuk pertama kali dikemukakan Feuerbach, merupakan akibat dari penindasan sistem politik reaksioner terhadap anggota masyarakat. Akibat dari penindasan tersebut adalah ketercerabutan manusia dari dirinya sendiri dan terasing dalam kungkungan negara atau agama karena keduanya asing dari manusia. Feuerbach melihat keterasingan sosial yang dialami sebagai warga negara. Dalam sistem politik reaksioner, negara mengekang kebebasan setiap orang dengan membakukan hukum yang menuntut loyalitas mutlak pada negara.

Dalam negara yang demikian, manusia tidak lagi menyadari dirinya sebagai sumber kebebasan karena ia hidup dalam sebuah kesadaran palsu, yakni sistem kekuasaan yang menindas. Keterasingan religius mempunyai asal-usul yang sama. Menurut Feuerbach, terdapat kesalahan pemikiran dalam filsafat Hegel, yang menyimpulkan bahwa Roh Absolut merupakan sintesis dari proses dialektik antara manusia dan alam.

Dengan itu Hegel, menurut Feuerbach, menyimpulkan bahwa ide ketuhanan dapat menjadi konsep universal yang menyatukan manusia dan alam. Pembatasan kebebasan individu oleh hukum negara dapat diterima secara rasional seperti hubungan institusi agama dengan para penganutnya.

Apa yang dibicarakan Hegel, menurut Feuerbach, hanya mengulangi, bukan mengoreksi, filsafat rasio murni dan rasio praktis dari Kant. Dalam ajaran Kant tentang kategorische Imperativ, ia mengatakan bahwa kewajiban hukum universal timbul dari kesadaran subjektif. Negara sebagai civitas adalah subjek makro dengan kehendak bebas absolut yang mencakup kehendak bebas individu.

Dengan kata lain, menaati hukum negara, bagi Kant, sama dengan mematuhi hukum moral universal, yang menyatakan Sinnlichkeit atau kesatuan rasio dan hukum. Hegel menunjukkan kesatuan itu dalam konsep Roh Absolut, yakni kesatuan kekuasaan hukum (negara atau masyarakat) dengan kebebasan individu.

Marx setuju dengan kritik Feuerbach atas negara dan agama sebagai sumber alienasi, kecuali itu menolak bahasa filsafat Feuerbach yang spekulatif dan mengarahkan alienasi pada keterasingan sebagai pengalaman aktual kaum pekerja dalam pekerjaannya. Seperti Feuerbach yang mengubah haluan dari pengikut Hegelian kanan menjadi Hegelian kiri, Marx tampil sebagai anggota paling radikal dalam kelompok Hegelian kiri.

Marx menolak negara dan agama sebagai dua kekuatan dari luar diri manusia, yang menguasai ekonomi (negara) dan membatasi kebebasan (agama), dengan demikian mengasingkan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas untuk menentukan dirinya sendiri melalui kegiatan ekonomi.

Bagi Marx, baik Kant dalam teorinya tentang civitas maupun Hegel dalam teorinya tentang negara sama-sama menjerumuskan individu dalam ketakberdayaan terhadap negara. Ideologi negara ini merupakan sumber alienasi yang mengharuskan individu bertindak melawan negara untuk mengembalikan hak-hak kodratinya sebagai makhluk rasional dan bebas.

Apa yang diperjuangkan kaum Hegelian kiri adalah pemahaman tentang manusia sebagai tiap-tiap orang (individu yang konkret), yang berpikir, dan dengan demikian menciptakan dirinya sendiri. Konsep negara atau Tuhan dalam filsafat Kant dan Hegel tidak menyatakan sesuatu nyata berada di luar kesadaran manusia, tetapi kesadaran sebagai hasil ciptaan manusia yakni yang sendiri, kesadaran manusia akan ketakterbatasan kesadarannya.

Ludwig Andreas mengatakan bahwa bukan Tuhan yang Feuerbach menciptakan manusia, dan dengan demikian bergantung pada manusia menciptakan Tuhan dan tak bergantung kepada Tuhan, melainkan. Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) Tuhan. Itulah alienasi sosial dan religius, manusia menciptakan sesuatu yang tidak nyata dari dirinya dan bergantung kepada ciptaannya itu.

Feuerbach lalu mendorong agar manusia menciptakan “dirinya sendiri dan bergantung pada dirinya sendiri”. Pengakuan akan negara dan Tuhan merupakan penanaman kesadaran palsu yang menimbulkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Kesadaran palsu merupakan proyeksi luar dari esensi atau hakikat batin manusia sendiri yang harus diatasi dengan menolak negara dan agama sebagai model politik penindasan.

Marx bertolak dari pemikiran Feuerbach mengenai keterasingan (alienasi), tetapi menolak subjektivisme Feuerbach tentang kesadaran sebagai kelanjutan idealisme Jerman, yang masih melekat kuat pada kaum Hegelian muda (kiri dan kanan), yang menggunakan Hegel untuk mengkritik atau mendukung Hegel.

Terhadap kaum Hegelian muda pada umumnya, Marx menyebut mereka sebagai pemikir materialisme spekulatif. Apa yang akan dibicarakan Marx adalah kritik terhadap idealisme Jerman, yakni sebuah ideologi yang memahami sejarah secara teoretis belaka.

Tesis Kalr Marx atas Feuerbach

Untuk mewujudkan rencananya itu, Marx menulis 11 tesis filsafat atas Feuerbach, “ad Feuerbach”, yang dimaksudkan untuk mengkritik idealisme Jerman pada umumnya dan secara khusus Feuerbach. Tujuan Marx ialah mengungkapkan apa yang seharusnya dibicarakan sebagai masalah praktis-politik, bukan sebagai teori yang abstrak. Inilah 11 tesis Marx, berturut-turut dari tesis 1 sampai dengan tesis 11.[3]

Thesis 1

The chief defect of all hitherto existing materialism – that of Feuerbach included – is that the things [Gegenstand], reality, sensuousness, are conceived only in the form of the object or of contemplation, but not as sensuous human activity, practice, not subjectively. Hence, it happened that the active side, in coradistinction to materialism, was set forth by idealism – but only abstractly, since, of course, idealism does not know real, sensuous activity as such. Feuerbach wants sensuous objects, really distinct from the conceptual objects, but he does not conceive human activity itself as objective activity. Hence, in Das Wesen des Christenthums, he therefore regards the theoretical attitude as the only genuinely human attitude, while practice is conceived and defined only in its dirty-Jewish form of appearance. Hence he does not grasp the significance of “revolutionary”, of “practical-critical”, activity.

Thesis 2

The question whether objective truth can be attributed to human thinking is not a question of theory but is a practical question. Man must prove the truth, i.e. the reality and power, the this-worldliness of his thinking in practice. The dispute over the reality or non-reality of thinking that is isolates from practice is a purely scholastic question.  

Thesis 3

The materialist doctrine that men are products of circumstances and upbringing, and that, therefore, changed men are products of changed circumstances and changed upbringing, forgets that it is men who change circumstances and that the educator must himself be educated. Hence this doctrine is bound to divide society into two parts, one of which is superior to society. The coincidence of the changing of circumstances and of human activity or self-change (Selbstveränderung) can be conceived and rationally understood only as revolutionary practice.

Thesis 4

Feuerbach starts off from the fact of religious self-estrangement (Selbstentfremdung), of the duplication of the world into a religious, imaginary world, and a secular [weltliche] one. His work consists in resolving the religious world into its secular basis. He overlooks the fact that after completing this work, the chief thing still remains to be done. For the fact that the secular basis lifts off from itself and establishes itself in the clouds as an independent realm can only be explained by the inner strife and intrinsic contradictoriness of this secular basis. The latter must itself be understood in its contradiction and then, by the removal of the contradiction, revolutionised. Thus, for instance, once the earthly family is discovered to be the secret of the holy family, the former must itself be annihilated (vernichtet) theoretically and practically.

Thesis 5

Feuerbach, not satisfied with abstract thinking, wants sensuous contemplation (Anschauung); but he does not conceive sensuousness as practical, human-sensuous activity.

Thesis 6

Feuerbach resolves the essence of religion into the essence of man (menschliche Wesen = ‘human nature’). But the essence of man is no abstraction inherent in each single individual. In reality, it is the ensemble of the social relations. Feuerbach, who does not enter upon a criticism of this real essence is hence obliged:

  1. To abstract from the historical process and to define the religious sentiment regarded by itself, and to presuppose an abstract-isolated-human individual.
  2. The essence therefore can by him only be regarded as “species”, as an inner “dumb” generality which unites many individuals only in a natural way.

Thesis 7

Feuerbach consequently does not see that the ‘religious sentiment is itself a social product, and that the abstract individual that he analyses belongs in reality to a particular social form. Thesis 8 All social life is essentially practical. All mysteries which lead theory to mysticism find their rational solution in human practice and in the comprehension of this practice.

Thesis 9

The highest point reached by contemplative (anschauende) materialism, that is, materialism which does not comprehend sensuousness as practical activity, is the contemplation of single individuals and of civil society (bürgerlichen Gesellschaft).

Thesis 10

The standpoint of the old materialism is civil society; the standpoint of the new is human society or social humanity.

Thesis 11

Philosophers have hitherto only interpreted the world in various ways; the point is to change it.

Humanisme teoretis atau materialisme humanis merupakan pemikiran Marx yang didasarkan pada ajaran Feuerbach mengenai ketercakupan kebebasan dengan alam, Sinnlichkeit. Oleh sebabitu, memisahkan manusia dari alam merupakan alienasi atau keterasingan. Misalnya, manusia yang dari kodratnya bebas dan rasional tercerabut dari kesejatian diri dan terasing dalam negara dan agama.

Marx menolak agama sebagai proyeksi (cerminan atau bayangan manusia) akan hiburan surga, sebagai sebuah ilusi yang secara nyata tidak mampu untuk melepaskan manusia dari penderitaan dan kepapaan. Negara dan agama merupakan tanda hakikat manusia yang terasing.[4] Kesatuan individu dalam kodratnya sebagai makhluk rasional dan bebas harus menjadi dasar pembangunan masyarakat yang dicita-citakan Marx. Dari pemahamannya mengenai humanisme revolusioner, Marx melahirkan gagasannya tentang liberalisme radikal dalam pemikiran tentang kerja.


[1] Hanah Arendt, Lectures on Kant’s Political Philosophy, diedit dengan interpretasi oleh Ronald Beiner (Chicago: The University of Chicago Press, 1989).

[2] Sittlichkeit adalah konsep “kehidupan etis” atau “tatanan etis” dana tau “moralitas” yang dikembangkan oleh filsuf Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam karyanya tahun 1807, The Phenomenology of Spirit dan karyanya pada tahun 1820/21, Elements of the Philosophy of Right (PR). Dalam bahasa Inggris atau Indonesia “sittlichkeit” tidak ada dalam terjemahannya. Kata “Sittlichkeit” dalam konsep Hegel sedikit banyak mengandung arti ketertiban atau tatanan moral sosial, keadilan, kebaikan hati kepada manusia.

[3] Karl Marx and Friedrich Engels, “These on Feurbach” dalam Basic Writings on Politics and Philosophy diedit oleh Lewis S. Freuer (New York: Anchor Books, 1959) hal. 243-245

[4] Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme Jakarta: PT Gramedia, 2005), hlm. 76.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

2 thoughts on “Marx Muda Pemikiran/Filsafat Tentang Humanisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like