
Kini, banyak yang meragukan bahwa kelas pekerja mustahil dapat mengubah dunia, pandangan mainstream menyebut “kegagalan revolusi buruh di Rusia dengan ditandai jatuhnya tembok berlin, menandakan petualangan telah selesai…” ungkap beberapa pakar politik, ekonomi dunia. Namun yang mereka lupakan adalah yang runtuh di Uni Soviet maupun Negara-negara yang berusaha mewujudkan revolusi buruh adalah karikatur dari memamahbiaknya birokrasi dan minimnya kepemimpinan bagi kelas buruh untuk mewujudkan revolusi internasionalnya.
Persoalaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana elit birokrasi serikat buruh yang merongrong kepentingan dari serikat buruh sebagai sekolah buruh untuk mendidik dan menempa menjadi kelas yang sadar akan keterasingan dan ketertindasannya. Bahkan, bila kita lihat kini dalam konteks Indonesia, secara terang-terangan para elit serikat buruh ini merapat kepada penguasa untuk mengharapkan reforma-reforma maupun jabatan-jabatan strategis, yang tidak lain dan tidak bukan adalah wujud nyata untuk memundurkan dan mendemoralisasi cita-cita perjuangan buruh dan kelas pekerja untuk dapat mewujudkan dunia yang adil, makmur dan sejahtera.
Sebagai sebuah ideologi, kapitalisme tidak hanya menancapkan sistem perekonomian dan politik yang menguntungkan kelas kapitalis atau pemodal-pemodal besar, namun juga mencekoki pikiran manusia dengan kebudayaan kapitalistik, istilah-istilah apa yang dimaksud dengan “kelas pekerja” dipilah-pilih berdasarkan kategori-kategori tertentu, ada manager, ada karyawan, ada direktur, ada birokrat, ada guru, ada ojol, ada buruh kerah putih, kerah kuning, kerah biru, dan segala macam tetek bengek peristilahan yang justru membuat rumit untuk memahami apa itu kelas pekerja. Padahal rumus umum yang dimaksud kelas pekerja adalah manusia yang mendedikasikan pikiran dan tenaga untuk tujuan serta kepentingan tertentu, dengan maksud mendapatkan upah minimum (bukan maksimum).
Kelas pekerja tidak hanya didefinisikan secara sempit yang mana menghasilkan barang atau produk tertentu seperti awal pabrik-pabrik berdiri, bahkan guru adalah kelas pekerja bagi pemilik perguruan tinggi, ojol adalah kelas pekerja yang menjual jasa kepada pemilik perusahaan, birokrat adalah kelas pekerja yang menjual jasa kepada institut/lembaga. Namun kelas pekerja di peradaban kapitalisme kini, tidak sekedar bekerja, ada nilai lebih (surprus value) yang menjadikan dia menguntungkan bagi kapitalis atau pemodal-pemodal besar, agar kemudian kepemilikan modal tersebut dapat semakin meningkat pesat, usaha semakin melebar dan tanpa sadar penindasan semakin dalam. Salah satu contoh, mengapa birokrat dapat menguntungkan bagi kapitalis? Produk kebijakan, hukum, dan peraturan dapat menjadi media bagi pemodal agar dapat meng-gampang-kan kepentingannya. Guru dapat membangun pikiran siswa untuk melahirkan generasi patuh, tunduk, dan taat bagi kepentingan eksploitasi pemilik modal. Dirver ojol dapat meningkatkan margin profit pemilik aplikasi dengan tanpa jaminan yang berarti bagi user/driver. Akan ada banyak contoh yang kita rasakan sehari-hari sebagai orang yang menjual pikiran dan tenaga untuk si pemilik modal.
Michael D Yates memaparkan artikel ini dalam pokok pikiran dan keyakinan bahwa kelas pekerja sangat mungkin untuk mengubah dunia, membangun institusi politik, ekonomi, budaya yang berbeda dengan kondisi kini. Layaknya sebuah peradaban, kapitalisme sebagai era akan runtuh seperti peradaban kerajaan dahulu yang diyakini tidak dapat diluluhlantahkan.
Sebagai seorang ekonom dan pendidik buruh, Yates dengan keyakinan penuh dan pengalaman, bahwa kelas pekerja adalah satu-satunya kelas umum yang sangat mungkin untuk membangun dunia baru. Selamat membaca.
——————————————————————————————————————————-
Michael D. Yates adalah editor asosiasi Monthly Review. Selama bertahun-tahun, ia menjadi profesor ekonomi di University of Pittsburgh di Johnstown. Ia adalah penulis Longer Hours, Fewer Jobs: Employment and Unemployment in the United States (1994), Why Unions Matter (1998), dan Naming the System: Inequality and Work in the Global System (2004), yang semuanya diterbitkan oleh Monthly Review Press.
Kaum radikal dari semua golongan percaya bahwa ekonomi kapitalis tidak sesuai dengan pembebasan manusia. Artinya, meskipun manusia memiliki kapasitas yang sangat besar untuk berpikir dan bertindak, kapitalisme menghalangi mayoritas manusia untuk mengembangkan kapasitas tersebut. Oleh karena itu, jika kita menginginkan masyarakat tempat berkembangnya kompetensi manusia secara penuh, kita harus mengakhiri kapitalisme dan menggantinya dengan sesuatu yang sangat berbeda.
Marx percaya bahwa masyarakat baru haruslah masyarakat yang di dalamnya alat-alat produksi dikendalikan secara demokratis dan kolektif, yang tujuannya adalah untuk menciptakan masyarakat yang di dalamnya tenaga kerja ditawarkan secara sukarela untuk kebaikan bersama dan hasil-hasil produksi masyarakat didistribusikan secara adil atau berkemanusiaan. Agen utama transisi dari kapitalisme ke masyarakat baru ini adalah kelas pekerja upahan yang diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri.
Pertanyaan yang langsung muncul di benak adalah apakah kelas pekerja mampu memenuhi peran yang ditetapkan Marx. Saat ini, konsensus di antara kaum radikal adalah bahwa hal itu mungkin sulit dilakukan; kelas pekerja telah memiliki banyak waktu untuk melakukannya tetapi sejauh ini belum berhasil. Saya tidak setuju, dan dalam makalah ini saya mencoba menjelaskan alasannya.
Sebelum membahasnya, beberapa pernyataan awal perlu disampaikan untuk menempatkan pertanyaan tersebut dalam konteks yang tepat. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kapitalisme, seperti masyarakat kelas yang mendahuluinya, adalah masyarakat yang eksploitatif (menindas). Kelas pemilik properti, kapitalis, mengambil surplus (nilai lebih) dari kelas pekerja atau kelas yang tidak memiliki properti, yang sebenarnya melakukan pekerjaan untuk menghasilkan output kepada masyarakat.
Sementara sejarah kapitalisme menunjukkan bahwa kelas pekerja cukup sering menjadikannya pekerja budak dan buruh kasar, bagian terbesar dan, dari waktu ke waktu, semakin dominan dari kelas ini terdiri dari buruh upahan, pekerja yang secara formal bebas, dalam arti ganda yaitu bebas menjual kemampuan mereka untuk bekerja kepada majikan mana pun dan bebas dari alat produksi non-manusia (mesin-mesin).
Kedua, tidak seperti budak dan hamba sahaya, buruh upahan dieksploitasi bukan melalui paksaan langsung (meskipun paksaan langsung dapat digunakan baik oleh kapitalis maupun oleh negara kapitalis) tetapi di balik tabir pasar. Pekerja upahan tidak dimiliki oleh kapitalis dan mereka juga tidak membayar sebagian dari hasil produksi mereka secara langsung kepada kapitalis. Akan tetapi, mereka tetap dieksploitasi, berdasarkan ketergantungan mereka sebagai suatu kelas atas pekerjaan yang dilakukan oleh para majikan. Para majikan menggunakan kepemilikan mereka atas alat produksi non-manusia untuk memaksa pekerja upahan bekerja lebih lama daripada yang diperlukan bagi para pekerja untuk menghasilkan hasil produksi yang dibutuhkan untuk penghidupan mereka sendiri. Ekstraksi surplus tenaga kerja ini, yang merupakan sumber keuntungan para kapitalis, dipertahankan sebagian oleh penciptaan pasukan cadangan tenaga kerja, yang disebabkan oleh sifat sistem itu sendiri.
Ketiga, kapitalisme, berdasarkan sifatnya, adalah sistem ekonomi ekspansif (semakin meluas/menyebar). Ia mendorong pasar lokal ke pasar nasional dan pasar nasional ke pasar internasional. Karena laba bergantung pada upah buruh, akumulasi modal yang tak henti-hentinya, dorongan untuk memaksimalkan laba dan pertumbuhan, yang merupakan inti kapitalisme, cenderung terus memperbesar kelas pekerja dan semakin membagi dunia menjadi dua kelas: kapitalis dan buruh upahan.
Keempat, sejak awal, akumulasi modal telah tertanam di dalam negara-negara yang kuat, dan negara-negara ini telah sangat membantu kaum kapitalis dalam upaya mereka untuk mengakumulasi modal, paling tidak dengan menekan tindakan kolektif para pekerja. Negara-negara ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan runtuh atau menghilang.
Kelima, akumulasi modal membutuhkan revolusi teknik produksi yang terus-menerus, yang pada gilirannya membutuhkan pemikiran sistematis, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik. Penemuan, pada dasarnya, diinternalisasi, dijadikan bagian penting dari sistem.
Keenam, dan yang paling penting, perkembangan alat-alat produksi yang terus-menerus, baik manusia maupun non-manusia, membuka kemungkinan untuk berkelimpahan, yaitu, tingkat kenyamanan material yang tinggi bagi semua orang, seiring dengan berkurangnya waktu yang harus dicurahkan setiap orang untuk bekerja. Dengan kata lain, kemungkinan untuk berkembangnya kapasitas manusia secara penuh. Kemungkinan untuk mengakhiri kehidupan subsisten dasar dari masyarakat kelas sebelumnya dan kembali ke ekonomi asli pengumpul dan pemburu yang egaliter dan terintegrasi, tetapi dengan tingkat perkembangan yang lebih tinggi dan sadar.
Mungkinkah kapitalisme dapat memenuhi kemungkinan yang diciptakannya? Jawabannya pasti tidak. Ini karena kapitalisme adalah sistem kelas, dan karena itu, ia menghadirkan hambatan yang tidak dapat diatasi untuk kehidupan yang berkelimpahan. Mari kita lihat ini. Kita telah melihat bahwa akumulasi modal membutuhkan eksploitasi tenaga kerja upahan. Eksploitasi ini, pada gilirannya, membutuhkan hal-hal yang jelas-jelas merugikan kehidupan yang baik, betapa pun didefinisikannya. Eksploitasi menuntut pemisahan yang tajam antara konseptualisasi dan pelaksanaan kerja. Beberapa orang dapat berpikir dan banyak orang dapat bertindak. Eksploitasi menuntut pembagian kerja terperinci yang diterapkan secara universal yang mengutuk massa orang untuk melakukan pekerjaan yang membosankan dan menjemukan. Dan eksploitasi menuntut pasukan cadangan tenaga kerja. ILO[1] memperkirakan bahwa ada sekitar 160 juta orang yang menganggur secara terbuka di dunia dan antara 700 dan 900 juta orang yang setengah menganggur. Tidak banyak kelimpahan bagi mereka.
Kapitalisme juga menciptakan dan terus-menerus mereproduksi perkembangan yang tidak merata baik di dalam maupun di antara negara-negara. Hal ini, pada gilirannya, menyiratkan bahwa ketidaksetaraan apa pun yang ada sejak awal akan terus ada sebagai akibat dari operasi normal kekuatan pasar. Seperti yang dikatakan ekonom John Gurley, kapitalisme harus dan memang “membangun yang terbaik.” Untuk mengutarakannya dalam bahasa sehari-hari: “mereka yang punya adalah mereka yang mendapat.” Kelimpahan yang ada harus terkonsentrasi ke beberapa negara dan beberapa tangan di setiap negara.
Ekonomi kapitalis pasti mengalami krisis berkala, jadi ketika sebagian orang mulai melihat cahaya di ujung terowongan, lampu pun padam. Dan jika mereka yang berada di bawah menjadi terlalu sombong, negara selalu siap menggunakan berbagai perangkat represifnya untuk menjatuhkan mereka lagi.
Kita secara tak terelakkan dituntun pada kesimpulan bahwa untuk mewujudkan apa yang dimungkinkan oleh kapitalisme, kapitalisme harus digantikan, dihapuskan, dan digantikan oleh cara produksi yang egaliter, yaitu cara di mana surplus apa pun yang diciptakan oleh tenaga kerja dikendalikan oleh tenaga kerja. Bagaimana ini bisa terjadi?
Kita tahu bahwa, mengingat kekuatan dan ketahanan kapitalisme yang besar, kapitalisme tidak akan runtuh karena bebannya sendiri. Seorang agen (atau beberapa agen) dibutuhkan untuk memimpin perjuangan melawan kapitalisme. Oleh karena itu, tujuan kita adalah mengidentifikasi agen perubahan.
Kaum kapitalis sendiri, bahkan yang disebut kapitalis “tercerahkan” seperti George Soros, tidak akan menjadi penggali kubur mereka sendiri. Kontradiksi paling mendasar dari kapitalisme, ketidakmampuannya untuk memungkinkan pengembangan manusia secara penuh, menuntut dan mengakhiri kelas kapitalis.
Ini menyisakan kelas-kelas yang tersisa. Mari kita bahas satu per satu. Dalam semua masyarakat kapitalis, ada pemilik independen, bukan kapitalis atau buruh upahan. Sejarah memberi tahu kita bahwa sebagian besar dari mereka yang berkecimpung dalam bisnis keluarga, praktik swasta, atau industri rumahan, ingin menjadi kapitalis, dan tidak biasa ketika orang-orang ini menentang sistem kapitalis. Terkadang mereka bersekutu dengan gerakan progresif massa, tetapi ini tidak dapat dipastikan. Pada akhirnya, sistem dapat berfungsi tanpa mereka.
Petani merupakan kelas lain di hampir semua masyarakat kapitalis. Petani adalah korban pertama kapitalisme; di mana pun kapitalisme berpijak, petani menemukan keterikatan lama mereka pada tanah terancam oleh kapital yang mencintai komoditas. Tanah tidak dapat digunakan untuk menghasilkan makanan untuk bertahan hidup. Sebaliknya, tanah harus diubah menjadi milik pribadi untuk produksi komoditas yang mencari keuntungan, termasuk makanan untuk ekspor—sebuah elemen akumulasi modal. Seperti yang dipahami Marx menjelang akhir hidupnya, petani dapat menjadi kekuatan revolusioner dan antikapitalis. Mereka menginginkan tanah dan akan sering memperjuangkannya. Selain itu, mereka memiliki cara kolektif dalam melakukan sesuatu, dan ini membuat mereka dapat menerima organisasi yang lebih kolektif dari masyarakat pascakapitalis. Mao memahami hal ini dengan sangat mendalam dan membangun pasukan Merahnya di atas basis petani. Saat ini, kaum komunis di Nepal melakukan hal yang sama. Ekonom Mesir Samir Amin memperkirakan bahwa hampir separuh populasi dunia masih tertanam dalam keadaan yang pada dasarnya adalah petani. Mengingat hal ini, kita tidak dapat mengabaikan potensi radikal petani atau menolak untuk bersekutu dengan organisasi progresif yang ada, seperti Gerakan Petani Tak Bertanah di Brazil.
Namun, meskipun petani dapat menjadi elemen penting dalam perjuangan revolusioner, patut diragukan bahwa mereka dapat menjadi agen utama perjuangan tersebut. Pertama-tama, di banyak tempat petani terisolasi dan berada di bawah tekanan ekonomi yang begitu kuat sehingga akan menjadi keajaiban jika mereka dapat berorganisasi secara efektif untuk menantang kapitalisme dalam skala global. Mereka dirampas secara massal, dan lebih mungkin mereka akan menimbulkan masalah sebagai anggota pasukan buruh cadangan perkotaan daripada sebagai petani. Kedua, di negara-negara kapitalis yang kaya, petani merupakan minoritas yang sangat kecil sehingga kemungkinan kekuatan politik mereka sangat minim. Pada akhirnya, petani tidak dibutuhkan oleh kapital; sistem dapat bertahan dan berkembang tanpa mereka. Ini bukan berarti bahwa memuji hilangnya mereka adalah hal yang progresif. Kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk menghentikan atau memperlambat proses ini. Masyarakat setiap hari dihadapkan pada sifat anti-manusia dari pertanian kapitalis skala besar, yang mencemari lingkungan dan meracuni pasokan makanan. Kita harus menemukan cara untuk memproduksi makanan kita secara berbeda, dan petani serta pengetahuan mereka adalah sumber daya yang tak ternilai bagi kita semua. [Saya perlu mencatat langkah-langkah luar biasa menuju pertanian yang lebih berpusat pada manusia yang sedang dilakukan di Kuba, yang memelopori pertanian bebas pestisida dan berskala kecil yang masih mampu mencapai swasembada pangan nasional. Saya juga perlu mencatat bias anti-pedesaan tertentu di antara beberapa kaum kiri. Mereka terlalu terpikat dengan komentar terkenal Marx tentang “kebodohan kehidupan pedesaan.” Namun, seperti yang ditunjukkan oleh editor Monthly Review baru-baru ini (Oktober 2003), “kebodohan” bukanlah terjemahan yang tepat dari bahasa Jerman Marx. Kata yang lebih tepat adalah “isolasi.” Dan isolasi inilah yang harus diakhiri saat kita berupaya untuk integrasi kehidupan perkotaan dan pedesaan yang lebih baik. Terkait hal ini, izinkan saya merekomendasikan artikel bagus oleh Jeremy Seabrook dalam edisi April/Juni 2002 Race & Class yang berjudul “Jiwa Manusia di Bawah Globalisme.”]
Jika pemilik lahan kecil maupun petani tidak mungkin menjadi agen perubahan, maka kelas mayoritas, bisa dikatakan, satu-satunya yang memiliki kemungkinan memimpin perjuangan melawan kapitalisme, adalah kelas pekerja. Kelas ini memiliki banyak keuntungan dalam hal kapasitasnya untuk berperang melawan kapital. Pertama, kelas ini adalah kelas yang dominan di mana pun kapitalisme memiliki cukup waktu untuk menegaskan kekuasaannya. Kecenderungan kapitalisme yang sangat besar adalah menciptakan pekerja upahan, jadi sementara petani dan pemilik lahan independen hidup dengan kemungkinan punah, jumlah pekerja upahan selalu bertambah, terlepas dari omongan bodoh tentang “masa depan tanpa pekerjaan”. Kedua, dan terkait dengan yang pertama, pekerja upahan mutlak penting bagi kapital, sumber nilai lebih yang pada gilirannya menjadi sumber keuntungan yang mendorong akumulasi kapital. Jika seperti yang dikatakan Istvan Meszaros, kapitalisme adalah kesempurnaan masyarakat kelas, maka pekerja upahan yang diciptakannya adalah kelas yang sempurna dalam hal eksploitasi. Mereka dieksploitasi, bisa dikatakan, di belakang mereka, di balik tabir hubungan pasar yang tampaknya setara, dan terlebih lagi, mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas reproduksi mereka sendiri.
Ketiga, karena pekerja berada di pusat sistem kapitalisme, di dalam tempat kerja tempat nilai lebih diambil dari mereka, mereka berada dalam posisi terbaik untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, untuk memahami hakikat sistem tersebut. Ini bukan berarti bahwa sebagian besar pekerja akan mampu memahami hakikat sistem itu sendiri. Namun, beberapa pekerja akan mampu dan mereka dapat mengajari orang lain. Sering kali pekerja terampil telah melakukan ini. Dan akan ada orang-orang di luar kelas pekerja yang akan menentang kapitalisme, dan mereka juga dapat menjadi guru. [Perlu saya catat di sini bahwa saya telah menjadi pendidik buruh selama dua puluh lima tahun, dan saya dapat mengatakan bahwa hampir tanpa kecuali, pekerja bereaksi positif terhadap teori nilai buruh. Teori itu sesuai dengan pengalaman mereka, dan ketika seseorang menjelaskannya kepada mereka, mata orang-orang di sekeliling ruangan berbinar. Itu selalu menjadi momen “aha!”.] Tentu saja, begitu pekerja memahami hakikat sistem, mereka pasti akan menjadi lebih sadar kelas dan mungkin bersedia berjuang melawannya.
Keempat, pekerja upahan cenderung lebih berpandangan ke depan. Tidak seperti petani, mereka tidak kehilangan apa pun untuk dilihat ke belakang. Mereka tidak memiliki harta benda, dan hanya memiliki tenaga kerja untuk dijual. Pekerja terampil terkadang berpandangan ke belakang, mencari jalan kembali ke masa ketika keterampilan mereka dihargai dan dihormati. Namun, kapitalisme mengobarkan perang terhadap pekerja terampil, sehingga homogenisasi massa pekerja memperkuat pemikiran kelas pekerja yang berpandangan ke depan.
Sebelum menelaah pencapaian dan kegagalan kelas pekerja, yakni, bagaimana kelas pekerja telah mengubah dunia dan bagaimana kelas pekerja telah gagal membuat perubahan revolusioner, saya ingin membahas sebuah isu yang diangkat ke permukaan oleh Hardt dan Negri dalam buku mereka yang banyak dibahas, Empire . Dalam buku ini, mereka menentang kelas pekerja yang terorganisasi secara kolektif (terorganisasi secara nasional dan internasional) sebagai agen perubahan revolusioner. Mereka mendukung kaum pekerja untuk melepaskan diri dari sistem, meninggalkannya demi produksi mandiri. Sementara gerakan “do-it-yourself” telah muncul dan telah berhasil terlibat dalam beberapa produksi yang independen dari mekanisme pasar, menurut saya politik desersi pasti akan gagal. Kapitalisme telah menciptakan setidaknya beberapa unit produksi skala besar yang tidak ingin kita tinggalkan. Bisakah kita “melakukannya sendiri” dan memproduksi baja atau memproduksi dan mendistribusikan listrik? Beberapa produksi akan selalu harus dikoordinasikan di seluruh wilayah yang luas. Bagaimana ini akan dilakukan? Dan dapatkah benar-benar dibayangkan bahwa puluhan juta pekerja akan meninggalkan pekerjaan dan melakukan hal mereka sendiri? Di bawah koordinasi apa dan dengan strategi apa melawan negara-negara yang akan secara aktif dan kejam menentang mereka? Tidak heran Hardt dan Negri menganggap negara sekarang tidak relevan. Itu argumen yang sangat mudah.
Dalam konteks kelas pekerja sebagai agen utama penentang kapitalisme, saya setuju dengan Ralph Milliband, yang mengatakan,
“keunggulan” buruh terorganisasi dalam perjuangan muncul dari fakta bahwa tidak ada kelompok, gerakan, atau kekuatan lain dalam masyarakat kapitalis yang mampu secara jauh untuk melancarkan tantangan yang efektif dan tangguh terhadap struktur kekuasaan dan hak istimewa yang ada seperti yang dapat dilakukan oleh buruh terorganisasi. Ini sama sekali bukan berarti bahwa gerakan perempuan, orang kulit hitam, aktivis perdamaian, ahli ekologi, kaum gay, dan lainnya tidak penting, atau tidak dapat memberikan pengaruh, atau bahwa mereka harus menyerahkan identitas yang terpisah. Sama sekali tidak. Ini hanya untuk mengatakan bahwa “penggali kubur” kapitalisme yang utama (bukan satu-satunya) tetaplah kelas pekerja terorganisasi. Inilah “agen perubahan historis” yang diperlukan dan tak tergantikan. Dan jika, seperti yang selalu dikatakan, kelas pekerja terorganisasi menolak untuk melakukan pekerjaan itu, maka pekerjaan itu tidak akan selesai. ( New Left Review , I (15), 1985)
Mudah untuk berkecil hati dengan berfokus pada kegagalan kelas pekerja, tetapi penting untuk melihat pencapaian kita. Kesadaran diri kelas pekerja tidak lebih dari 200 tahun. Tunduk pada perangkat kontrol yang diterapkan oleh pengusaha, pekerja memanfaatkan kontradiksi yang ditimbulkan oleh perangkat ini dan mulai mengorganisasi diri mereka ke dalam serikat pekerja. Misalnya, pengusaha memperkenalkan produksi pabrik untuk meningkatkan kontrol, tetapi pekerja mendapati diri mereka lebih sadar kelas karena kedekatan mereka satu sama lain. Pekerja menggunakan bahasa borjuis dan mengubahnya menjadi keuntungan mereka sendiri. Ketika kaum kapitalis berbicara tentang kebebasan berkontrak, para pekerja berbicara tentang kebebasan berkumpul.
Serikat pekerja yang diorganisasikan oleh para pekerja tidak hanya berfungsi sebagai organisasi defensif, yang memberikan perlindungan bagi para anggotanya terhadap ketidakpastian yang melekat dalam ekonomi kapitalis, tetapi juga sebagai organisasi pendidikan, yang mengajarkan para pekerja dasar-dasar sistem tempat mereka hidup dan bekerja. Organisasi kelas pekerja memaksa para intelektual untuk memperhatikannya, dan beberapa di antaranya tidak hanya mencoba menganalisis sistem tetapi juga menjadi sekutu aktif para pekerja. Dari tempat kerja mereka, para pekerja menyebarkan organisasinya ke tingkat masyarakat secara keseluruhan, membentuk organisasi dan partai politik, yang keduanya mengadvokasi reformasi politik dan untuk kontrol langsung terhadap negara itu sendiri. Para pekerja juga membentuk organisasi swadaya, surat kabar, kelompok musik, teater; dengan kata lain, budaya kelas pekerja terbentuk bersama dan berhubungan dengan serikat pekerja dan partai politik.
Sulit untuk memikirkan bagian dari masyarakat kapitalis yang belum diubah oleh aktivitas kelas pekerja dan sekutunya. Bukan hanya serikat buruh dan organisasi politik berbasis buruh yang telah meningkatkan kehidupan material para pekerja, meskipun mereka pasti telah melakukannya: Upah yang lebih tinggi, berbagai macam tunjangan, berakhirnya aturan sewenang-wenang bos di tempat kerja, perlindungan terhadap ketidakpastian PHK, cedera, penyakit, dan usia tua, hak untuk memilih, kebebasan berbicara dan berkumpul, tempat kerja yang lebih aman, pembukaan sekolah untuk massa rakyat, peningkatan demokrasi secara keseluruhan, dan banyak lagi. Tetapi juga bahwa kelas pekerja telah memaksakan diri pada masyarakat borjuis dan mengubah semua budayanya: dari sastra (pikirkan betapa umumnya untuk percaya bahwa lingkungan kelas seorang penulis penting dalam hal apa yang ditulis atau bagaimana kelas pekerja menjadi subjek sastra) hingga seni (pikirkan mural Diego Rivera), hingga film (Eisenstein dan banyak lainnya), bahkan hingga musik (musik rakyat tentu saja tetapi terkadang musik klasik juga). Terlebih lagi, ada kalanya kelas pekerja, yang sering bersekutu dengan dan terkadang tunduk kepada petani, telah menggulingkan kapitalisme dan mencoba membangun cara produksi sosialis nonkapitalis. Contohnya termasuk Uni Soviet, Tiongkok, dan Kuba.
Namun, terlepas dari banyaknya prestasi yang telah diraih, kelas pekerja belum banyak memberikan dampak pada hegemoni kapitalisme. Faktanya, Uni Soviet, yang pernah menjadi mercusuar harapan bagi para pekerja di seluruh dunia dan bahkan menjelang akhir hayatnya menjadi penyeimbang kekuasaan kapital, telah hancur berantakan lebih dari satu dekade yang lalu, dan sejak saat itu rakyat di bekas republik Soviet telah menderita jenis degradasi yang biasanya dikaitkan dengan “akumulasi modal primitif.” Dan Tiongkok, yang pernah memicu imajinasi radikal, tengah bergerak cepat menuju kapitalisme dan telah melihat apa yang pastinya menjadi salah satu pergeseran regresif paling masif dalam distribusi pendapatan dalam sejarah dunia, lengkap dengan pasukan cadangan tenaga kerja yang sangat besar, upah yang sangat rendah, dan tenaga kerja yang sangat kasar. Hanya Kuba yang sangat kecil yang berpegang teguh pada visi sosialis, terlepas dari ekonomi dua tingkat yang diciptakan oleh pariwisata.
Di negara-negara kapitalis yang kaya, kapital melancarkan serangan ganas terhadap kelas pekerja pada awal tahun 1970-an dan selama tiga dekade berikutnya memberikan serangkaian kekalahan yang tampaknya tak berujung kepada para pekerja. Tidak ada gunanya untuk menjelaskannya secara rinci; saya yakin Anda sangat menyadarinya. Di negara-negara kapitalis yang miskin, para ekonom berbicara tentang dekade-dekade yang hilang. Di mana-mana neo-liberalisme telah merosot, dan di mana-mana ia masih menjadi aturan sehari-hari. Meskipun ada serangan kapital, para pekerja, sebagian besar, masih jauh dari melakukan perlawanan dan mencoba mengakhiri sistem yang menindas ini. Tidak mengherankan bahwa banyak orang yang peduli dengan masalah-masalah seperti itu telah menyimpulkan bahwa para pekerja dunia tidak dapat dan bahkan jika mereka bisa, tidak akan memimpin perjuangan untuk dunia yang lebih baik.
Apa yang salah? Melihat sejarah yang luas, kita mungkin dapat mengidentifikasi beberapa kekuatan yang bekerja dan keputusan buruk yang diambil. Pertama, seperti yang ditunjukkan Marx, kapitalisme menciptakan pekerja menurut citranya sendiri. Sulit bagi pekerja untuk memahami sifat keadaan mereka, untuk melihat bahwa mereka menciptakan modal dan bukan sebaliknya. Jadi, bahkan ketika terorganisasi, mereka berjuang untuk upah yang “lebih adil” dan kondisi yang lebih baik daripada mengakhiri sistem upah buruh yang merupakan sumber utama keadaan mereka. Sistem tersebut tampak bagi mereka sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan tidak dapat diubah, meskipun mereka mungkin memenangkan kesepakatan yang lebih baik. Tentu saja, gagasan ini diperkuat oleh mesin propaganda yang luas, termasuk media dan sekolah.
Kedua, proses akumulasi itu sendiri menciptakan perpecahan di antara para pekerja, dan para pengusaha dengan cepat mendorong hal ini dan memanfaatkan perpecahan yang sudah ada sebelum kapitalisme. Misalnya, akumulasi modal pasti menciptakan perpecahan antara pekerja terampil dan tidak terampil, perpecahan yang sering diperburuk oleh perbedaan etnis, gender, ras, dan agama. Di Amerika Serikat, perpecahan yang paling menyusahkan adalah perpecahan ras. Warisan perbudakan tidak pernah diatasi dan telah meracuni gerakan buruh sejak awal. Selain itu, hingga saat ini gerakan buruh telah didefinisikan dalam istilah gender, sebagai gerakan laki-laki, dan ini juga telah secara tajam menghambat kemampuan gerakan untuk mengorganisasi dan menyatukan kelas pekerja.
Akumulasi modal juga menciptakan pasukan cadangan tenaga kerja, dan massa tenaga kerja yang menganggur ini mengancam mereka yang bekerja. Keadaan para penganggur membuat mereka sulit untuk berorganisasi, dan ketika mereka melakukannya, mereka tidak dapat yakin akan dukungan dari para pekerja atau bahkan dari serikat pekerja. Federasi buruh di Argentina tidak berada di garis depan dalam mendukung gerakan para penganggur Argentina.
Setelah pekerja berhasil memenangkan sebagian tuntutan mereka, mereka pasti akan mengembangkan kepentingan dalam status quo. Hal ini mungkin berlaku baik dalam hubungan dengan pengusaha maupun dengan negara. Negosiasi yang berhasil dengan pengusaha tertentu dapat mengarah pada penerimaan serikat pekerja terhadap kerja sama manajemen-pekerjaan, terutama jika pengusaha ini menghadapi kesulitan di pasar. Hal ini dapat mengarah pada situasi di mana anggota serikat pekerja lebih mengidentifikasi diri dengan pengusaha daripada dengan pekerja di fasilitas lain, bahkan ketika pekerja lain ini berada dalam serikat pekerja yang sama. Masalah ini diperburuk ketika negara menggunakan kekuatannya yang besar untuk mengkooptasi pimpinan serikat pekerja. Ketika ada kesempatan bagi serikat pekerja industri baru di Amerika Serikat untuk mengembangkan politik independen pada tahun 1930-an, pemerintahan Roosevelt mampu mengkooptasi pemimpin CIO tertentu, seperti Sidney Hillman dan Phillip Murray, dan menggunakan mereka sebagai alat untuk melawan John L. Lewis yang lebih independen. Bahkan kaum Komunis pun jatuh ke dalam perangkap ini, yang hasil akhirnya adalah aliansi yang dekat dan mematikan antara buruh terorganisasi dan Partai Demokrat yang semakin anti-buruh. Di Eropa, ancaman Uni Soviet dan kekuatan organisasi buruh yang dipimpin kaum kiri menambah urgensi pada strategi kooptasi. Kemitraan penuh antara pengusaha, serikat pekerja, dan negara pun terbentuk, dan meskipun “kesepakatan buruh” ini terbukti bermanfaat bagi pekerja karena mengarah pada pembentukan negara kesejahteraan, kesepakatan ini telah terbukti menghancurkan buruh dalam beberapa tahun terakhir ketika pengusaha telah meninggalkan kesepakatan tersebut tetapi serikat pekerja tidak memiliki alternatif lain.
Meskipun mencari perlindungan negara atau bahkan membuat aliansi dengan pengusaha terkadang dapat menjadi taktik yang berguna bagi buruh, hal itu tidak dapat menjadi strategi buruh. Di Amerika Serikat, konsekuensi dari “kesepakatan buruh” telah terbukti sangat buruk. Kondisi paling mendasar untuk penerimaan kesepakatan oleh beberapa pengusaha dan negara adalah pengabaian sayap kiri buruh. Serikat pekerja yang dipimpin oleh sayap kiri dibersihkan dari CIO, serikat pekerja yang tidak hanya merangkul perjuangan untuk hak-hak sipil dan, pada tingkat yang lebih rendah kesetaraan gender, dan serikat pekerja yang menjunjung tinggi tradisi solidaritas kelas pekerja internasional, tetapi juga serikat pekerja yang memenangkan kontrak terbaik dan sering kali paling demokratis. Sebagai konsekuensi dari penerimaan CIO terhadap anti-komunisme yang ganas (bergabung dengan AFL yang sudah sangat anti-komunis), buruh kehilangan orang-orang terbaiknya dan tanpa ideologi kelas pekerja apa pun untuk membimbing pekerja saat mereka mencoba memahami dunia. Partai Buruh meninggalkan gerakan hak-hak sipil yang sedang berkembang dan didominasi oleh birokrat laki-laki kulit putih, terkadang masih berdedikasi kepada para anggota tetapi cukup sering menjadi penganut serikat pekerja yang hanya ingin menduduki jabatan dan terkadang menjadi semi-mafia yang korup. Presiden AFL-CIO, George Meany, benar-benar membanggakan bahwa dia tidak pernah berjalan di garis piket. Beberapa anteknya bekerja untuk CIA dan membantu menggulingkan pemerintahan demokratis di seluruh dunia. Ledakan ekonomi pasca-Perang Dunia Kedua dan kekuatan unik awal ekonomi AS memungkinkan gerakan buruh untuk mengklaim bagian dari rampasan bagi anggota serikat pekerja, tetapi ketika ekspansi panjang berakhir pada pertengahan 1970-an dan pengusaha melakukan serangan, kelemahan buruh menjadi mencolok dan kapitulasi yang hampir lengkap pun terjadi.
Kekuatan mekanisme pasar bersama dengan kesepakatan yang dibuat buruh dengan kapital membuat apa yang terjadi di dalam tempat kerja terlarang bagi buruh yang terorganisasi. Sementara beberapa pekerja memenangkan upah tinggi dan tunjangan yang baik, majikan mereka diberi kebebasan untuk memperkuat kontrol manajerial atas proses perburuhan. Terus menggunakan pembagian kerja yang terperinci, mekanisasi, dan Taylorisme, bersama dengan banyak teknik yang dikembangkan pertama kali oleh perusahaan mobil Jepang dan diberi nama yang tepat “manajemen berdasarkan stres” telah memungkinkan pengusaha tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan pada buruh serikat (dengan mengurangi kebutuhan pekerja melalui mekanisasi, outsourcing, ekspor pekerjaan, dll.) tetapi juga membuat banyak tempat kerja modern menjadi apa yang Ben Hamper, dalam bukunya Rivethead , sebut sebagai gulag modern. Dengan serikat pekerja yang melepaskan hak untuk menentang sifat pekerjaan, apakah mengherankan bahwa begitu banyak pekerja membeli berbagai skema manajerial yang mengklaim memberdayakan mereka?
Ketiga, saya pikir kekuatan gabungan nasionalisme dan imperialisme telah benar-benar menggagalkan gerakan buruh di negara-negara kapitalis kaya. Seperti yang saya katakan dalam sebuah artikel yang saya tulis pada tahun 2001:
Dua masalah penting menghadang persatuan pekerja di dunia. Pertama, kapitalisme selalu berkembang dalam konteks suatu negara, dengan negara yang aktif dan terlibat. Kedua, kapitalisme, sejak awal, berkembang tidak merata di berbagai belahan dunia. Negara-negara kapitalis pertama di Eropa dan kemudian kasus-kasus khusus seperti Amerika Serikat dan Jepang menaklukkan seluruh dunia melalui kekuatan militer dan ekonomi mereka, menciptakan sistem imperialis negara-negara kapitalis kaya dan miskin. Perkembangan kembar ini, nasionalisme dan imperialisme, telah membangun penghalang yang sangat besar terhadap persatuan pekerja di dunia.
Jika modal terikat secara geografis dalam suatu negara, tentu saja mungkin bahwa pekerja yang terorganisasi akan mampu melalui tindakan mereka sendiri untuk memaksa majikan mereka untuk membayar mereka lebih banyak uang dan tunjangan, mengurangi jam kerja mereka, dan memperbaiki kondisi kerja mereka. Mereka tidak akan membutuhkan solidaritas dari pekerja di negara lain untuk mencapai hal-hal ini. Mereka mungkin juga dapat memperebutkan kekuasaan negara sendiri, sehingga untuk berbicara. Pengrajin Inggris dapat dan memang berorganisasi secara efektif di Inggris, dan mereka tidak memerlukan bantuan pekerja Prancis atau Jerman. Hal yang sama berlaku untuk pekerja di Amerika Serikat. Pekerja mobil mengorganisir aksi mogok duduk besar-besaran yang membuat General Motors tunduk, dan sementara mereka membutuhkan istri mereka, pekerja lain, dan beberapa simpati dari gubernur dan pengadilan, mereka tidak membutuhkan aliansi dengan pekerja Meksiko atau Kanada untuk mendirikan serikat pekerja mereka dan memenangkan perjanjian tawar-menawar kolektif pertama mereka.
Tidak membutuhkan dukungan dari pekerja di negara lain tentu saja tidak berarti bahwa dukungan tersebut mungkin tidak berguna atau tidak boleh diminta. Mungkin posisi pengrajin Inggris dan pekerja mobil AS akan lebih kuat, jika tidak dalam jangka pendek, tentu saja dalam jangka panjang, jika mereka berpihak pada pekerja di negara lain. Jadi, mengapa solidaritas internasional tidak menjadi seruan persatuan buruh sejak awal? Dua alasan dapat dikemukakan. Pertama, nasionalisme sebagai ideologi eksklusivitas dengan cepat menjadi sangat kuat. Penetapan bahasa resmi, lembaga mekanisme propaganda universal di sekolah umum, dan perekrutan pekerja ke dalam tentara nasional semuanya berdampak pada dorongan pekerja untuk setia kepada negara. Kebalikan dari kesetiaan ini adalah ketidakpercayaan atau bahkan kebencian terhadap mereka yang “asing”. Ayah saya adalah seorang buruh pabrik serikat pekerja selama 44 tahun, tetapi pengalaman hidupnya tidak kondusif bagi solidaritas internasional. Perang Dunia Kedua khususnya membentuknya menjadi pendukung fanatik pemerintah AS (dan pendukung de facto modal AS dalam banyak hal) dan sebagai orang yang sangat takut terhadap orang asing ketika berhubungan dengan Jepang, Soviet, atau Cina.
Kedua, nasionalisme di negara-negara kapitalis maju terkait erat dengan imperialisme. Eksploitasi kejam terhadap pekerja dan petani di Afrika, Asia, dan Amerika Latin berjalan seiring dengan promosi ideologi rasis yang mengajarkan bahwa orang-orang ini pantas mendapatkan apa yang mereka dapatkan atau beruntung karena dikaitkan dengan negara-negara kaya. Lebih jauh lagi, nilai lebih yang dipompa keluar dari negara-negara pinggiran memberikan uang kepada perusahaan-perusahaan multinasional besar yang, di bawah tekanan serikat pekerja yang cukup, dapat mereka yakinkan untuk berbagi dengan para pekerja. Ini sejalan dengan upaya-upaya yang berhasil oleh perusahaan-perusahaan dan pemerintah untuk mengkooptasi para pemimpin buruh, melalui pembentukan berbagai jenis organisasi manajemen buruh, penugasan kepada dewan dan komisi publik dan sejenisnya. Tujuannya di sini adalah untuk meyakinkan para pemimpin buruh serta anggota serikat pekerja bahwa imperialisme baik bagi para pekerja di negara-negara kapitalis inti. Semua upaya ini, sebagian besar, berhasil. Organisasi buruh di semua negara kapitalis maju tidak hanya mendukung perusahaan multinasional mereka sendiri dalam eksploitasi brutal terhadap ekonomi dan pekerja di negara-negara miskin, mereka bahkan mendukung perang di mana pekerja dari satu negara kaya berperang melawan pekerja di negara lain. ( Tinjauan Bulanan , Juli/Agustus 2000).
Tentu saja, kita tidak lagi hidup di dunia di mana modal terikat di dalam suatu negara. Jauh dari itu. Namun, nasionalisme dan rasisme yang berasal dari periode sebelumnya masih ada dan mempersulit untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan untuk menempa gerakan buruh internasional. Bahkan saat ini, beberapa tahun setelah Departemen Urusan Internasional AFL-CIO yang terkenal dihapuskan, situs web AFL-CIO hanya memiliki sedikit berita tentang pekerja di seluruh dunia. Ketika pekerja yang menganggur di Argentina memblokade jalan raya dan pekerja yang diberhentikan menduduki pabrik, AFL-CIO tidak banyak memperhatikannya. Saat ini, pendudukan Irak memberikan kedok untuk penindasan gerakan buruh Irak yang baru lahir, tetapi Anda tidak banyak mendengar tentang hal ini dari buruh yang terorganisasi. Di tingkat lain, organisasi buruh merasa perlu untuk memulai pertemuan dengan lagu kebangsaan atau lebih buruk lagi, penghormatan bendera. Yang terburuk dari semuanya, orang tua kelas pekerja menyetujui pendaftaran anak-anak mereka ke militer dan, dengan pengecualian yang jarang terjadi, menganggap mereka sebagai pahlawan bahkan jika mereka terbunuh.
Saya kira adil untuk mengatakan bahwa, mengingat berbagai kekuatan yang melawan mereka, sungguh menakjubkan bahwa para pekerja telah mencapai apa yang telah mereka capai.
Sekarang saatnya untuk kembali ke pertanyaan awal kita: Bisakah buruh mengubah dunia? Izinkan saya menyampaikan dua poin awal. Pertama, saya ingin menegaskan kembali apa yang saya katakan sebelumnya. Dunia tidak akan berubah secara permanen menjadi lebih baik kecuali massa pekerja melakukan perubahan. Pekerja upahan diperlukan agar kapitalisme dapat mereproduksi dirinya sendiri, jadi jelas bahwa hanya buruh yang dapat menghentikan reproduksi ini dan mengatur ulang cara produksi dan distribusi masyarakat.
Kedua, kita telah melihat bahwa kapitalisme pasti menimbulkan kontradiksi dan ini membuka peluang bagi para pekerja dan sekutunya untuk menantang kekuatan kapital. Namun, kapital selalu siap belajar dari tantangan-tantangan ini dan mengurangi dampaknya atau bahkan mengubahnya menjadi keuntungan. Kapitalisme tangguh dan hegemonik dalam perkembangannya. Hal ini membuat tugas untuk menggantikannya menjadi tugas yang berat.
Jadi, dengan ini, apa yang akan terjadi di masa depan? Bahkan di tengah-tengah apa yang tampaknya menjadi lingkungan yang putus asa bagi kelas pekerja, ada banyak tanda-tanda yang memberi harapan. Saya yakin pembaca menyadari sebagian besar dari ini jadi saya tidak akan membahas detailnya, tetapi hanya menyebutkan gerakan keadilan global yang sedang berkembang, gerakan anti-pabrik yang dipimpin mahasiswa, berbagai kampanye upah layak yang berhasil, semua jenis pembangunan jembatan yang berhasil oleh gerakan buruh (ini bersama dengan kampanye pengorganisasian yang inovatif, banyak yang dipimpin oleh wanita, minoritas, dan imigran dianalisis dengan terampil oleh Dan Clawson dalam buku barunya The Next Upsurge: Labor and the New Social Movements ), perdebatan saat ini dalam serikat pekerja tentang cara meningkatkan kepadatan serikat pekerja, gerakan anti-perang, yang sekarang mencakup US Labor Against the War, dan banyak lainnya. Saya juga telah membahas beberapa gerakan baru, di sini dan di seluruh dunia, dalam bab terakhir buku saya Naming the System .
Namun, bagaimana pun Anda melihatnya, kapitalisme tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera runtuh, dan bahkan bentuknya yang paling ganas, neoliberalisme, tidak menunjukkan tanda-tanda akan memudar. Jadi, hal-hal seperti apa yang dapat dilakukan untuk benar-benar meremajakan gerakan buruh, setidaknya membuatnya siap untuk memimpin “gelombang berikutnya?” Saya membatasi diri pada Amerika Serikat di sini, meskipun beberapa poin saya mungkin relevan dengan seluruh dunia. Dan saya mengusulkan hal-hal ini dengan asumsi bahwa saya berbicara tentang apa yang dapat kita lakukan di pihak kiri. Kita harus mencoba membangun pihak kiri dalam segala hal yang kita lakukan. Dalam pendidikan ketenagakerjaan saya, saya harus menekankan hakikat kapitalisme terlebih dahulu dan terutama. Dalam pekerjaan lingkungan, kita harus berpendapat bahwa kapitalisme adalah sumber utama keterasingan kita dari alam. Kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk menjadikan gerakan anti-globalisasi sebagai gerakan anti-kapitalis. Kita harus mendorong perspektif kiri dalam serikat pekerja kita. Kita tidak boleh berhenti menunjukkan kesamaan hakiki dari partai-partai politik utama. Kita harus waspada untuk menunjukkan hubungan antara kapitalisme, patriarki, dan penindasan rasial. Dan segala bentuk penindasan.
Secara khusus, berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
Izinkan saya menyimpulkan dengan mengatakan bahwa ini bukanlah saatnya untuk meninggalkan kelas pekerja. Kapital sedang menguasai dunia, menjadikan bumi sebagai kubangan eksploitasi yang sangat besar. Terlebih lagi, ini terjadi hampir seperti yang dikatakan Marx. Analisisnya masih relevan saat ini sebagaimana sebelumnya. Dan pernyataannya yang menunjuk kelas pekerja sebagai satu-satunya agen yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kapital sama benarnya sekarang seperti ketika ia menulis Kapital. Pekerja adalah elemen yang diperlukan dari sistem, dan mereka adalah satu-satunya kekuatan yang mampu memaksa sistem ini ke tong sampah sejarah. Mereka yang menganggapnya reaksioner atau terlalu nasionalis atau rasis atau seksis atau tidak peka terhadap lingkungan tidak dapat menawarkan kita agen untuk menggantikannya. Tentu saja, jika kita melihat sejarah kita, kita melihat bahwa pekerja telah menjadi semua hal yang mereka tolak sebagai potensi revolusioner. Namun, kita juga melihat bahwa pekerja telah melakukan hal-hal yang paling luar biasa, dan telah menunjukkan kepada dunia apa yang dapat dilakukan oleh solidaritas kolektif dan tindakan yang didasarkan padanya. Kita harus ingat bahwa perjuangan kelas adalah perjuangan yang panjang dan berat. Namun ada satu yang sangat layak diwujudkan dan satu-satunya yang mampu membawa kita menuju masyarakat yang dapat mulai mewujudkan mimpi radikal: Dari masing-masing sesuai kemampuan, untuk masing-masing sesuai kebutuhan.
Alih bahasa dari artikel yang berjudul Can the Working Class Change the World? oleh Michael D. Yates
[1] Organisasi Buruh Internasional adalah sebuah wadah yang menampung isu buruh internasional di bawah naungan PBB. ILO didirikan pada 1919 sebagai bagian Persetujuan Versailles setelah Perang Dunia I. Organisasi ini menjadi bagian PBB setelah pembubaran LBB dan pembentukan PBB pada akhir Perang Dunia II.
Mahasiswa Magister Administrasi Publik FISIP Universitas Mulawarman