Sujiwo Tejo: Pancasila itu Tidak Ada

Pada suatu malam yang tenang namun penuh gejolak makna, Sujiwo Tejo berkata lirih namun tegas di layar kaca: “Pancasila itu tidak ada.” Bukan karena ia mengingkari lambang burung Garuda yang dipahat rapi di dinding-dinding gedung pemerintahan.

Bukan pula karena ia melupakan lima sila yang dihafalkan anak-anak SD. Tetapi karena, menurutnya, Pancasila telah jauh dari denyut nadi rakyatnya. Pernyataan ini bukan sekadar provokasi, tapi ratapan. Ratapan tentang idealisme yang membatu, tentang nilai-nilai luhur yang terkubur di balik angka kemiskinan, ketidakadilan, dan ketamakan yang merajalela.

Hari Kesaktian Pancasila yang seharusnya menjadi hari perenungan justru kerap dirayakan dengan wajah seremonial belaka. Lagu kebangsaan berkumandang, pidato dibacakan, bendera dikibarkan.

Tapi apakah rakyat benar-benar merasa bahwa Pancasila “ada”? Atau Pancasila kini hanya menjadi mitos negara yang dipuja di atas podium, tapi diingkari di lorong-lorong kekuasaan?

Ketuhanan yang Mahakuasa di Negeri yang Membiarkan Orang Lapar

Bagaimana mungkin kita menyebut sila pertama sebagai landasan, jika masih banyak orang berdoa dalam perut kosong? Jika tempat ibadah dibakar karena perbedaan keyakinan? Jika minoritas dicekik oleh mayoritas, dan negara pura-pura tidak melihat?

Ketuhanan yang Mahakuasa bukanlah sekadar soal ritual, tapi soal kemanusiaan. Dan ketika negara gagal memberi makan, gagal memberi keadilan, maka sila pertama itu tinggal kalimat hampa yang dibacakan tanpa makna.

Sujiwo Tejo, dalam puisinya yang terselubung dalam dialog, sedang mengingatkan bahwa agama tidak bisa hidup di atas penderitaan manusia. Ia menelanjangi ilusi moralitas yang selama ini diklaim oleh negara.

Karena Tuhan tidak akan bangga pada bangsa yang membiarkan warganya tidur di emperan, atau yang membiarkan keadilan hanya dimiliki oleh mereka yang punya uang dan koneksi.

Pancasila tidak akan pernah menjadi sakti jika negara terus menutup mata pada kekejaman yang terjadi atas nama stabilitas. Dan dalam konteks ini, kritik Sujiwo bukan hanya tajam, tapi juga menyayat: sebuah bangsa yang membiarkan rakyatnya lapar, kehilangan hak, dan terpinggirkan, adalah bangsa yang kehilangan Tuhannya sendiri.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Puing di Tengah Kerusakan Moral

Kita bicara tentang kemanusiaan, padahal angka kekerasan, diskriminasi, dan persekusi naik setiap tahun. Kita mengklaim sebagai bangsa yang beradab, tapi media kita dipenuhi hujatan, pengadilan jalanan, dan pembiaran terhadap pelanggaran HAM. Sujiwo Tejo, dengan gaya puitisnya, sedang memukulkan palu kesadaran: kemanusiaan di negeri ini hanya milik mereka yang beruntung.

Orang kecil bisa kehilangan rumah karena proyek negara. Buruh bisa kehilangan pekerjaan karena regulasi yang menguntungkan korporasi. Anak-anak Papua bisa kehilangan sekolah karena konflik yang tak kunjung selesai. Apakah ini yang disebut adil? Apakah ini yang disebut beradab?

Kritik Sujiwo adalah pengingat bahwa sila kedua hanya mungkin hidup jika negara berani berdiri bersama yang lemah, bukan menindas atas nama pembangunan. Bahwa kemanusiaan bukan soal belas kasihan, tapi soal keadilan. Dan selama itu tidak ditegakkan, maka Pancasila memang tidak ada.

Persatuan Indonesia yang Retak dalam Polarisasi dan Kekerasan

Apa arti persatuan jika kita terus diadu domba oleh politik identitas? Jika setiap pemilu membuat kita saling curiga, saling menghakimi, bahkan saling mengancam? Persatuan Indonesia hari ini lebih tampak sebagai jargon kampanye daripada realitas sosial. Di media sosial, kita lebih sibuk berkelahi daripada berdialog. Di dunia nyata, kita lebih mudah membenci daripada memahami.

Sujiwo Tejo menyindir bahwa persatuan tidak bisa dibangun dari seruan kosong. Ia lahir dari empati, dari pengakuan bahwa perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman. Tapi negara kerap lebih suka menggunakan perbedaan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari kegagalannya sendiri.

Jika kita benar-benar menghayati sila ketiga, maka tidak akan ada ruang bagi ujaran kebencian. Tidak akan ada pemisahan antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Dan jika persatuan memang sakti, maka bangsa ini tidak akan mudah dipecah belah hanya karena suara dan kursi kekuasaan.

Kerakyatan dalam Kepemimpinan yang Semakin Jauh dari Rakyat

Kerakyatan adalah tentang suara rakyat, tentang kedaulatan yang berada di tangan mereka. Tapi hari ini, apakah suara rakyat masih didengar? Ataukah telah dikebiri oleh oligarki, oleh partai, oleh kekuatan modal? Pemilu yang seharusnya menjadi pesta rakyat, kini terasa seperti lelucon mahal. Rakyat diajak memilih, tapi yang menentukan tetap mereka yang ada di atas.

Sujiwo Tejo seolah menggumamkan ironi: para pemimpin datang dari rakyat, tapi begitu berkuasa mereka lupa jalan pulang. Mereka membangun pagar tinggi, mengunci diri dalam ruang ber-AC, dan hanya turun ketika kamera menyala.

Sila keempat kehilangan maknanya karena musyawarah digantikan oleh konsensus elite. Karena perwakilan rakyat lebih sibuk menjaga kepentingan partai daripada menyuarakan aspirasi konstituen. Maka jangan heran jika Pancasila dianggap tidak ada, karena rakyat sudah terlalu sering merasa tidak dianggap.

Keadilan Sosial, Satu Mimpi yang Terus Ditunda

Apa gunanya membacakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” setiap Senin pagi jika si miskin tetap terpinggirkan? Jika anak desa tetap kalah akses dibanding anak kota? Jika petani kehilangan lahan karena tambang, nelayan kehilangan laut karena reklamasi? Keadilan sosial, sebagaimana dituturkan Sujiwo Tejo, adalah utopia yang semakin menjauh, karena kekuasaan lebih senang berpihak pada pemilik modal.

Pancasila tidak akan pernah sakti selama jurang ekonomi melebar, selama pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu, dan selama kesehatan menjadi komoditas, bukan hak. Apa yang disampaikan Sujiwo bukan sekadar kritik, tetapi ratapan yang sangat manusiawi. Ratapan dari seniman yang mencintai negerinya, tapi kecewa pada jalan yang ditempuh bangsanya.

Dan kita sebagai warga negara, harus jujur bertanya: siapa yang membunuh Pancasila? Bukan penjajah, bukan pemberontak, tapi mungkin kita sendiri. Kita yang membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Kita yang diam ketika suara minoritas dibungkam. Kita yang menutup mata atas dosa kolektif bernama ketimpangan.

Pancasila Akan Ada Bila Kita Menghidupkannya

Pernyataan Sujiwo Tejo harus kita terima bukan sebagai penghinaan, tapi sebagai panggilan. Pancasila belum mati—tapi ia sekarat. Ia menanti untuk dihidupkan kembali, bukan di podium, bukan di dinding kantor, tapi di hati dan tindakan kita.

Hari Kesaktian Pancasila seharusnya bukan hanya seremoni, melainkan momentum untuk bertanya: apa yang telah kita lakukan untuk membuat Pancasila hidup kembali? Bukan dalam dokumen negara, tapi di ladang petani, di pasar rakyat, di ruang kelas, dan di rumah kita sendiri.

Jika kita gagal menghidupkannya, maka bukan Sujiwo Tejo yang salah. Tapi kita semua, yang membiarkan lima sila itu jadi lima ilusi.

Buruh negara yang memperhatikan demokrasi, sosial dan ekonomi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like