
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 telah mengguncang fondasi kebijakan pendidikan Indonesia. Melalui amar yang tegas, MK menyatakan bahwa kewajiban negara untuk memberikan pendidikan dasar gratis tidak hanya berlaku bagi sekolah negeri, tetapi juga meluas ke sekolah swasta. Ini bukan hanya perubahan yuridis, tetapi juga langkah politik konstitusional yang mewajibkan negara untuk memperluas jangkauan tanggung jawab publik terhadap penyelenggaraan pendidikan dasar.
Selama ini, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditafsirkan sempit: pendidikan dasar gratis hanya berlaku di sekolah negeri. Akibatnya, jutaan siswa di sekolah swasta dan madrasah terpinggirkan dari manfaat kebijakan pendidikan gratis. Putusan MK memaksa negara untuk mengakui bahwa pemisahan tanggung jawab berdasarkan status lembaga pendidikan adalah bentuk diskriminasi struktural.
Putusan ini berpotensi mengubah lanskap hukum dan kebijakan pendidikan secara radikal. Tidak hanya soal pemerataan akses, tetapi juga menyangkut legitimasi sekolah swasta sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Negara dituntut untuk tidak hanya memberikan izin operasional, tetapi juga menyokong pembiayaan pendidikan mereka secara memadai.
Namun, putusan ini tidak datang tanpa konsekuensi. Dalam amar putusannya, MK menyadari keterbatasan fiskal negara dan menginstruksikan pelaksanaan pembiayaan secara bertahap. Ini membuka ruang tafsir dan implementasi yang kompleks: bagaimana merumuskan mekanisme pendanaan yang adil, efisien, dan tidak membebani keuangan negara?
Pertanyaan kritis muncul: apakah negara siap memperluas cakupan subsidi pendidikan tanpa mengorbankan kualitas? Apakah ini awal dari reorientasi besar dalam filosofi penyelenggaraan pendidikan nasional, atau hanya respons politis terhadap tekanan sipil?
Jawabannya tidak sesederhana hitungan fiskal. Ini adalah momen yang menuntut negara untuk merumuskan ulang relasi antara publik dan swasta dalam pelayanan pendidikan, dengan pendekatan inklusif dan berkelanjutan.
Peran sekolah swasta dalam sejarah pendidikan Indonesia sangat signifikan, bahkan sejak masa pra-kemerdekaan. Lembaga-lembaga seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah Katolik telah lama menjadi pelopor pendidikan rakyat, jauh sebelum negara membentuk sistem formal. Namun, kontribusi historis ini sering kali tidak diimbangi dengan pengakuan dan dukungan yang proporsional.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, sekolah swasta mencakup sekitar 34% dari total lembaga pendidikan dasar. Di beberapa daerah, terutama di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal), sekolah swasta bahkan menjadi satu-satunya institusi pendidikan yang tersedia. Realitas ini menegaskan bahwa sekolah swasta bukan sekadar pelengkap, melainkan pilar utama pendidikan di Indonesia.
Lebih lanjut, distribusi sekolah swasta tidak selalu mengikuti pola urbanisasi. Banyak madrasah dan sekolah berbasis komunitas hadir di pelosok dengan dukungan terbatas, namun memainkan peran krusial dalam pemerataan akses pendidikan. Kinerja mereka bukan hanya dilihat dari angka kelulusan, tetapi dari kapasitas mereka menjangkau komunitas yang tidak terjangkau negara.
Ironisnya, meski kontribusi mereka sangat besar, dukungan negara sangat minim. Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan PIP (Program Indonesia Pintar) masih jauh dari memadai, baik dari segi jumlah maupun distribusi. Ketimpangan ini melanggengkan kesenjangan struktural antara lembaga pendidikan negeri dan swasta.
Padahal, jika benar-benar ingin menjadikan pendidikan sebagai hak konstitusional, negara tidak boleh membedakan berdasarkan status kelembagaan. Sekolah adalah sekolah, apapun embel-embelnya. Putusan MK menjadi refleksi atas inkonsistensi kebijakan ini.
Maka, jika negara serius menjalankan mandat konstitusi, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memetakan ulang peta pendidikan nasional, dengan menjadikan sekolah swasta sebagai bagian utuh dari sistem pelayanan publik.
Salah satu keberatan terbesar terhadap perluasan pendidikan gratis ke sekolah swasta adalah keterbatasan anggaran negara. Tahun 2025, defisit fiskal ditargetkan mencapai Rp522,8 triliun, dan pemerintah dihadapkan pada berbagai prioritas belanja. Dalam konteks ini, menyuntik dana tambahan ke lebih dari 130.000 sekolah dan madrasah swasta bukan perkara kecil.
Namun, perlu dipahami bahwa argumen fiskal tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan kewajiban konstitusional. Sebagaimana sektor kesehatan dan infrastruktur, pendidikan juga merupakan investasi jangka panjang. Tanpa pendidikan yang inklusif dan merata, bonus demografi yang digadang-gadang akan berubah menjadi beban demografi.
Di sisi lain, ada pula kekhawatiran akan moral hazard. Apakah negara akan menanggung sekolah-sekolah swasta elite dengan biaya tinggi? Bagaimana menghindari penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan lembaga profit-oriented? Oleh karena itu, dibutuhkan desain kebijakan subsidi yang berbasis kebutuhan (need-based), bukan sekadar pemerataan numerik.
Salah satu skema yang mungkin dilakukan adalah pembiayaan berbasis klasifikasi. Sekolah swasta yang berada di daerah 3T, yang tidak memiliki kapasitas untuk menarik biaya dari masyarakat, harus menjadi prioritas. Sementara sekolah swasta komersial di kota besar dapat dikenakan skema subsidi parsial.
Di sinilah pentingnya peran audit, akuntabilitas, dan transparansi anggaran. Sistem pengawasan berbasis teknologi dan keterlibatan masyarakat dapat menjadi mekanisme kontrol sosial agar dana pendidikan benar-benar sampai ke tangan yang tepat.
Dengan demikian, negara tetap dapat mengatur pembiayaan pendidikan swasta secara progresif, efisien, dan adil tanpa harus menyederhanakan persoalan menjadi soal fiskal semata.
Putusan MK membuka jalan bagi rekonstruksi kemitraan antara negara dan lembaga pendidikan swasta. Selama ini, relasi antara keduanya lebih banyak ditentukan oleh logika perizinan administratif, bukan kerjasama strategis. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang ko-kreasi antara negara dan masyarakat.
Kemitraan publik-swasta dalam pendidikan tidak berarti privatisasi, melainkan kolaborasi. Pemerintah bisa menetapkan indikator pelayanan minimum, sementara lembaga swasta diberi ruang untuk mengembangkan inovasi dan pendekatan khasnya. Yang dibutuhkan adalah kesepahaman bahwa tanggung jawab mencerdaskan bangsa tidak bisa ditangani sendiri oleh negara.
Model kemitraan ini bisa mencakup berbagai bentuk: subsidi BOS yang ditingkatkan dan disesuaikan dengan beban operasional nyata, penempatan guru PNS atau PPPK di sekolah swasta berbasis zonasi kebutuhan, serta pelibatan sekolah swasta dalam sistem PPDB berbasis inklusi sosial.
Lebih jauh, pendekatan kemitraan juga harus melibatkan sektor swasta non-pendidikan. Korporasi dapat didorong untuk mengadopsi sekolah/madrasah swasta di sekitar wilayah operasinya melalui skema CSR pendidikan. Ini bukan hanya tanggung jawab sosial, tetapi juga investasi sumber daya manusia jangka panjang.
Dengan desain kemitraan yang tepat, negara dapat menghindari jebakan dualisme pendidikan dan membangun sistem yang terintegrasi, adil, dan berkelanjutan.
Pendidikan gratis adalah hak, tetapi implementasinya harus mengikuti prinsip progresif dan berkelanjutan. Indonesia tidak bisa langsung menggratiskan semua bentuk pendidikan swasta secara penuh tanpa peta jalan yang jelas. Maka, strategi pelaksanaan bertahap seperti diperintahkan MK harus dijabarkan dalam kebijakan teknis yang konkret.
Pemerintah pusat harus menyusun grand design pendidikan dasar universal gratis, dengan tahapan prioritas dan basis data yang akurat. Data geospasial tentang sebaran sekolah swasta dan tingkat kerentanannya perlu menjadi dasar distribusi anggaran.
Selain itu, penting untuk merumuskan ulang pengertian “gratis” itu sendiri. Gratis tidak harus berarti tanpa kontribusi sama sekali, melainkan menjamin bahwa biaya tidak menjadi penghalang akses, terutama bagi kelompok rentan. Sekolah dapat tetap menerima iuran, sepanjang bersifat sukarela, proporsional, dan transparan.
Penting pula mengembangkan instrumen hukum turunan dari putusan MK yang mampu mengatur secara rinci model pembiayaan, mekanisme subsidi, kriteria kelembagaan, hingga sanksi administratif bagi penyalahgunaan. Tanpa regulasi pelaksana yang kuat, putusan MK akan berakhir sebagai dokumen simbolik semata.
Visi pendidikan gratis universal bukan utopia. Ia bisa dicapai dengan syarat: komitmen anggaran yang konsisten, tata kelola yang akuntabel, serta sinergi yang erat antara negara, masyarakat, dan sektor swasta. Ini bukan tugas mudah, tapi sejarah bangsa besar selalu ditentukan oleh pilihan berani di tengah keterbatasan.
Buruh negara yang memperhatikan demokrasi, sosial dan ekonomi