Membongkar Rahasia Keajaiban Mantra dan Sara’14 min read

Dalam kehidupan dunia timur, apalagi Indonesia dan lebih khusus yang tinggal di bagian pedesaan, saya yakin menyebut kata “mantra” bukanlah istilah asing. Ini seringkali melekat dalam sikap, tindakan dan dinamiki interaksi sosialnya. Mantra secara sederhana adalah ucapan tepatnya bacaan yang diamalkan dan diyakini memiliki faedah dan kekuatan atau tepatnya keajaiban tertentu.

Mantra seringkali diidentikkan sebagai “ilmu hitam”, sebagai ilmu atau bacaan tertentu (bahkan diikuti ritual tertentu) yang digunakan untuk hal negatif dan terkesan memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan aspek normatif agama, kekuasaan Allah dan kemanusiaan. Seperti berfungsi sebagai sihir yang (dinilai) berujung pada kematian, atau minimal penderitaan bagi yang terkena mantra/sihir.

Saya sendiri tidak ingin mau membuat generalisasi bahwa mantra hanya identik dengan “ilmu hitam”. Mantra secara fungsional, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang disebut dengan “amalan-amalan” atau do’a-do’a yang diamalkan, dibaca pada waktu tertentu dengan jumlah bilangan pengulangan tertentu.

Contoh ada anjuran amalan “baca basmalah 500 kali setiap pagi” faedahnya membuka pintu jodoh. Ini hanya contoh, tetapi jika ada yang meyakini dan mengamalkan (melakukannya) setiap hari, maka cepat atau lambat fungsionalnya akan dirasakan oleh orang yang mengamalkannya. Dibandingkan “mantra”, “amalan” sejenis ini kesannya lebih islami dan diterima oleh kaum agamawan, dan tentunya ini tidak masuk sebagai kategori “ilmu hitam”.

Berbeda dengan mantra, dalam tradisi dan suku Bugis-Makassar, ada yang dikenal dengan “Sara’”. Dalam sinonim kata bahasa Indonesia, saya belum menemukan apa itu sara’. Secara terminologi saya memahami sara’ adalah gerakan fisik atau anggota tubuh tertentu yang dilakukan seseorang untuk setiap waktu tertentu secara berulang-ulang (setiap hari, setiap hari jum’at, dan lain-lain).

Contoh sederhana tentang sara’, Almarhum Bapak saya, punya kebiasaan yaitu, setiap hari sebelum bangun, maka dirinya menggesekkan kedua kuku ibu jari tangannya (tangan kanan dan kiri) sebanyak tujuh kali. Hal ini disebut sara’ dan almarhum Bapak saya meyakini, dengan melakukan hal itu maka sepanjang hari, dalam kondisi apa pun, Insya Allah dirinya tidak berdarah. Dalam dirinya terbangun keyakinan bahwa tidak ada kuku yang berdarah, maka dengan melakukan sara’ ini, tubuh lainnya pun tidak akan berdarah (terluka) sepanjang hari.

Dan secara fungsional sara’ ini sangat terbukti kedahsyatan atau keajaibannya bagi almarhum Bapak saya. Seringkali dalam sebuah situasi, jika ada hal yang “memancing” emosi dirinya, maka tanpa ragu dia memperlihatkan ke banyak orang sambil menikam lengannya atau memarangi lengannya. Dan apa yang terjadi, lengannya itu tidak luka atau pun berdarah meskipun hanya setetes darah. Atau bisa disebut “kebal”.

Bahkan khususnya di daerah kami, Kabupaten Bantaeng, salah satu kota terkecil di Provinsi Sulawesi Selatan memandang bahwa sara’ itu lebih ampuh lebih cepat keajaibannya muncul atau dirasakan daripada “baca-baca” (mantra). Logika sederhananya bagi mereka bahwa sara’ tidak membutuhkan banyak waktu, sedangkan mantra, tentunya membutuhkan waktu menghabiskan bacaan mantra tersebut untuk selanjutnya merasakan keajaibannya.

Sebelum membongkar rahasia keajaiban keduanya: “mantra” dan “sara’”, terlebih dahulu saya menambahkan ulasan tentang mantra itu sendiri. Mantra (mantra tertentu) sebagai bacaan, bagi saya seringkali hanya tersusun dari susunan kata yang kurang bermakna, kurang memenuhi unsur estetika dan sastra, bahkan tidak merujuk pada referensi yang dikategorikan sebagai sebuah do’a atau “amalan-amalan”. Jika kita mau jujur sumber diksi atau pilihan kata-katanya bukan hal atau dari yang sakral.

Jadi saya sendiri menilai bahwa apa yang dimaksud sebagai “mantra” jika itu sumbernya dari rujukan do’a dalam literatur ajaran, pedoman dan kitab agama, maka sebaiknya, disebut do’a atau lebih jauh disebut “amalan”. Bukan sebagai “mantra”. Tetapi yang ingin saya bongkar rahasia keajaibannya adalah baik sebagai “mantra”, “do’a”, “amalan” dan “sara’” itu sendiri.

Pada dasarnya berdasarkan elaborasi atau integrasi multi teori ilmiah, saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa ada satu mekanisme luar biasa dan hukum alam yang Allah ciptakan di alam semesta ini termasuk dalam diri manusia. Pada mekanisme dan hukum alam itulah “mantra”, “do’a” dan “sara’” teraktivasi untuk memberikan dampak fungsional yang bermuara pada sesuatu yang (terkesan) menimbulkan “keajaiban”.

Di Kabupaten Bantaeng yang dijuluki sebagai “Butta Toa” (Tanah Tua), ada mantra yang dikenal dengan “Jalarambangna Bantaeng”. Mungkin bagi generasi Z, kidz zaman now, atau generasi pasca millenial (yang seringkali secara harfiah, mengalami salah kaprah disebut generasi millenial, tetapi jika dirujuk pada pertimbangan defenisi lain, tetap benar), tidak mengenal mantra “Jalarambangna Bantaeng” ini.

Bagi generasi Y atau pun generasi X, apalagi generasi Baby Boomer yang bergelut dalam tradisi dan budaya Bantaeng, saya yakin tidak sedikit yang mengetahui dan mengamalkan mantra “jalarambangna Bantaeng” tersebut, yang diyakini bisa memikat hati seorang perempuan, gadis dan lain-lain. Jadi ketika ada laki-laki menyukai seorang perempuan, lalu setelah dilakukan pendekatan alami tidak merespon, tidak mau, maka dibacalah mantra tersebut agar hatinya berubah menjadi terpikat.

Seperti apa mantra “Jalarambangna Bantaeng” itu—entah jika ada versi lain dan saya tidak fokus pada perbedaan tersebut—kurang lebih “Jalarambangna Bantaeng//kongkong pengorona loka/buang alunna cedo//cikcak pongdinna teko//battumi jin patang pulau anggallai nyawana ianu (kata ianu diganti nama perempuan yang disukai/dicintai)//punna teako rinakke//nakkepa nucini nassannang nyawanu”.

 Secara sederhana terjemahan bahasa Indonesia mantra tersebut di atas “Jalarambang adalah jaring, Bantaenng adalah nama kota Kabupaten//kongkong pongorona loka artinya seekor anjing gila dari loka (loka satu nama kampung)//buang (membuang) alunna (alat penumbuk) cedo (kampung) artinya cara-cara menumbuk dari kampung cedo//cicak ponding artinya cicak tanpa ekor//battumi jin patang pulau anggallai artinya sudah datang jin patang (nama jin tertentu) sebagai perantara ke hati si perempuan yang disebut namanya//punna teako rinakke, nakkepa nucini nassannang nyawanu artinya jika engkau tidak suka sama saya hatimu tidak akan pernah tenang.

Contoh mantra berikutnya dan saya pernah sering mengamalkannya sebelum dikader di Muhammaiyah (Ikatan Remaja Muhammadiyah) adalah sebuah mantra yang bisa menjinakkan dan menghentikan anjing yang melonglong (jenis menggonggong yang berdurasi panjang) dan diyakini, pada saat anjing berperilaku seperti itu sedang melihat jin yang tidak dilihat oleh manusia.

Suatu ketika dan saat itu meskipun saya sedang tidak suka nonton bola ikut begadang bersama dengan om (suami dari tante). Sekira pukul 02.30 ada anjing depan rumah om melonglong (bersuara panjang). Sudah ada 5 orang yang melempar dan menegurnya, menyentak (entah apa istilah tepatnya) agar anjing itu berhentin melonglong, orang Makassar menyebutnya “Appirau”, tetapi tidak berhenti. Dan ketika itu saya baca mantra dan setelah itu “menggertaknya”, seketika anjingnya diam.

Mantranya yang menggunakan perpaduan Bugis-Makassar, kurang lebih seperti ini: “Kongkong ma’longlong di tanah (artinya Anjing melonglong/bersuara atau menggonggong panjang di tanah)//palaktokangan ajena (artinya patahkan kakinya demi/untuk saya)//tusiratia, tau jikkonga nawa-nawana (artinya: orang yang busuk hati dan niatnya)//barakkah (semoga mendapat berkah)”.

Berikutnya saya akan memberikan dua contoh mantra, yang pernah diamalkan oleh salah seorang teman (tanpa perlu menyebut namanya untuk menjaga etika). Dan baginya seringkali terbukti keajabainnya.

Mantra tersebut “kau longgak,(artinya kau pocong atau sejenisnya)//kau setan (artinya kau jin)//pa’palili kalennu (berpindah ke pinggir/singkirkan dirimu)//lammaloi anak karaeng sitau taua (anak tunggal tuan akan lewat; kata karaeng di sini bisa saja lagi dimakna bukan sebagai tuan tetapi “Tuhan”). Mantra ini diyakini memiliki keajaiban jika seseorang melewati suatu wilayah yang dinilai kramat atau angker.

Satu lagi contoh mantra “Kapu’ baba (tutup mulut)//tamakkana (tidak bisa bicara)//bungkarak tamappuali (terbuka tetapi tidak bisa bicara)//larro-larrona ianu…(amarahnya si… pada titik sambil menyebut nama orang yang dinilai akan marah atau sudah marah)//kupari palak bangkenna (saya simpan di bawah telapak kakinya)//nassu-nassuna ianu…(amarah atau kejengkelan hati seseorang; pada titik-titik disebut lagi nama orang tersebut)//kupari palak limanna (saya tempatkan di telapak tangannya)//muri-murina kupari pala rupanna (senyuman dan keceriaannya di tempat di wajah)//barakkah (semoga diberkahi). Mantra ini diyakini untuk meluluhkan hati orang yang akan marah agar batal/tidak marah ketika melihat orang yang membaca mantra ini.

Saya mengajak kepada para pembaca, untuk kembali merenungkan pilihan diksi dan susunan kalimat keempat contoh mantra di atas. Bagi saya pribadi pilihan diksi dan susunan kalimatnya biasa-biasa saja. Bahkan di antaranya kurang atau tidak bermakna dan ada pula yang sedikit berbahaya dalam aspek teologis, menggerogoti dimensi keimanan. seperti frasa “anak sitau tau (anak tunggal) karaeng”, jika ini dipersepsikan sebagai anak Tuhan atau Allah, berbahaya dan menggerogoti dimensi “tauhid”. Dan saya yakin persepsi si pembuat awal mantra ini adalah memang “Tuhan atau Allah” bukan “tuan” agar bisa menundukkan kekuatan lain.

Diksi dan susunan kalimatnya biasa-biasa saja, dalam pengertian yang mudah dipahami, bahwa ini di luar sebagai mantra maka penggalan frasa dan termanya masuk dalam percakapan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan bisa saja ada yang jarang menggunakannya karena kurang bermakna, kurang berbobot dan tidak sakral. Dan jika hanya seperti ini, saya bisa membuat “mantra” yang lebih indah kalimatnya, lebih bermakna dan berbobot. Jadi bisa menjadi “guru” mantra yang bisa memproduksi ratusan bahkan ribuan jenis “mantra”.

Pertanyaannya kemudian, mengapa mantra tersebut oleh orang tertentu bisa menimbulkan keajaiban? Dan orang yang menjadi objek mantra tersebut seringkali merasakan sesuatu yang aneh.

Jawaban singkatnya karena Allah telah menciptakan mekanisme luar biasa dan hukum alam di alam semesta ini termasuk dalam diri manusia. Ibarat teknologi komputer, Allah telah membuat sebuah Operating System (OS) dan sejenis aplikasi. Dan semua yang diinstall, diinternalisasi atau melewatinya akan memberikan pengaruh tertentu.

Logika pengantarnya sederhana saja, teknologi digital saja yang merupakan buatan manusia—dan yang pasti menggunakan dan memanfaatkan potensi ciptaan Allah lainnya—dimensi fungsional sangat luar biasa. Apalagi alam semesta ini dan manusia sendiri, jika diandaikan sebagai sebuah teknologi digital pasti sangat luar biasa.

Dan hasil perenungan pribadi saya yang mendalam, saya menemukan bahwa mekanisme kerja pada teknologi buatan manusia sesungguhnya secara tidak langsung merupakan duplikasi, peniruan dari apa yang terjadi pada diri dan di alam ini sebagai ciptaan Allah. Contoh handphone bisa saling terhubung dengan handphone lainnya minimal karena adanya pancaran frekuensi. Ternyata otak kita pun sesungguhnya memiliki pancaran frekuensi. Jadi tanpa menyentuh orang lain, kita bisa memberikan efek tertentu kepada orang lain.

Jika pembaca pernah membaca buku the secret (rahasia) karya Rhonda Byrne (2011), Neuro Linguistik Programming (NLP) karya Lindsey Agness (2010), Dahsyatnya Berpikir Positif karya Dr. Ibrahim Elfiky (2011), Menguasai Gelombang Otak…karya Anna Wise (2012) sebuah pengantar alam buku The Power of Appreciative Inquiry karya Diana Whitney & AmandaTrostem-Bloom (2007), Quantum Ikhlas (jilid I dan II) karya Erbe Sentanu (2010 & 2011), The Miracle of The DNA: Menemukan Tuhan dalam Gen Kita karya Kazuo Murakami, Ph.D., dan Habits salah satunya karya Felix F. Siauw.

Minimal buku-buku tersebut di atas, jika dipahami dengan baik akan membantu untuk membongkar rahasia mantra dan sara’. Masih banyak buku lainnya yang bisa membantu. Buku yang saya miliki saja, yang bisa menjadi referensi untuk kepentingan membongkar rahasia keajaiban tersebut masih ada kurang lebih 40an judul. Meskipun demikian melalui tulisan ini, yang ruangnya sangat terbatas saya akan membongkar rahasianya.

Di alam semesta ini terhadap sebuah rahasia besar yang disebut “hukum tarik menarik” di dalam hukum ini pikiran memiliki peran penting dan utama. Bagi Byrne pikiran bersifat magnetis, memiliki frekuensi dikirim ke semesta dan menarik frekuensi yang sama. Ini pun yang diperkuat oleh Ibrahim Elfiky bahwa “jika kita berpikir bisa maka Insya Allah kita bisa jika kita berpikir tidak bisa Insya tidak bisa”.

Apakah saya lebih memuja pikiran daripada Allah? Jika seperti itu kesimpulannya, berarti pembaca keliru. Pikiran dan semua determinannya beroperasi dalam hukum tarik menarik dan ini adalah sunnatullah yang Allah ciptakan. Membaca mantra maupun melakukan sebuah ritual yang disebut sara’ sesungguhnya atau pada dasarnya kita sedang mengonstruksi bangunan pikiran, keyakinan dan harapan dalam diri. Dan selanjutnya ini dipancarkan melalui frekuensi ke alam semesta termasuk ke orang lain jika mantra itu objeknya adalah orang lain.

Kata memiliki kedahsyatan sebagaimana penjelasan Budi Setiawan Muhammad, “kata bukanlah sekedar penjelasan terhadap suatu realitas tetapi pembentuk realitas itu sendiri”. Tetapi penulis sendiri menjelaskan di atas bahwa mantra, sebagaimana contoh yang telah diberikan “pilihan diksi dan susunan kalimatnya biasa-biasa saja”. Mengapa melahirkan keajaiban?

Bagi saya, kata yang dimaksud jangan hanya melihat dari dimensi tekstualnya tetapi makna dan pemaknaan yang dikonstruksi oleh si pembaca mantra (untuk konteks tulisan ini). Sama halnya dengan sara’ meskipun si penggunanya tidak membaca mantra khusus tetapi pada dasarnya dalam dirinya, ruang mentalitas atau pikirannya sedang membangun pemaknaan, keyakinan, pikiran dan harapan.

Tetapi mengapa jika saya yang membaca mantra tersebut, tidak bisa berfungsi? Sebenarnya kita lupa bahwa masih ada mekansime, hukum alam atau sunnatullah lain yang harus diperhatikan. Apa itu? Pertama hukum kebiasaan. Jadi mantra atau sara’ bisa berfungsi bagi orang yang menggunakannya secara terus menerus. Setiap hari diamalkan. Karena pada dasarnya secara sunnatullah baik yang terjadi di alam semesta maupun dalam diri manusia, apa pun yang selalu diulang-ulang akan memberikan dampak dahsyat. Relevan dengan ini Byrne menegaskan “tidak ada yang muncul ke pengalaman Anda kecuali jika Anda memanggilnya melalui pikiran secara terus menerus”.

Selain sunnatullah tentang habits (kebiasaan), keyakinan pun memberikan penguatan pada pikiran-pikiran dan harapan yang dikonstruksi pada saat membaca mantra atau melaku sara’. Karena pada dasarnya, yang saya pahami dan pembaca pasti sepakat, “keyakinan” itu berada dalam dalam dimensi perasaan.

Jika memperhati perspektif dan alur kehidupan dari Erbe Sentanu, itu berawal dari Perasaan dan Pikiran, lahirlah kata-kata; dari kata-kata lahir tindakan; dari tindakan lahir kebiasaan; dari kebiasaan lahir karakter; dan dari karakter; dan dari karakter lahirnya nasib. Dalam konteks mantra apa yang disebut keajaiban berada dalam dimensi “nasib” sebagai efek lanjutan yang diawali dari sebuah keyakinan (perasaan) dan pikiran, sampai melalui kebiasaan dan karakter.

Selain itu, yang hukum alam atau sunnatullah kedahsyatan pikiran dan berbagai determinannya, hukum habits, keyakinan pada diri manusia terdapat pula alam bawah sadar yang memiliki pengaruh yang kuat untuk mengaktivasi kedahsyatan pikiran dan perasaan (atau keyakinan). Selain itu setiap manusia memiliki gelombang otak yang bisa memancarkan frekuensi kepada objek yang menjadi sasaran/target atas apa yang dibaca sebagai mantra mau pun sebagai do’a. khusus untuk jenis gelombang otak yang sedang teraktivasi daam diri manusia, juga mempengaruhi mantra dan do’a

Hari ini, seringkali ada yang berkata, bahwa mengapa orang dulu, berbeda dengan sekarang. Orang dulu hanya membaca “basmalah” atau “al-fatihah” bisa berfungsi sebagai obat apa saja seperti untuk sakit perut anak-anak. Jawaban saya sederhana, selain karena keyakinan rendah, pemaknaan dangkal, pikiran dan gelombang otak, termasuk pemahaman filosofi habits itu tidak mendapatkan perhatian lagi.

Meskipun saya tidak bisa menguraikan lebih detail rahasia ini karena tulisan ini saja sudah terlalu panjang untuk persyaratan tulisan yang diperuntutkkan bagi media online, jika kita membaca dengan baik mnimal buku-buku yang saya sebutkan di atas, maka siapa saja bisa membongkar rahasia keajaiban tersebut.   

 Saya sejak mendalami ajaran agama dan memahami semua hukum-hukum itu, sejak sekolah tingkatan SMK pasca dikader di Muhammadiyah, tidak pernah tertarik pergi “berguru” untuk tujuan mantra atau sara’ bahkan termasuk kepada orang tua saya sendiri (Bapak) yang dikenal punya “mantra” dan sara’.

Bagi saya jika ingin menggunakan sejenis mantra, saya bisa membuatnya sendiri dengan diksi dan susunan kalimat yang lebih indah, bermakna dan berbobot. Insya Allah berfungsi sesuai dengan harapan sendiri dengan memperhatikan mekanisme, hukum alam atau sunnatullah tersebut. Dan jika pun harus mencari pada referensi tertentu, lebih baik dan utama diambil dari Al-Qur’an saja. Meskipun Al-Qur’an bukan untuk mantra, tetapi dalam mengandung do’a atau sesuatu yang bisa dikonstruksi sebagai do’a.

Ada tokoh nasional dan berdasarkan pengakuan anaknya (tidak perlu saya sebut namanya) apa pun situasi yang dihadapinya, dirinya mengamalkan do’a yang diambil dari QS. Taha [20]: 25-28 artinya “Dia (Musa) berkata “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku; dan mudahkanlah untukku urusanku; dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku; agar mereke mengerti perkataanku”. Ini do’a nabi musa dan oleh tokoh nasianal tersebut diamalkan termasuk jika memimpin forum-forum nasional terutama jika ada indikasi kekacauaan, sangat memberikan keajaiban dirinya bisa memimpin pelaksanaan forum dengan baik.

Selain itu yang diamalkan pula adalah QS. al-Isra [17]: 80, artinya “Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisiMu kekuasaan yang dapat menolong(ku)”. Berdasarkan keterangan anak beliau kedua surah atau ayat inilah yang selalu diamalkan dan menuutnya tidak pernah gentar menghadapi situasi apa pun bahkan yang mengancam nyawanya sekali pun.

Dan ini semua, dan saya telah memahami hukum-hukumnya, sehingga saya tidak tertarik pada “mantra” apalagi versi mantra yang saya contoh di atas, meskipun waktu SD sampai SMP pernah mengamalkan di antaranya. Lebih baik kita mencari do’a atau mengonstruksi sebuah do’a dari makna yang kita temukan dalam Al-Qur’an. Dan jika itu dari Al-Qur’an sekali lagi saya tegaskan itu tepat disebut sebagai mantra tetapi itu adalah do’a atau amalan.

Saya sering bercanda kepada teman tentang satu mantra tertentu, dan jika seseorang meyakini ini dan mengikuti mekanisme dan hukum alam yang Allah ciptakan dalam alam semesta itu pun bisa memberikan keajaiban. Jenis mantra yang sering saya candakan adalah untuk menghilangkan rasa “pedas” ketika mengonsumsi cabe/Lombok. Mantranya “kau Agus nakke lada” (artinya ‘kau Agus saya Lombok/cabe). Nama Agus diganti dengan nama yang makan lombok itu dan tidak mau merasakan pedasnya lombok.

Pembaca yang mengenal baik dengan saya, jangan salah menyimpulkan bahwa saya kuat mengonsumsi cabe/lombok dengan level pedas sangat tinggi pun, bukan berarti saya sedang menggunakan mantra di atas itu tetapi saya sedang memfungsi satu mekanisme alam lainnya. Sehingga ketika konsumsi sambel terlalu banyak, seringkali pedasnya lebih terasa di tangan atau jari-jari tangan daripada dibibir atau dimulut saja.

Ayo’ menemukan do’a yang lebih Islami, hati-hati pada mantra tertentu.

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like