Ekonomi Islam untuk Solusi Pembangunan9 min read

Ekonomi islam atau yang dapat disebut juga sebagai ekonomi syariah ialah ekonomi yang konsep dan geraknya berlandaskan syariah atau hukum islam. Yang sudah teruji memakmurkan umat manusia.

Jadi dalam tinjauan filosofisnya, ciptaan tidak akan bisa lepas dari yang namanya pencipta. Selalu akan ada ikatan kuat nan pasti. Kembali kepada fitrah daripada makhluk ciptaan Tuhan, sudah barang tentu harus pula kembali kepada hukum-hukum atau aturan main yang berasal dari sang Pencipta. Selamanya tidak akan mampu bilamana manusia untuk menciptakan aturan mainnya sendiri. Manusia akan dilanda kebingungan serta kekacauan yang teramat berat dan rumit. Serta manusia akan menanggung resiko daripada ciptaan-ciptaannya sendiri.

Dengan berpedoman pada buku petunjuk dari sang pencipta (Kitabullah beserta derivatifnya) maka manusia tidak akan tersesat, ataupun mengalami krisis lahir bathin. Sehingga manusia tidak akan terombang ambing dalam beramal dan menjalani kehidupan. Sebagaimana pasca bangkitnya ideologi kapitalisme dan komunisme yang melanda dunia. Terbukti kedua ideologi tersebut (yang melahirkan ekonomi kapitalis dan ekonomi komunis) tidak mampu untuk mensejahterakan umat manusia.

Ekonomi kapitalis yang cenderung pada pengusaan harta oleh para kapitalis, membuat kekayaan menumpuk pada orang-orang yang hanya memiliki modal kuat. Terjadi ketimpangan yang nyata antara antara satu orang dengan orang lainnya, antara si kaya dengan si miskin. Orang yang memiliki uang yang banyak-lah yang menjadi pemenang. Pihak pemberi pinjaman uang (kreditur) tidak akan mau tahu bagaimana nasib pihak yang diberi pinjaman uang (debitur), apakah mereka mampu memiliki laba untuk membayar hutang ataukah gagal usahnya? Semua itu tidak diperdulikan oleh si empunya harta. Karena dengan sistem hutang berbunga yang ditancapkan kuat oleh pengajaran ilmu ekonomi konvensional inilah yang membuat kesengsaraan berilpat-lipat.

Dan pada akhirnya bilamana si peminjam uang atau orang yang berhutang tadi tidak dapat membayar hutangnya maka akan disita asetnya. Lantas bagaimana ia akan bekerja dan melanjutkan kehidupan? Sebab aset-aset yang selama ini digunakan, justru diambil paksa sebagai ganti rugi si pemilik uang. Ibarat seorang petani yang diambil cagkulnya, nelayan yang diambil kapal dan jaringnya, buruh yang diambil perkakasnya. Alangkah dzolimnya yang sedemikian itu bukan?

Tentunya kita akan berurai air mata jika menyaksikan drama tragedi dalam kehidupan umat manusia di dunia. Yang sebetulnya itu tidak perlu terjadi jika manusia memiliki kesadaran eksistensial. Kesadaran yang berada di luar ruang, yang disebut kesadaran meta ruang. Tidak hanya berkutat masalah apa-apa yang tampak dihadapanya, namun juga yang tidak tampak dihadapanya.

Dengan adanya bunga dan pencetakan uang kertas yang tidak digaransi dengan logam mulia ini pada akhirnya menimbulkan krisis tahunan, kesusahan umat manusia yang terperiodisasi (mejadi miskin secara berkala). Kemudian siapakah yang paling terdampak dari sistem mungkar ini? Tentu adalah wong cilik alias rakyat kecil.

Lihat saja, bagaimana daya beli orang yang masuk dalam kategori sebagai fakir dan miskin. Tentu yang demikian ini tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Kasihan, mereka akan terseok-seok dalam sejarah kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak sanggup, bagaimana memenuhi pendidikan, kesehatan dan keamanan?

Pemahaman Tentang Efek Riba/Bunga[1]

Bunga bila dipraktikkan maka akan menaikkan harga-harga, mengapa bisa terjadi demikian? Karena bunga menambah elemen harga yang sudah fix/ normal dalam harga jual. Harga jual suatu produk terdiri dari elemen Biaya Produksi + Laba + Pajak. Akan tetapi dengan adanya bunga, para pengusaha atau produsen tentu berfikir, pelunasan bunga pinjaman mau dikemanakan?

Tentu bunga pinjaman akan dibebankan pada harga penjualan. Sehingga rumus harga jual berubah menjadi demikian: Harga Jual = Biaya Produksi + Pajak + Laba + Beban Bunga. Inilah yang menyebabkan harga-harga akan naik melambung tinggi. Ditambah juga para pedagang atau reseller, yang menjual kembali barang tersebut ke pasaran. Dan ia menggunakan pinjaman modal berbunga, maka akan sama rumusannya dalam mengatasi beban bunga. Begitu juga dengan sektor jasa, akan mengalami hal yang kurang lebih sama.

Bilamana hal ini dilakukan oleh satu pihak atau satu produsen itu tidak terlalu menjadi masalah, namun bila ini dilakukan secara massive maka akan menciptakan inflasi (kenaikan harga-harga secara umum untuk barang dan jasa atau penurunan nilai mata uang terhadap barang). Kenapa? Dengan kenaikan harga yang massive ini membuat daya beli konsumen menurun, yang tentu membuat penjualan juga menurun. Jika menurun semuanya makan akan terjadi perlambatan ekonomi. Dan bila perputaran uang dan barang tersendat/macet, maka akan terjadi krisis. Krisis ekonomi yang terus menerus akan menimbulkan stagflation.

Apakah itu stagflation? Stagflation ialah berasal dari kata stagnasi dan inflation. Yakni kondisi stagnan, yang dicirikan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya pengangguran, dan kemungkinan ancaman resesi.[2] Tentu efek dari siklus ekonomi yang secara alami seharusnya berputar akan terhenti, dengan adanya kondisi bahwa elemen produksi macet. Dan ini akan pula mempengaruhi distribusi dan konsumsi untuk macet bersama.

Selanjutnya dari pergolakan sosial yang terjadi untuk melawan ekonomi kapitalisme lahirlah aliran baru yakni ekonomi komunis. Ekonomi komunis yang alih-alih menjadi antitesa terhadap ekonomi kapitalis, yang diharapkan bisa mensejahterakan banyak orang justru membuat rakyat semakin sengsara serta hidup dalam penindasan rezim pemerintahannya sendiri.

Segala aset yang dipunyai oleh individu dikuasai dan diatasnamakan menjadi milik pemerintah/milik negara. Rakyat atau masyarakat selalu diawasi, status kepemilikan barang oleh rakyat atau masyarakat dihilangkan. Hak-hak yang sifatnya personalia dicabut, semua diatur oleh pemerintah secara ketat dan dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Kemudian rezim komunis akan mengeliminasi siapa saja yang berani menentangnya.

Kerusakan yang timbul akibat praktik dari kedua ekonomi tersebut seharusnya menjadi ibroh bagi kita bersama.

Dalam Quran, praktik ribawi atau bunga ini sebenarnya sudah dilarang. Seperti yang terdapat di Surah Al-Baqoroh [2] ayat 278-279:[3]

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ – ٢٧٨

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ – ٢٧٩

Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).

Dan pada Surah Al-Baqoroh [2] ayat 276:[4]

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ – ٢٧٦

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.

Dari ayat diatas kita dapat memahami bahwa, melakukan riba itu termasuk hal yang dilarang dan bahkan Tuhan dan utusan Tuhan sendirilah yang akan memerangi para pemungut riba, tertera pada ayat 279 yakni lafadz “bi kharbin”. Bagaimanakah mungkin kita berstatus sebagai makhluk akan diperangi oleh sang pencipta makhluk? Padahal seluruh kepunyaan di alam semesta ini adalah milik-Nya. Semua wujud yang ada merupakan manifestasi dari-Nya.

Ini baru kerusakan yang sifatnya inheren, yakni karakteristik yang telah ada pada ilmu ekonomi konvensional itu sendiri. Belum termasuk kerusakan yang timbul dari para pelaku ekonomi semisal kecurangan dalam timbangan, ikhtikar (penimbunan), penipuan, menjual barang palsu, jual beli barang haram, ghoror (ketidakjelasan), dan sederet perilaku rusak lainnya yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.

Disinilah letak kebodohan manusia yang terjebak dalam dimensi, golongan yang enggan untuk keluar dari dimensi. Padahal ada kehidupan yang kekal, yang abadi setelah alam fana ini. Keuntungan yang hanya satu ripis dua ripis, satu perak dua perak itu lebih diutamakan daripada keselamatan jiwanya, keselamatan ruhnya di alam keabadian. Penggadaian nasib manusia semacam ini masih saja berlangsung ditengah-tengah kemoderenan zaman dan tekhnologi. Tiada jeranya untuk terus berulah di alam dunia ini. Karena memang dalam firman Tuhan dikatakan bahwa dunia ini tidak lebih dari sekedar laghibun wa lahwun, apakah itu? Yaitu sendau gurau dan main-main.

Sesuai dengan ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dalam Nahjul Balaghah: Perumpamaan dunia seperti seekor ular; lunak pegangannya namun mengandung bisa yang mematikan. Bocah yang bodoh akan tergiur untuk memegangnya, tetapi seseorang yang pandai-berakal akan menghindarinya.[5]

Sebenarnya ekonomi islam memiliki sistem yang lebih adil dan lebih manusiawi daripada yang ditawarkan oleh ekonomi konvensional. Yakni dengan sistem mudharobah, atau sistem bagi hasil. Sistem ini berlaku ketentuan menggunakan pembagian yang sama “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, melalui presentase keuntungan dan kerugian.

Sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dalam bisnis/usahanya. Jika mengalami keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi sesuai presentase yang telah disepakati di awal atau disepakati dalam akad. Dan juga bila terjadi kerugian maka, kerugian itu juga dibagi sebesar presentase yang telah dibuat diawal perjanjian.

Contoh, antara penggarap dengan pemodal. Disepakati perjanjian kerjasama usaha sebesar 50% : 50%, maka bila terjadi laba atau usahanya meraih untung, kemudian keuntungan itu dibagi sesuai presentase tersebut yakni 50% untuk penggarap dan 50% untuk pemodal. Dan bila terjadi kerugian, maka dibagi sesuai presentase tersebut yakni bagi penggarap 50% dan bagi pemodal 50%. Adil dan menentramkan bukan?

Atau bisa lagi contoh dengan skenario perjanjian usaha yakni 40% : 60%,  jika usaha/bisnis membukukan keuntungan maka bagi penggarap mendapatkan 40% dan pemodal mendapatkan 60%. Dan bilamana usaha mengalami kerugian maka untuk penggarap sebesar 40% dan bagi pemodal sebesar 60%. Jadi seimbang dan sama rata. Inilah yang dinamakan bagi untung dan bagi rugi. Semua mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada penindasan dan kedzaliman.

Kemudian bagaimana jika uang yang dipinjamkan bukan untuk produksi akan tetapi diperuntukkan untuk sektor konsumsi? Disinilah hebantya ekonomi islam, pemeluknya lebih dicondongkan untuk memilih keutamaan alam metafisik daripada alam fisik. Ada suatu akad dalam ekonomi islam yang bernama Qardhul Hasan, berasal dari kata qardh yang berarti pinjaman dan hasan yang berarti baik.

Atau bisa disebut sebagai pinjaman lunak. Yang mana dalam sistem ini kita tidak boleh membungakan pinjaman yang kita beri kepada sesama atau mengembalikan pinjaman dengan berlipat ganda. Dan bila si peminjam belum sanggup untuk membayar pinjamannya maka hendaknya si pemberi pinjaman tidak meminta terlebih dahulu, sampai si peminjam dapat melunasi hutangnya.

Berikut dalil naqliyah-nya, tertera dalam Surah Al-Baqoroh [2] ayat 280:[6]

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ – ٢٨٠

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Akan tetapi jikalau memang si peminjam bisa membayar hutangnya sesuai perjanjian maka, itu harus disegerakan. Karena dalam doktrin/ajaran islam, hutang itu dibawa sampai mati/sampai ke alam akhirat. Jika tidak bisa dilunasi di dunia maka ia akan tetap ditagihkan di akhirat. Dalam bentuk pahala yang dimiliki oleh si peminjam hutang, pahala yang ada pada miliknya akan diberikan kepada si pemberi pinjaman tadi sebesar hutangnya yang terjadi di dunia.

Sampai disini, sudahkah anda mengambil pelajaran berharga? Dan apabila di zaman ini kita masih mempraktekkan ekonomi konvensional, maka saya mengucapkan turut prihatin.


[1] Materi yang penulis peroleh pada Matakuliah Dasar-dasar Ekonomi Islam dijenjang Pendidikan Strata Satu, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.

[2] Muhaimin Iqbal. Dinar The Real Money: Dinar Emas, Uang & Investasiku. Cetakan Kedua, Rabi’ul Akhir 1430 H/ April 2009. Jakarta: Gema Insani. Halaman 183.

[3] Disalin dari Al-Qurannul Karim Online Terbitan Kementrian Agama RI, pada laman: https://quran.kemenag.go.id/sura/2/278.

[4] Ibid.

[5] Kitab Nahjul Balaghah Mutiara Kearifan Ali bin Abi Thalib r.a.. [Diterjemahkan dari buku Nahjul Balaghah – Syarah Syaikh Muhammad Abduh] Penerjemah: Muhammad Bagir tahun 2015. Cetakan ke-1, Desember 2017. Jakarta: Penerbit Noura (PT. Mizan Publika). Halaman 86.

[6] Disalin dari Al-Qurannul Karim Online Terbitan Kementrian Agama RI, pada laman: https://quran.kemenag.go.id/sura/2/280.

Mahasiswa Program Magister Filsafat Islam STFI [Sekolah Tinggi Filsafat Islam] SADRA Alumnus Institut Agama Islam Surakarta [IAIN Surakarta], Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam, jurusan Akuntansi Syariah, Tahun 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like