Pluralisme: Liberalisme yang Bangkit Kembali?5 min read

Dalam periode pasca-perang, para sosiolog politik yang simpati terhadap liberalisme berusaha mengemukakan kembali dan niemperbaharui ajaran sentralnya. Pluralisme bertujuan untuk menggambarkan relasi kuasa yang aktual dalam masyarakat liberal, dan juga secara normatif mengakui hakikat relasi yang dianggap demokratis ini. Para pemikir pluralis klasik seperti Dahl dan Truman menyatakan bahwa teori Marxisme maupun elit itu salah karena mengasumsikan bahwa negara dan masyarakat sipil didominasi oleh minoritas.

Sebaliknya, kekuasaan tersebar di seluruh masyarakat, tanpa satu pun kepentingan kelompok mendominasi, dan tiap-tiap sumber kekuasaan diimbangi oleh kekuatan penyeimbang. Bagi penganut pluralis, proses politik dalam masyarakat liberal tidak dapat direduksi menjadi persoalan kepemilikan sarana produksi, seperti dalam Marxisme, atau menjadi distribusi ciri-ciri psikologis ataupun skill organisasi yang tidak setara, seperti dalam teori elit. Kekuasaan juga tidak menumpuk, dalam pengertian bahwa sekelompok individu dapat memaksakan keinginan mereka dalam setiap situasi dan setiap waktu.

Dalam studinya yang terkenal tentang distribusi kekuasaan dalam New Haven, Dahl (1961: 228) menegaskan kembali keyakinan liberal terhadap kemajuan manusia dengan menyatakan bahwa di New Haven telah terjadi suatu pergeseran historis dari ‘sebuah sistem timpang kumulatif dalam sumber daya politik yang timpang menuju sebuah sistem tidak setara non-kumulatif atau tersebar berkaitan dengan sumber daya politik’.

Para penganut pluralis menggeneralisasi kesimpulan penelitian tadi untuk menjelaskan distribusi kekuasaan dalam masyarakat sipil sebagai satu keseluruhan. Penekanan yang lebih besar diberikan terhadap realitas kepentingan kelompok dibanding dalam liberalisme klasik, yang tercermin pada penekanan pluralisme atas pembentukan kelompok penekan dan partai yang melembagakan pembagian tadi.

Namun demikian, poin utamanya adalah bahwa sistem demokratis, dengan masyarakat sipil bebas yang berdasarkan atas hak asasi (seperti ditemukan di AS), memungkinkan semua kepentingan terorganisir secara politik, karenanya menjamin tidak ada satu kelompok pun yang selalu menang. Seperti dalam gagasan liberal, negara dipandang sebagai penengah di antara perselisihan kepentingan, sekaligus mencerminkan—dalam bentuk konstitusional—konsensus umum yang melandasi masyarakat sipil (Dahl, 1956: 132-3).

Pluralisme juga mempunyai pandangan sama liberalisme bahwa masyarakat sipil harus bebas dari campur tangan berlebihan dari negara, yang setiap saat harus menjawab kebutuhan dan tuntutan yang berasal dari masyarakat sipil. Namun, Dahl tidak mengklaim bahwa dalam sebuah Sistem pluralis, pihak mayoritas akan memerintah. Sebaliknya, ia menggunakan istilah ‘poliarki’ untuk menggambarkan bagaimana dalam demokrasi liberal, ‘pemerintahan oleh minoritas’ (seperti terjadi dalam oligarki) digantikan oleh ‘pemerintahan oleh banyak minoritas’ (Dahl, 1956: 133, huruf miring ditambahkan).

Schwarzmantel menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu upaya untuk memecahkan ketegangan antara nilai-nilai liberalisme, dengan penekanannya terhadap negara yang terbatas, dan nilai-nilai demokrasi. Solusi untuk ketegangan ini berupa penolakan atas bentuk langsung demokrasi dan sebaliknya berupa par- tisipasi melalui jaringan kelompok dan perkumpulan’ (Schwarzmantel, 1994: 48). Meski demikian, seperti teori behavioralis, dan yang banyak mengandung kesamaan ide dan pemikir terkemuka dengan pluralisme, pluralisme klasik dikritik karena menjadi justifikasi ideologis atas ketidaksetaraan dalam sistem kapitalis, alih-alih sebagai sebuah pemikiran realistis mengenai hubungan antara negara dan masyarakat sipil.

Hilangnya Konsensus Nilai Pluralis

Pertama, perubahan sosial pada 1960-an memperlihatkan tidak adanya konsensus nilai diasumsikan oleh para pemikir pluralis untuk menopang sistem politik seperti Amerika Serikat. Gerakan sosial massa yang diasosiasikan dengan penegasan hak-hak bagi warga kulit hitam dan wanita, diiringi dengan kampanye menentang Perang Vietnam, juga menyingkapkan terus berlangsungnya ketidaksetaraan struktural dalam masyarakat Amerika (McLennan, 1984: 84).

Kerangka pluralis klasik tidak dapat menjelaskan gejala-gejala alienasi yang sangat gamblang ini dari proses ‘demokratis’. Persoalan sosial yang tersebar luas tampaknya membuktikan tentang peminggiran banyak isu dari agenda politik yang berdampak pada kehidupan rakyat kebanyakan di Amerika. Hal ini memunculkan keraguan terhadap kemampuan negara kapitalis untuk benar-benar inklusif. Jika sistem politik se- terbuka seperti yang diutarakan kaum pluralis, bagaimana dominasi posisi politik oleh kelas-menengah kulit putih dapat dijelaskan?

Kritik Penjelasan Partisipasi Kelompok Kepentingan

Yang kedua, penjelasan kaum pluralis mengenai partisipasi kelompok kepentingan dikritik karena meremehkan ketidaksetaraan di antara kelompok-kelompok ini, khususnya terkait dengan jenis sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk menjalankan kekuasaan. Kepentingan bisnis dan keuangan menguasai struktur ekonomi dan institusional untuk mengorganisir diri mereka sendiri menjadi kelompok yang berpengaruh.

Oleh karena ketergantungan para politisi terhadap pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan suatu ‘faktor rasa puas’ pada para pemberi suara, mereka lcbih cenderung mempengaruhi pembuatan kebijakan dibanding mereka yang secara sosial tersisih. Gagasan Truman (1951) bahwa meski kelompok seperti kaum miskin, yang mungkin tidak mampu berorganisasi secara formal, namun harus diperhitungkan oleh kekuatan dalam negara dan masyarakat sipil, karena kemampuan ‘terpendam’ mereka untuk berorganisasi, tampaknya tidak meyakinkan.

Kebanyakan pertukaran pengaruh antara kelompok kepentingan dan negara bersandar pada rumus saling menguntungkan; misalnya para profesional, seperti dokter, mempertukarkan saran teknis kepada pemerintahan dengan imbalan pengaruh terhadap kebijakan yang berdampak pada mereka. Kelompok yang dipinggirkan tidak mempunyai keahlian yang dapat dijual ini, dan karenanya tidak menarik bagi kekuatan ekonomi dan politik.

Untuk menjawab kritikan tadi, banyak pemikir pluralis, sejak tahun 1960-an, telah mengolah kembali gagasan mereka. Pemikir pluralis klasik seperti Dahl selama ini lebih bersedia mencermati hambatan struktural terhadap partisipasi kelompok tertentu; misalnya tahun 1991, dalam pengakuannya akan masalah ketimpangan gender, dia menulis, ‘sepanjang catatan sejarah di seputar jagad, wanita telah menjadi korban dominasi pria’ (Dahl, 1991:114).

Neo-pluralisme dalam sebagian tulisan Dahl yang terkemudian juga memuat penjelasan yang agak lebih bernuansa mengenai ketimpangan antarkelompok kepentingan. Dia mengakui bahwa dalam konteks masyarakat sipil kapitalis, kelompok bisnis akan mempunyai pengaruh lebih besar terhadap negara terkait dengan isu-isu ekonomi. Namun demikian, kadar pluralitas tertentu juga berlangsung dalam bidang kebijakan lainnya.

Pengamat pluralis lainnya, seperti Richardson dan Jordan (1979), telah mengembangkan pendapat yang dalam beberapa segi mendekati elitisme demokratis Schumpeter. Para penganut pluralis elit menyatakan bahwa masyarakat liberal itu bersifat demokratis karena meskipun para elit mendominasi partai dan kelompok penekan, dan terlepas dari fakta bahwa sebagian elit lebih kuat daripada lainnya, tidak ada kelas penguasa tunggal.

Oleh karena itu, kaum elit dipaksa untuk berkompromi dengan kelompok kekuasaan lain dan mencari dukungan dari basis sosial seluas mungkin untuk memberikan bobot demokratis kepada kepentingan mereka. Para penganut pluralis elit juga lebih memberikan arti penting terhadap negara dibanding pluralisme klasik. Negara dipandang sebagai terpecah menjadi berbagai ‘komunitas kebijakan’(policy communities) yang melewatinya kelompok kepentingan yang berpengaruh dapat membantu membentuk kebijakan dalam konsultasi dengan pemerintah dan elit birokrasi (Smith, M. 1995: 220).

Namun, dalam bentuk revisi ini, pluralisme menjadi lebih rentan terhadap para kritisi yang menganjurkan partisipasi langsung oleh semua anggota masyarakat sebagai satu- satunya cara untuk menjamin agar semua suara dalam masyarakat sipil bisa didengar.

Demikian juga, seperti pluralisme klasik, pluralis elit tidak menempatkan pembuatan kebijakan ke dalam konteks ideologi yang berlaku dalam masyarakat sipil. Mereka juga gagal memberikan pembahasan yang memadai tentang hambatan yang disebabkan oleh kondisi ekonomi atas pilihan-pilihan komunitas kebijakan, yakni kebijakan yang pada masa krisis membatasi atau meniadakan pengaruh kelompok yang kurang kuat.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like