Manusia diindikasikan sebagai manusia, karena ia memiliki akal yang dengannya dapat mengaktualkan instrumen tersebut melalui mediasi berfikir. Dengan demikian, berfikir secara sederhana merupakan keniscayaan bagi hewan yang berakal. Sebab, setiap manusia niscaya berfikir, sebagaimana niscayanya eksistensi akal pada manusia. Namun tidak semua manusia memikirkan hal yang sama. Iya kan!. Dengan itulah, hewan dan akal menjadi esensi manusia yang tidak akan terpisah dari diri manusia. Lantas apa yang menjadi alasan mengapa hewan dan akal tak akan berpisah dengan manusia? Jawabannya, sesuatu tidak akan pernah terpisah dari esensinya. Pasalnya, ketika terpisah maka bukan lagi dirinya.
Dengan mengafirmasi fakta bahwa hewan dan manusia adalah esensi/substansi manusia, maka keduanya tidak akan terpisah dari manusia. Sehingga setiap manusia adalah hewan yang memiliki akal. Entah itu digunakan sesuai dengan fungsinya untuk berfikir. Namun tidak cukup hanya sekedar berfikir, dibutuhkan berfikir benar/logis. Pertanyaannya kemudian, bagaimana manusia agar dapat berfikir benar sehingga tidak terjerumus kedalam kesalahan-kesalahn berfikir. Tentunya, manusia membutuhkan pembekalan dan praktek disiplin ilmu yang mengatur aturan/kaidah berfikir benar disebut dengan Ilmu Logika/Mantiq. Namun, logika tidak mengajarkan bagaimana cara berfikir, sebab sudah menjadi sifat dzat bagi manusia untuk berfikir. Tetapi, logika memberikan metode bagaimana aturan berfikir benar.
Kemudian, keberadaan akal pada manusia bukanlah kesempurnaan yang hakiki. Tetapi keberadaan akal pada manusia adalah Dia sebaik-baik pencipta yang meletakkan akal pada manusia sehingga dapat berfikir. Lantas, apakah akal yang melekat pada diri manusia bisa menemukan jalan kebenaran? Mungkin hanya sebagian saja. Tentu tidak cukup hanya akal yang digunakan untuk menemukan jalan kebenaran. Tetapi utusan Tuhan perlu juga yakni melalui para Nabi dan Rasul bahkan melalui agama. Sebab, agama hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal, sehingga agama juga relevan sebagai parner akal dalam menyusuri jalan kebenaran.
Di dalam ushul Kafi, kitab Al-Aql Wa Al-Jahl yang ditulis oleh Kulaini menyatakan bahwa Allah SWT memiliki dua bukti atas manusia yaitu bukti yang tampak dan bukti yang batin. Bukti yang tampak adalah Para Nabi dan Rasul, sedangkan bukti yang batin adalah akal. Bahkan dalam bahasa Mulla Sadra, akal adalah Rasul Internal. Sehingga utusan-utusan internal dan eksternal di dalam diri manusia, pada dasarnya saling menguatkan satu sama lain. Selama pesan dan tuntunan mereka ini dicerna dengan benar/logis dan baik.
Dengan demikian, akal dan agama memiliki relasi dalam menapaki jalan kebenaran. Sebab, agama mengatakan akal mesti ada sebagai penopanag agar ajaran-ajaran agama dapat terpahami dengan baik. Di sisi lain, akal mengatakan agama mesti ada agar jalan penghambaan kepada Tuhan tersingkap secara paripurna. Sebab, agama sebagai aturan hidup yang bersumber dari wujud sempurna yang diperuntukkan kepada manusia, demi meraih kebahagiaan. Sebagaia bentuk kecintaan Tuhan kepada hambanya, Dia ingin sang hamba menyempurna, sehingga disuguhkanlah aturan hidup sebagai pijakan dalam mengarungi kehidupan. Sistem tersebut dinamakan agama.
Maka tidak heran, Mulla Sadra didalam Syarah Ushul Kafi, bagian awal dari kitab Al-Hujjah, beliau melukiskan begitu indah relasi antara akal dan agama. Di dalam magnum opusnya tersebut beliau mengatakan, akal adalah mata, sedangkan agama adalah matahari. Tanpa mata, realitas tak akan terlihat, betapapun matahari bersinar dengan terangnya. Begitu pun juga, tanpa matahari, realitas tak akan disaksikan, betapa pun mata terbuka sedemikian lebarnya. Konklusinya bahwa realitas hanya akan tersingkap ketika mata terbuka dan matahari menyinari yakni dengan akal dan agama agar realitas dapat terpahami dengan baik.
Salah satu tugas akal adalah mnegafirmasi dan membuktikan kebenaran agama. Kemudian akal mengakui keniscayaan diutusnya para Nabi dan Rasul dari Tuhan. Maka pembuktian atas kebenaran dan kesucian agama merupakan tugas dan agenda akal. Di samping, akal juga mampu mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang salah. Atas dasar inilah, agama sama sekali tidak bisa dan tidak akan bertentangan dengan akal. Karena prinsip menerima agama berada di bawah supremasi hukum dasar akal. Itulah sebabnya, agama tidak bisa menentang akal sebagai basis kebergantungannya.
Akan tetapi, akal tidak akan pernah mengetahui tata cara menyembah yang diinginkan oleh sang pencipta yaitu bagaimana Tuhan harus disembah. Sehingga akal manusia sudah semestinya bertanya pada Tuhan. Dan Tuhan pun meresponnya melalui agama dan utusan-utusannya seperti para Nabi dan Rasul, yang memiliki bukti-bukti yang kuat yang mustahil ditembus oleh peluru keraguan. Di samping itu, agama butuh pada akal. Itulah mengapa begitu banyak anjuran untuk menggunakan akal. Bahkan, Tuhan akan menimpakan kemungkaran bagi mereka yang tak menggunakan akalnya, sebagaimana yang termaktub di QS. Yunus ayat 100.
“Dan tidak seorang pun yang akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kekejian dan kekafiran kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”
Maka bersyukurlah kepada sang pencipta selaku sebaik-baik pencipta yang telah membekali manusia sejenis utusan dalam dirinya yang disebut akal. Sebab akal inilah menjadi modal keistimewaan yang melampaui semua makhluk lain. Sebab, akal yang ditanamkan Tuhan ke dalam kemampuan manusia. Untuk apa? Tentunya, untuk meraih pengetahuan. Oleh karena itu, ketika manusia tidak menggunakan saran ilahi ini secara maksimal, niscaya dirinya akan sederajat bahkan jauh lebih rendah lagi dari binatang ternak sekalipun. Di dalam Al-Qur’an, diungkapkan
Dan sesungguhnya, kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat ayat-ayat Allah, dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah, maka mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.
QS. Al-A’raf ayat 179
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa”Agama adalah akal. Tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal” Walhasil, relasi akal dan agama bukan hanya tidak saling bertentangan, bahkan keduanya saling menguatkan, saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
Mahasiswa STAI Sadra Jakarta, Seorang diri yang diciptakan untuk memenuhi falsafah wujud penciptaan yaitu menyembah dengan pengetahuan kepada wujud yang pantas diperTuhankan dan bergerak atas dasar pengetahuan. Minat kajian yang bernuansa filsafat, sufistik dan tafsir Al-Qur'an. Seorang perindu kesempurnaan.