Selingan Terorisme Membuat Institusi Keagamaan Cuti Lewat “Maha Benar” Dengan Segala Fatwanya11 min read

Sebutlah Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertantang, jika bukan bergeming saat salah satu pengurusnya tersandung dengan kasus terorisme. Gegara satu oknum, maka dituding sebagai tempat persemayaman terorisme, begitulah isu mengapa MUI ingin dibubarkan. Aparatur negara bisa menyusup dan menelisik ke jaringan teroris, ternyata sosok teroris pun bisa menyusup dalam institusi keagamaan.

Bersumber dari laman media online yang ada menyebutkan bahwa oknum anggota Komisi Fatwa MUI sudah lama diintai, akhirnya ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri sesuai prosedur baku yang berlaku[1]. Satu-satunya bahasa kuasa negara dan institusi atau organisasi sosial keagamaan berhaluan moderat seperti MUI, yaitu ‘perang melawan terorisme’. Bunyi tagar atau jargon serupa dengan bentuk ‘musuh bersama’ lain.

Kuasa negara menjalankan fungsinya melalui mekanisme pengawasan dan kontrol atas individu yang terduga sebagai bagian dari jaringan terorisme. Jika pengawasan atas seseorang yang terduga teroris telah memakan waktu sekian lama, maka perlahan-lahan rangkaian bukti kuat yang membuatnya terjaring sebagai tersangka. Melalui bukti cukup kuat itulah, maka tersangka di bawah pengawasan ketat, selanjutnya dijadikan dasar penangkapan seseorang atas keterlibatannya sebagai anggota jaringan terorisme.

Jika kuasa negara melalui mekanisme pengawasan yang dimiliki oleh Densus 88 Antiteror Polri dengan dukungan kerja intelijen mampu menyasar berbagai tempat mencurigakan. Begitu pula agen terorisme mampu untuk memilih dan menentukan sasaran yang dipilihnya; dari keduanya mengalokasikan tenaga dan waktunya berhari-hari, yang digunakan untuk mempelajari perkembangan situasi dan medan laga terkini.

Supaya mekanisme pengawasan yang dibentuk oleh kuasa negara bisa berjalan secara efektif perlu tersedia bukti-bukti kuat berkat hasil kerja intelijen sebelum penangkapan dilakukan terhadap tersangka sebagai anggota jaringan terorisme Jamaah Islamiyah (JI). Ahmad Zain An Najah anggota Komisi Fatwa MUI non aktif bersama Farid Okbah dan Anung Al Hamat tertangkap karena bukti-bukti kuat menjadi alasan hukum penetapan sebagai tersangka dalam jaringan kelompok JI[2]. Peristiwa lawas tersebut selalu dikaitkan jaringan kelompok teroris tertentu. Terlepas dari fakta tersebut jika terdapat teori tentang terorisme negara atau terorisme internasional yang masih bergentayangan di sekitar kita.

Terorisme dalam kaca mata hitam kuasa negara, jangankan bentuk fisiknya, sedangkan aroma dan secuil bayangannya tidak boleh sejengkal atau tidak boleh sedikit pun menginjakkan kakinya, apalagi bersemayam di negeri ini. Semua gambaran umum mengenai pencegahan dan penanganan aksi terorisme diatur oleh kuasa negara dengan landasan yuridis formal melalui peraturan perundang-undangan[3], yang kemungkinan ada agen terorisme betul-betul berpotensi membahayakan ideologi negara, yang mengganggu persatuan dan kesatuan berbangsa maupun bernegara, merusak kehidupan dan menghancurkan masa depan umat manusia.

Keberadaan landasan yuridis tersebut mestinya tidak berhenti pada tema pemberantasan terorisme, melainkan juga sejauh mana kuasa negara dan masyarakat sipil mampu membangun wawasan masa depan yang baru bagi kemanusiaan dengan jaringan pengetahuan yang lebih luas, plural, cair, dan kreatif sesuai dinamika perkembangan zaman.

Hal ini menjadi proses pembelajaran bagi MUI kedepan agar tidak sekedar menyibukkan dirinya dengan aliran produksi ‘fatwa’ haram dan halal yang tertuju pada obyek, konsep, dan peristiwa yang aneh, sekalipun tidak jarang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat dalam keragaman. Sehingga dari titik tolak pembaruan pemikiran Islam yang dibidani oleh MUI tidak berkesan sebagai pemegang otoritas tertinggi yang dipaksakan dalam penyampaian pesan-pesan keagamaan, sekalipun mereka merupakan perpaduan ulama, umara, dan intelektual.

Sebagaimana kita pahami, bahwa jaringan kelompok JI di Indonesia merupakan pergerakan lama terorisme bersama garis komando seperti pergerakan terorisme lain, yang melancarkan aksi serangan masif, bom bunuh diri (Denny JA, 2021) hingga sumber pendanaan yang jelas dan tepat penggunaan untuk mendukung aksinya. Selama terjadi perkembangan yang berbeda diantara terorisme muncul tidak harus bergerak berdasarkan jaringan kelompok tertentu. Tetapi, ada juga pelakunya bergerak sendirian dengan apa yang disebut lone wolf terrorism[4], terdapat titik kemiripan seperti peristiwa seorang wanita menjadi penyerang markas besar Polri di waktu yang telah berlalu.

Bentuk lain dari terorisme tersebut perlu juga mendapat perhatian serius melalui kajian interdisipliner dan multidispliner dalam lingkungan MUI. Boleh jadi, tantangan MUI mencakup kekerasan yang berporos layar dan ruang siber atau bagaimana menghadapi kekuatan ‘metaverse teror’ atau ‘multiverse kekerasan’, yang kemunculan auranya lebih halus, samar-samar hingga tidak kelihatan penampakannya.

Cuma ada kecenderungan lain, ketika fatwa MUI yang melimpah justeru tidak mampu meredahkan atau mengurangi gejolak dan ledakan terorisme di tanah air. Salah satu faktor penyebab adalah kemungkinan fatwa mengungkap realitas dan relung-relung perikehidupan, gaya hidup, kecenderungan pola pikir, dan corak pemahaman, tetapi tidak menyentuh akar-akar permasalahan yang sesungguhnya itu mendesak pencarian jalan keluarnya. Masyarakat atau umat di era digital tidak memadai jika hanya melalui suguhan fatwa-fatwa, yang bertujuan untuk melegitimasi peran dan tanggungjawab MUI sebagai ‘benteng’ utama, yang diarahkan terhadap  kemaslahatan maupun kekuatan moral dalam kehidupan dengan seluruh aspeknya.

Termasuk bagaimana MUI bisa menemukan suatu cara ‘yang tidak lazim’ untuk mengatasi permasalahan yang relatif lama, tetapi dikemas dengan jawaban yang baru dalam kehidupan dan pemikiran di era citra artifisial.

Kita memang harus mengakui keberadaan MUI bersama tugas dan tanggungjawab yang cukup berat, secara normatif tidak membiarkan individu dan kolektif kehilangan kontrol diri hingga menabrak rambu-rambu ketertiban sosial dan melanggar batas-batas norma agama begitu saja, yang berlindung di belakang kebebasan. MUI tidak bisa dipungkiri tatkala seruan kabajikan dalam bentuk fatwa, yang secara verbal dan simbol hanya sebatas dipahami oleh masyarakat luas. Ajakannya lazim masih berorientasi dan bersifat ‘teologis’ menghadapi ‘masyarakat tele-media’ (diantaranya medsos, internet) dan dalam pemahaman masyarakat bercampur-aduk antara hal-hal sederhana, sesuatu yang konkrit dan hal-hal mistik atau sesuatu yang irasional.

Bentuk kesaksian atas keberadaan MUI dengan tugas dan tanggungjawab, memang begitu platform atau konsep dasar perjuangannya sebagai pembawa kebenaran ilahi, penyeru pada jalan keselamatan dunia dan akhirat mesti didukung oleh ide dan kreatifitas ‘baru’ untuk menghadapi tantangan zaman yang kian kompleks dan paradoks apa-apa yang dimuatinya di era disrupsi atau istilah lain seperti era pasca-kebenaran dan era pasca-manusia, yang sedang atau akan digeluti bersama di masa mendatang.

Belum beranjaknya MUI dari penggunaan metodologi fatwa yang masih lazim, maka ada kemungkinan karena belum mencapai titik penemuan sebuah model penafsiran atau pemikiran ‘baru’, yang utuh dan menyeluruh untuk menjangkau cara berpikir lain lagi berbeda menyangkut kedalaman dan keluasan permasalahan yang sedang kita hadapi. 

Jasser Auda, pemikir muslim kontemporer mencoba untuk membangun sebuah kerangka pengetahuan hukum Islam dengan sebuah ‘pendekatan sistem’ dalam Maqasid Al-Shariah As Philosophy of Islamic Law, A System Approach[5]. Perbandingan konsep dan tema pemikiran menyangkut kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi secara institusional, saat MUI serius membangun sebuah sistem pengetahuan. Katakanlah, terorisme dan aksi yang dilancarkannya memungkinkan bisa menjadi obyek pengetahuan, yang hasil studi atau analisnya kelak bermuara sebagai bahan masukan dan pengayaan substansi dalam sebuah rancangan fatwa MUI sebelum dikonsultasikan ke masyarakat, sekaligus menjadi bahan masukan bagi kebijakan negara dalam kaitannya dengan penanggulangan terorisme secara sistematis dan terencana.

Jadi, terorisme tidak sekedar musuh bersama yang ‘nyata’ dan ‘imajiner’, melainkan sebuah jalinan disiplin ilmiah dan disiplin filosofis yang kuat, sama kuatnya dengan akar permasalahan kemunculan terorisme. Pembentukan disiplin ilmiah dan disiplin filosofis secara utuh dan menyeluruh diharapkan semakin memperjelas bobot dari fatwa yang dilahirkan MUI. Fenomena terorisme bukanlah hal baru untuk dihindari, yang dihubungkan dengan teks Jean Baudrillard, The Spirit of Terrorism, yang pada akhirnya menandai peristiwa pasca 9/11[6]. Tetapi, sejauh ini, bagaimana MUI menapaki jalan berliku, terjal, dan menanjak menjadi bagian dari satu gambaran perjuangannya, yang terlacak jejak dan tanda tidak selamanya menjadi representasi pengetahuan.

Berbagai kritik dan sorotan tajam lain dimasukkan dalam evaluasi atas peta jalan MUI, yang berliku, terjal, dan mendaki. MUI tidak tertantang tanpa kritik, bukan ruang kosong terutama upaya penanggulangan terorisme di tanah air kita. Simfoni kehidupan tidak lagi biasanya bergema, ia digantikan oleh ketidakmampuan kita menyusun kata-kata dan tulisan tentang pemikiran baru, yang tertuju pada ruang hidup karena perbedaan latarbelakang cara berpikir, cara wujud, dan cara kehidupan yang menantang.

Satu sisi, terorisme bukan kelengahan dan keterbelakagan pemikiran, karena sosok yang tersangka teroris bersama jaringan kelompoknya bukanlah jenis manusia yang pandir, melainkan orang yang berpikir rasional dan mengenal apa tujuan dan sasaran pergerakannya yang mereka ingin capai. Kehebatan untuk merancang bom, kapan, dan dimana titik ledak ‘penghancuran kreatif’ maupun alur pergerakan rahasia menandakan mereka sudah cukup maju dalam berpikir.

Jaringan terorisme bukanlah layaknya sarang laba-laba, yang begitu rapuh. Tetapi, mereka semakin tidak goyah selama imajinasi, fantasi, dan mimpi belum terkabulkan; mereka matang dengan resiko kematian yang menantinya di depan matanya sendiri.

Pada sisi lain, institusi keagamaan seperti MUI belum mampu meletakkan dirinya dalam cara berpikir ‘bebas’, yang ditopang oleh jaringan diskursus yang tidak terpikirkan sebelumnya, tanpa kungkungan doktrin perang. Sedangkan doktrin perang dan berubah menjadi imajinasi, fantasi, dan mimpi yang indah untuk menyambut masa depan kehidupan yang dinantikan oleh seorang teroris dengan jaringan kelompoknya.

Ketemporalan fatwa MUI menghadapi alur perjuangan institusional yang ia bentuk sendiri. Dari fatwa ke fatwa lain memberi kesempatan bagi kaum intoleran dan kenikmatan instan, yang berlangsung sesuai tujuan dan sasaran terencana. Kematian yang indah datang dari kenikmatan instan melalui serangan bom bunuh diri dan kekerasan lain sebagai jalan menuju kebenaran hakiki. Fatwa tinggallah fatwa, mungkin karena ucapan dan teksnya yang dimunculkannya sudah hambar, tatkala MUI tidak memiliki kenikmatan instan, kecuali hasrat untuk memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri diantara permasalahan yang dihadapi oleh individu dan kolektif dalam kehidupan yang rawan.

Simfoni kehidupan tidak lagi biasanya bergema, ia digantikan oleh ketidakmampuan kita menyusun kata-kata dan tulisan tentang pemikiran baru, yang tertuju pada ruang hidup karena perbedaan latarbelakang cara berpikir, cara wujud, dan cara kehidupan. Satu sisi, terorisme bukan titik kelengahan dan keterbelakagan pemikiran, karena sosok yang tersangka teroris bersama jaringan kelompoknya bukanlah jenis manusia yang pandir, melainkan orang yang berpikir rasional dan mengenal apa tujuan dan sasaran pergerakannya yang mereka ingin capai. Kehebatan untuk merancang bom, kapan, dan dimana titik ledak sebuah proses ‘penghancuran kreatif’ maupun alur pergerakan yang rahasia menandakan mereka sudah cukup maju dalam berpikir.

Jaringan terorisme bukanlah layaknya sarang laba-laba, yang begitu rapuh. Tetapi, mereka semakin tidak goyah selama imajinasi, fantasi, dan mimpi belum terkabulkan; mereka matang dengan resiko kematian yang menantinya di depan matanya sendiri. Pada sisi lain, institusi keagamaan seperti MUI belum mampu meletakkan dirinya dalam cara berpikir ‘bebas’, yang ditopang oleh jaringan diskursus yang tidak terpikirkan sebelumnya, tanpa kungkungan doktrin perang. Sedangkan doktrin perang dan berubah menjadi imajinasi, fantasi, dan mimpi yang indah untuk menyambut masa depan kehidupan yang dinantikan oleh seorang teroris dengan jaringan kelompoknya.

Diberi tanda kutip tunggal pada kata ‘bebas’ untuk menegaskan kedudukan dan peran MUI mengalami perbedaan di ‘taraf penanda’ kecepatan arus gelombang ‘pembaruan pemikiran’ di beberapa organisasi Islam. Meskipun secara perorangan, keanggotaan MUI masih memiliki suatu kecenderungan pada pemikiran yang lebih terbuka dan cukup ‘bebas’. Berpikir ‘bebas’ selalu diidentikkan sebagai bagian dari ‘gaya’ pembaruan pemikiran.

Ketemporalan fatwa MUI menghadapi alur perjuangan institusional yang ia bentuk sendiri. Dari fatwa ke fatwa lain memberi kesempatan bagi kaum intoleran dan kenikmatan instan, yang berlangsung sesuai tujuan dan sasaran terencana. Kematian yang indah datang dari kenikmatan instan melalui serangan bom bunuh diri dan kekerasan lain sebagai jalan menuju kebenaran hakiki. Fatwa tinggallah fatwa, mungkin karena ucapan dan teksnya yang dimunculkannya sudah hambar, tatkala MUI tidak memiliki kenikmatan instan, kecuali hasrat untuk memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri diantara permasalahan yang dihadapi oleh individu dan kolektif dalam kehidupan yang rawan.

Satu hal lagi, kehidupan agama dipercaya dalam pembinaan dan pengelolaan MUI, yang memiliki ide, imajinasi, dan mimpi yang tentu berbeda dengan sosok teroris dan jaringan kelompoknya di atas permukaan bumi. Arah jalan keterbalikan terjadi berdasarkan perbedaan yang sulit dipertemukan antara ide, imajinasi, mimpi, dan harapan dari terorisme dan institusi keagamaan. Sosok teroris dan terorisme membungkam dunia melalui kekerasan hingga nyawa melayang, memberanikan dirinya dalam titik ketidaksadaran teks perang yang mengatasnamakan Tuhan. Sedangkan, agama dan institusi atau organisasi sosial keagamaan menata kehidupan atau menghidupkan orang-orang yang berjuang untuk menjalani kehidupan baru. Ia mampu menyerap dan memancarkan kebenaran hakiki demi umat manusia tanpa ‘kontaminasi’ dari segala penjuru.

Kata lain, MUI mesti berusaha untuk membebaskan dirinya dari dua bentuk ‘kontaminasi’, yaitu (i) kontaminasi politik kuasa atau kepentingan sesaat lain, dan (ii) kontaminasi kebenaran monolitik atau tunggal dan terpusat dan godaan kepentingan status atau gengsi belaka.

Dari situlah pula terdapat kemungkinan akan berlangsung episode demi episode kehidupan, dimana ruang komunikasi ditemukan dalam wujud fatwa MUI, yang layak disaksikan, ditulis, dan diingat melalui rangkaian peristiwa di sepanjang masa.


[1] Oknum anggota Komisi Fatwa MUI sudah lama dintai, akhirnya ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5820283/sudah-lama-densus-buntuti-farid-okbah-zain-an-najah, tanggal 21 November 2021, pukul 12.35 WITA. https://nasional.tempo.co/read/1530735/mahfud-md-sebut-anggota-mui-yang-ditangkap-densus-88-sudah-lama-diawasi/full?view=ok, tanggal 21 November 2021, pukul 08.20 WITA.

[2] Ahmad Zain An Najah bersama Farid Okbah dan Anung Al Hamat menjadi alasan hukum penetapan sebagai tersangka dalam jaringan kelompok JI.  Diakses dari https://www.kompasiana.com/fery50973/61992f6ac26b7720c33a8b33/diminta-dibubarkan-lebih-baik-mui-introspeksi, tanggal 21 November 2021, pukul 08.25 WITA.

[3] Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tentang pemberantasan tindak pidana terorisme termuat dalam Undang-Undang RI No. 5/2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2OO3Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO2 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

[4] Lone Wolf Terrorism. Diakses dari https://wwwtandfonline.com/doi/full/10.1080/1057610X.2010.501426?scroll=top&needAccess=true, tanggal 22 November 2021, pukul 8.18 WITA.

[5] Lihat Jasser Auda dalam Maqasid Al-Shariah As Philosophy of Islamic Law, A System Approach, The International Institutr of Islamic Thought, London-Washington, 2007.

[6] Lihat Jean Baudrillard dalam The Spirit of Terrorism, Verso, London-New York, 2013.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like