Moderasi Beragama: Indahnya Kehidupan Bermasyarakat dengan Adanya Moderasi Beragama4 min read

Moderasi beragama? Kata yang cukup familiar dan terkesan asing bagi sebagian orang. Cukup familiar bagi orang-orang yang konsentrasi dalam keilmuan atau keagaaman, terkesan cukup asing bagi masyarakat pada umumnya. Konsep moderasi beragama dicetuskan pertama kali oleh Mentri Agama Republik Indonesia (Menag RI) periode 2014-2019 yaitu, Lukman Hakim Saifuddin pada tahun 2019. Sebagai pencetus dari moderasi beragama ia pun mendapatkan penghargaan  yang diberikan oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof. Amany Lubis dalam rangka mengapresiasi tokoh publik atas dedikasinya kepada bangsa Indonesia. (Bisnis.com 21 Desember 2019, 06;41 WIB- Oleh Rayful Mudassir). Mulai pada tahun 2019 tersebut hingga sekarang banyak para tokoh-tokoh agama yang ikut serta menyiarkan konsep moderasi beragama ini.

Moderasi beragama menurut Lukman Hakim dalam bukunya Moderasi Beragama, diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu betindak adil dan tidak ekstrim dalam beragama. Moderasi beragama ini dianggap penting karena dengan majemuknya masyarakat Indonesia dan banyaknya keberagaman yang ada di tengah-tengah masyarakat, untuk dapat hidup berdampingan dengan keharmonisan maka dibutuhkanlah sikap moderasi ini, agar keberagaman yang ada dapat memunculkan rasa persatuan dan kesatuan dalam hidup bernegara. Seperti yang telah diungkapkan oleh Mentri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada kegiatan PPRA (Program Pendidikan Reguler Angkatan) 62 dengan materi “Meningkatkan Toleransi Masyarakat Dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa di Era New Normal”, dalam kegiatan tersebut beliau menyampaikan bahwa dalam konteks keragaman Indonesia, sangat diperlukan cara beragama yang moderat “Keragaman agama sejatinya tidak menjadi masalah yang terlalu perlu untuk dirisaukan”. Dengan terciptanya toleransi dan juga kerukunan maka masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan dan hidup bersama secara damai, lanjutnya.

Dalam menyampaikan konsep moderasi beragama ditengah-tengah masyarakat tentunya ada tantangan yang harus dihadapi yang mana setiap orang memiliki persepsinya masing-masing sehingga untuk menyatukan persepsi masyarakat bukan merupakan suatu hal yang mudah. Ada sebagian kelompok yang mengira bahwa dengan adanya moderasi beragama itu menggambarkan plin-plan dalam beragama tidak ada ketegasan, mereka berdalih bahwa dalam beragama itu harusnya kaffah (menyeluruh). Berangkat dari sini Oman Faturrahman Ketua Pokja Moderasi beragama Kementrian Agama RI mencoba untuk meluruskan terkait dengan konsep moderasi beragama yang benar itu ialah bukan setengah-setengah dalam beragama melainkan merujuk kepada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstriman dalam cara pandang, sikap dan praktik beragama. Maka, jika dirumuskan moderasi beragama itu ialah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Permasalahan yang ada jika tidak adanya moderasi beragama dalam masyarakat tentunya akan banyak sekali perpecahan yang terjadi. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang multikultular, banyak keragaman yang terdapat di Indonesia baik ras, suku, budaya, adat, agama dan lain sebagainya. Jika, antar masyarakat tidak saling menghargai dan menghormati, maka akan banyak perselisihan dengan menyatakan bahwa dirinya adalah yang paling benar sedangkan yang lain salah. Padahal pada hakikatnya, setiap budaya dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat memiliki landasan atau dasarnya masing-masing yang dianggap benar oleh segolongan mereka. Jadi, jika tidak adanya moderasi dalam masyarakat kedamaian dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat tidak akan didapatkan oleh masyarakat di Indonesia.

Lalu siapakah yang perlu mensosialisasikan moderasi beragama ini ? Tentunya seruan untuk selalu menggaungkan moderasi, mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan tindakan bukan hanya kepedulian para pelayan publik seperti penyuluh agama, atau orang Kementrian agama saja namun seluruh warga negera Indonesia dan seluruh umat manusia untuk dapat menyiarkan dan mensosialisasikan ditempat atau wilayahnya agar dapat memahami dan menerapkan moderasi beragama ini, sehingga tidak sampai menimbulkan perselisihan dan pertikaian antar satu sama lain yang akan menyebabkan suatu perpecahan baik sesama agama ataupun dengan agama lainnya.

Bentuk-bentuk konsep dari moderasi beragama yang disandingkan dengan kata wasathiyyah menurut Afrizal Nur dan Mukhlis (Konsep Wasathiyah dalam Al-Quran; (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrir Wa At-Tanwir dan Aisar At-Tafsir), Jurnal An-Nur)  ialah;

  1. Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengalaman yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan taftith (mengurangi ajaran agama).
  2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengalaman agama secara seimbang yang meliputi aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhira (penyampingan) dan ikhtilaf (perbedaan).
  3. I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proposional.
  4. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
  5. Musawah (egalier), yaitu tidak bersikap diskriminaif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
  6. Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
  7. Islah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaam lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al aslah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan).
  8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diterapkan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah.
  9. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik.

Dari bentuk-bentuk moderasi beragama tersebut seyogyanya dapat kita pahami, terapkan dan sampaikan kepada para sanak keluarga serta kerabat kita untuk bisa memahami makna moderasi beragama yang sebenarnya. Sehingga akan tercipta keindahan hidup bermasyarakat dengan adanya sikap saling menghargai dan menghormati antar satu sama lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like