Bro WTO: Gugatan, Hasrat Untuk Ekspor, dan Minerba Akan Booming9 min read

Jika bukan Ayah, WTO adalah Bro (A, B huruf kapital), saudara Indonesia dalam bidang ekonomi, tepatnya perdagangan bebas dunia. Gayung bersambut, Presiden Jokowi (13/10), akhirnya melayani pernyataan gugatan World Trade Organization (WTO) sebagai akibat kebijakan larangan ekspor nikel yang diterapkan oleh negara kita.

Saya teringat dengan buku, berjudul “Indonesia Menggugat” karya Ir. Soekarno. Sebuah risalah yang diterbitkan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia. Ia adalah tulisan yang tajam suaranya di balik teks, setajam lidah saat beliau berpidato, yang menggerakkan massa.

Buku itu ditulis tahun 1930 sesuai latar belakang penderitaan yang dialami oleh rakyat yang terjajah, termasuk pembelaan atas dirinya di depan pengadilan kolonial Belanda ‘tempoe doeloe’. Dari satu kasus tertentu, keadaan bisa menjadi gambar terbalik. Sebagaimana peristiwa mutakhir, WTO menggugat Indonesia.

Kini, kita sudah mengetahui, bahwa kita berada di era digital. Permasalahan dan tantangan berbangsa dan bernegara kian kompleks. Lain zaman, lain pula sudut pandang dan pemikirannya. Tidak berarti orang Indonesia terburu-buru menarik kesimpulan tentang sebagian dari anggota WTO merupakan agen penjajah dan hegemoni global.

Gerah rasanya Indonesia jika mengulur-ulur waktunya untuk mengekspor nikel maupun tambang mineral dan batu bara (minerba). Silahkan Bro WTO, kami menghargai keputusan Anda!

Tetapi, kemunculan wilayah pernyataan tidak tanggung-tanggung dilontarkan oleh Jokowi. Pernyataan itu, misalnya: “Meskipun kita digugat di WTO, tidak apa. Nikel, nikel kita, barang, barang kita, kita jadikan pabrik di sini, barang di sini, itu hak kita. Kita hadapi kalau ada yang menggugat, jangan digugat kita mundur lagi,” ungkap Jokowi.[1] Ekonomi Indonesia nampaknya mengalami perubahan struktural, khususnya dari masa baby boomer alias bonanza minyak menuju booming minerba.

Perubahan menjadi ‘metamorfosis’ perdagangan, karena komoditas yang berorientasi ekspor bukanlah hal baru. Hanya karena tuntutan global atau perdagangan bebas menampilkan wajah yang berbeda dari sebelumnya.  Semua negara yang menganut ekonomi pasar mengarahkan dirinya pada masa depan komoditas ekspor. Tanpa rintangan masuk dan bottleneck dalam kebijakan negara.

Peluang pasar itulah ditangkap oleh Jokowi. Sambil menimbun dalam-dalam rangkaian kekuatiran, beliau mengambil suatu kebijakan yang tidak populer sekalipun, tetapi bernada kebijakan afirmatif di sub bidang ekspor nikel dan minerba lain. Sudah tentu, langkah kebijakan itu bukanlah berdasarkan kenekatan apalagi kesembronoan.

Bahkan, jika diperlukan dalam kondisi apapun, Jokowi siap melayani gugatan WTO dengan jalan menyiapkan lawyer kelas dunia. Jadi panggung kompetisi dunia dihadapi dengan permainan kelas dunia. Kita bisa membayangkan sekarang mengenai keberadaan antar pemain besar dan pemain kecil yang memainkan perannya dalam komoditas minerba menuju booming yang tidak terelakkan beberapa lama lagi.

Percaya diri Jokowi mewanti-wanti atas gugatan lain dari WTO seperti kebijakan tentang komoditas minyak sawit (CPO). Ibarat deretan anak tangga lagu dari musik Rock, komoditas minyak sawit siap dipasarkan keluar setelah mengalami proses pengolahan. Bentuk kepercayaan diri dari pemimpin negara diharapkan datang pula dari kalangan dunia usaha dan masyarakat. Tanpa semboyan berapi-api, anak bangsa bangkit melalui hasrat untuk ekspor. Komoditas ekspor digalakkan perlu memerhatikan masa depan umat manusia. Bukan soal minerba menjanjikan booming atau tidak, melainkan mengembangkan dan menyebarkan hasil dan dampak bagi kemanusiaan.

Hasil produksi minerba non minyak yang melimpah dinantikan untuk kesejahteraan. Disinilah diskursus kesejahteraan sosial ditantang kenampakan wujudnya. Bukan hanya komoditas nikel dan bijinya yang berorientasi ekspor, paling tidak dengan segala keunggulan komperatifnya, tetapi juga komoditas minerba lain diperlukan strategi dan kebijakan hilirisasi. Pembentukan strategi dan kebijakan hilirasasi yang meruang bagi komoditas ekspor perlu dibebaskan dari penanda kosong dibalik rencana booming minerba.

Kata lain, anak bangsa yang mengelola komoditas minerba berorientasi ekspor sebelum dan setelah masa booming, tetapi pihak lain yang menikmati hasilnya. Sesungguhnya ironi! Penanda kosong adalah ironi. Entah itu ekspor nikel maupun ekspor komoditas minerba lain di tanah air kita.

Indonesia memang bukanlah negara-negara seperti digambarkan dalam teks Adam Smith, The Wealth of Nation. Ada negara yang sangat terbatas kekayaan alamnya (SDA), tetapi ia memiliki lompatan, transformasi, dan looking forward luar biasa. Pemerintah Indonesia mewaspadai diri dan masyarakat luas terhadap gejala inferiority complex. Gejala seperti itu akan kehilangan wawasan masa depan. Bangkit dari krisis menjadi salah satu jalan yang mesti kita tempuh, tanpa meratapi masa lalu dan berkeluh kesah atas keadaan yang menimpa anak zaman.

Mengenang booming minyak dan booming kayu di masa lalu akan membuat kita bergairah kembali menjadi pelajaran penting untuk menghadapi dan mengelola komoditas minerba lain melalui aliran produksi barang dan aliran produksi hasrat untuk ekspor yang menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.

Bukankah nikel dan komoditas minerba lain merupan kekayaan alam atau energi ‘yang tidak terbarukan’? Pemikiran modern tentang hijau dan ekologis akan memengaruhi pemanfaatan kekayaan alam di balik akan booming minerba.

Ragam komoditas seiring aliran hasrat untuk membeli atau mengonsumsi barang-barang. Dari mentega, kosmetik hingga biodiesel dan turunannya diubah menjadi obyek selera, hasrat, status, dan  kesenangan melalui hilirisasi industri. Berawal dari hilirisasi industri minerba menciptakan hasrat untuk ekspor. Ketika suatu permasalahan dan tantangan muncul sebelumnya, yang tertuju pada ekspor biji nikel, maka yang ada hanyalah hasrat dan mimpi yang tertunda kemunculannya.

Data BPS tahun 2020 menunjukkan, bahwa ekspor biji nikel dan konsentratnya ke Cina ternyata tidak ada[2]. Catatan BPS bertujuan untuk merespon pernyataan ekonom senior, Faisal Basri mengenai kebocoran ekspor biji nikel ke Negeri Tirai Bambu tahun lalu setelah dilakukan validasi data.

Regulasi negara telah menjamin seluruh industri minerba dalam negeri untuk membangun smelter[3]. Komoditas nikel yang sebelumnya dikelola oleh pihak asing perlu menyediakan industri bahan mentah menjadi bahan jadi, yang bernilai tambah.

Pembicarakan singkat mengenai komoditas minerba berupa tambang nikel dan sejenis, yang dihasrati oleh negara sebagai pengekspor. Indonesia seyogyanya menaruh harapan terhadap ekspor komoditas minerba. Bukan karena dorongan untuk mendapatkan pengakuan dunia dan menghindari gugatan WTO. Selain belajar dari pengalaman, negeri ini perlu menata ulang cara berpikir seputar ekspor komoditas minerba, yang diamanahkan pada penyelenggara negara untuk mengelolanya. Jadi, jelas aturan main yang dibuat sedemikian rupa, yang menerobos diskursus kesejahteraan.

Hal penting yang perlu dimiliki oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat setelah terbentuk kerangka pengetahuan atau cara berpikir selama ini adalah bagaimana penilaian dan uji kesahihan atas bentuk kegiatan ekonomi di sektor produksi minerba. Sudah sekian lama negara menerapkan strategi dan kebijakan tentang ekspor bahan mentah. Struktur ketergantungan negara kaya akan sumber daya alam seperti nikel, tembaga, kelapa sawit, dan batu bara terhadap negara industri maju melalui ekspor bahan mentah justeru membuat jalinan kerjasama ekonomi yang tergabung dalam WTO hanya bersifat superfisial.

Semakin negara kita dan negara-negara yang kaya akan sumber daya alam bergantung pada ekspor bahan mentah, semakin hambar dari pencapaian nilai tambah. Ketergantungan semakin akut jika negara kita tidak keluar dari lingkaran setan atau cara berpikir keluar dari kotak. Terutama pengambil kebijakan di negeri ini, yang terkait dengan pemanfaatan kekayaan alam yang melimpah untuk kemakmuran rakyat tidak memiliki alasan semata-mata untuk menopang perekonomian negara.

Di atas permukaan nampak keremeh-temehan tentang ekspor bahan mentah akan berakibat fatal, karena akan terjadi pengulangan terus-menerus terhadap penjualan bahan mentah dengan harga yang lebih murah dari negara yang membutuhkan. Harga yang lebih murah melalui ekspor bahan mentah dari negara kaya akan sumber daya alam di sektor pertambangan minerba cenderung akan didikte oleh negara lain. Mekanisme pasar komoditas minerba juga akan mengikuti negara-negara industri maju yang relatif sangat kurang memiliki kekayaan alam. Sudah banyak pelajaran dari negara-negara yang hanya mengandalkan ekspor bahan mentah. Akhirnya, harga ekspor bahan mentah jatuh dihadapan ekspor bahan jadi dari negara lain.

Tingkat kesejahteraan rakyatnya pun kalah dari negara-negara yang tidak kaya dengan komoditas minerba, tetapi kemampuannya untuk memutar haluan perdagangan ekspor bahan jadi yang telah dirahinya akan cukup mengatasi pemerataan pendapat per kapita masyarakat. Paling tidak, terdapat upaya untuk mengurangi ketimpangam pendapatan antar penduduk. Inilah salah satu tantangan dari bonus demografi dan bonus geografi. Apakah kekayaan komoditas minerba berbasis ekspor terhimpit antara berkah atau malapetaka? Semuanya bergantung dari cara pengelolaan dan pemanfaatannya.

Peluang pasar komoditas minerba mesti diperhitungkan tentang sejauh mana penghentian subsidi bahan bakar minyak hingga pendidikan dan kesehatan mampu ditanggulangi melalui perubahan dan metamorfosis ekspor bahan mentah menjadi ekspor bahan jadi berbasia komoditas minerba.

Produksi bahan jadi yang berorientasi pasar ekspor dari negara yang kaya akan sumber daya alam seperti di republik ini menandakan sebuah kekuatan ide dan inisiatif telah dibangun untuk meninggalkan cara berpikir, cara wujud, dan cara kehidupan ekspor bahan mentah, yang membuat negara tidak mengalami kemajuan.

Setelah meninggalkan ekspor bahan baku, negara kita yang bertumpu pada sektor produksi dan manufaktur yang telah mengalami perkembangan pesat menjadi syarat pembentukan wilayah ekspor bahan jadi, yang berdaya saing. Cara berpikir mereka berubah dari alasan kecukupan penjualan bahan mentah yang menguntungkan, dibandingkan bahan jadi bisa dijual langsung melalui pasar bebas menjadi bahan jadi, sekalipun biaya produksi dan investasi relatif lebih mahal, durasi yang lama, dan resiko yang lebih besar.

WTO tidak akan memaksa kita sebagai korban dari rezim pasar bebas, jika ekonomi kita menandakan keadaan yang kurang stabil. Kemunculan biaya produksi yang tinggi, durasi yang panjang, dan resiko yang lebih besar ketika negara menerapkan ekspor bahan jadi sebagai sesuatu yang lumrah dalam rezim pasar bebas. Negara yang kaya akan sumber daya alam di sektor produksi minerba mesti didukung oleh sektor industri manufaktur, yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja.

Setiap tenaga kerja akan memperoleh hasil produksi, yang selanjutnya berganti menjadi komoditas ekspor bahan jadi minerba. Berkenaan dengan hilirisasi industri,  WTO akan melihat sejauh mana Indonesia memiliki kemampuan untuk menjalankan proses pengolahan, perakitan, kendali mutu, dan pemasaran bahan jadi. Tahapan pembentukan wilayah kekuatan wujud datang untuk meningkatkan nilai tambah. Tenaga kerja bisa membeli sesuatu dan menafkahi keluarganya melalui nilai tambah dari ekspor bahan jadi.

Perluasan sektor untuk mendukung pencapaian kinerja ekspor bahan jadi juga merupakan syarat bagi negara yang ingin mencapai kemajuan ekonomi. Karena itu, kebutuhan tenaga kerja melalui multi sektor produksi dan industri manufaktur akan terwujud jika terjalin dengan pergerakan ekspor bahan jadi dengan segala nilai tambah yang dimilikinya.

Begitu pula tanda-tanda booming minerba ke depan. Presiden telah membaca sinyal dibalik peta tentang arah pengembangan komoditas minerba[4]. Ia akan disanjung setelah digugat oleh WTO, ketika negara mengambil kebijakan deregulasi pelarangan ekspor biji nikel, minyak sawit, dan lainnya agar mendapatkan ruang yang lebih luas, cair, dan mengalir kemana-mana, sama mengalirnya hasrat untuk ekspor bahan jadi. Dulu, kita kendor gegara kehilangan momentum bonanza minyak. Kini, ada tanda gairah kembali gegara harga komoditas minerba akan menanjak, naik seirama booming saat mendatang. Begitulah harapan kita.


[1] Meskipun kita digugat di WTO, tidak apa. Nikel, nikel kita, barang, barang kita, kita jadikan pabrik di sini, barang di sini, itu hak kita. Kita hadapi kalau ada yang menggugat, jangan digugat kita mundur lagi,” ungkap Jokowi. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211013152343-92-707297/jokowi-soal-indonesia-digugat-wto-kita-hadapi, tanggal 13 Oktober 2021, pukul 20.05 WITA.

[2] Data BPS tahun 2020 tentang ekspor biji nikel dan konsentratnya ke Cina ternyata tidak ada. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211013183737-85-707431/bps-buka-bukaan-data-ekspor-bijih-nikel, tanggal 13 Oktober 2021, pukul 20. 24 WITA.

[3] Regulasi negara tentang industri minerba dalam negeri diwajibkan membangun smelter termuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minieral dan Batu Bara.

[4] Presiden telah membaca sinyal dibalik peta tentang arah pengembangan komoditas minerba. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211013130712-532-707187/jokowi-tak-mau-ri-lewatkan-booming-mineral-dan-batu-bara, tanggal 13 Oktober 2021, pukul 2021, pukul 20.43 WITA.

ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like