Danau Toba, Pemerintah, Jargon dan Bla…bla…bla6 min read

Sebelum menyelami lebih dalam tentang apa yang indah dan tidak dari Danau Toba, saya hendak mengajak pembaca mengingat-ingat kembali catatan sejarah bagaimana danau yang disebut kepingan surga ini bisa terbentuk dan menghasilkan panorama sebegitu indah. Tentu ‘indah’ yang saya maksud tidaklah sebatas pada hamparan danau yang enak dipandang, atau ‘indah’ karena kejernihan airnya (setidaknya dulu begitu). Melainkan ‘Indah’ yang dimaksud merujuk pula pada pengertian lain, yakni ‘indah’ dalam pandangan sejarah, dimana terdapat maha karya alam yang membentuk Danau Toba, lewat letusan gunung purba yang bernama Toba.

Letusan tersebut terjadi sekitar 74 ribu tahun yang lalu, dan ini yang terbesar setelah beberapa kali terjadi letusan. Berbagai hasil penelitian mengungkap bahwa Gunung Toba melepaskan sekitar 2.800 kilometer kubik material yang menyebar ke hampir seluruh atmosfer. Dimana 800 kilometer kubik merupakan material larva dan 2000 kilometer sisanya adalah abu vulkanik. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa batuan atau material lain hasil erupsi Gunung Toba tersebar ke berbagai belahan Bumi, hal ini terkonfirmasi lewat beberapa batu dan material yang ditemukan di Greenland, India, Teluk Benggali, Laut China Selatan hingga Afrika Selatan.

Tak sampai disitu, antropolog Stanley Ambrose dalam jurnalnya penelitiannya yang berjudul “Journal of Human Evolution” menyimpulkan, bahwa letusan Gunung Toba berdampak pada menurunnya populasi manusia di Bumi secara signifikan. Populasi manusia diperkirakan menurun drastis hingga hanya 2 ribu hingga 20 ribu yang bisa bertahan hidup. Relevan dengan penelitian Stanley tersebut, Awang H. Satya, dkk dalam jurnal yang berjudul “Supererupsi Toba 74.000 Tahun yang Lalu: Katastrofi Geologi dan Kepunahan Massa” juga menjelaskan, pasca katastrofi geologi yang memicu perubahan iklim secara ekstrim pada puluhan ribu tahun silam telah mereduksi evolusi dan migrasi manusia (genetic bottlenecking), serta membunuh 90 % populasi manusia, yang menyebabkan kepunahan massal.

Namun siapa sangka, gunung yang telah ‘membunuh’ hampir seluruh populasi makhluk hidup di dunia menjelma menjadi panorama yang sangat indah. Belakangan asesor UNESCO melakukan penelitian lapangan terhadap dokumen usulan (dossier) Geopark/Taman bumi Kaldera Toba yang diajukan pada masa Presiden SBY, dan menyimpulkan bahwa di bawah dan di atas air Danau Toba tersimpan potensi alam yang sangat luar biasa, alhasil pada 2020 silam UNESCO menetapkan Danau Toba sebagai UNESCO Global Geopark baru. Air tawar menyerupai lautan dihiasi dinding kaldera yang melingkar menjelma bak sebuah cincin, dan ini berproses selama puluhan ribu tahun lamanya. Dengan begitu batu Toba yang menempel di setiap sudut kecantikannya menyimpan sejuta cerita, tentang bagaimana alam berproses dari milenium ke milenium hanya untuk melahirkan panorama bernama Danau Toba.

Maka apabila dilakukan dekonstruksi terhadap pemahaman umum tentang apa yang indah dari Danau Toba, bisalah dikemukakan argumentasi bahwa yang indah tidak lagi semata terletak pada apa yang dilihat oleh mata atau didengar telinga, melainkan juga tentang apa yang ditulis oleh sejarah. Dan sejarah menulis bahwa alam lah yang berkarya, bukan manusia. Maka sejatinya alam telah mendahului keberadaan, juga pengetahuan manusia perihal apa yang layak atau tidak untuk Danau Toba. Namun keadaan ini menyisakan pertanyaan. Mengapa manusia saat ini merasa paling tahu tentang apa yang layak atau tidak untuk Danau Toba? Dan mengapa pemahaman kontemporer tentang ilmu pengetahuan (khususnya bidang pariwisata dan industri) tidak memberikan dampak kelestarian lingkungan melainkan pengrusakan secara masif? Hanya mereka yang peduli yang akan mencari jawabannya.

Dikepung Jargon Pembangunan?

Sebelum mengurai maraknya jargon pembangunan yang memberi dampak hegemonik bagi kesadaran masyarakat lokal, ada baiknya membicarakan lebih dulu nilai kebudayaan yang kian luntur akibat tidak terfilternya pengaruh globalisasi. Hal ini penting, sebab kedua hipotesis tersebut bermuara pada tujuan yang sama, yakni terciptanya Danau Toba sebagai kawasan akumulasi kapital baru, yang berdampak pada pengikisan kebudayaan, kerusakan lingkungan dan pengabaian hak-hak masyarakat lokal.

Globalisasi sebagai proses dimana dunia menyatu tanpa batas terbukti telah melanggengkan proses akulturasi di kawasan Danau Toba. Secara teoritik akulturasi terjadi apabila ada dua atau lebih kebudayaan bertemu dan saling mempengaruhi, namun dalam konteks ini, pengaruh budaya luar lah yang lebih mendominasi dibanding budaya lokal. Saya rasa tidak perlu menguraikan hasil studi empirik untuk melegitimasi argumentasi ini, sebab memang itulah yang terjadi.

Tradisi turun temurun yang menempatkan hutan dan danau layaknya Ibu yang harus dirawat (melalui prosesi kebudayaan) kini kian terkikis, begitu pula terlihat dari berkurangnya jumlah rumah adat (rumah bolon), memudarnya penggunaan bahasa batak, hingga kurikulum pendidikan yang tidak lagi mengajarkan kebudayaan lokal. Sedihnya lagi, otoritas adat kini tidak lagi memiliki determinasi untuk menentukan arah pembangunan kawasan. Diakui atau tidak, kini kita lebih banyak tunduk pada keputusan positif pemerintah (melalui peraturan perundangan), seolah pemerintahlah yang lebih tahu apa yang baik atau tidak untuk Danau Toba.

Padahal dalam beberapa momentum pengambilan kebijakan, partisipasi masyarakat lokal justru dibatasi sehingga sulit untuk mengatakan bahwa kebijakan pembangunan kawasan danau toba representatif untuk kepentingan masyarakat atau tidak. Dan dampaknya? Kita bisa lihat, pencemaran lingkungan, maraknya konflik lahan (tanah ulayat), kriminalisasi masyarakat, penggusuran, dan bentuk perampasan ruang hidup lainnya. Kondisi seperti ini tentu memprihatinkan, padahal Danau Toba dan masyarakat adat sudah ada jauh sebelum pemerintah ada.

Di sisi lain kita memiliki masalah yang tak kalah akut. Banyak anggapan yang menyatakan bahwa akar masalah dari kerusakan Danau Toba adalah eksploitasi kapitalisme yang tak terkontrol. Mungkin sebagian dari anda akan memprotes anggapan ini, tapi sebelum anda melakukannya, izinkan lebih dahulu saya mengurai argumentasinya. Industrialisasi yang saat ini berkembang pesat di Danau Toba betul bisa menjadi momok yang menakutkan apabila tidak ada langkah mitigasi dampak dan revitalisasi lingkungannya. Kita ambil contoh, Menteri KLHK pada 2016 silam dalam Rakor bersama Badan Otorita Pengelola Kawasan Danau Toba, menyatakan bahwa Danau Toba sudah menjadi “tempat buang limbah” dari perusahaan dan masyarakat di sekitarnya, dimana terdapat 262 ton per hari, 7.781 per bulan, 95,760,4 ton per tahun limbah yang dibuang ke Danau Toba dan jumlahnya terus bertambah setiap tahun.

Sebelumnya, kami yang tinggal di kawasan Danau Toba sering mendengar ungkapan lama dari para orang tua, “najolo, boi do diminum aek ni tao on” yang berarti “dulu, air danau toba ini bisa diminum” (langsung/tidak dengan cara dimasak). Lalu apakah sekarang masih bisa? Tentu bisa, kalau sekedar minum, tapi tidak dianjurkan karena tidak akan baik untuk kesehatan Anda.

Sedikitnya itulah kerusakan yang terjadi di dalam danau (belum lagi kita bicara soal menurunnya populasi ikan, lumut, dll). Lalu bagaimana dengan kawasan hutan di sekitar Danau Toba? Apakah juga mengalami kerusakan akibat industrialisasi atau tidak, ini relevan pula ditanyakan untuk menguji hipotesis pertama. Harus diakui, sangat sulit mengakses data terbaru berkaitan dengan kondisi kawasan hutan di sekitar Danau Toba, namun setidaknya data olahan berikut bisa memberikan gambaran kepada kita. Bahwa kondisi Danau Toba sebelum 1985 jauh berbeda dari apa yang kita ketahui sekarang.

Badan Lingkungan Hidup Sumut, mencatat per 2010 silam, sisa vegetasi hutan di kawasan Danau Toba tinggal 12 % dari total sekitar 356.800 sebelumnya, penurunan jumlah yang “sangat gila”. Masalah ini sesungguhnya diwali dari ugal-ugalannya pemerintah daerah dalam memberikan izin konsesi hutan ke beberapa perusahaan. Misal, padal 1984, Pemda Provinsi memberikan izin ke PT. Inti Indorayon Utama (IIU) untuk melakukan penebangan pohon secara masif di sebagian besar wilayah hutan lindung, sebagai bahan utama produksi kertas.

Saat ini PT IIU berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan telah mengantongi izin seluas 188.055 hektar (dua kali lebih luas wilayah kabupaten Samosir) tersebar di 13 kabupaten, dan delapan di antaranya adalah wilayah resapan air (Data olahan Kompas, 2013). Komersialisasi kawasan hutan oleh perusahaan telah mengakibatkan banyak bencana alam seperti longsor, bajir, kemarau berkepanjangan di wilayah Danau Toba, khususnya di kabupaten Samosir, Simalungun, Toba, Karo, Dairi dan beberapa kabupaten lainnya.

Beberapa perusahaan, baik yang berada di atas danau maupun yang mengelola kawasan hutan sudah dikenakan sanksi administrasi oleh pemerintah pusat karena terbukti merusak lingkungan, namun sanksi semacam itu tidak terbukti memperbaiki keadaan, sebab kerusakan demi kerusakan masih saja terjadi.

Maka disaat pemerintah secara institusi tidak bisa hadir sebagai solusi (sebab merekalah salah satu masalahnya), maka harapan haruslah bertumpu pada individu dan kelompok masyarakat yang sadar untuk melakukan perbaikan dan melawan dominasi perusahaan. Otoritas adat harus mengembalikan kemampuan determinasinya untuk menentukan arah pembangunan kawasan, bukan sekedar sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah. Dengan itu masyarakat Batak tidak lagi jadi penonton melainkan penentu pembangunan dan agen perbaikan kawasan.

Aktivis PMKRI, kader KALABAHU LBH Jakarta angkatan 44, saat ini aktif memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada individu atau kelompok rentan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like