Buku “Fikih Energi Terbarukan; Pandangan dan Respons Islam Terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbit pada 2017. Sudah banyak yang membaca dan mendiskusikannya. Betapapun selang empat tahun, isu yang coba diangkat dalam buku ini justru semakin relevan untuk terus diperbincangkan.
Metode yang digunakan menarik, khas metode yang lahir dari tradisi pesantren. Masih jarang sekali penulis yang mencoba memadukan khazanah pesantren dengan isu-isu kontemporer seperti energi terbarukan. Dalam bagian pendahuluan, secara eksplisit tertuang bahwa isi buku ini, terutama terkait dengan pembahasan masalah-masalah dalam pendekatan agama, telah dibahas dalam forum bahtsul masa’il yang kemudian diolah kembali oleh tim perumus, sampai kemudian jadilah dalam bentuknya yang sekarang (hlm. 9).
Namun, penulis tidak akan banyak memberikan pandangan pada bagian dalil-dalil naqli yang dipakai buku ini. Penulis sepenuhnya percaya pada kapabilitas perumus yang tertera di bagian buku. Penulis akan lebih fokus sedikit mengomentari konsep-konsep seperti ekonomi hijau, pertumbuhan ekonomi, energi terbarukan dan seterusnya, khususnya yang ada di bab 2.
Bab 2 buku Fikih Energi Terbarukan ini seperti hendak menyerukan bahwa kita semua sedang dalam keadaan yang sangat darurat. Ada semacam ancaman besar yang harus segera dihadapi dan dicarkan solusinya. Ancaman itu adalah kenyataan bahwa energi listrik yang selama ini kita konsumsi berasal dari energi berbahan bakar fosil. Sementara sudah barang tentu penggunaan secara besar-besaran energi fosil telah menyebabkan kondisi yang disebut pemanasan global atau krisis iklim yang akan menyebabkan daya rusak di muka bumi yang Allah Swt titipkan kepada hambanya.
Penulis cukup sepakat dengan poin tentang bahayanya pengurasan energi fosil tersebut, dan mesti harus segera dihentikan. Namun, persoalan yang hendak penulis ajukan adalah justru bagaimana buku ini melihat konsep energi terbarukan itu sendiri. Mari kita mulai dengan mendiskusikan konsep yang menjadi orientasinya: pertumbuhan ekonomi.
Konsep-konsep seperti ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan, green job, dan sederet konsep yang dibubuhi embel-embel hijau, nyatanya masih dalam satu koridor yang sama: mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya, tidak boleh turun. Tapi ekonomi siapa yang tumbuh? Bagaimana logika bekerjanya konsep ini?
Misalnya dalam buku ini disebutkan, pertumbuhan ekonomi dihitung dari perubahan besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) per tahunnya. Pertumbuhan tersebut merupakan hasil akumulasi pemanfaatan berbagai sumber daya fisik seperti teknologi, pabrik, infrastruktur dan sumber daya manusia yang tersedia (hlm. 38).
Pertanyaannya, siapa di Indonesia yang paling diuntungkan ketika sektor teknologi, pablik dan infrastruktur itu tumbuh? Tentu saja pemilik modal yang menanamkan saham di sektor-sektor tersebut.[1] Bukan kebanyakan orang. Itulah mengapa ekonomi tidak boleh tidak harus tumbuh. Sebab ketika pertumbuhan ekonomi menurun, artinya keuntungan pun menurun. Sedangkan dalam bisnis, keuntungan menurun berarti rugi, dan itu tidak boleh dibiarkan.
Buku ini mengasumsikan bahwa energi terbarukan adalah solusi untuk mengurangi kerusakan lingkungan, sambil tetap meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di bawah konsep ekonomi hijau, energi terbarukan dianggap lebih mampu menerapkan konsep ramah lingkungan dengan cara (1) menginternalisasi valuasi dampak ekologis; (2) menghemat sumber daya; dan (3) mengurangi resiko pencemaran (hlm. 37).
Energi panel surya, misalnya (seperti yang coba dipromosikan dalam buku ini) dianggap salah satu contoh energi terbarukan. Asumsinya Pembangkin Listrik Tenaga Surya (PLTS) (1) tidak harus membakar batubara untuk menghasilkan listrik. Oleh karena terik matahari sebagai sumber energinya, PLTS tidak butuh menambang batubara; PLTS juga dapat (2) menghemat sumber daya karena panas matahari sifatnya tak habis pakai. Selain itu PLTS disebutkan dalam buku ini tidak perlu mengeluarkan (3) polutan pembakaran seperti yang ditimbulkan PLTU Batubara.
Pertanyaannya, apakah cara kerjanya sesedarhana itu? Mari mulai dari mengamati definisinya. “Istilah ‘energi terbarukan’ dalam buku ini mewakili berbagai sumber energi terbarukan yang secara alami tersedia secara berkelanjutan, seperti sinar matahari, angin, panas bumi, dan air, atau tersedia secara berkelanjutan melalui suatu usaha tertentu, seperti berbagai sumber biomassa (hlm 21).”
Jadi, definisi energi terbarukan yang dipakai buku ini terbatas hanya tentang dari mana sumber energi itu dihasilkan. Karena sinar matahari, panas bumi dan air dianggap disediakan takterbatas oleh alam, maka pembangkit listrik tenaga surya, panas bumi, angin atau air yang tidak menimbulkan asap beracun dan pembongkaran bahan fosil seperti halnya PLTU Batubara disebut energi terbarukan.
Implikasinya, definisi terbarukan seperti itu cenderung mengaburkan dampak kerusakan yang lain, yang bisa jadi ditimbulkan tidak secara langsung. Sebut saja, ketika buku ini sepakat bahwa pertambangan batubara, minyak dan gas sebagai sebuah aktifitas yang takterbarukan dan merusak lingkungan, apakah juga akan sepakat dengan daya kuras dan daya rusak dari jenis-jenis pertambangan dan pengurasan sumberdaya yang lain? Misalnya energi panel surya, tentu pembuatannya memerlukan bahan baku yang harus ditambang yang tak kalah banyak dan merusaknya dari tambang batubara, apakah masih layak disebut terbarukan?
Ada 35 komoditas mineral kritis yang dianggap memegang peran penting sebagai bahan baku panel surya untuk mengkonversi radiasi matahari menjadi listrik. Unsur logam yang dibutuhkan misalnya terdiri dari arsenik, gallium, germanium, indium, dan tellurium. Arsenik dan gallium umumnya digunakan sebagai bahan baku semikonduktor untuk sel surya, sementara gallium, indium, dan tellurium umumnya digunakan dalam campuran bersama tembaga sebagai pelat tipis dalam sel surya.[2]
Semua bahan logam itu dihasilkan dari menambang, dan sudah menjadi rahasia umum, tak ada tambang yang tak merusak. Bahkan ceritanya tidak berhenti di situ. Di bawah sistem ekonomi yang instruksinya pertumbuhan kapital tanpa batas, infrastruktur energi yang dibutuhkan pun mesti juga akan meningkat tanpa batas. Semakin pertumbuhan dikejar, semakin banyak pula energi yang diproduksi, juga semakin besar pula kebutuhan untuk membongkar dan merusak bahan-bahan tambang tadi itu.
Labih jauh, beberapa dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dari proyek energi panel surya pun sudah banyak artikel yang mengulas. Union of Concerned Scientist misalnya melansir sejumlah dampak lingkungan pembangkit listrik tenaga surya.[3] Pertama, penggunaan lahan yang besar, yang akan menggusur baik ruang hidup manusia maupun non manusia yang sudah ada.
Proyek panel surya dengan sistem utility-scale PV membutuhkan lahan antara 3,5 hingga 10 hektar per megawatt, sedangkan untuk fasilitas sistem pemusatan panas matahari (CSP) adalah antara 4 dan 16,5 hektar per megawatt. Bisa dihitung berapa yang dibutuhkan untuk memenuhi megaproyek 35.000 megawatt seperti yang ditargetkan pengurus negara kita sampai 2025 mendatang. Itu baru lahan untuk industri hilirnya, belum luas lahan untuk industri panelnya dan area tambang bahan bakunya.
Kedua, industri panel surya juga cenderung boros air. Seperti pembangkit listrik sistem termal lain, proyek panel surya dengan sistem pemusatan panas matahari (CSP) membutuhkan sistem pendingin yang menghabiskan banyak air. Begitu juga dalam industri pembuatan panel itu sendiri, juga boros air.
Ketiga, industri panel surya menggunakan material kimia beracun untuk membersihkan dan memurnikan permukaan semikoduktor yang ada pada panel. Material beracun itu di antaranya asam klorida, asam sulfat, asam nitrat, hidrogen fluorida, 1,1,1-trikloroetana, dan aseton. Material-material ini sangat mungkin mencemari aliran sungai di sekitar tapak produksi panel tersebut. Bahkan limbah panel itu sendiri mengandung bahan yang berbahaya dan sama sekali “tidak terbarukan” dan dapat merusak ekosistem tanah dan air.
Lalu yang keempat, industri panel surya juga menyumbang pemanasan global. Memang pada saat terma matahari diubah menjadi energi listrik tidak memproduksi polutan yang banyak seperti halnya pembangkit listrik tenaga batubara. Poin yang ini rupanya yang dalam buku ini dijadikan pegangan. Akan tetapi di dalam rerantai tahapan yang lain, yaitu termasuk manufaktur, transportasi material, instalasi, pemeliharaan, dan pembongkaran industri panel surya juga memproduksi polutan yang bisa mencemari udara. Jadi, ruapanya industri panel surya tak benar-benar bersih seperti yang diandaikan buku ini.
Akhirnya semakin terang bahwa mengkategorikan proyek pembangkit listri tenaga surya sebagai energi yang aman dan terbarukan perlu dipertanyakan ulang. Banyak potensi dampak yang merusak dari proyek pembangkit listrik yang luput dari pembahasan di buku Fikih Energi Terbarukan ini, dari rakus lahan, rakus air, sampai mengandung limbah dan polutan beracun yang mencemari ekosistem lingkungan dan sosial. Singkatnya, ia tidak aman baik terhadap keselamatan manusia maupun keberlanjutan layanan alam.
Jika potensi kerusakan yang ditimbulkan dari proyek energi terbarukan, khususnya pembangkit listri tenaga surya sedemikian besar, apakah masih layak ia dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan dari pembangkit listrik energi fosil? Dua-duanya sama-sama tak aman dan takterbarukan.
Tak ada yang lebih ringan dari keduanya. Sehingga penulis kira, tidak lagi kesempatan untuk memilih kemafsadatan yang lebih ringan di antara dua kemafsadatan yang sama-sama beratnya, seperti bunyi sebuah dalil qaidah fikih yang dikutip buku ini (hlm 89). Sebab, satu saja nyawa yang hilang, atau satu saja sungai yang mati, terlalu mahal untuk menyebut proyek energi yang jelas-jelas melayani kekuasaan modal ini layak, aman dan terbarukan.
Wallahu a’lam bis Showab.
[1] Lihat Ahmad Suryahadi, Sejumlah Emiten Ramai-Ramai Merambah Bisnis EBT, Begini Prospeknya, diakses dari https://investasi.kontan.co.id/news/sejumlah-emiten-ramai-ramai-merambah-bisnis-ebt-begini-prospeknya pada 26 Agustus 2021
[2] Dzaky Irfansyah, Komoditas Logam Kritis Apa Saja yang Dibutuhkan untuk EBT?, diakses dari https://duniatambang.co.id/Berita/read/1516/Komoditas-Logam-Kritis-Apa-Saja-yang-Dibutuhkan-untuk-EBT, pada 25 Agustus 2021.
[3] Redaksi USCUSUA, Environmental Impact of Solar Power, di https://www.ucsusa.org/resources/environmental-impacts-solar-power pada 25 Agustus 2021.
Penulis adalah alumnus Pesantran Attarbiyatul Wathoniyyah (PATWA) Mertapada; prodi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon; dan pegiat FNKSDA Cirebon